Lanjut ke konten

1 – Pa Shnia

Bagian satu

Sepertinya gue belum mengenalkan diri. Nama gue Enru, lengkapnya Enru Tirtonegoro. Membaca nama itu jangan mengira gue orang Jawa tulen. Leluhur papa mama berasal dari dataran Tiongkok. Mungkin generasi ke lima atau enam di atas, gue ga yakin juga.

Bahkan nama Enru menurut Papa berasal dari dua huruf China yaitu En berarti budi dan Ru berarti berpengetahuan luas. Setelah digabung, dua kata itu tak lagi terdengar terlalu China—menurut gue juga begitu—dan unik.

Marga gue ‘Cui’ dalam dialek Hokkian bermakna air. Karena itulah di nama belakang digunakan kata ‘tirto’. Bagaimana cerita marga ‘Cui’ ini menjadi Tirtonegoro sepertinya gue ga perlu cerita mendetail, kan? Karena semua ini tentu saja akibat Peraturan Pemerintah dalam masa kabinet Ampera.

Jika bicara tentang pekerjaan, sekarang gue itu creative director di sebuah perusahaan biro iklan kelas lokal di Jakarta. Perlu lu ketahui, jabatan creative director memang sesuatu yang sudah gue dambakan sejak kuliah. Dan pekerjaan ini juga sesuai dengan passion gue. Istilahnya semua sempurna. Tapi gue rela lepas jabatan bergengsi itu asal bisa tidur di kamar sendiri, bukan di muka rumah orang lain seperti pengemis macam sekarang ini.

 

Bagian dua

Tak ingat berapa lama gue tertidur di sini yang jelas begitu terbangun yang kurasakan adalah rasa pegal di sekujur tubuh. Matahari sudah tinggi tapi udara tidak terlalu gerah. Sungguh nyaman jika Jakarta bisa terus seperti ini. Sayangnya yang gue harapkan ini pastinya hanya mimpi belaka. Bahkan, kawasan Puncak saja sudah mulai panas, bagaimana bisa berharap Jakarta jadi sejuk?

Dengan mata terbuka, selebar yang bisa dilakukan kelopak mata, terlihat sebuah pemandangan berbeda. Kurasa gue enggak di Jakarta lagi. Tempat ini seperti sebuah desa yang jauh dari keriuhan kota besar.

Batang-batang besar dari pepohonan tinggi dan rindang menaungi jalan yang hanya berupa tanah padat. Kicauan burung terdengar di mana-mana. Dan ketika menengadahkan kepala melihat angkasa, seekor elang yang gambarnya terlihat pada badan bis Transjakarta tengah terbang berputar-putar mencari mangsa. Elang yang tak pernah kulihat hidup di alam bebas mengitari Jakarta itu!

Jadi… di mana Gue saat ini?

Masih terus memikirkan hal ini, seorang laki-laki dengan gaya pakaian aneh datang dan berdiri di hadapan. Gue menatapnya seperti yang juga dia lakukan. Gue rasa, cara mata kami memandang menunjukkan kebingungan yang sama.

“Lu ha mang?[1]” Gue kernyitkan dahi; bingung tanpa menjawab.

“Apa yang kau lakukan di depan rumahku?” pertanyaan itu diajukan oleh orang itu juga dalam dialek Hokkian. Dan sekali lagi, Gue hanya mengeryitkan dahi, tak tahu harus bagaimana menjawabnya.

Seperti yang gue sebut di awal, leluhur gue memang berasal dari propinsi Fujian—yang dikenal oleh masyarakat di Indonesia secara umum sebagai Hokkian. Tapi di keluarga gue, dialek itu sudah jarang digunakan terlebih oleh mereka yang sebayaan dengan gue. Hanya mereka dari generasi tua yang biasa menggunakan. Hal ini membuat gue mengerti namun gagu untuk bicara.

Rupanya orang ini tak kenal menyerah. Pertanyaannya dalam dialek Hokkian tidak mendapat jawaban, diulanglah dalam bahasa Melayu yang bercampur dengan bahasa Portugis. Mendengar dia bicara dalam bahasa ini membuat gue yakin bahwa ia termasuk dalam golongan ‘pendatang baru’. Logat dan kecadelannya membuat gue terpaksa menahan tawa.

“Numpang tidur,” jawab gue singkat setelah mengalihbahasakan kata-katanya ke turunan bahasa Melayu yang gue kenal, bahasa Indonesia. Mudah-mudahan frase ‘numpang tidur’ juga ada dalam kamus bahasa Melayu dialek yang orang ini kenal.

