Episode 4 “Kuai Zao Fang Ba Ba!”
Tak hanya kami yang panik. Para murid pendeta juga tertegun. Mereka saling memandangi rekan-rekannya kemudian memandang penuh tanda tanya pada gurunya. Sedangkan Huang Feng memasang wajah tak percaya dengan kemampuan si pendeta. Ia curiga pendeta di hadapannya palsu.
Pendeta terburu-buru mengambil peralatannya. Ia berlari dengan kaki seperti bebek ke arah kotak berisi barang-barangnya. Tergesa-gesa ia keluarkan isi kotaknya sementara yang tertinggal di altar dadakan tidak lagi ia pedulikan. Entah apa yang dicarinya.
Nyaris semua isi kotaknya telah berserakan di sekitarnya ketika tangannya menggenggam sebuah kaca cembung. Pada pinggiran kaca cembung itu terdapat kata-kata kuno yang terpatri. Tampaknya kata-kata kuno itu adalah mantra-mantra. Dan mungkin kaca tersebut telah diturunkan dari pendeta-pendeta pendahulunya.
Dengan panik, ia bolak-balik kaca cembung tersebut. Tergambar pada raut wajahnya mimik panik bercampur takut. Kini keadaan bertambah runyam. Kaca cembung yang dimiliki sang pendeta justru memantulkan sinar bulan ke arah vampire yang ditidurkan.
Mendapat energi yin dari bulan, alhasil mantra pada kertas jimat itu tak lagi mempan untuk mengatasi kekuatan para vampire. Mereka terbangun dari tidurnya dan kembali mengejar kami. Satu lawan satu atau satu lawan dua dan atau dua lawan satu.
“Kabur!” kudengar sebuah suara dari dekat pintu keluar sementara aku berusaha menghajar vampire sebisaku. Lalu satu demi satu murid pendeta menghilang saat aku nyaris berhasil membekuk tangan satu vampire.
“Mushi…! Mushi…! Kenapa kalian pergi?” tanya Gao Fa berteriak pada pendeta yang mulai menghilang dari balik pintu yang kembali ia tutup setelahnya.
Tak ada jawaban setelah itu. Hanya terdengar suara langkah beberapa kaki yang semakin menjauhi kami.
Kakiku lemas seketika. Seorang pendeta dan beberapa muridnya saja tak sanggup menangani raja vampire ini. Lalu bagaimana dengan kami? Seorang pemuda kampung bersama dua laki-laki dan seorang gadis dari kota.
“Gao Fa!” seru Hao Feng terkejut.
Kuku panjang satu vampire rupanya berhasil menciderai tangan Gao Fa. Darah menetes dari lukanya hingga Gao Fa meringis kesakitan, tak berdaya. Ia bersandar pada tembok gudang yang kini telah terkena bercak darahnya. Darahnya tidak merah melainkan hitam karena bercampur racun dari vampire itu. Kakinya bergidik karena rasa takut yang mengancamnya.
Lalu Hao Feng berlari menghampiri Gao Fa. Menendang vampire yang telah melukai temannya sekuat tenaga dengan kedua kaki lalu jatuh ke lantai dengan bibir meringis menahan sakit karena pantatnya beradu dengan lantai demikian keras.
Namun vampire tadi segera bangkit berdiri walaupun sempat terjerembab oleh tendangan Hao Feng. Tampaknya sama sekali ia tak merasakan sakit oleh tendangan Hao Feng. Kini ia justru mengejar Hao Feng seolah hendak membalaskan dendam ditendang oleh Hao Feng.
Mungkin Hao Niang tak tega kakaknya dikejar-kejar vampire. Kulihat ia merenggut lonceng yang tadi dimainkan Gao Fa dari sebuah sudut gudang setelah dilempar Gao Fa serampangan tadi. Kemudian berlarianlah Hao Niang di dalam gudang mengundang para vampire untuk mengejarnya.
“AH… AH… JANGAN! MEIMEI!!! HENTIKAN!!! BERBAHAYA!!!” teriak Hao Feng memperingatkan adiknya tanpa kendali. Wajahnya menyeringai memperlihatkan kecemasannya yang teramat sangat.
Aku bingung tak tahu harus berbuat apa sementara vampire berlompatan di belakang Hao Niang. Haruskah aku bertindak menjadi pahlawan lagi malam ini dengan nekat menghalau sekawanan vampire. Ataukah pura-pura tak peduli dengan keselamatan gadis cantik yang mulai lelah berlarian mengelilingi gudang.
Namun, tak mungkin membiarkannya seperti ini terus. Dan tak mungkin pula kami harus bergiliran lari mengelilingi gudang dengan membawa lonceng sepanjang hari. Harus ada cara agar kami bisa selamat agar dapat istirahat sekaligus menyembuhkan luka-luka di tubuh kami.
Aku melirik ke arah pintu gudang. Lalu aku melihat ke arah jendela gudang. Jendela itu cukup tinggi. Tak mungkin kami lompati. Kami harus keluar dari pintu itu bagaimanapun caranya.
Aku mendekati Gao Fa yang masih mengeluh kesakitan. Mukanya pucat pasi karena rasa sakit pun pedih yang mendera saraf di sekitar lukanya. Sungguh melihatnya membuatku merasa ia butuh belas kasihan. Ia butuh waktu untuk mengobati lukanya. Bukan waktu untuk bekejaran dengan para vampire sekali lagi
“Gao Fa, kita harus keluar dari gudang ini,” kataku dengan berusaha mengalungkan salah satu tangannya yang lukanya lebih ringan pada pundakku.
“Tapi mereka?” tanyanya merujuk pada kedua temannya.
“Aku akan bantu cari akal agar mereka juga dapat segera keluar dari gudang. Yang terpenting adalah lukamu dulu. Kita harus mendapatkan abu dan garam untuk ditaburkan pada lukamu. Jangan sampai kau juga jadi vampire karena luka itu,” jelasku terburu-buru.
Ia mengangguk lemah sebagai tanda setuju setelah mendengar penjelasanku.
“Benar! Aku tak mau mati di sini. Apalagi mati jadi vampire,” jawabnya dengan mimik setengah serius.
“Huang Feng!” panggilku. “Segeralah cari akal agar kau dan adikmu bisa keluar dari gudang ini. Aku bawa Gao Fa keluar terlebih dahulu.”
Huang Feng mengangguk tanpa menoleh padaku. Ia tengah mencari celah untuk segera menolong Huang Niang yang telah lelah berlarian mengitari gudang sembari membunyikan lonceng diikuti oleh beberapa vampire di belakangnya.
Aku jalan menuju pintu keluar dengan merapat pada tembok. Perjalanan terasa begitu jauh walaupun jarak ke pintu hanya beberapa meter dari tempatku kini. Para vampire itu membuat jantung berdenyut begitu cepat dan aku bernafas terburu-buru.
Belum lama berselang setelah kakiku menginjak tanah halaman di luar pintu gudang, dari dalam gudang terdengar suara lonceng yang dilemparkan ke lantai lalu derap langkah dua orang menuju halaman.
Serta merta kedua orang itu menutup pintu gudang yang memiliki dua bilah daun pintu. “Kayu! Kayu!” seru Huang Feng meminta sebilah atau mungkin banyak bilah kayu dariku.
Aku mendudukkan Gao Fa di atas rumput yang memenuhi pekarangan rumahku di luar gudang lalu melihat sekelilingku. Di manakah kayu-kayu bakar yang biasanya diletakkan ibuku di dekat gudang? Mengapa tak terlihat satupun?
Kukitari sekitar pintu gudang. Biasanya ada kayu bakar untuk persiapan ibuku masak karena dapur pun tak jauh dari gudang. Tiba-tiba, sebuah tangan vampire terlihat menembus daun pintu. Gao Niang menjerit sekerasnya karena terkejut dan takut. Tampaknya, keluargaku akan segera terbangun karena menyadari ada yang aneh dengan gudangnya hari ini.
Aku menoleh ke arah teriakan dengan refleks. Dan segeralah keringat dingin mengucur membasahi diriku lagi. Pintu gudangku tak lama lagi pasti akan rusak.
“Dapur! Carilah di dapur!” seru Gao Fa dengan menahan rasa sakitnya.
Mengikuti petunjuknya, segera aku berlari ke dapur. Secepat yang aku bisa. Aku korek-korek tungku untuk mencari kayu terpanjang yang ada di sana. Tak lupa kujumput sejumlah garam untuk luka Gao Fa.
Kuberikan kayu itu pada Hao Feng lalu kujumpai Gao Fa. Sedang serbuk garam kutaburkan pada luka Gao Fa. Bunyi mendesis keluar dari luka itu disertai sejumlah cairan. Aku bergidik melihatnya. Baru kujumpai bunyi seperti itu pada saat mengobati sebuah luka.
Tentu saja Gao Fa mengeryit menahan sakit saat garam itu menyentuh dagingnya yang robek. Namun kali ini aku salut padanya. Ia justru memintaku membantu Hao Feng dan Hao Niang untuk menahan pintu dengan lebih banyak kayu.
Bunyi gedoran begitu keras terdengar dari balik pintu. Suaranya lebih mirip halilintar daripada tamu yang minta dibukakan pintu. Aku menyeringai takut melihat ke arah Hao Feng. Dan yang kulihat pun tak kalah takutnya daripadaku.
Bilah demi bilah kayu telah kami pakai untuk mengganjal pintu. Namun bunyi gedoran terasa semakin keras terdengar. Dan tampak dari celah bilah kayu, tangan-tangan vampire yang berusaha merenggut kami.
Kemudian aku mendengar sebuah suara aneh dari belakangku. Dan saat kutolehkan kepala, kembali aku melihat sesosok vampire memandang kami dengan penuh kebencian dan napsu ingin menghabisi kami.
-bersambung-