Lanjut ke konten

20 – Putra Ibu Pertiwi

Bagian satu

Ya,” panggil pelayan menghadap gue dengan membawa selembar kain.

Lagi-lagi si Brewok Ong. Kali ini mau apa lagi perampok satu itu?

“Ambilkan kuda. Gue tunggu di depan.”

Ia membungkukkan badan lalu mundur dari gue beberapa langkah baru berlarian ke kandang kuda.

Kali ini gue pergi tanpa mengganti pakaian lagi. Toh dia sudah tahu identitas gue jadi ganti baju bukanlah hal yang penting—selain menyamarkan diri dari orang lain. Jadi, begitu kuda sampai di hadapan, gue tunggangi dia pergi ke tempat perjanjian biasa.

Si Brewok Ong telah menanti di sana. Gue perhatikan setelah identitas terungkap, dia bersikap cukup sopan ke gue. Dia tidak lagi menyebut ‘lu-gua’, justru memanggil gue dengan sebutan ‘sinshe’. Mungkin karena tahu gue yang membebaskannya dari Stadhuiz dan merasa hutang budi, entahlah.

“Kenapa lagi?” tanya gue sambil turun dari kuda. Di saat yang sama, ia berusaha membantu dengan memegangi kuda—sekalipun kuda itu sudah begitu jinak hingga tak akan membanting gue dari punggungnya.

“Cui Sinshe, boleh saya panggil Anda Toahnia?”

“HAH?”

“Anda yang mengeluarkan saya dari penjara Stadhuiz. Anda pula yang mengatur strategi menjebloskan orang bermarga Peng. Anda cerdas, lebih cerdas dari saya.”

“Sebentar,” kata gue masih meragukan apa yang didengar oleh kedua telinga sendiri. “Lu bilang apa? Panggil gue Toahnia? Ga salah?”

Dia terdiam dengan wajah murung. “Saya tahu hal ini tak pantas,” ujarnya setelah sekian waktu terdiam. “Saya perampok. Sedangkan Anda….”

Jawaban itu membuat gue tergagap tak tahu harus bagaimana menjawabnya. Jujur, ada keinginan untuk tidak membuatnya tersinggung. Seandainya gue bukan menantu keluarga Ni. Seandainya gue masih sama dengan Enru di masa awal menyasar ke Batavia. Atau masih Enru di masa jaya biro perencanaan marketing dulu. Permintaannya itu sebenarnya bukan suatu hal yang memberatkan. Gue suka berkawan dengan siapapun. Namun status sekarang membuat gue harus berpikir ribuan kali sebelum dapat menjawab permintaan tersebut.

Bibirnya menegang, sama dengan anggota tubuh dia yang lain. Kelihatannya si Brewok Ong menahan banyak kekecewaan dan kemarahan karena sikap diam gue. Lebih baik gue bicara sesuatu sebelum dia mengajak berkelahi di sini.

“Seandainya gue bukan menantu keluarga Ni, apa lu tetap ingin memanggil gue Toahnia?”

Tiba-tiba tangannya maju. Demikian cepat tangan tersebut melaju. Sangat jelas sasarannya gue. Gue pun menangkis dengan gerakan sama cepat lalu mencengkram tangan itu erat di hadapan muka kami.

Tampak sedikit wajah khas orang terkejut pada mukanya sebelum mengerang seraya mengamuk, “Dasar orang kaya! Mana ada orang kaya mau berteman dengan gelandangan, perampok.”

Tangan itu masih dalam cengkeraman gue. Sekarang baru gue lepas dan berusaha bicara tanpa emosi yang sama dengannya. “Masalahnya adalah gue menantu keluarga Ni. Segala tindakan gue berpengaruh pada keluarga itu. Lu ingin gue dipaksa bercerai dari istri gue?”

“Anda tak ingin melepaskan kekayaan keluarga Ni?”

Gue gelengkan kepala. “Gue sayang Hien Nio dan tak ingin dipisahkan dari anak gue.” Gue menatapnya, meminta agar si Brewok bisa tenang sedikit. Dasar perampok. Sedikit-sedikit langsung main tangan. “Kalau hanya ini yang ingin lu katakan, gue pulang.”

“Bahkan berteman pun tak mau?” nadanya keras. Gue tahu dia pasti akan sakit hati.

“Selama ini dan ke depan lu anggap gue apa, itu terserah lu. Satu hal yang pasti, gue tak pernah menganggap lu sebagai musuh.” Ketika mengatakannya, gue sudah duduk di atas pelana kuda. Dan setelah selesai bicara, gue pacu kuda untuk pergi. Berteman adalah berteman. Namun gue tak ingin pertemanan dengan mereka membuat hubungan gue dengan keluarga Ni bermasalah. Apakah salah dengan sikap ini?

 

Bagian dua

Ahnia,” seru Hien Nio menghampiri gue dengan langkah tergesa-gesa. Langkah yang membuat gue kuatir akan mengakibatkan dia terjatuh. “Anakmu jatuh dari pohon.”

Hanya ada satu anak di rumah ini, Gwat Nio. Dia anak gue walau bukan anak kandung. Berarti si lincah Gwat Nio yang jatuh? Mengapa Hien Nio begitu panik? Apa jatuhnya bukan seperti biasa? Dia terluka parah?

“Lalu bagaimana?”

“Kepalanya berdarah,” ini dikatakan Hien Nio dengan suara tertahan seperti dicekik. Artinya kondisi Gwat Nio cukup parah di matanya.

Segeralah gue berlari menjumpai Gwat Nio yang menurut perkiraan ada di kamarnya sendiri.

Anak itu duduk di bangku sembari merintih sementara itu darah mengalir dari kulit di dahinya. Matanya merah berair namun tidak—mungkin bekas—menangis. Di dekatnya, tabib tua langganan dan yang dipercaya keluarga Ni sedang membersihkan luka lalu membalut dengan perban dibantu oleh Ketip.

“Sakit, Sayang?”

Apeh…..” Mendengar suaranya gue kira ia akan merajuk atau menangis. “Kenapa kalau jatuh kita bisa berdarah?”

“Anak pintar,” puji tabib tua terdengar di telinga. “Karena di balik kulit ada darah yang mengalir. Luka itu membuat darah itu keluar dari jalur.”

“Kenapa ada darah? Jalur seperti apa itu? Apakah seperti jalanan kuda?”

“Ya. Kurang lebih mirip seperti itu,” jawab gue. “Sakit, Sayang? Apa saja yang lu lakukan seharian ini? Mengapa bisa jatuh dari pohon?”

“Rambutannya sudah merah. Gwat Nio mau petik buat Apeh dan Abuh.”

“Lu bisa minta tukang kebun.”

“Tapi Apeh bilang, apa yang kira-kira bisa dikerjakan sendiri, jangan minta bantuan orang lain. Gwat Nio bukan anak manja. Gwat Nio juga tidak mau jadi anak manja.”

Gue terdiam kaku. Bingung harus menjawab apalagi. “Bagaimana jatuhnya?”

“Kepleset.”

Membayangkan apa yang dilakukannya persis sebelum terjatuh tadi, gue sedikit bingung. Kepleset saat memanjat pohon bukankah kepala bagian bawah yang terantuk tanah? Mengapa dahi Gwat Nio yang berdarah?

“Lalu mengapa dahi lu sampai seperti itu?”

“Gwat Nio balikkan badan. Maksudnya biar bisa jongkok seperti kata Apeh. Tapi terlambat…,” dia merengut takut gue akan marah.

Gue hela nafas begitu gemas. Mau marah pun tak bisa marah. Lagipula gue tak pernah bisa marah padanya.

Abuh marah, Apeh. Kata Abuh, Gwat Nio terlalu liar. Apa benar begitu, Apeh?”

“Dengar kata Apeh. Abuh marah karena dia peduli dan sayang. Dia tidak ingin melihatmu terluka di sana-sini.”

“Tapi Gwat Nio ingin ambil rambutan itu untuk Apeh dan Abuh.”

“Sudah selesai, Sayang. Tak lama lagi pasti sembuh,” ujar tabib membereskan peralatannya. “Cui Sinshe, boleh kita bicara?”

Gue anggukkan kepala dan mempersilahkannya keluar bersama gue.

“Anak itu sifatnya sangat berbeda dari Kouwnio di usia dia.”

“Rasanya begitu.”

“Mungkin dia mirip dengan Cui Sinshe?”

“Kukira ia mirip dengan Cece,” jawab gue memaksakan senyum. “Sebenarnya apa yang hendak disampaikan?” gue rasa kondisi Gwat Nio tak perlu dikuatirkan sampai harus bicara empat mata.

Dihembuskannya nafas barulah ia bicara dengan suara perlahan seolah pembicaraan kami begitu rahasia. “Kouwnio mengatakan usaha kalian untuk mendapatkan adik bagi Gwat Nio belum juga membuahkan hasil.”

Gue anggukkan kepala membenarkan. Sementara itu, langkah kaki kami terus bergerak menjauhi kamar Gwat Nio.

“Saya sudah periksa kesehatan Kouwnio. Rahimnya sangat baik. Seharusnya Sinshe dan Kouwnio bisa mendapat beberapa anak. Namun anehnya tidak terjadi. Apakah saya boleh memeriksa Sinshe?”

Tanpa sadar gue sembunyikan kedua tangan ke belakang, seperti anak yang ketahuan mencuri. Berkaitan dengan sikap gue, dia memandangi bingung seolah sedang bertanya, ‘ada apa, Sinshe?’ dan ‘apa yang disembunyikan?’.

“Tidak perlu. Mungkin karena sepanjang tahun gue selalu sibuk bekerja.”

“Atau perlukah buatkan resep untuk meningkatkan stamina Anda?”

Gue anggukkan kepala kaku. Jantung berdetak kencang demikian gugup. Seperti yang pernah gue katakan, gue takut sumpah perempuan dulu itu menjadi kenyataan dan asal muasal Gwat Nio menjadi bahan gosip.

“Minum obat itu setiap hari, Cui Sinshe. Namun akan lebih baik lagi jika diizinkan memeriksa Anda. Masalah itu akan jelas dan penyelesaiannya bisa lebih baik.”

“Gue kira tidak perlu,” sahut gue tetap kaku.

Nampak dia berusaha menyabarkan diri sendiri. “Kalau Sinshe Cui berubah pikiran, panggil saya. Sudah puluhan tahun saya dipercaya keluarga Ni, seharusnya Anda tidak perlu meragukan saya.”

“Itu bukan maksud gue.”

“Saya mengerti. Permisi.”

Kepala gue terangguk kaku. Gue pandangi dia yang berlalu dari hadapan. Semakin lama semakin jauh. Setelah tabib tersebut tak terlihat, gue hembuskan nafas lelah lalu menghampiri Gwat Nio kembali.

Apeh kenapa? Gwat Nio tidak apa-apa, Apeh.”

Gue gelengkan kepala sebagai jawaban. “Luka lu masih sakit?”

Ia menggelengkan kepala dengan semangat, berusaha membuat gue tidak kuatir.

“Tapi Gwat Nio sedih karena Abuh marah pada Gwat Nio.”

“Biar Apeh jelaskan pada Abuh. Sekarang lu istirahat, ya,” gue bimbing dia ke dipannya, menyelimuti lalu meninggalkan kamarnya.

Jauh dari kamar Gwat Nio gue desahkan nafas seperti orang yang kelelahan. Tubuh tidak lelah, tapi ganjalan dalam hati membuat pikiran gue sangat lelah. Dalam keadaan seperti itu, gue masuk ke kamar dan menutup pintu. Setelah menutup pintu, gue hanya berdiri di balik pintu melamun. Hien Nio melepas pakaian luar yang kotor oleh debu dan menawari pilihan air untuk mandi atau hanya ingin membasuh saja.

Gue pilih yang terakhir. Seperti orang linglung, gue hampiri baskom mengambil air dengan handuk yang disiapkan Hien Nio namun kemudian berubah pikiran. “Gue mau mandi.”

Gue mendengar teriakannya memanggil Ketip. Dan ketika pelayannya datang, ia menyuruh Ketip agar memanaskan air untuk mandi.

“Mengapa Ahnia tak mau diperiksa? Bukankah Ahnia dulu mengatakan ingin punya anak? Ingin memberikan adik bagi Gwat Nio?”

Gue diam. Dengar memang dengar. Tapi gue tidak paham serenteng kata yang diucapkan Hien Nio itu. Segala macam pikiran membuat tiga kalimat tadi hanya serupa dengan bunyi klakson kereta didengar untuk segera dilupakan.

Ahnia. Ahnia!” ia berseru dengan mengguncangkan badan, membawa gue kembali dari lamunan panjang.

Ahnia tak mendengar? Pasti begitu.”

“Maaf, hari ini gue sangat lelah. … Gwat Nio ingin mengambilkan rambutan untuk kita, mengapa kamu marahi dia?” tanya gue berusaha mengalihkan pembicaraan.

Ahnia… apakah Ahnia menyerah? Tak ingin lagi memberikan adik untuk Gwat Nio?”

Gue menggelengkan kepala. Tentu tidak benar. Gue ingin punya anak juga ingin memberikan Gwat Nio adik. Mungkin satu atau dua. Masalahnya adalah gue terlampau takut menghadapi kemungkinan bahwa gue… impoten.

“Bisakah kita tidak bicarakan masalah ini lagi?”

“Mandilah. Gua siapkan baju ganti.” Ketika Hien Nio bicara, Ketip baru datang melaporkan air untuk mandi sudah siap.

 

Bagian tiga

Toahnia, tiyang[1] dengar banyak orang Tionghoa ditangkap pemerintah. Di jalan mereka ditendangi dan dipukul,” lapor Made terburu-buru. Seolah-olah berita itu begitu penting bagi gue.

Gue tatap Made meminta dia diam. “Itu bukan urusan kita. Lu kerjakan saja tugas lu.”

“Tapi Toahnia juga Tionghoa.”

“Gue punya rumah. Juga adik ipar kapiten Tionghoa. Harusnya tak akan ada masalah.”

Gue bisa saja bicara demikian, namun hati ini mulai merasakan kekuatiran. Setahu gue, kepala bagian urusan pribumi yang baru demikian benci pada orang Tionghoa. Entah apakah status gue bisa menjamin hidup dengan aman.

Ya, It Shaoya mencari Anda,” ujar Kok di pintu ruangan.

“Ada masalah apa?”

“Untuk mendiskusikan masalah Ong Sinshe. Beliau ditahan meneer Holana.”

Mata gue terbelalak mendengarnya. “Ong Sinshe yang pelukis itu?” seru gue.

Dia mengangguk membenarkan. Melihatnya, gue terlonjak dari kursi dan buru-buru pergi. Ong yang itu bukan pengemis juga bukan pengacau. Dia jalani hidupnya sebagai warga baik-baik.

Meneer itu benar-benar sialan!

Sampai di Stadhuiz, tanpa ba-bi-bu, gue sogok sipir lalu mencari tempat Ong ditahan. Satu demi satu sel penjara gue perhatikan. Dari ujung sampai ujung. Setiap sel sangat penuh hingga penghuninya berdesak-desakan.

Gue berteriak memanggil, “Hei, Ong, di mana lu?” kesal karena tak kunjung ingat nama panggilannya. Padahal marga Ong adalah marga umum, akhirnya beberapa Ong dalam sel menoleh. Ah, mereka pasti berharap, merekalah yang gue cari

“Bukan kalian. Bukan kalian!” teriak gue sembari berlalu dan memperhatikan sel-sel lain.

Suara teriakan orang-orang dalam setiap sel sangat keras. Mereka meminta gue juga membebaskan mereka. Tapi tak gue pedulikan. Yang dicari hanya Ong yang gue temui di rumah Ni Hoe.

“Ong! Ong yang pelukis dan pemain musik.”

Penjara semakin ribut hingga para sipir sibuk menenangkan mereka. Dentang teralis yang diadu dengan pedang dan senjata lain menelan kerasnya teriakan gue. Terlebih mereka, para sipir itu, juga berteriak mengancam para tahanan agar diam. Bulu kuduk gue ikut meremang tatkala mendengar isi ancaman. Disebutkan dari siksaan sampai dicemplungkan ke laut dalam perjalanan—ke Ceylon dan tempat koloni kompeni lainnya.

Gue menemukan Ong yang dicari di sel menjelang akhir.

“Hei, Ong. Gue dan Cihu akan mengeluarkanmu. Bertahanlah! Tunggu kami!” kata gue.

Dia menganggukkan kepala seraya mengucapkan terima kasih dengan suara pelan.

Kini, tujuan gue adalah rumah Ni Hoe. Tak terlampau jauh, hanya berjarak sekitar satu sampai dua kilometer di bagian barat Batavia.

Masuk ke dalam rumah, pelayan langsung memberitahu bahwa kedatangan gue ditunggu di ruang baca. Maka, ke tempat itulah gue melangkah dengan tergesa. Masalah yang menimpa Ong memang harus secepatnya diselesaikan. Menurut sepengetahuan gue—hasil dari bertanya pada orang Stadhuiz—kapal yang membawa mereka akan berangkat besok lusa. Jadi, besok Ong sudah harus kami keluarkan. Akan lebih baik kalau hari ini juga.

“Bagaimana, Ahnia?”

“Gampang, berikan saja beberapa ratus … atau ribu uang,” kata gue. “Toh… nego ke sana-mari percuma.”

Bayangan tentang usaha membebaskan Asiu beberapa tahun lalu terbayang-bayang. Waktu itu gue lari pontang-panting, hilir mudik ke stadhuiz demi menawar uang tebusan tapi percuma. Tak ada yang mengerti kesulitan gue mencari uang sampai-sampai rumah yang dibeli dari hasil memeras pikiran dan tenaga harus dijual dengan harga terlampau murah.

Ahnia…,” panggilnya. Tatapannya mengarah dalam seolah sedang menilai apa yang sedang gue pikirkan.

“Maaf, Cihu. Terus terang berhadapan dengan meneer-meneer dalam urusan seperti ini, kurasa saya bukan orang yang tepat.”

“Karena urusan terkait Asiu dulu, Ahnia?”

Gue jawab dengan anggukan lemas. Tak heran kalau dia tahu masalah itu. Ayahnya saja tahu.

“Tapi masalah itu terjadi karena ada orang di balik semuanya, Ahnia.”

“Menurut Cihu, tak ada orangkah dalam peristiwa kali ini? Bagaimana dengan direktur urusan pribumi itu? Dia demikian membenci orang-orang kita.”

“Bukankah jawaban sudah dikemukakan Ahnia di awal? Sogok saja mereka.”

“Saya mohon, Cihu. Saya terlampau ‘lelah’ jika harus menyogok meneer-meneer rakus itu.”

Dia menarik nafas lalu mengangguk. “Baiklah, kelihatannya pekerjaan Ahnia begitu banyak hingga cepat lelah.”

Sampai di sini, gue tak tahu apakah dia bermaksud menyindir atau memberikan perhatian.

“Segeralah istirahat. Dan akan lebih baik lagi jika dari kalian gue dapatkan setidaknya satu orang keponakan lagi.”

Mengapa dia campurkan urusan penyelamatan Ong dengan permintaan satu orang keponakan? Maka, gue jawab dia dengan cengiran dan raut tak berdaya. Anak itu urusan Tuhan. Kalau Tuhan bilang belum, ya sampai terjongkok-jongkok berusaha juga tak mungkin punya anak. Begitu bukan? Ada yang bilang seperti itu ke gue, dulu.

 

Bagian empat

Gue berdiri termangu memandangi ‘pemandangan’ yang tersaji di hadapan. Tak ada indahnya. Hanya ada rasa miris dan kasihan pada mereka yang dalam keadaan dirantai dipaksa berjalan ke pelabuhan Sunda Kalapa lalu menaiki sebuah perahu yang akan mengangkut mereka ke tempat jauh.

Tak ada yang tahu nasib mereka nantinya. Apakah di tempat baru mereka akan mengalami kehidupan lebih baik? Ataukah justru lebih buruk? Mungkinkah mereka justru meninggal dalam perjalanan panjang itu?

“Tuan-tuan kompeni itu tidak bermaksud membawa mereka sampai daerah koloni mereka. Gua dengar orang-orang itu akan dicemplungkan ke laut dalam perjalanan.”

Gue cari asal suara itu. Gue pikir dia tahu apa yang sedang gue pikirkan dan berusaha memberikan jawaban. Ternyata, dia berada di sisi kiri gue dan tengah bicara dengan—mungkin—teman di sisi kirinya. Bukan bicara ke gue. Tapi apa yang dikatakannya memang masuk akal. Gue simak pembicaraan dia dengan orang lain itu, menimbang kemasukakalannya.

Tak semua orang yang dirantai itu bisa diklasifikasikan dengan ‘orang tak berguna’. Ada pula orang-orang seperti Ong yang pemusik dan pelukis itu. Sayang, mereka tak dekat dengan orang-orang kaya yang sanggup membayar uang tebusan bagi mereka. Kepada merekalah rasa miris dalam hati gue tertuju. Orang yang sebenarnya mampu menghidupi diri sendiri dengan bekerja secara benar tapi terkena dampak buruk dari meneer yang membenci manusia bermata sipit.

“Cui Heng?”

Gue cari-cari orang yang memanggil seperti itu. Si Ong yang pelukis dan pemain musik rupanya. Ia berada tak jauh dari tempat gue berdiri.

Gue menganggukkan kepala sekali dan tersenyum lalu berlalu dari orang-orang yang masih menonton arak-arakan tawanan. Dia juga melakukan hal serupa, berlalu dari orang-orang itu dan menuju arah yang sama dengan gue. Tanpa diberitahu, ia telah paham bahwa gue menyingkir untuk memberikan keleluasaan padanya tuk bicara dengan gue.

“Terima kasih atas pertolongan Anda, Cui Heng. Tanpa bantuan Anda, saya termasuk dalam sekawanan orang dirantai itu.”

Gue gelengkan kepala. “Gue tak punya andil. Hanya pemalas yang tak ingin berurusan dengan meneer maruk.”

“Saya dengar saudara angkat Anda pernah mendapat masalah dengan meneer beberapa tahun yang lalu. Dan usaha Anda akhirnya bangkrut karena menutup uang tebusan yang diminta meneer.”

“Ya…, begitulah….”

“Mereka memang sangat serakah. Harta kekayaan tanah ini dirampasnya semata-mata demi keyaan mereka.”

Gue anggukkan kepala atas nama persetujuan.

“Sayang…, tak ada orang yang berani melawan tirani mereka.”

“Ada. Tapi orang-orang itu telah mati. … Dan mungkin belum lahir.”

“Saya kira tanah ini membutuhkan putranya untuk melawan tirani asing.” Sekian lama berhubungan dengan orang-orang Jawa, Bali serta Tionghoa di masa ini, gue akhirnya paham bagaimana istilah ibu pertiwi digunakan. Tapi mengucapkan soal ‘melawan tirani asing’… gila! Gue menatap matanya lekat. Bukankah artinya tentang pemberontakan? Orang ini benar-benar berani bicara hal seperti itu. Apakah dia tak takut kepalanya akan dipenggal karena membicarakan masalah pemberontakan?

Di lain pihak, gue sendiri tak bisa menyangkal, negeri ini membutuhkan para pemberani dan pengambil resiko lebih banyak guna mengusir meneer. Sayang, sejarah telah menyebut Indonesia dijajah sekitar tiga abad lamanya.

“Apakah Cui Heng takut?” Kalimat tanya ini lebih serupa dengan tantangan di mata gue.

Tanpa menjawab, gue langkahkan kaki lebih cepat.

“Cui Heng! Cui Heng!” teriaknya memanggil. Tak seberapa lama, langkah kaki si Ong sudah menyamai gue. “Saat pertama kali bertemu saya kira Cui Heng adalah salah satu dari pemberani itu.”

Gue melotot. Memintanya agar diam.

“Baiklah, saya tak bicara masalah ini lagi.”

Manusia dari mana satu ini? Apakah ia sama dengan Peng Guan yang merupakan kawanan pemberontak dinasti Qing? Apa tujuannya datang ke Batavia? Lalu apa maksud memanas-manasi gue agar mengadakan pemberontakan?

Gue bukan pengecut. Tapi gue masih waras. Para meneer itu tidak bisa diusir hanya dengan kekuatan gue. Benar bukan? Bahkan Sultan Agung saja tidak mampu mengusir. Demikian juga dengan Untung Surapati. Lalu yang kematiannya gue lihat dengan mata sendiri, Pieter Erberveld. Tak mau gue jadi ‘orang gila’ berikutnya. Meneer-meneer itu terlampau licik. Lebih licik dan licin dari Yo Sinshe.

Jangan-jangan Ong Sinshe ini kawan Peng Guan yang menuntut balas atas nama Peng Guan? Ah, khayalan gua keterlaluan. Seharusnya tak ada hubungan. Iya, tak ada.

 

Bagian lima

Setiap pulang ke rumah dari kota Batavia, pasti gue melalui jalan yang diapit pohon-pohon besar di kedua sisi, jembatan yang melintasi kanal lalu jalan setapak di antara rerumputan ini.

Riuh suara burung liar terdengar di sepanjang perjalanan. Tak jarang elang pun terlihat melintas di langit biru. Gue benar-benar suka pemandangan ini. Sayang, pemekaran kota dan bertambahnya penduduk kelak akan membinasakan mereka.

Kali ini, semua tidak berbeda jauh. Burung masih ada. Jembatan, pohon besar dan jalan setapak juga tetap ada. Tapi entah mengapa ada suara-suara yang tidak gue kenali. Suara gesekan rumput padahal sedang tidak berangin. Apakah gue jadi incaran perampok lagi?

“KELUAR!” teriak gue keras.

Suara gesekan rumput berhenti namun tak ada yang menampakkan diri.

“Siapapun orangnya, keluar!” teriak gue sekali lagi.

Kali ini, nampak satu demi satu orang berdiri perlahan. Ong? Si Brewok Ong? Apakah dia benar-benar mau merampok gue?

“Apa yang lu lakukan?”

Dia diam tak menjawab.

“Kalian mau merampok gue?”

Diam.

“Jawab!”

“Tentu saja bukan. Kami masih tahu budi.”

“Lalu apa? Merampok? Siapa yang kalian incar?”

“Masalah itu bukan untuk diketahui sinshe terhormat seperti Anda.”

“Kalian mau merampok orang-orang sebangsa kalian, pribumi atau meneer, hah?”

“Lebih baik Anda pulang. Istri Anda yang cantik dan manis bersama putri Anda yang pintar nan menggemaskan itu menunggu di rumah.”

Gue turun dari kuda lalu menghampiri si Brewok Ong. “Karena melarang lu panggil gue Toahnia, maka itu cara lu membalas, heh?”

Sinshe, Anda benar. Dunia kita berbeda. Anda adalah seorang shaoya, ipar dari seseorang kawanan anjing penjilat meneer. Sedangkan kami harus berjuang demi mendapatkan makan dan agar tidak tertangkap.”

Setelah berkata demikian, ia memimpin anak buahnya meninggalkan gue sendiri. Dalam sekejap, suasana kembali seperti semula. Suara riuh dari kawanan burung tanpa gemerisik rumput yang terinjak oleh orang-orang yang tengah mengintai.

Gue kembali naik ke punggung kuda dan melanjutkan perjalanan pulang. Namun semenjak kejadian ini, frase ‘kawanan anjing penjilat meneer’ terus memenuhi pikiran.

*#*#*

Catatan kaki:

[1] Tiyang: aku (bahasa bali)

%d blogger menyukai ini: