Lanjut ke konten

Epilog

Bagian satu

 

Pengadilan atas Ni Hoe berjalan dengan sangat alot. Di lain pihak, sial bagi Valkenier, dewan ketujuh belas lebih mempercayai kesaksian versi Van Imhof.

Kuhapus lagi dua kalimat yang baru kutulis.

Setelah penyamaran gagal, akhirnya Ni Hoe tertangkap oleh pasukan kompeni. Ia dianggap bersalah atas pemberontakan yang dilakukan kaumnya. Kesalahan yang menurut kompeni layak dijatuhi hukuman mati

Sekali lagi kuhapus kalimat yang baru diketik. Semuanya lebih seperti dokumen resmi pada buku sejarah. Bukan jalinan kisah fiksi yang indah. Otakku nyaris pecah. Rambutku juga sepertinya sudah acak adut karena jadi sasaran tanganku yang cemas.

Dua minggu lagi. Waktu yang diberikan padaku tinggal dua minggu lagi sedangkan naskah ini belum juga berakhir dengan sempurna.

Kuhempaskan punggung pada senderan kursi dan menghela nafas frustasi. Deadline dari penerbit semakin dekat, tapi otakku serasa mampet oleh sampah-sampah pikiran beraneka ragam dan bermacam warna.

Kugerakkan tetikus mendekati simbol messenger yang tertampil di layar laptop. ID-ku selalu terpampang di sana.

gadis-unik

******

Beberapa detik kemudian, terbuka layar messenger yang menampilkan siapa saja teman online-ku. Kugerakkan kursor, mencari seseorang dan berharap ia sedang online. Namun ternyata, semua itu harapan semu. Nyatanya ia tak online dan tak pernah online dalam kurun setengah tahun ini.

Dia adalah teman online teraneh yang pernah kukenal. Dulu aku mengenalnya tak sengaja. Kalau diingat-ingat sebenarnya terlalu lucu, menurutku dan seketika senyum terkembang di bibir.

Waktu itu aku sedang membuat novel yang tokohnya banyak bersinggungan dengan dunia iklan. Karena itulah, sebuah email kulayangkan ke milis yang berisi orang-orang kreatif periklanan. Salah satu perespon adalah orang ini. Kemudian, ketika email dan chatting tak memungkinkan lagi, kuputuskan menemuinya secara langsung. Aku harus tahu bagaimana orang iklan bereaksi, kan? Hanya dari chatting, bagiku kurang memuaskan.

Bagaimana mungkin aku pernah berpikiran kalau orang ini ternyata salah satu orang menyebalkan di almamaterku. Orang yang pernah menuai image miring namun dalam sekejap tak ada lagi yang membicarakan ‘miring’ itu.

Dan ternyata… dia ‘gila’ sekaligus waras di saat bersamaan. Gaya bicaranya yang menurutku ‘nyeleneh’ sekaligus percaya diri, membuat aku lama-lama semakin dekat dengannya. Namun bukan sebagai pasangan yang saling jatuh cinta.

Gue mau melamar pacar gue. Menurut elo, cewek yang hobi nulis enaknya ditangani dengan cara apa, ya?” tanyanya di hari terakhir chatting kami. Kira-kira empat tahun sudah berlalu sejak saling mengenal sebagai narasumber dengan penulisnya. Ketika hubungan kami sudah mengental sebagai sahabat dunia maya.

“Lala? Lo mau melamar Lala?” tanyaku.

“Emang kenapa?”

“Enggak. Hanya heran aja, akhirnya lo mau merid juga.” Kupasang icon cengiran kuda.

“Sekarang gantian. Lo jadi narasumber gue. Jangan curangan, ya. Jawab, cepetan.”

“Iya. Gue mikir dulu.”

Aku kenal Lala. Aku mengenal perempuan yang entah bisa dikatakan beruntung atau sial itu dari sebuah grup penulisan di internet. Pernah pula kopi darat dan cukup sering mengobrol dengannya. Sampai ternyata dia pacar dari orang itu, aku tidak tahu bagaimana bisa kami dipertemukan. Jika dikatakan dunia ini hanya seluas daun kelor, mungkin benar adanya.

 

Bagian dua

Aku klik dua kali ID sahabat dunia mayaku itu. Jendela chatting terbuka. Tak peduli orangnya akan membaca atau tidak, kutuliskan di sana:

Otak gue buntet. Enaknya diapain? Eh, kira-kira bagaimana ya harus gua tuliskan nasib si Kapiten itu? Btw, lo mau tahu siapa orang yang namanya gue sebut waktu itu, ga? Kalau mau tau, CEPETAN JAWAB!!!

Hanya ke dia, aku bisa sewenang-wenang seperti itu. Dia tidak akan marah. Aku yakin, seyakin-yakinnya.

Namun tak ada tanda ID itu pernah aktif. Sehari, dua hari sampai akhirnya mingguan dan bulanan terlewati.

Terakhir kali ID itu aktif, dipasangnya icon tak mau diganggu. Meeting, katanya. Meeting yang menentukan masa depannya. Beberapa jam kemudian, dia mengabariku kalau usaha timnya berhasil. Dan dia ingin menambah kebahagian dengan melamar Lala keesokan hari.

Aku tertawa, rasanya seperti dongeng asal muasal huruf ‘shuangxi’ alias kebahagiaan ganda yang terpasang pada pernikahan orang China. Karir dan perempuan. Perpaduan yang sangat indah bagi seorang laki-laki, tak terkecuali kawanku satu itu. Apalagi, setahuku ia sudah punya rumah pun mobil.