Mungkin jawaban itu membuatnya heran hingga ia kembali memperhatikan gue dari atas ke bawah. Gue juga melakukan hal sama. Kepangan rambut yang terlihat di punggungnya membuat gue tak bisa lepas untuk terus memperhatikan dia. Ditambah lagi topi kain di atas kepalanya, baju, celana juga sepatu. Semua yang ada pada orang itu benar-benar menarik perhatian.

“Lu itu aktor?” tanya gue. “Sedang buat film apa? Setting lokasi yang hebat, mirip asli lho. Dan property kalian juga menarik. Budget besar ya? Dapat donatur dari mana? Perusahaan apa saja?” runtunan pertanyaan itu tak mendapat jawaban. Orang ini termangu sambil terus memandangi gue dengan cara pandang orang yang sedang curiga ‘apakah di depannya ini perampok atau penjahat semacam itu’.

Pekerjaan di dunia iklan membuat gue sering bersentuhan dengan dunia film. Pengalaman dari pekerjaan itulah yang membuat pertanyaan tadi keluar. Coba bayangkan jika yang dilihat adalah sebuah rumah bergaya perpaduan antara China dan Belanda, orang dalam pakaian ala Wong Feihong[2] berwarna putih dengan celana hitam juga ikat pinggang dari kain yang digulung lalu diikat. Dan sepatu yang dikenakan orang itu terbuat dari kain warna hitam. Detailnya begitu sempurna. Bagaimana gue tidak berpikir tentang film berbudget besar?

Pertama kali tadi gue melihatnya, kukira Wong Fei Hung mengunjungi Indonesia. Atau mungkin Fong Sai Yuk.

Mungkinkah para sineas Hongkong syuting film terbaru mereka di sini? Wow… lalu cerita apa yang mereka garap? Lagipula jika ini memang benar film terbaru para sineas Hongkong, budget besar untuk lokasi syuting pastinya bukan masalah. Karenanya setiap detail rumah dan lingkungan benar-benar mirip dengan yang asli.

Teman online gue, gadis-unik ID messenger-nya, pernah cerita. Ia seorang gadis—yang menurut gue—tergila-gila pada sejarah. Menurut sumber bacaan yang dia dapat, orang-orang China telah bertandang ke wilayah Indonesia sebelum abad keenam belas. Jauh sebelum itu, sudah banyak catatan-catatan resmi mengenai Nusantara ini. Kalau tak salah ingat ia menyebut… Han atau dinasti Han? Ah.. gue tidak begitu ingat.

Kemudian, gadis-unik juga mengatakan kalau pada zaman dinasti Qing, yang pakaiannya seperti orang yang ada di hadapanku ini, cukup banyak pemberontak yang kabur ke Selatan termasuk sini. Mungkin tentang merekalah cerita di film nanti.

“Siapa sutradaranya? Orang mana? Hollywood? Hongkong? Atau sutradara lokal?” tanya gue sekali lagi. Pertanyaan yang juga dijawab dengan kebisuan.

Gue benaran hilang akal. Orang ini pasti tidak bisu. Dia juga mengerti bahasa Melayu yang mirip dengan bahasa Indonesia. Tapi mengapa terus diam? Mungkinkah dia tak mengerti? Ya Tuhan, mana ada aktor yang tak tahu siapa sutradara film yang sedang diperankan?

“Ngomong-ngomong kita di mana?” tanya gue berusaha memecah kebisuan. Setidaknya gue jadi bisa tahu bagaimana jalan menuju rumah. Gue sudah janji menjemput pacar sore nanti dan juga telah memilih hari ini untuk melamarnya.

“Ommelanden.”

Oh… Ommelanden… APA?!?

“Luar kota Pa Shnia[3],” tambahnya yang membuat mata gue lebih lebar terbelalak. Apalagi itu Pa Shnia?

Menunjuk tanah tempat kami berdiri, kemudian ia membentuk tanda ‘x’ dengan kedua tangannya lalu menunjuk arah utara. Gue mengerjapkan mata tetap kebingungan. “Batavia,” akhirnya dia menyebut sebuah kata. “Bukan Batavia,” tambahnya lagi dengan canggung.

Gue termangu sembari berusaha mengingat yang telah dikatakan gadis-unik. Dia, si penggila sejarah itu akan berkata ‘pergi ke Batas Kota Batavia’ jika hendak pergi mengunjungi salah satu temannya yang bekerja di museum di daerah Kota Tua. Apakah orang ini sejenis dengan teman gue satu itu? Tapi… teman gue itu tak pernah mengatakan Ommelanden atau Dalam Kota. Tingkat keparahan orang satu ini di atas Gadis-unik itu kah?

“Ommelanden itu luas,” ujar gue kemudian, berusaha memahami jalan pikiran orang ini. “Masih Jakarta kah? Pancoran? Tebet? Cipinang? Atau sudah luar Jakarta? Bekasi? Atau mana?”

Dia terdiam. Sepertinya bingung karena pertanyaan gue. Tunggu, bukankah ponsel butut itu masih ada? Biasanya akan terpampang di wilayah mana pemancar sinyal terdekat. Mengapa tidak terpikir dari kemarin? Sepertinya vodka adalah biang kerok atas keteledoran ini. Otak brilliant gue jadi tumpul hingga hal sepele seperti ini bisa terlupakan.

Gue keluarkan ponsel itu dari kantung.

Indikator baterai menunjukkan tak lama lagi harus diisi ulang. Tapi bukan itu yang ingin gue tahu. Melirik bagian tengah layar, di sana tanpa tulisan nama tempat. Dan saat gue perhatikan indikator sinyal, rupanya… nol besar! Gue benar-benar semakin penasaran tempat macam apa yang tak dapat menerima sinyal ponsel macam ini. Di belahan bumi mana gue sekarang?!

“Siapa namamu?”

“Peng Guan.”

“Nama Indonesia? Nama Barat?” tanya gue menggebu-gebu.

Lagi-lagi orang itu mengeryitkan dahi tanda tak mengerti.

“Siapa namamu? Kenapa ada di depan rumahku?” kali ini lagaknya seperti preman pasar.

“Enru. Enru Tirtonegoro.”

… Hah?!? Rumah? “Lu bilang… ini rumahmu?”

Dia menganggukkan kepalanya sangat yakin.

“Jadi ini bukan lokasi syuting?”

“Syuting? Siamik si ‘syuting’?[4]

Ya Tuhan, kepala gue sakit jika harus bicara dengan orang seperti ini terus menerus. “Jadi lu bukan aktor?”

Mengeryitkan dahi, dia baru membalas, “Aku pengawas ladang tebu.”

Jadi rupanya ladang tebu kemarin ada dalam wilayah kekuasaannya. Siapa orang kaya yang membayar orang gila macam ini?

“Ladang tebu punya siapa? Tinggal di mana?” bicara dengan bosnya mungkin lebih baik. Dia pasti tahu di mana Jakarta dan aku bisa pulang secepatnya.

“Yo Tauke[5]. Dia tinggal di dalam kota Pa Shnia.”

“Sekarang ini tahun berapa? Republik Indonesia sudah berdiri sejak puluhan tahun lalu. Kau gila, hah? Masih berpikir di bawah penjajahan Belanda?” gue mengamuk karena kehabisan akal. Kukira sudah berjam-jam kuhabiskan percuma di sini.

Plak! Tamparan keras menghantam pipi gue diiringi raungan marah. “Lu gila, hah? Kepala bisa dipenggal kalau teriakan lu terdengar meneermeneer. Sekarang tahun ke enam puluh Kangxi atau tahun seribu tujuh ratus dua puluh satu menurut tuan-tuan meneer.”

Tamparan itu terasa pedih dan mengejutkan. Gue berteriak memaki laki-laki aneh bernama Peng Guan. Namun matanya tajam menyorot seolah menyiratkan pesan ‘sebaiknya berhenti memaki karena akan ada bahaya mengintaimu jika terus melakukannya’.

Pedasnya tamparan itu memang tetap tertinggal tapi yang paling pedih adalah mengetahui gue enggak sedang bermimpi. Ke mana ranjang pegas? Mengapa gue bisa ada di sini, menghadapi orang semacam itu pula? Mengapa pula ia mengatakan sekarang tahun seribu tujuh ratus dua puluh satu? Tahun ke enam puluh Kangxi?

Apakah artinya gue telempar ke masa silam? Hampir tiga abad sebelum masa gue lahir… ini bukan film? Benar-benar nyata?

*#*#*

Catatan Kaki:

  1. Lu ha mang: “Siapa kamu?” adalah logat Zhangzhou, salah satu daerah di Fujian. Kebanyakan orang Hokkian yang bertandang ke tanah Batavia/Jawa di zaman itu berasal dari daerah Zhangzhou/Ciangciu
  2. Wong Feihung mengenakan tangzhuang yakni pakaian yang dikenakan pada Dinasti Qing. Menggantikan pakaian hanfu yang dikenakan orang-orang China pada masa sebelum Dinasti Qing.
  3. Pa Shnia: Penyebutan Batavia dalam dialek Hokkian logat Zhangzhou/Ciangciu
  4. “Siamik si ‘syuting’?” diterjemahkan menjadi “Apa artinya syuting?”
  5. Tauke: bos, panggilan dari karyawan ke majikannya
Tinggalkan sebuah Komentar

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: