19 – Cui Sinshe, Cui Sinshe, Cui Sinshe
Bagian satu
Tanah basah karena hujan semalam. Namun basahnya tanah gue kira tidak menghalangi niat jalan-jalan, sekedar piknik di bawah rindang pohon dekat kanal. Terlebih Hien Nio, Ketip dan Ketut sudah menyiapkan bekal yang cukup untuk dua puluh orang meskipun peserta piknik hanya sepuluh. Kata mereka, selera makan gue besar bisa menghabiskan jatah dua orang sekaligus. Made juga demikian. Jadi membawa berlebih adalah pilihan tepat.
Selain kami, sebenarnya masih ada seorang kusir karena Hien Nio tidak bisa menunggang kuda dan harus naik kereta. Lalu Alau, pelayan kami yang jago kuntao. Gue menyuruhnya ikut karena menyadari Ommelanden bertambah rawan.
Merangkul Hien Nio dengan tangan satu dan satunya lagi menggandeng Gwat Nio, bukankah kami layak menjadi bintang iklan keluarga bahagia? Sayang, di zaman ini belum kenal istilah ‘keluarga berencana’ dan semacamnya. Namun menurut Made, kami ini lebih mirip dengan seorang kakek, anak dan cucu yang berjalan berdampingan dengan rukun. Dia memang selalu menertawakan jarak umur kami.
Sampai di tepi kanal, yang perempuan menggelar tikar anyaman bambu di tanah beralas rumput basah. Karena sekarang belum masa panen tebu, air yang mengalir tak seberapa kotor. Jadi, acara piknik kami tidak akan terganggu dengan bau comberan.
Asiu hanya berjalan santai tak jauh dari tempat para perempuan duduk. Kaki cacatnya membuat dia segan jalan kaki dalam jarak cukup jauh. Sedangkan Made membawa anak yang sulung mengikuti gue dan Gwat Nio menyusuri tepian kanal.
“Apeh, gendong,” Gwat Nio mulai meluncurkan jurus rengekan. Jurusnya sangat hebat. Membantah dia hanya membuang waktu saja karena anak itu pandai membuat orang dewasa kelimpungan dengan segala pertanyaannya.
Gue berjongkok dan membiarkan Gwat Nio naik ke punggung. Berjingkrak kegiranganlah dia menemplok di punggung seperti anak kangguru. Perumpamaan tidak tepat, anak kangguru berada di kantung induknya yang terdapat di bagian depan, sekitar perut. Pokoknya dia ini menempel di punggung dengan kaki menyantol erat di pinggang gue. Sangat senang.
Tak tahukah dia bobotnya selalu bertambah dari waktu ke waktu? Dan dengan umur gue yang juga beranjak menua, beban yang diterima punggung gue semakin menjadi. Tapi mana mungkin gue tega menolaknya?
Lelah jalan sambil menggendong anak, gue putuskan untuk kembali pada kawanan perempuan. Makan bekal yang dibawa lalu tidur di bawah pohon dengan dibelai angin, pasti suatu hal yang sangat nikmat. Apalagi kalau Hien Nio merelakan pahanya menjadi bantal gue. Cuma satu yang kurang, MP3 player.
Membalikkan badan dengan membayangkan semua itu terjadi, namun ternyata hanya angan-angan semata. Bagaimana tidak? Di sana istri gue dikepung oleh setidaknya sepuluh orang perampok yang membawa aneka senjata. Dia terlihat sangat ketakutan dan pucat. Nyaris pingsan oleh trauma yang tiba-tiba mendatangi.
Ketip sama tegangnya. Padahal gue kira ia tidak tahu apa yang telah menimpa nona majikannya dalam masa tamasya dulu—yang mempertemukan gue dengan Hien Nio. Asiu sangat tegang terlebih kusir kami. Sedangkan Alou terlihat sangat waspada berjaga di sisi Hien Nio. Kemampuan dalam bela diri sedikit banyak mengurangi rasa takut, tak hanya pada gue, juga Alou.
Cepat-cepat gue mendatangi mereka. “Siapa yang berani ganggu istri gue?” teriak gue menegur. Posisi gue masih di belakang mereka waktu itu, kiranya ada sekitar posisi tenggara jika mereka menghadap utara. Gue sudah hampir melepas baju atasan bermodel jubah tangzhuang yang bagi gue terlalu tidak praktis dan membuat jurus-jurus tak akan keluar dengan maksimal. Lagipula itu baju dari kain mahal yang dibeli Hien Nio untuk gue. Sayang rasanya kalau sampai kotor terkena lumpur ataupun darah perampok.
Salah seorang dari perampok menoleh karena mendengar teriakan gue. Seketika wajahnya terlihat kaget ketika mata kami saling bertatapan. Kemudian orang itu mencolek kawan di sebelahnya. Dua perampok sekaligus menolehkan kepala ke arah gue.
Gue kaget. Dan yakin mereka sama kagetnya. Matanya menatap gue dengan pandangan tak percaya. Seolah-olah di punggung gue bukan anak melainkan sepasang sayap malaikat.
Mendadak gue merasa sedang berada di sebuah sinetron konyol. Si Brewok Ong! Yah, perampok yang mengganggu istri gue saat ini adalah kawanan si Brewok. Lelucon konyol!
“A… Aru…???” matanya terus menatap gue dan sepertinya memperhatikan secara detail apapun yang tertempel di badan gue. Dari mata, alis, mulut, hidung, jakun, baju dan lain-lain.
“Salah! Nama gue Enru. Kuping lu budek atau tuli?” tegur gue asal. Gue turunkan Gwat Nio dari gendongan namun anak itu tetap berdiri di belakang gue. Menempel rapat. Mungkin bingung dan takut.
Tidak bosan-bosannya si Brewok Ong menatap gue dari atas ke bawah lalu kembali ke atas. “Jadi… lu… bukan petani sewa?”
“Apa gue pernah bilang begitu?”
Dia menggelengkan kepalanya. Diam sesaat lalu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Tawanya membuat Gwat Nio menutup kuping cepat-cepat dengan mengeryit takut.
“Jadi lu ini… adalah…?”
Sudah sampai seperti ini, sebenarnya dengan mudah dia bisa menerka. Setidaknya pasti bisa menerka gue punya hubungan dengan keluarga Ni. Maka gue biarkan dia mengeluarkan terkaannya terlebih dahulu. “Menurut lu?”
“Salah satu shaoya dari keluarga Ni?”
Gue menyengir dan menggelengkan kepala. “Sayangnya gue tidak seberuntung itu, lahir dan besar di keluarga sangat kaya.”
Kami terdiam. Hanya suara burung yang terdengar mengiringi bungkamnya kami. Burung itu mungkin sengaja bersuara untuk mengacaukan proses berpikir si Brewok Ong atau sedang mengejeknya karena memikirkan hal seperti itu saja membutuhkan waktu cukup lama.
“Lu… menantu keluarga Ni? Orang she[1] Cui itu?”
Gue menyengir. Kali ini tanpa menggeleng pun mengangguk. Hebat juga. Rupanya status gue demikian terkenal sampai perampok saja tahu marga si Menantu Keluarga Ni.
Menantu keluarga Ni bermarga Cui.
Bagian dua
Mengingat akhir kejadian si Brewok tahu siapa gue selalu membuat tertawa cekikikan nyaris tanpa henti. Dia waktu itu berjanji seperti ini, “Mulai sekarang siapapun yang berhubungan dengan Cui Sinshe tidak akan kami ganggu.” Kalimat tersebut diucapkan dengan sangat lantang seperti seorang pramuka membacakan sumpah setianya.
Kemudian anak buahnya menimpali begini, “Benar, tinggal sebut nama Cui Sinshe tiga kali.” Entah dia benar-benar serius atau sekedar bercanda, tapi mukanya itu tidak terlihat sedang main-main. Mendengarnya saat itu membuat gue merasa seperti sedang membaca judul film lokal di Jakarta dulu. Ah… gue tidak ingat jelas judul film itu pokoknya ada kata ‘tiga kali’. Rasanya gue jadi sebuah mantra gaib pengusir setan. Tak pelak, gue kembali tertawa cekikikan.
“Toahnia tertawa terus,” tegur Asiu memamerkan senyumnya. Sudah lama senyum itu tak terlihat. Hari ini bisa melihatnya seperti itu membuat hati gue cukup tenang. Asiu masih waras, pikir gue.
“Teh, Toahnia?” ujarnya menyodorkan poci teh.
Gue mengangguk dan menyuruhnya untuk menaruh di meja. Selagi itu, tawa cekikikan belum juga bisa dipadamkan. Tapi akan padam sebentar lagi, gue yakin itu. Karena bayangan Kok terlihat di seberang koridor bergerak ke arah tempat gue berada.
“Ya.”
Ding dong! Tepat! Tawa gue langsung berhenti mendengar sapaannya dengan nada berat. “Katakan.”
“Bisakah Anda datang ke rumah?”
“Ada apa di rumah?” bicara dengannya selalu menurunkan mood bercanda sampai titik terendah, nol!
“Rasanya tidak ada yang penting. Tapi It Shaoya bersikeras agar Anda segera menemuinya.”
Artinya adalah mau tidak mau gue tetap harus datang. Sebal! Mudah-mudahan saja tidak ada urusan penting seperti meminta gue menggantikannya menghadiri suatu rapat atau pertemuan dengan meneer pun para letnan. Mudah-mudahan dia memanggil gue hanya karena urusan musik.
Gue mengangguk lalu meminta Asiu agar memanggilkan pelayan agar kuda disiapkan. Sementara itu, gue berganti pakaian.
Karena hari ini senggang tanpa pekerjaan, dan harusnya tak ada rencana pertemuan, gue pakai pakaian yang sangat sederhana—semacam kaos oblong. Udara memang tidak sedang panas—berhubung dalam masa musim hujan—tapi gue merasa nyaman dengan baju santai seperti ini. Memakai baju macam ini membuat gue serasa ada di rumah menunggu Mama dan Lala menyiapkan suatu cemilan dengan tak hentinya main game PS atau sejenisnya. Pergi dalam baju seperti itu terlalu keterlaluan, pasti. Karena gue menyandang status sebagai mantu keluarga Ni. Jadi harus jaga muka. Lagipula, gue ini pengusaha. Rasanya seperti orang tak berpunya kalau berpergian dengan baju begitu. Nanti bisa menurunkan kapabilitas gue di muka calon klien. Barabe!
Setelah sekitar satu setengah jam lamanya menunggang kuda dikawal oleh Kok, pintu gerbang rumah Ni Hoe terlihat. Gue dan Kok masuk dengan meninggalkan kuda di sana. Menurut sepengetahuan gue, Kok juga tidak akan pergi ke kandang kuda. Akan ada pelayan kecil yang membawa kuda ke kandangnya sementara Kok melayani kebutuhan Ni Hoe. Tugas Kok serupa dengan asisten pribadi.
Ni Hoe menunggu gue di ruangan tempat dia menyimpan beragam alat musik. Untuk hal yang satu ini perlu gue syukuri teramat sangat. Tentu saja, karena itu adalah pertanda bahwa pemanggilannya hanya terkait dengan hobi bermusiknya. Mungkin ia sudah mendapatkan intonasi nada gabungan alat musik beda budaya tersebut.
Ruangan yang biasanya sunyi hari ini riuh oleh belasan orang. Setiap orang itu memegang alat musik yang berbeda jenis. Gue terpana, tak menyangka Ni Hoe akan mewujudkan mimpinya secepat ini. Dan yang akan gue tahu kelak adalah musik yang dihasilkan Ni Hoe ini di kemudian hari disebut dengan gambang keromong.
Ni Hoe memberikan aba-aba pada mereka lalu dengan harmonis sebuah perpaduan suara dari beragam alat musik itu dimulai. Merdu. Indah. Mendengarnya membuat gue terpana tak bisa mengatupkan kedua bibir.
Musik itu seuntai lagu asing di telinga gue yang dulu terlalu sering dibuai oleh beragam jenis musik Barat. Dari pop, jazz, rock sampai musik pop Indonesia—beberapa gue dengar karena menjadi tuntutan pekerjaan dan pergaulan. Sedangkan musik yang di kemudian hari dinamai gambang kromong ini, gue belum dengar. Apalagi dengan hadirnya seorang penyanyi perempuan yang berdendang dalam dialek Hokkian.
“Bagaimana pendapat Ahnia?” pertanyaan Ni Hoe membangunkan gue dari keterpanaan tak berunjung.
Gue menjawabnya dengan beberapa anggukan. Ketika gue berhenti mengangguk, musik itu juga selesai dengan sempurna.
“Musik ini akan disuguhkan pertama kali pada saat sinnien nanti.”
“Kalau begitu saya sangat beruntung bisa menjadi pendengar pertamanya. Sungguh, Cihu, mereka sangat fantastik. Cihu sangat berbakat dalam bidang musik.”
“Gua anggap pujian Ahnia sebagai gemblengan. Kalau Ahnia berkenan, bulan depan—mungkin—satu repertoar lagi sudah bisa ditunjukkan. Ahnia bisa membantu untuk menilainya apakah layak diperdengarkan pada rekanan keluarga.”
“Sepakat. Pasti akan datang.”
Sekalipun siang ini gue kehilangan masakan kolaborasi Hien Nio dan Ketut, tak ada rasa sesal. Keindahan musik tadi dengan anehnya membuat perut gue kenyang. Bahkan dengan semangat yang ajaib, perbincangan dengan Ni Hoe—dimana hari ini khusus tentang musik—berlanjut hingga sore menjelang.
“Cihu, jangan lupa janji tadi,” kata gue sebelum pulang. Tak sabar menanti bulan depan untuk sajian sebuah gambang hasil kerja ipar gue itu.
Bagian tiga
Menurut penuturan orang-orang, laki-laki pada usia empat puluhan tahun berada pada masa puber kedua. Tak tahu apakah itu benar atau salah karena yang berhak menilai adalah orang lain, bukan gue. Tapi yang jelas, pada beberapa sisi gue merasa cocok berhubungan dengan Ni Hoe.
Gairah Ni Hoe yang masih dalam usia produktif membangkitkan beberapa impian. Membicarakan masalah seni misalnya, menggabungkan beberapa macam gaya menjadi topik menarik bagi kami. Bagi gue asal tidak membicarakan masalah jabatan kapiten—yang berkali-kali membuat gue merasa menyesal telah melancarkan kampanye politik untuknya—semua terasa baik.
“Ahnia, mari gua kenalkan pada seorang teman. Kalian pasti akan cocok,” ujarnya setelah memperdengarkan lagu yang lain namun tetap membuat gue terpesona. Terkait dengan musik, baru sekarang gue sadar musik klasik China dipadu dengan alat musik lokal terdengar lebih baik dari raungan seorang rocker. Pantas gadis-unik begitu mengelu-elukan musik jenis itu.
Sambil tersenyum ramah, gue hendak mengulurkan tangan mengajaknya berjabatan tapi tangan orang itu tak bergerak ke arah sama. Lupa gue ada di abad ke-18. Kemudian gue katupkan kedua tangan di dada dengan tangan kanan terkepal berada di dalam perlindungan telapak tangan kiri. Gerakan yang bikin gue ingat pada film kungfu kesukaan Papa.
Namanya… Ugh kenapa gue lupa namanya? Marganya Ong. Banyak orang China bermarga Ong jadi dia belum tentu saudara dekat dari si Brewok. Pekerjaan Ong kali ini juga berbeda dari Ong yang sudah lebih dulu gue kenal, Ong yang di depan gue sekarang pelukis sekaligus pemusik.
Tata kalimat dalam bahasa Melayu-portugis kacau, mengingatkan gue pada Peng Guan, berarti dia belum lama datang. Mudah-mudahan dia bukan pemberontak juga. Tapi lihat dari rambutnya yang setengah botak itu, harusnya bukan.
“Siapa pelukis yang Anda suka?” tanyanya.
Gue mengeryit dan berpikir keras. Terus terang, seorang Enru tidak begitu kenal karya-karya pelukis klasik—terlebih dari China. Ingat, gue belajar hanya karena terpesona pada lukisan Peng Guan. Sebelumnya jenis lukisan gue lebih mirip dengan karikatur. Dan dulu, ketika masih berinteraksi dengan software desain, gayanya lebih ke arah futuristik.
“Van Gogh? Lee Man Fong?” gue katakan dua nama tersebut dengan suara lamat. Lalu menambahkan keterangan dengan suara biasa, “Jujur, gue tidak begitu kenal pelukis klasik. Gue baru mempelajarinya sepuluh tahun lalu ketika tiba di Batavia setelah melihat lukisan seorang rekan.
Dia kecewa dengan jawaban itu. Demikian pula gue. Harusnya gue gunakan fasilitas sebagai menantu keluarga Ni dengan sebaik mungkin, misalnya untuk akses buku-buku koleksi keluarga. Seperti dulu, yang gue lakukan di rumah Yo Sinshe.
Hening mewarnai ruangan sesaat sebelum akhirnya Kok mengetuk pintu dan mengatakan Asiu menunggu untuk suatu urusan penting.
“Maaf Cihu, ternyata ada urusan yang membuat obrolan ini terputus. Ong Sinshe, saya permisi.”
Setelah berpamitan, gue tinggalkan mereka dalam ruangan tersebut. Tak dipungkiri, Ong satu ini cerdas dalam urusan musik dan lukis. Gue jadi ingat pada isi perkataan Yo Sinshe dulu, seorang cendekiawan wajib menguasai sastra, musik, lukis dan catur. Maksudnya adalah catur China yang dulu—sebelum bertemu Yo Sinshe —gue kenal dengan sebutan igo.
Dia sebenarnya orang yang layak gue jadikan teman. Cerdas, berpengetahuan. Mudah-mudahan, gue bisa menyamakan ilmunya dan menjadi lawan bicara dia yang seimbang, di kesempatan berikutnya. Gue harap.
“Toahnia, mister Dirck minta konsepnya selesai besok,” lapor Asiu ketika kami bertemu di taman belakang ruang tamu.
“Oke. Yuk, pulang.”
Bagian empat
“Ahnia, Oey Nionia tadi kembali mencarimu.”
Gue anggukkan kepala tanda sudah tahu. Sambil tetap berbaring di dipan meliriknya yang masih hilir mudik merapikan pakaian bekas kami seharian ini.
“Mengingat hubungan kalian di masa lalu…”
“Gue tidak punya hubungan apapun dengannya, Hien Nio,” kata gue secepat mungkin. Baru kemudian menyadari kecepatan gue menjawab seolah-olah seorang anak yang sedang menutupi kebohongannya. Gue desahkan nafas dengan berharap Hien Nio tidak berpikiran apapun.
“Menurut gua dia sempat jatuh hati pada Ahnia.”
Gue tatap Hien Nio dalam dengan harapan ia tidak akan membicarakan masalah itu lagi. “Gue mohon, kita tidak perlu membicarakan masalah ini.”
Dia terdiam, lalu ujarnya dengan nada menyesal, “Maaf.”
“Akan gue temui dia besok. Hien Nio …, semua masalah ini biar gue dan Toahnia-lu yang pikirkan, mengerti? Lu tak perlu memikirkan masalah apapun.”
Melihat anggukannya, gue hembuskan nafas dengan tenang.
Yo Sinshe benar-benar sudah terpuruk saat ini. Gue dengar otaknya mulai tidak waras. Ia menghamburkan uang di jalanan sambil tertawa aneh. Tindakannya seolah-olah hendak memamerkan pada kami bahwa ia masih punya uang untuk disebar. Padahal, budak-budak di sekelilingnya sudah nyaris habis. Jika dulu ia bisa keluar dengan membawa dua belas budak sekaligus—jika gue turut serta—kini menggenapi penggotong satu tandu saja kurang.
Apakah pembalasan dendam gue keterlaluan? Remaja di Jakarta pasti mengatakan gue sedang galau. Yah, gue lagi bingung. Tak gue pungkiri ada belas kasihan melihatnya sampai di taraf itu. Pengetahuan berdialek Hokkian, lukisan gaya China klasik termasuk pula berkuda gue dapat dari orang-orangnya yang diperintahkan untuk mengajari gue. Tapi masalah ini bukan gue seorang yang mengatur. Gue hanya bagian kecil. Ni Hoe yang mengatur sisanya.
Bagaimana mungkin gue membujuk Ni Hoe untuk menyudahi pembalasan dendam ini? Anak muda itu termasuk orang yang cukup berbahaya. Di balik ketidakpeduliannya pada tanggung jawab sebagai kapiten, persiteruan tanpa pangkal dengan letnan bawahannya, dan tentu saja bakat musik itu, dia tetaplah pebisnis sejati. Dalam dunia bisnis, saling menjatuhkan bukan hal yang tabu. Untungnya gue, tak seorang pun berpikiran membangun usaha sama kaya gue punya.
Kembali gue mendesah.
Selagi itu hujan lebat kembali datang. Suara gemuruh guntur bersahutan seperti sekawanan anjing menyalang di musim kawin.
“Hujan lagi,” rintih istri gue yang rupanya belum lelap tidur.
“Hujan juga suatu hal yang baik.”
“Tak baik di Batavia. Grootegracht bisa menguap jika seperti ini terus.”
Yang dipikirkannya adalah ibu dan saudara tirinya. Ada benarnya. Karena rintik air selalu datang setiap hari kadang pagi, siang, sore atau malam. Tak jarang nyaris sepanjang hari. Padahal, kali yang disebutnya itu sudah mengalami pendangkalan, tak mungkin menampung air yang dicurahkan terus menerus dari langit. Banjir tak hanya masalah Jakarta, rupanya.
Angin lembab yang dingin masuk ke kamar dari sela pintu dan jendela. Gwat Nio tidur di kamarnya menyisakan kami suami istri. Gue tak ingin terbebani oleh masalah balas dendam juga belas kasihan. Pula tak ingin istri yang tidur di samping gue memikirkan hal lain. Acara berikutnya tentu tak perlu dikatakan.
*#*#*
Catatan kaki:
[1] She: marga