Esoknya, dia tidak online. Demikian juga dengan lusa. Awalnya kukira ia terlalu senang lamarannya dijawab dengan anggukan atau sebuah suara ‘ya’ atau ‘aku mau’ hingga lupa diri dan tak lagi ingat sahabat dunia mayanya ini. Tapi kemudian, kiriman pesan singkat dari Lala mengejutkan aku.

Cowok gue ilang. Dia ga ada kabar dari Jumat malam itu. Sabtu juga tidak dateng. Rumah kosong. Hape mati. Polisi cuma nemuin mobil dan barang-barangnya di sekitar Jatinegara.

Sampai detik ini, dia tak pernah ditemukan. Kalaupun meninggal, tak satupun orang menemukan jenazahnya. Ia hanya lenyap seperti ditelan bumi.

Kemarin, Lala kembali mengabariku. Pesannya singkat.

Mama cowok gue udah nyerah. Diputuskan hari minggu mendatang kami mengadakan upacara penguburan. Lo harus datang ya. Tempat dan jam menyusul karena masih dibicarakan.

Enru, anak laki satu-satunya. Dia hanya punya seorang saudara kandung perempuan, cece-nya yang telah menikah dengan laki-laki asing, tepatnya orang Belanda. Setelah menikah, cece-nya tinggal di Belanda.

Aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaan mamanya. Setelah sang suami meninggal, kini harus mengantar peti mati kosong yang harus diibaratkan berisi jenazah putranya. Anak kandungnya sendiri. Padahal, anak laki-laki bagi orang China sangat berharga.

Tak pelak, kulihat tangis berderai di hari pemakaman ini. Si Cece, sang Mama dan Lala. Tetes air mata membasahi kedua belah pipi mereka berulang kali.

Mataku turut basah terbawa suasana.

Kutatap kosong layar messenger di ponselku. Dulu ponsel ini selalu ribut karena pesan masuk darinya. Untuk ukuran seorang laki-laki, dia memang terlalu cerewet. Namun untuk ukuran perempuan dia sangat maskulin.

Satu rahasia lain yang kudapat dari Lala, masa kecil Enru dipenuhi dengan kejuaraan taekwondo. Puluhan piagam menghiasi rumahnya. Setelah itu aku tak heran lagi melihat perawakannya yang berisi dan cukup pantas jadi model iklan. Postur tubuh yang tadinya kupikir didapat dengan rajin fitnes.

Kini ponselku lebih sering bungkam. Hanya kadang diisi oleh pesan dari teman penggemar sejarah.

Gue nemu dokumen lain di pusat arsip. Sangat berhubungan dengan novel lo. Cepet ke sini.

 

Setelah pamit, kutinggalkan kuburan palsu itu. Dengan menahan air mata agar tidak mengalir jatuh ketika pipiku bersentuhan dengan pipi mamanya pun cece-nya lalu Lala.

 

Bagian tiga

 

Apa yang disebut oleh kawanku itu benar-benar di luar dugaan. Mungkin kebetulan, karena banyak orang bernama sama. Tapi setahuku, marganya Enru di Indonesia tidak lazim. Cui. Di dokumen itu tertulis nama: Cui Enru.

Ya, sekalipun banyak lubang karena dimakan waktu, kertas dokumen menyebutkan nama tersebut beserta sebuah cerita yang tidak jelas.

… Cui Enru dinyatakan … dalam … yang mengakibatkan … dan … lainnya … mati.

 

Itu yang dikatakan temanku, setelah berupaya menafsirkan kata-kata tak lengkap karena lubang dimakan waktu. Harus diakui, ia memang mahir berbahasa Belanda dan sengaja mempelajari bahasa Belanda kuno demi memuaskan rasa ingin tahunya akan sejarah.

Kubalik lagi halaman sebelum dan sesudahnya. Hanya demi memastikan dokumen itu bercerita tentang apa. Tentu saja sia-sia belaka. Ilmu bahasa Belandaku tak lebih dari mengeja abjad dan salam-salam tak penting.

Selesai itu, kuhela nafas dan debu dari dokumen tua berterbangan terembus karena nafasku yang rupanya cukup keras. Temanku hanya melirik, bingung melihat reaksi yang kuberikan. Lalu berceritalah ia panjang lebar tentang isi semua halaman yang kubalik-balik tadi.

Jelas dokumen ini tentang pembantaian massal yang terjadi sekitar dua ratus tujuh puluhan tahun yang lampau. Pembantaian yang menelan ribuan jiwa orang Tionghoa di Batavia dan sekitarnya. Pembantaian yang disusul dengan kerusuhan di berbagai tempat di Jawa. Mengapa belum pernah disinggung oleh buku-buku sejarah yang telah beredar selama ini?

Enru, adalah nama yang diambil dengan penggabungan dua huruf China dalam lafal Mandarin. Dia pernah cerita seperti itu dulu. Bukan dalam dialek Hokkian, sub-etnis yang banyak bertandang ke Jawa di tahun-tahun itu. Jadi, nama itu sangat tidak lazim dimiliki oleh orang-orang China di pulau tersebut. Terlebih marganya, Cui. Marga itu bukan marga lazim di kalangan sub-etnis Hokkian!

Aku jadi ingat. Beberapa bulan lalu kutonton serial China dimana tokoh utamanya mengalami kecelakaan lalu jiwanya terbang melewati batas waktu dan mendarat di tubuh seorang gadis bangsawan Manchuria di zaman pemerintahan Kangxi.

Ada juga serial, dari negara sama, berkisah tentang seorang gadis yang oleh suatu benda, terbawa pergi bersama tubuhnya ke zaman yang sama dengan cerita yang kutonton itu.

Lalu sahabat dunia mayaku itu, mengalami kejadian yang sama dengan serial yang kusebut tadi? Tapi teleport melompati dimensi waktu, mungkinkah?

*#*#*

%d blogger menyukai ini: