Lanjut ke konten

4 – Pecah Kulit

Bagian satu

Gue benar-benar kehilangan akal ketika Peng Guan menarik tangan sambil mengatakan akan membawa ke suatu tempat untuk menonton. Gue pikir akan menikmati wayang atau sandiwara boneka yang memang ada di klenteng-klenteng.

Namun saat ini tak ada perayaan apapun di klenteng. Hari Chengbeng telah berlalu. Seingat gue sampai beberapa pekan ke depan, tak ada hari khusus lainnya.

Cengkeraman Peng Guan sangat erat hingga terasa seperti mencabik otot tangan. Orang ini sepertinya sedang tidak main-main. Rasa penasaran menuntun gue mengikuti langkah kakinya alih-alih menentang seperti biasa.

Diambilnya kuda lalu meloncatlah ia ke atas punggung kuda. Gue juga ikut, naik ke atas punggung kuda lalu menghela mengikuti langkah kaki kudanya. Sampai saat ini, rasa penasaran masih terus membuntuti.

Rupanya tempat yang dituju Peng Guan tak jauh dari Pintu Gerbang Besar Selatan. Dekat dengan persimpangan dimana sebuah gereja berdiri dengan megah. Tentu saja, gue kenal bangunan fisik gereja ini. Tak begitu banyak perubahan yang berarti hingga rasanya tak mungkin salah dikenali.

Setahu gue namanya adalah Gereja Sion, terletak di ujung jalan persimpangan antara Mangga Dua Raya dengan Jalan Pangeran Jayakarta. Tapi gue tidak tahu bagaimana gereja ini disebut sekarang dan menanyakannya pada Peng Guan saat ini juga percuma.

Suasana di sekitar gereja sangat ramai. Puluhan kuda terikat pada tiang yang memang diperuntukkan bagi kuda yang dibawa jemaat. Masih ada sado dan dokar yang ditinggalkan begitu saja.

Padahal di hari-hari ini tak ada suatu perayaan apapun. Paskah sudah lewat. Kiranya memang akan ada perayaan kenaikan Tuhan. Namun masih harus menunggu bulan depan. Selain itu, setahu gue sedang tak ada acara bagi-bagi sembako pun acara lain sejenis itu di gereja ini.

Ternyata keramaian tersebut memang tidak berpusat di gereja.

Ada sebuah tanah lapang berada di daerah belakang gereja menghadap ke sebuah kali yang saat ini masih mengalirkan air cukup jernih. Tak jauh dari tanah lapang terdapat rumah cukup besar, rumah tuan tanah entah siapa gue tidak tahu.

Massa yang berkerumun sudah sangat banyak. Mereka tumpah ruah seolah-olah ada hajatan besar di tempat itu. Dan menurut perkiraan gue semua bangsa yang bermukim di Batavia dan sekitarnya berada di sana. Ada orang India, Arab, Mardjikers[1], Jawa[2], Alfur[3], China dan orang-orang keturunan Eropa. Sungguh, gue ga ada bayangan sedikitpun atas apa yang sedang mereka tunggu.

Peng Guan membawa gue semakin jauh menerobos kerumunan. Badannya yang kokoh dan tegap seperti seorang prajurit membuat orang-orang dengan rela hati memberikan jalan bagi kami. Apalagi melihat muka yang selalu muram itu, gue kira tak seorangpun dari orang-orang ini mau mencari masalah.

Badan gue juga tegap pun berisi. Namun entah mengapa orang-orang tidak menjadi sungkan. Atau mungkin karena mata gue yang kata Lala selalu menyinarkan keusilan? Ataukah karena di masa ini gue kalah usia? Kalau masalah terakhir ini gue ga bisa pungkiri. Ya memang begitulah adanya, gue lahir di akhir abad 20. Usia kami terpaut hampir tiga abad.

Tiba di muka, gue hanya berdiri tertegun karena tak percaya dengan apa yang terlihat oleh mata sendiri. Berulang kali Peng Guan gue lirik sembari menanyakan: ini tujuanmu menarik gue ke sini?

Sayangnya orang itu tak melihat—terlebih sadar—pada cara gue memandangnya. Peng Guan terus memandangi seorang indo-eropa yang berlutut terpaksa di bawah todongan senjata dengan tangan dan kaki diikat.

Selain dia, ada beberapa orang lainnya. Tak sedikit juga yang gue kenali sebagai bumiputera. Mereka semua dalam keadaan yang sama. Tangan dan kaki diikat, wajah lebur akibat segala tonjokan dan tamparan.

Gue tak bisa membayangkan bagaimana rupa tubuh mereka dengan wajah lebur seperti itu. Pasti juga tak luput dari siksaan sipir.

Mendadak, gue kembali teringat apa yang dikatakan gadis-unik, “Awalnya museum Fatahilah adalah gedung dewan kota merangkap penjara di bagian bawah. … Kamu jangan pernah membayangkan penjara kala itu sama seperti Penjara Cipinang yang tak jauh dari rumahmu itu. Keadaan tahanan di sana, ribuan kali lebih buruk nasibnya.”

Kesalahan apa yang mereka perbuat? Pengetahuan sejarah gue sangat minim hingga tak dapat menerka siapakah mereka. Adakah peristiwa ini tercatat dalam buku pelajaran sejarah waktu sekolah dulu? Sungguh, tidak ada ingatan sedikitpun dalam otak gue ini.

Gue melihat orang-orang di sekeliling yang juga menonton mereka. Mengapa tak terlihat wajah miris sama halnya dengan gue? Tak adakah yang merasa kasihan pada para tahanan itu?

Muka mereka tampak tenang. Bahkan muka anak-anak pun demikian. Tak satupun orangtua berusaha menutupi pandangan anaknya dengan tangan. Tangis yang terdengar lebih dikarenakan dahaga atau ompolan anak itu sendiri, bukan ngeri melihat apa yang ada di depan mereka.

Kemudian, rasanya seperti terkena serangan asma—padahal gue tidak punya penyakit semacam itu—ketika dengan mata sendiri kulihat bagaimana setiap kaki dan tangan orang indo-eropa itu diikatkan pada kuda. Seribu kemungkinan berkeliaran di pikiran. Untuk apakah kuda? Mengapa diikatkan ke kuda? Mengapa empat? Hukuman seperti apa yang mereka jatuhkan?

Lalu, saat kuda penunggang kuda terdiam di posisi mereka seolah hendak ikut sebuah pacuan, gue terhenyak. Tak lama, sebuah perintah keluar dari seseorang prajurit. Para penunggang menghela kudanya sehingga tali yang mengikat anggota tubuh tahanan menegang demikian kencang. Kejadian berikutnya sumpah gue ga mau lihat, jadi lebih baik merem saja.

Bunyi tulang yang putus mengganggu pikiran hingga tak sadar gue buka sedikit kelopak mata. Gue pernah membantu Mama memotong tulang iga sapi dengan pisau besar yang tajam. Ketika pisau itu beradu dengan tulang, maka terdengar suara krak, tanda tulang telah putus. Kemudian, sumsum yang ada di tengah tulang beserta darah mengalir keluar membasahi talenan.

Di hadapan gue, kejadiannya juga menyerupai itu. Tapi talenannya adalah tanah. Dan tenaga empat ekor kuda itu sebagai pengganti pisau. Ketika kuda itu dihela lari ke empat arah yang berbeda, tenaga yang dihasilkan pasti cukup besar untuk mematahkan persendian.

Gue juga pernah makan daging paha bebek. Daging bebek yang gue makan saat itu sangat liat karena kebodohan kokinya. Tapi maksud gue bukan bercerita tentang itu.

Ketika itu, gue hendak menikmati daging yang masih liat menempel di tulang paha. Agar bisa leluasa menikmati, tulang paha bawah dan atas harus dipisahkan. Dan suara putusnya persendian tulang bebek itu sama dengan suara yang gue dengar saat ini. KRAK!

Tapi dulu gue memotong iga dari sapi yang telah mati. Bebek juga demikian, sudah mati sebelum dagingnya gue cabik dan lumat dengan bantuan geligi. Sedangkan sekarang, seorang manusia yang masih hidup. Dan manusia itu harus merasakan bagaimana derita yang bebek dan sapi saja tidak sampai melaluinya.

Gue meringis ngeri. Bulu kuduk gue juga meremang.

Mata itu. Mata yang melotot karena dendam dan menahan rasa sakit teramat sangat.

Kepalan tangannya membuat kuku yang telah berlapis darah menghujam telapak tangannya sendiri. Darah juga menetes dari sana. Satu, dua, seiring detik yang terus bergerak maju.

Dada orang itu bergerak naik turun begitu cepat. Ia tersengal-sengal menahan semua derita dan emosi. Degub jantung terus bekerja, tak ingin dipaksa berhenti. Namun sayang, darah yang keluar darinya tak lagi mendapat jalan seperti biasa. Jalannya terputus seperti gempa besar membelah tanah. Maka, darah yang seperti air sungai di pegunungan terjun bebas dari retakan tanah. Mengalir, membasahi relung tanah hingga mencapai inti bumi.

Tak henti-hentinya gue meringis. Rasa nyeri dan pilu menerjang. Jari gue bergemeretak di bawah genggaman pasangannya. Rasanya seperti tulang gue yang hendak putus, satu demi satu.

Mulut indo-eropa itu tersumpal oleh kain yang sangat jelas fungsinya. Dan gue sendiri tak ingin mendengar suara teriakannya yang pasti sangat pilu dan menyakitkan.

Sebuah pemandangan yang akhirnya membuat gue, seorang Enru menyesal telah melihat, tersaji di hadapan seolah-olah sengaja disajikan secara khusus. Ceceran darah dan sepasang tangan juga kaki yang telah terpisah dari tubuh. Pasti muka gue sudah pucat pasi. Dingin tak terkira. Gue mulai merasa mual. Namun sepertinya para meneer masih belum puas oleh hasil yang mereka dapatkan. Seeorang algojo mengambil parang besar dan langsung menebaskannya pada leher orang indo-eropa yang tengah meregang nyawa.

Saat itu juga, orang indo-eropa itu meninggal.

Ia menemui ajal dengan cara tragis. Tertragis yang pernah gue tahu.

Gue ga berani melihat lagi. Berdiri dengan tungkai kaki yang mulai lemas, gigi gue saling bergemeretak dan kulit tangan perih karena tertujam kuku sendiri. Sangat pilu. Rasanya sakit orang itu menular ke gue. Penderitaan yang dialaminya seperti penderitaan gue.

Sekalipun gue laki-laki sejati dan tak sungkan turun tangan berkelahi. Kumpulan piagam penghargaan di rumah adalah saksi bisu atas keperkasaan di medan tanding taekwondo. Namun proses kematian seperti ini bukanlah suatu hiburan. Melihatnya secara live jelas berbeda dengan menyaksikan adegan serupa di film-film thriler yang gue tahu hanya akting belaka.

Suatu hal yang baru gue tahu beberapa hari setelahnya adalah… warga Batavia telah terbiasa menyaksikan prosesi kematian tawanan. Kiranya setiap beberapa hari ada yang menemui ajal di tangan algojo. Hanya saja, biasanya para tawanan paling-paling mendapat hukuman penggal atau gantung. Khusus orang ini—yang sepertinya sangat dibenci oleh para meneer—ia menerima ‘keistimewaan’ luar biasa.

Kemudian di hadapan, satu persatu tawanan itu menemui nasib yang sama. Sebelum sempat orang ke tiga menemui ajal, gue sudah berlari keluar kerumunan.

Semua makanan yang masuk hari ini gue muntahkan ke kali tak jauh dari lokasi eksekusi. Lutut gemetar demikian juga kedua tangan. Dan jantung berdenyut seolah talu. Suaranya jelas terdengar hingga telinga.

“Kenapa lu bawa gue ke tempat ini?”omel gue pada Peng Guan setelah tahu ia menyusul.

“Lu laki-laki. Lihat seperti itu saja sudah ketakutan.”

“Gila! Di masa gue tak ada hukuman sa–,” mulut gue sudah telanjur dibungkam oleh Peng Guan.

Laki-laki ini kenapa sama sekali tidak merasa takut? Mengapa kerumunan masa itu juga tetap menonton di sana? Apakah gue yang terlalu berlebihan?

“Gue mau pulang!” seru gue setelah berhasil melepas tangan Peng Guan yang menutup mulut. Melirik ke arah laki-laki itu sesaat dengan tatapan ingin meninjunya lalu pergi mengambil kuda yang tertambat di tiang tak jauh dari tempat eksekusi.

Tali pengikat kuda gue lepas. Sekarang gue sudah cukup lihai menunggang hewan ini sehingga tidak perlu lagi bantuan seorang pun.

Kuda gue hela agar secepatnya meninggalkan tempat berdarah itu. Gue tak ingin lagi mendengar suara tulang yang diputus paksa. Tak mau lagi lihat darah yang muncrat ke segala arah. Karena ini bukan film. Amat jelas, suara yang terdengar tadi sungguh suara tulang patah dan darah itu bukan cat berwarna merah.

 

Bagian dua

Berhari-hari kemudian gue tak berani melewati jalan yang nantinya disebut Jalan Pangeran Jayakarta. Jalanan itu terus dihindari dengan melalui jalan-jalan lain untuk pergi ke Batavia memenuhi panggilan Yo Sinshe berdiskusi masalah promosi untuk tebu dan gula.

Bahkan, ketika harus melintasi daerah Kampung Jawa[4], gue akan menoleh ke arah lain ketika kuda atau sado bergerak ke bibir jalan tempat eksekusi itu. Sungguh, peristiwa itu meninggalkan bekas sangat dalam pada hati gue.

Dari mulut Yo Sinshe, gue baru tahu, orang indo-eropa yang menemui kematian dengan tragis itu tak lain adalah Pieter Erberveld, seseorang yang namanya pernah disinggung oleh gadis-unik. Sekarang ini gue tak perlu lagi menunggu jawaban dia. Bahkan kini, gue justru lebih tahu daripadanya mengenai proses kematian pilu dari seseorang bernama Pieter Erberveld.

Erberveld menemui jalan kematian seperti itu karena ia penguasa tanah di daerah Jacatraweg, bisa dikatakan ia memang tuan tanah. Tanahnya ada di mana-mana. Salah satu lokasi tanahnya disebut disita oleh VOC dengan tuduhan tidak memiliki izin dari yang berwenang. Jelas saja Erberveld tidak terima dan akhirnya ia justru ‘terjerumus’ masuk ke dalam usaha pemberontakan terhadap VOC.

Namun ada pula kecurigaan bahwa tuduhan usaha pemberontakan hanyalah muslihat semata. Hal tersebut dilakukan oleh pembesar VOC untuk mendukung pemusnahan terhadap Erberveld karena tanahnya menjadi incaran meneer VOC.

Keterangan itu gue dapat setelah bersusah payah menanyai Yo Sinshe. Dia, sebagai seorang pengusaha tebu dan pemegang patch gula, pastinya tak ingin izin usahanya dicabut oleh para meneer. Maka penghindarannya ketika ditanyai masalah Erberveld tak mungkin tidak gue pahami. Namun setelah beberapa waktu berlalu, ia justru menceritakannya panjang lebar. Katanya menghindari gue bertanya pada orang luar lalu dilaporkan kepada para meneer.

Izin gue tinggal di Batavia didapat dengan mengaku-aku sebagai adik sepupu dari salah satu istrinya yang kebetulan bermarga sama dengan mamaku—gue baru saja tahu marga cui sangat langka di tanah yang nantinya bernama Indonesia. Tentu saja akan menjadi hal berbahaya untuk Yo Sinshe jika gue sampai dicurigai memiliki hubungan dengan para pemberontak dan Kerajaan Bantam.

Mendesah nafas, gue putuskan agar harus giat mencari akal untuk kembali pada abad ke-21. Ya, gue harus kembali, secepatnya!

 

Bagian tiga

Cincin gue keluarkan sekali lagi. Enam bulan sudah berlalu. Tak satupun petunjuk yang gue dapatkan agar bisa pulang. Mungkinkah cincin ini tak akan pernah menghiasi jari manis Lala?

Putus asa benar-benar menyerang. Mata gue pedih. Dan rasanya air mata sudah tergenang di sana. Ingin rasanya gue berteriak. Kenapa? Kenapa gue terseret ke zaman brutal? Kenapa dipisahkan dari Lala? Sekarang ini adalah pertama kalinya gue dihantui rasa takut akan kehilangan. Pertama kalinya gue merindukan seorang gadis lebih dari rindu pada hal lain.

Terlebih, terdampar di Batavia kemudian melihat sendiri hukuman mati yang biasanya hanya dilihat di film membuat gue tak dapat membayangkan bagaimana nasib gue kelak. Akan seperti Erberveld kah?

Pasti sakit luar biasa harus ditanggung orang itu ketika tangan dan kaki diputus paksa. Membayangkan hal itu, perut gue kembali bergemuruh, tak nyaman, seperti ingin muntah.

Pulang dari menonton eksekusi itu, hampir dua hari penuh gue habiskan hanya dengan pergi ke toilet untuk muntah dan tidur tanpa ada selera makan. Waktu itu rasanya seperti sudah hampir mati.

Semangkuk bubur terlihat seperti genangan darah di tempat eksekusi. Sedangkan cabikan sayap ayam nampak bagai tangan Peter Erberveld yang meregang kehilangan nyawa. Lebih sial lagi, Peng Guan tidak berusaha membawa makanan lain selain bubur dan sayap. Misalnya pasta… tapi kukira waktu itu gue juga akan takut melihat spageti bolognaise yang berwarna merah karena saus tomat.

Gue seperti terkena penyakit kronis. Sebuah penyakit mendadak yang mengundang Yo Sinshe untuk menertawakan. Benar-benar memalukan. Namun akhirnya rasa malu itu yang memaksa gue berusaha makan bubur tanpa memuntahkannya.

Kuda berhenti dan gue juga tetap duduk diam di punggungnya sementara waktu.

Di hadapan berdiri tegak sebuah tiang dengan ujung atas membujur horizontal. Pada tiang membujur itu seutas tali kasar terikat dengan ujung kepala manusia. Kepala Pieter Erberveld.

Pernahkah dia jauh sebelumnya berdiri di posisi gue memandangi kepala seorang tawanan yang baru dihukum mati?

Setelah tahu bahwa di Batavia adalah wajar menonton eksekusi seperti layaknya orang sedang menonton opera, gue berjuang mati-matian menahan rasa mual setiap kali melihat hal yang terkait dengan peristiwa kematian Erberveld waktu itu. Suatu hal yang berat dan bertetangan dengan naluri. Tapi gue kira, itu adalah satu-satunya cara agar bisa bertahan di abad ke-18 ini. Karena itulah, sekarang gue bisa tahan melihat kepala Erberveld yang mulai membusuk itu.

Setelah berhari-hari digantung di sana, tentu saja baunya tidak sedap. Namun tidak ada orang yang bersedia menurunkan. Sebabnya sangat jelas. Di kepala itu terdapat peringatan yang bunyinya ‘hukuman mati bagi orang yang menurunkan kepala tersebut’.

“Tjeh,” seru gue pelan dengan menepuk perut kuda. Perlahan, gue dibawa menjauhi kepala dan semakin mendekati pintu gerbang Batavia.

Entah siapa yang mempermainkan nasib dengan membawa seorang Enru ke Batavia tiga ratus tahun silam. Siapapun dia, akan gue ladeni kemauannya. Dan gue tidak peduli jika sejarah akan turut dalam permainan ini.

 

*#*#*

Catatan Kaki:

  • Mardjikers: sebutan untuk bekas budak dari portugis dibebaskan dengan berbagai alasan seperti menebus diri sendiri atau dibebaskan oleh majikannya.
  • Orang Jawa: bagi VOC, yang termasuk orang Jawa adalah orang dari Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
  • Orang Alfur: sebutan untuk warga pribumi yang didatangkan ke Batavia dari kawasan Indonesia Timur (sekarang) berciri rambut keriting.
  • Kampung Jawa di masa ini berada di sekitar kawasan Mangga Dua
%d blogger menyukai ini: