Lanjut ke konten

7 – Jiwa yang Terus Abadi

Xuanjing

Lelaki paruh baya itu kembali datang beberapa hari kemudian. Mendadak ia di depan rumah berdiri, entah mungkin tertegun di sana. Dia membawa beberapa buku katanya untuk saya. Tidak enak dengan pemberian itu akhirnya saya persilahkan padanya untuk duduk di balok kayu yang saya perlakukan sebagai bangku di luar rumah.

Lingtong, bila kau sadar siapakah saya, apakah kau akan tetap datang mengajak saya berbincang seperti ini? Itu adalah pertanyaan yang tak akan pernah saya berani ajukan padanya. Saya hanya menyimpannya dalam hati dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dia ajukan. Terkadang ia bertanya soal kitab perang, tapi ada kalanya juga menanyakan arti maupun penerapan isi kitab taois.

Dalam sebulan ini akhirnya ia menjadi orang yang sering mengunjungi saya. Kedatangannya selalu dengan membawa buah tangan. Itu membuat saya kuatir kelak buah tangan yang ia bawa menarik perhatian para pengawas. Saya takut bila pemerintah tahu Lingtong selalu mengunjungi saya yang tahanan politik ini, karirnya akan berpengaruh. Sekalipun pengawas-pengawas saya itu tidak datang setiap waktu, hari datangnya tidak mengikuti jadwal tertentu.

Hari itu, mereka nyaris bertemu di tempat saya. Mudah-mudahan bila mereka berpapasan di hutan, tak ada kecurigaan akan keberadaan Lingtong di daerah seperti ini.

Setelah hampir setahun seperti itu, pengawas yang datang sekarang selalu lebih dari satu orang. Kebanyakan dari mereka bukan muka yang telah saya kenal. Kemungkinan pemerintah daerah mulai mencurigai bahwa saya ada pertemuan dengan orang luar.

Semenjak itu, saya selalu berusaha menghindari Lingtong. Tak terlalu sulit, membaca keras kitab pun akan membuatnya hanya diam tidak mengetuk pintu ataupun memanggil saya. Bila sore hampir tiba, ia pasti akan pulang dengan sendirinya.

Beberapa bulan kemudian, para pengawas datang. Padahal salju mulai turun di bulan ini dan udara pun mulai mendingin. Kali ini mereka datang dengan banyak orang, mungkin ada lima belas orang. Sungguh tak seperti biasa. Di sisi lain, seperti biasa bila datang, mereka tak pernah mengetuk pintu sebab pengawas yang cukup sopan sudah tidak pernah datang.

Saya sedang mendaraskan kitab, ritual harian di siang hari ketika mereka sudah sampai dalam rumah dengan mendobrak pintu yang tak pernah dikunci karena memang tidak memungkinkan untuk dikunci dari dalam.

Seseorang dari mereka dengan mata jelatatan melihat seluruh ruangan dan memerintahkan orang lainnya untuk menggeledah. “Dari mana buku-buku ini?” katanya menunjuk setumpuk buku pemberian Lingtong. Tentu saya tak memberitahukan itu pemberian seorang murid. Lingtong bisa celaka. Maka saya menjawab, “Saya menemukan di hutan. Mungkin ada pelajar lewat dan tak sengaja menjatuhkan mereka.”

Untung saja Lingtong tak pernah membawa apapun yang aneh selain buku-buku Rujia dan beberapa kitab Tao. Ada pepatah lama mengatakan sebagai ru di kantor—pemerintahan – dan mempraktekan taoisme di rumah, mempelajari kedua aliran itu terbilang bukan hal luar biasa bagi calon sarjana.

Orang itu diam tapi orang lain bergerak. Ia memberikan kepada seseorang – yang tampaknya pangkatnya lebih rendah – sebuah botol kecil. Lalu dengan matanya menyuruh orang tersebut untuk memaksa saya agar minum isi botol itu.

Dari sejak ditangkap hingga hari ini masih bisa hidup untuk merenungkan ajaran Shifu pun saya merasa sudah sangat beruntung. Namun kitab yang saya baca ini belum selesai. Ada rasa kecewa bila tidak terselesaikan, maka saya beranikan diri berkata, “Bolehkah bila saya minum setelah kitab ini selesai dibaca? Tak sampai setengah shichen lamanya.”

Mungkin salah satu dari mereka juga pernah belajar taoisme sehingga ialah yang meminta lainnya agar saya bisa menyelesaikan pembacaan terakhir kalinya ini. Lalu saya berkata lagi, “Memang ada orang mengunjungi saya belakangan ini. Tapi itu karena ia tak tahu siapa saya. Saya hanya menghibur dirinya karena ia nyaris bunuh diri beberapa waktu lalu. Mohon Anda sekalian melepas orang itu.” Mudah-mudahan sedikit kebohongan ini dapat menyelematkan nyawa Lingtong.

-*-

Lingtong

Akhir-akhir ‘Paman Tua’ itu semakin aneh. Ia tak lagi menerimaku bahkan sepertinya sengaja mendaraskan kitab di jam-jam aku biasa tiba. Hari ini, di hutan aku melihat beberapa orang pejabat baik sipil dan militer berjalan ke daerah ia tinggal. Aku membututi mereka karena penasaran dan cemas.

Aku bertambah cemas melihat mereka main dobrak pintu rumah ‘Paman Tua’. Batinku bergejolak. Apakah aku harus turun tangan dan menerima kemungkinan akan kehilangan karir militerku? Tak seberapa lama, mendadak dari rumah itu terdengar kembali suara si ‘Paman Tua’ mendaraskan kitab. Aku pun merasa sedikit tenang.

Tak seberapa lama, rumah tersebut kembali tenang. Amat sangat tenang. Demikian sunyi dan senyap sementara langit mulai kembali menurunkan bulir-bulir saljunya perlahan. Jantungku bertalu-talu karena kesenyapan di sana. Sampai akhirnya para pejabat itu keluar dengan wajah-wajah terasa terpuaskan. Apa yang mereka lakukan di dalam sebelumnya? Mendengar kitab dapat membuat orang jadi seperti itukah?

Setelah mereka menjauh, aku menuju rumah tersebut tanpa suara. Di sana, aku melihat di tembok rumah dari tanah pada seberang pintu terdapat tulisan yang artinya “tempat kedudukan dewata sanqing” bagian bawahnya terdapat sebuah meja di mana ada lentera minyak ditempatkan – yang di kemudian waktu aku baru sadar cuma itulah penerangan di dalam rumah tersebut. Setelahnya, aku melihat si ‘Paman Tua’ terbaring di depannya dengan mata terbuka dan tak bergerak.

Aku buru-buru berlari mendekati dan mendekatkan tangan ke hidungnya. Tak bernafas. Aku meraih tangan dan kemudian menyentuh lehernya. Tak ada tanda kehidupan apapun. Mengapa? Kenapa para pejabat itu membunuhnya? Tidak ada luka apapun sebagai tanda telah terjadi kekerasan. Sama sekali tak ada. Tapi dari tubuhnya yang warna kulitnya tak seperti biasa, aku bisa menduga ia diminumi racun. Bahkan kemungkinan ia minum sendiri racunnya karena pada tubuh ‘Paman Tua’ juga tak terlihat adanya tanda bekas dipaksa.

Di dekat Paman Tua, buku-buku dariku bergeletakan di lantai dalam kondisi berserakan. Karena bukuku? Hukum apa yang dilanggar seorang pertapa dengan membaca buku semacam itu? Ataukah sebenarnya ia bukan pertapa? Bila bukan, siapa dia? Aku berkeliling memeriksa dalam rumah. Semua barang sudah berantakan tampak bekas digeledah. Dipan reyot berdiri termangu di sudut ruangan lain.

Perabot besar di sana hanya dipan reyot dan meja tempat lentera tadi saja. Keanehan lain tak hanya itu, pintu rumah ternyata hanya bisa dikunci dari luar. Sebelumnya aku mengira bagian dalam ada slot kayu untuk menahan pintu, sebagaimana rumah pada umumnya. Rupanya tidak. Rumah ini, di bagian dalamnya lebih tampak penjara.

Tapi, di suatu sudut gelap karena jalan satu-satunya sinar matahari hanyalah melalui pintu rumah, aku melihat sesuatu berwarna kehijauan. Tak jelas mengapa orang-orang tadi tak melihat barang itu. Mungkin barang yang terjatuh di sampingnya mengalihkan pandangan.

Aku mendekati dan memungut. Ternyata, benda tersebut adalah giok yang telah dipahat dengan rapi. Pasti sebuah benda berharga, barang mahal. ‘Paman Tua’ dari keluarga berada? Apa yang membuatnya tinggal di sini seorang diri dengan segala kekumuhan seperti tempat ini?

Dilihat dari posisi lubang, seharusnya ada tali di bagian atas dan bawah giok tersebut. Kemungkinan tali sudah terlalu usang sehingga dibuang karena giok itu pun terlihat sudah kotor.

Giok tersebut akhirnya kubawa ke luar rumah, tempat yang terang dan berakhir dengan tertegun memandangi giok tersebut.

Aku sepertinya butuh nafas bantuan sekarang. Paru-paruku terasa sangat sesak. Aku tak pernah menduga ‘Paman Tua’ yang wajahnya lembut dan tenang adalah Shifu sebab aku tak pernah melihat wajah Shifu bisa selembut itu semenjak aku tinggal bersamanya di perguruan.

Aku kembali masuk mengambil lentera dan mendekatkan pada Shifu. Sekalipun mata itu terbuka tapi wajahnya damai seolah pergi tanpa penyesalan. Aku melihat ke arah tangannya yang tergeletak di samping tubuh, jemarinya seolah menunjuk ke tanah di bawahnya. Ke sanalah aku mengarahkan penerangan. Tertulis dengan samar, “Lingtong, maaf.”  Serta-merta aku menangis terisak. “Shifuuu!”

Semua kepingan masa lalu antara kami berdua berpendar di ingatan. Masa ketika aku berlutut memberikan teh dan memanggilnya shifu untuk pertama kali. Saat ia marah dan menghukumku pertama kali dan bahkan ketika aku melihat pakaian robeknya lalu Lingyan yang menjahitkan bajunya di hadapan aku. Serta… ketika aku tahu bahwa ialah yang membuat ayah kandungku celaka.

Dulu sempat mengira bila bertemu dengannya, aku akan mampu memaki dia dan mengatai, menyumpahi. Namun ternyata aku tak mampu dan mungkin memang tak akan pernah mampu.

Dalam perjalanan hidupku sebagai tentara, bayangnya selalu menghantui. Bagaimana menentukan kebijakan, bagaimana bersikap, semua seolah dia yang mengaturkan. Bahkan dahulu di awal karir saat kami menemui jalan buntu. Pertahanan kota sudah di batas akhir. Kami bisa kalah sedangkan pasukan bantuan belum juga tiba. Waktu itu, aku memberi saran pada komandan untuk menyerang tanggal sekian, jam sekian, seketika aku teringat kata-kata shifu sebab cara menghitung bintang dan memperhatikan cuaca kudapat dari beliau. Bahkan alasan yang kuucap pun hampir sama persis dari mulutnya. Berkat saran tersebut, pangkatku naik dan aku jadi orang kepercayaan. Semua ilmu perang yang kukuasai memang dialah yang mengajarkan, jadi kenaikan pangkatku karena ajaran beliau.

Sekarang, setelah aku menemukannya dalam keadaan seperti ini, mungkinkah aku tetap tidak memaafkan beliau? Bila demikian, apakah artinya taoisme yang telah kupelajari selama sekian tahun dalam masa hidupku?

Usai memeriksa keadaan, aku semakin yakin mereka telah tahu bahwa ada orang luar yang sering mengunjungi Shifu. Bisa jadi karena itulah Shifu diracun. Mereka takut Shifu bertemu orang untuk mengatur strategi menggulingkan Da Song. Aku? Aku adalah tentara Song yang pernah menjadi muridnya.

Mungkin, lebih baik aku mengundurkan diri lalu kembali ke perguruan. … Meimei … bila ia tak ada di sana, akulah yang akan menunggunya dan meminta maaf telah meninggalkan di rumah Bao Feng dahulu.

-*-

Lingyan

Aku melihat Shifu. Di hutan, dekat perguruan kami. Ia berdiri di bawah pohon seolah menanti seseorang. Aku ingat, di bawah pohon itulah aku bertemu dengannya pertama kali. Ia menegurku beberapa kali tapi waktu itu aku bisu.

Ah, apakah seharusnya kusebut ia Adie? Sekarang ia sudah berjenggot tebal. Kumisnya sampai menyatu dengan jenggot itu. Aku dulu tak pernah melihatnya memelihara jenggot seperti itu. Tapi dia tak seperti Shishu, rambutnya belum memutih. Apakah waktu berhenti bagimu?

Eh, baju yang dikenakan adalah hasil jahitanku dulu kala? Sudah puluhan tahun bukankah seharusnya sudah rusak? Tapi tidak. Benar, baju itu yang dikenakan. Aku melihat jahitanku yang tidak rapi di masa-masa itu tercetak jelas di keliman kerah dan lengan tangan.

Ia tersenyum tenang tak berkata apapun. Sejak dahulu memang ia tak banyak bicara. Selain mengajarkan kami ilmu-ilmu yang telah diperolehnya dari Shigong dan guru-gurunya sejak masih anak-anak, ia lebih banyak duduk diam dengan wajah kakunya. Tong Ge pun sering gentar karena kekakuannya itu. Sekarang, yang kulihat ini adalah beliau dalam versi tenang dan lembut.

Aku memberanikan diri untuk memanggilnya, “Shifu?” sebab lidahku kelu dan takut ia tak berani mengakui hubungan kami. Ia menoleh padaku dan lagi-lagi tak berkata apapun juga tak mendekat. Aku melihatnya mengatur tangan memberi soja yang sangat formal seolah berusaha membuatku ingat bahwa ia keturunan bangsawan. Tentu saja tindakannya membuatku terburu-buru membalas dengan lebih mendalam. Ia guruku juga ayah kandungku, tak sopan bila aku tak segera membalas dengan penghormatan yang lebih formal untuknya. Setelah kami saling soja, ia melangkah mundur sekali lalu berbalik badan dan pergi. Seketika aku panik. Aku berteriak memanggilnya Shifu juga Adie berkali-kali, belasan dan puluhan kali. Tapi ia tak lagi menoleh. Adie terus pergi menjauh dariku dan kemudian menyeberangi sungai yang mendadak ada di tengah hutan tersebut dengan sampan. Sepanjang ingatan, dalam hutan itu tak ada sungai seperti yang kulihat ini. Di hutan ini, airnya mengalir deras dan banyak bebatuan. Banyak air terjun kecil dan besar di sini. Tidak ada sungai yang airnya mengalir setenang kuliat sekarang.

Tiba-tiba aku mendengar suara Shishu memanggil berkali-kali. Aku menolehkan kepala dan tersadar masih di dalam kamar kecilku di perguruan, tepatnya duduk di kursi dengan buku terbuka di pangkuanku, bukan sedang jalan-jalan di tengah hutan. Tak pelak aku merangkul Shishu dan terisak, “Adie pergi, Shishu. Adie telah menyeberangi sungai.”

“Sudah hampir waktunya ritual sore. Sekalian kita doakan dia, yuk,” kata Shishu. “Shishu cemas melihatmu hari ini tidak seperti biasanya.”

-*-

Xuanli

Da Shixong, bila aku menyusulmu beberapa waktu lagi, apakah kita akan bertemu? Usiaku sudah senja, seperti matahari yang hampir terbenam di batas pegunungan sana. Saat Lingtong kembali, ia berkata kau pergi dengan wajah damai. Apakah itu artinya kau sudah menemukan dao-mu?

Lingtong tiba di perguruan beberapa bulan setelah Lingyan mengigau. Tentu itu karena ia harus membereskan pengunduran dirinya dan persoalan dengan istri serta anak. Pertemuan sepasang saudara itu seperti sebuah reuni, bila saja kau menyadari kehadiran Xuanjing di sana. Aku merasakannya. Da Shixiong di sana tersenyum melihat mereka berdua kembali berkumpul. Tapi… berkumpulnya mereka ternyata hanya hitungan bulan. Bekas luka Lingtong dalam perang-perang yang pernah dilewatinya disebutnya terasa nyeri sepanjang waktu. Mungkin karena dinginnya tempat kami. Tak seberapa lama, ia pergi selamanya menyusul Xuanjing.

Aku, yang sudah di usia senja ini justru menghantar muridku yang pergi mendahului. Tapi, aku tahu. Waktuku pun tak lama lagi. Sudah waktunya bagiku mengundurkan diri dari urusan perguruan.

Duduk di kursi kayu depan pintu kamarku, aku menutup mata membayangkan masa lalu. Kecemburuanku pada Da Shixiong di masa muda, misalnya. Karenanya aku mendesah.

Da Shixiong, di kehidupan lain, mungkinkah kita akan kembali berjumpa? Apakah saat ini justru kau telah bangun dari mimpi sedangkan aku masih hidup dalam mimpi? Setelah melalui kehidupan ini, apakah kita menjadi kupu-kupu seperti sebut sesepuh Zhuang[1] ataukah menjadi manusia lain? Sebagai apapun aku berharap di saat itu kita bisa lebih akrab tak seperti di kehidupan ini.

Mendengar pintu terbuka, aku menolehkan wajah ke arahnya. Kulihat seseorang bocah berdiri kaku di muka pintu. Aku membuat mata lebih terbuka agar dapat melihat orang itu dengan jelas. Umur yang semakin menua dan kurangnya gizi di masa kecil membuat mataku lebih cepat rabun.

Orang itu, tampaknya seperti pernah melihat dia di suatu tempat. Dia itu berkata, “Daoshi, kita kembali berjumpa. Ingatkah kau atas siluman-siluman yang kau tawan di desa sekian waktu lalu?” aku berusaha mengingat masa lalu. Tampaknya itu dari kejadian di kepergian kami berenam terakhir kalinya itu. Ya, ada seorang anak yang justru bersimpati pada siluman. Jadi, apakah …?

“Selamat jalan, Daoshi ….” Ketika bicara, tangannya menghunuskan pedang dan seketika aku tak tahu lagi apa yang terjadi padaku.

-*-


[1] Zhuangzi 莊子 nama asli Zhuang Zhou 莊周 filsuf aliran dao

%d blogger menyukai ini: