24 – Besi: Paku, Pedang?
Bagian satu
Orang China punya sebuah pepatah seperti ini, ‘besi yang baik tidak akan dijadikan paku, laki-laki yang baik tidak akan menjadi prajurit’. Pepatah ini kiranya telah salah diartikan oleh bangsa-bangsa lainnya dan tentu harus gue manfaatkan sebaik mungkin.
Si Brewok telah menghubungi beberapa kelompok perampok dan saat ini pastinya mereka tengah berkumpul untuk memulai pergerakan. Di beberapa tempat di seputar Ommelanden, kompeni menaruh beberapa benteng pengamat. Dan pastinya itulah yang dituju oleh kelompok si Brewok dan lainnya hari ini.
Berdiri diam di rumah dalam masa seperti ini memang gue tampak bagaikan pengecut. Namun, ini keputusan kami bersama demi menjaga hubungan baik gue dengan para meneer yang bisa digunakan untuk penyusupan dan kepentingan kami lainnya. Karena tidak ada yang bisa menjamin kepala tetap di tempatnya jika gerakan awal ini gagal. Kalau gue turut bergerak lalu gagal, mereka tak punya backing. Dan lagi, ini demi menjaga nama kakak ipar gue.
“Apeh!!!” jeritan Gwat Nio yang terdengar persis di belakang sukses membuat jantung gue lupa berdetak sekali. Tanpa rasa bersalah dirangkul pinggang gue dan tertawa cengingisan senang usahanya sukses besar.
“Apeh kenapa mukanya serius sekali? Sedang pikir apa?”
“Sedang memikirkan… laki-laki mana yang akan tahan dengan gadis bengal sepertimu,” jawab gue sambil menyengir menggoda Gwat Nio.
Dia memasang wajah cemberut sesaat lalu kembali ceria. “Ada. Buktinya Apeh.”
“Maksud Apeh, selain Apeh.”
“Gwat Nio tidak mau yang lain. Maunya Apeh.”
“Setelah besar nanti, lu akan menikah, Nak. Bukan bergelayut di ketiak Apeh terus.”
“Tapi Gwat Nio maunya sama Apeh.”
“Mana mungkin. Lihat Abuh, setelah menikah dengan Apeh, apakah Abuh masih terus bersama orangtuanya?”
Gwat Nio merengut. “Apeh tidak sayang Gwat Nio lagi?”
Gue gelengkan kepala pelan. “Mana mungkin Apeh bisa tidak sayang lagi pada Gwat Nio. Justru karena Apeh begitu sayangggggg, Apeh berharap kelak Gwat Nio akan mendapatkan laki-laki yang mencintai lu apa adanya sebagai suami.”
“Tapi Gwat Nio tidak mau menikah. Maunya sama Apeh dan Abuh.”
“Katanya Gwat Nio ingin punya adik banyak. Kalau kamu punya suami, bisa punya anak banyak.”
Dia terlonjak ingat sesuatu. “Kalau begitu, Gwat Nio ingin suami yang seperti Apeh tapi bisa punya anak banyak. Jadi tidak kesepian.”
Jadi begitulah, bocah yang baru beberapa minggu lalu merayakan ulang tahun ke sepuluh sudah berani menertawakan ketidakbecusan gue dalam masalah seperti itu.
Gue memandanginya dengan memasang tampang cemberut sedangkan anak itu tertawa terkikik-kikik menggoda.
“Apeh….,” panggil Gwat Nio manja. Kembali dia mendekap gue.
Jika suatu saat nanti dia tahu siapa ayah kandungnya, entah apa yang akan dipikirkan anak ini. Gue tak bisa dan tak berani membayangkan. Karena sepuluh tahun ini, dia terbiasa gue manja.
Langkah kaki seseorang terdengar mendekat. Menoleh ke arahnya ternyata Made. Made mengangguk ke gue dengan tatapan dalam. Gue tahu artinya, berhasil. Semua berjalan sesuai rencana. Dia memang tidak ikut dalam operasi, tapi gue tugaskan untuk memantau.
Senyum tersungging di bibir. Puas. Penasaran dan kekuatiran gue berakhir sudah. Tinggal operasi-operasi lainnya yang mudah-mudahan akan selancar kali ini.
“Sekarang Apeh tersenyum?”
Gue anggukkan kepala. “Tentu saja.”
“Kalau Apeh sedang tersenyum, Apeh kelihatan cakep. … Pokoknya Apeh adalah Apeh tercakep sedunia.”
Gue hanya terdiam memandanginya. Mata Gwat Nio menyorotkan pandangan memuja. “Dan lu adalah anak gadis apeh yang paling cantik dan nakal.”
Bagian dua
Para meneer itu benar-benar terlena dengan pepatah yang telah mereka salah artikan. China itu pengecut? Lalu siapakah Jenderal Yang yang disebut Ong seniman itu? Apakah dia pengecut? Tentunya tidak.
Reaksi mereka terlalu lamban untuk mengantisipasi gerakan si Brewok Ong dan kelompok-kelompok lainnya. Ya, kelompok-kelompok lain. Ada sekitar lima atau lebih kelompok yang mengadakan—kata meneer itu pemberontakan, tapi menurut kami—penegakan keadilan.
Sayang, sampai saat ini, gue belum juga bertemu dengan pemimpin kelompok-kelompok itu guna sebuah koordinasi. Kepemimpinan tunggal gue kira penting untuk menjamin berhasilnya revolusi ini.
Menuliskan ratusan huruf di selembar kertas demi sebuah surat, gue jadi ragu. Mereka, pemimpin kelompok lain mengenal huruf dengan baikkah? Huruf mana yang dikenal? Huruf dalam bahasa Melayu yang artinya huruf latin atau huruf Han?
Gue pandangi hasil tulisan sekali lagi. Pikiran tak menentu membuat gue memilih untuk membakarnya. Apalagi gue dengar suara langkah kaki mendekati pintu ruang kerja yang selalu tertutup rapat.
Api baru saja mati dan kertas itu telah gosong, hitam legam, kemudian memutih dan hancur dalam sekali ketukan.
“Ahnia,” Hien Nio yang datang tentu bersama Ketip. Nampan berisi sepiring kue dan teh diletakkan di atas meja kerja gue pada bagian yang masih kosong dari tumpukan kertas. “Sibuk?”
“Tidak terlalu. Kenapa?”
“Boleh gua pulang ke rumah?”
Gue kernyitkan alis tak yakin.
“Gua dengar Toahnia sedang kalut sampai Abuh juga kena jatah amukannya. Kalau Ahnia tidak sibuk, bisakah ikut untuk lihat Toahnia?”
Menimbang sejenak akhirnya gue anggukkan kepala. Toh gue juga butuh kabar terbaru dari Stadhuiz. Mengunjungi rumah utama keluarga Ni memang ide yang baik.
Kali ini, gue pilih menemani Hien Nio duduk manis di atas sado daripada menunggang kuda seperti biasa.
Tangan Hien Nio diletakkan di atas paha gue. Gue meremat dan tersenyum.
“Gwat Nio ternyata benar. Rambut Ahnia mulai memutih,” ujarnya memandangi gue. “Kalau mengingat sifat Ahnia, Hien Nio tidak akan pernah ingat usia Ahnia hampir seumur dengan Apeh.”
“Memangnya bagaimana sifat gue?”
“Gampang meledak. Kalau sedang baik, terlampau baik. Kalau sedang marah, tinju pun bisa melayang. Tapi akhir-akhir ini sudah tak begitu mencolok,” katanya dengan tersenyum. “Ahnia sekarang justru lebih banyak diam. Kenapa? Apakah pekerjaan demikian memusingkan?”
“Ya, sebagian.”
“Ada yang perlu gua bantu, Ahnia?”
Gue gelengkan kepala dengan tersenyum. Senyum dengan harapan agar ia mengerti tak ada yang perlu dikuatirkan.
Dia juga tersenyum lalu merangkul pinggang dan bersandar pada bahu gue. Kami terus dalam posisi ini sampai akhirnya sado sampai ke muka gerbang kota.
Dugaan gue rupanya benar. Penyebab kemarahan Ni Hoe tak bukan karena meneer menyalahkan dia tak becus mengatur kaum yang dipimpinnya. Padahal posisi kapiten itu sendiri juga memiliki banyak kelemahan. Yang terfatal, dia tak berhak mengatur kaum Tionghoa yang tinggal di luar batas kota.
Gue diam. Sepatah katapun tak keluar. Berjaga-jaga takut sampai kelepasan bicara. Masalah keterlibatan gue tak boleh sampai orang lain tahu. Terlebih gue tahu Ni Hoe punya hubungan baik dengan pembesar kompeni.
“Kenapa diam, Ahnia? Bukannya Ahnia banyak bicara?”
“Ah…,” gue terdiam memikirkan apa yang bisa dikatakan. Tak mungkin, ‘kan kalau kukatakan padanya ‘itulah penjajah.’?
“Tapi tidak sepantasnya Cihu memarahi orang-orang di rumah,” ujar gue pada akhirnya—setelah mempertimbangkan berbagai kemungkinan terburuk dari setiap kata-kata yang akan diucapkan oleh mulut gue.
Tiba-tiba gue teringat yang dikatakan Hien Nio tadi, “… Kalau sedang marah, tinju pun bisa melayang.” Selama marah, apakah gue pernah meninju pelayan di rumah atau melampiaskan pada Hien Nio atau Gwat Nio? Takutnya apa yang dikatakan pada Ni Hoe justru berbalik ke gue sendiri. Nanti perlu ditanyakan pada Hien Nio.
Kami membisu lagi selama beberapa waktu, larut dalam pikiran masing-masing. Gue lihat Ni Hoe sekilas, sepertinya emosi sudah mulai teredam. Jadi keberadaan gue tak lagi diperlukan.
“Cihu, saya pamit.” Menapakkan kaki ke luar ruangan, hawa panas musim kemarau menyergap gue bagaikan puluhan kompi polisi yang tak mengizinkan buronannya kabur. Matahari sedang bersinar terik dan dia seperti telah menggandakan diri menjadi empat sekaligus. Ini tengah hari.
Untuk sampai ke paviliun di bangunan barat, dari ruangan tempat bertemu Ni Hoe tadi, gue harus melalui sekitar sepuluh ruangan. Rumah keluarga Ni memang terlampau luas hingga cukup untuk dihuni puluhan keluarga sederhana sekaligus.
Gue dengar celoteh-celoteh sayup ketika melalui ruangan yang gue tahu sebagai kamar anak laki-laki keluarga Ni lainnya. Terdiam sesaat di sana mencoba mencermati topik yang dibicarakan, gue baru sadar kemudian, celotehan mereka lebih baik tidak didengar oleh orang lain.
Gue ketuk pintu perlahan. Ni Lian yang membukakan pintu, bingung melihat gue ada di muka pintu. Dia tidak langsung membiarkan tamunya masuk, melainkan berdiri termangu beberapa saat tak percaya dengan adanya tamu—juga mungkin takut pembicaraan mereka telah terdengar.
Gue tersenyum. Walaupun tahu di matanya status gue sebagai menantu laki-laki dianggap remeh, gue ga peduli. “Kelihatannya obrolan kalian sangat seru, boleh gabung?”
Dia tetap berdiri di muka pintu tak bergeser sedikitpun. Wajahnya tegang, seperti disuruh menelan kulit durian. Gue tetap tersenyum lalu berkata, “Pembicaraan laki-laki… gue tahu mengapa kalian diam-diam mengobrol di sini. Takut terdengar istri kalian ‘kan?” pura-pura salah dengar gue kira cukup baik.
Ni Lian tertawa. Tawanya benar-benar kaku seperti orang yang puluhan tahun tak pernah tergelak. Lalu perlahan ia menyingkir dari muka pintu, kembali duduk mengelilingi meja bulat dalam ruangan. Gue masuk dan menutup pintu.
Di atas meja yang dikelilingi kakak beradik itu terdapat sepoci cairan wangi. Pastinya arak. Gue dapat mengenali dari harumnya meski tak tahu jenis arak apakah dia. Entah apakah hanya mereka yang minum arak di kala mentari terik seperti saat ini
“Cuaca sangat panas,” kata gue dengan menarik-narik baju, memberi kesempatan pada angin untuk menyentuh kulit yang tertutup demikian lama.
Mereka masih memandangi gue kaku. Sikap mereka seperti menghadapi badut yang gagal. Atau… balerina yang jatuh tersungkur di panggung. Atau… sesuatu lainnya, pokoknya pada intinya gue gagal mengambil perhatian mereka.
Ayolah Enru, bukankah lu cerdas mengambil perhatian klien? Perlakukan tiga orang ini sebagai klien dan tarik perhatian mereka agar mendengarkan lu!
Topik apa yang akan menarik bagi mereka? Gue harus mempertimbangkannya dengan baik.
“Apa perlu lu?” tanya Ni Goan.
Memamerkan cengiran, seperti biasa, barulah gue menjawab, “Tak ada. Hanya kebetulan lewat dan gue dengar pembicaraan kalian sangat seru. Jadi–”
“Lu dengar semua?” dia bertanya sembari tangannya bergerak mencengkram kerah baju gue. Untung gue menyadari dan dengan cepat berkelit. Kuntao yang dikuasainya tak terlalu baik, karenanya tak sulit bagi gue untuk berkelit.
“Sabar. Sabar,” pinta gue. “Mendengar juga bukan masalah besar. Hanya obrolan laki-laki benar ‘kan?” gue tersenyum lalu melanjutkan, “Tapi lain masalahnya kalau Cihu yang mendengar.”
Mereka panas. Sepertinya gue suka cari masalah dengan tiga orang ini. Bagaimanapun melihat mereka sekarang menahan marah buat gue terasa lucu.
“Ayolah. Kalian dewasalah sedikit. Muka kalian yang seperti itu membuat gue ingin tertawa.” Mereka tetap saja tegang. Gue menghela nafas dan bicara lebih serius, “Mengusir penjajah bukan hal yang mudah. Dan bagi kalian—keluarga Ni—perlu ingat, usaha kalian sebagian merupakan usaha patungan dengan meneer. Mengusir mereka akan turut mempengaruhi. Baik berhasil ataupun tidak. Berhasil, kalian dapatkan semuanya utuh. Sedangkan kalau tidak…,” gue sengaja tidak melanjutkan. Mereka pasti sudah bisa menebak hasil terburuk itu.
Ketiga adik-kakak Ni diam memandangi gue. Mungkin gue hanya asal menebak, tapi rasanya kesinisan mereka pada gue sedikit berkurang.
“Kalian membicarakan keburukan orang-orang tersebut lalu keinginan ini dan itu seperti sekarang menurut gue juga bukan hal baik. Apakah semua budak peliharaan kalian itu bisa dipercaya? Umur kalian sudah dua puluhan tahun. Gue kira sudah sepantasnya bertindak lebih dewasa dan hati-hati dalam bersikap termasuk di rumah sendiri.”
Mereka diam memandang gue. Rasanya seperti berhadapan dengan orang bisu. Padahal gue tahu mereka bisa bicara. Ketiga orang ini hanya kehilangan kata-kata untuk sementara waktu. Mungkin terlalu kaget.
“Kematian Pieter Erberveld gue saksikan dengan mata kepala sendiri. Dan perlu kalian tahu, yang membocorkan rencana pemberontakannya tak lain adalah budaknya.”
“Bagaimana lu tahu tentang itu?”
“Riset… penelitian….”
“Untuk apa?”
“Ingin tahu saja–”
“Tidak mungkin hanya ingin tahu. Hal seperti itu tak mungkin terkait dengan usaha lu. Juga tidak mungkin terkait dengan satupun usaha keluarga Ni sehingga Toahnia pun orang lain tak mungkin meminta lu mencari tahu masalah itu.”
“Apa… kerusuhan… kemarin…,” dia, Ni Goan, berkata dengan suara tertahan dan sangat pelan. Seolah-olah di batang tenggorokan dan lidahnya ada rantai besi berat yang membuatnya tak dapat bicara dengan lancar. “… lu… punya… andil…?”
Ni Lian cepat-cepat menghambur ke pintu mengintip kanan dan kiri lalu kembali setelah menutup pintu rapat.
“Lu gila, hah?” masih Ni Goan yang bicara. Dengan mata nanar menatap gue, marah, heran, tak percaya.
Gue tak menjawab, hanya sebuah kerlingan misterius yang diberikan. “Hien Nio pasti sudah bingung mencari. Gue… pamit dulu.”
Mereka sangat penasaran. Gue suka melihatnya. Jadi gue biarkan saja seperti itu.
Kakak beradik Ni tak mungkin melaporkan kecurigaan itu pada meneer kompeni. Tak ada untungnya justru mungkin akan mendatangkan petaka. Maka, gue bisa meninggalkan ruangan dengan santai, tanpa beban.
Bagian tiga
“Di pasar tak ada lagi yang menjual beras,” lapor Ketut sedih.
Gue taruh kuas kecil yang awalnya digunakan untuk menggambar keperluan konsep. Kemudian, gue pandangi Ketut. Wajahnya menyiratkan kebingungan.
“Kenapa?”
“Tidak tahu, Toahnia. Yang jelas semua pedagang bilang tidak ada pemasok beras datang,” dia tambah bingung.
Harusnya gue memang tidak bertanya ‘kenapa’ pada Ketut. Mengapa gue bisa lupa kalau dari dulu, Ketut diberi tugas semacam membuatkan makan, membersihkan rumah dan sebagainya—bukan untuk menganalisa masalah?
Gue anggukkan kepala lalu memintanya agar mencari Hien Nio. Mudah-mudahan kami masih memiliki persediaan beras dan bisa membagikan pada Ketut.
“Persediaan beras masih cukup banyak,” ujar Hien Nio tersenyum menggoda. Butuh waktu sekian detik lamanya baru gue ingat, keluarga Ni punya sawah yang disewakan. Mereka menggunakan sistem bagi hasil sehingga dengan kondisi cuaca yang cukup baik seperti sekarang ini, kami tak perlu bingung masalah itu. Toh kalaupun gagal panen, masih ada tanaman-tanaman lain di tanah milik keluarga Ni yang telah dijatahkan pada istri gue.
“Gua akan berikan Ketut sebagian beras. Ahnia tak perlu mengkuatirkannya.”
Gue tersenyum membalas. Menghadapi dia memang selalu membuat gue tersenyum. Begitu tenang karena tahu semua urusan rumah sudah pasti diaturnya dengan baik. Ia sangat cekatan hingga gue lupa ia berdiri pada kaki yang telah dipaksa mengecil.
Sesudah berkata, ia mengambil nampan yang dibawa Ketip dan menyodorkan ke gue. Kemudian gue ditinggalkan dengan mulut sibuk mengunyah kue yang sepertinya bernama satrun.
Mulut gue memang terganjal kue yang terus menerus dilahap tanpa henti, tapi selagi itu, pikiran gue melayang pergi pada laporan Ketut. Mengapa beras menjadi barang langka di Batavia? Ada kaitannya dengan pergerakan kamikah? Atau lagi-lagi meneer kompeni membuat ulah?
Perlu diketahui, jika saja gue tak banyak jalan kaki atau berkuda ataupun mengajarkan Gwat Nio taekwondo, bobot gue pasti sudah bertambah lebih dari sepuluh kilogram dari sejak pernikahan kami. Karena semua penganan yang dibuatnya selalu berhasil membuat gue ingin kunyah dan kunyah lagi.
Ketika mengetahui isi piring telah habis, kaki bergegas meninggalkan ruangan, meminta kuda dan akhirnya pergi untuk memeriksa keadaan. Pertama yang harus gue temui si Brewok Ong.
Bagian empat
“Orang-orang yang membawa beras itu ditangkapi meneer-meneer. Jadinya tidak ada yang berani ke Batavia.”
“Ditangkap? Kenapa? Apakah mereka curiga mereka punya hubungan dengan kita atau kelompok lain?”
“Tidak tahu. Mungkin Cui Sinshe bisa cari tahu di Stadhuiz.”
“Persediaan pangan kalian cukup?”
Si Brewok berteriak memanggil anak buah dan bertanya dengan suara keras yang membuat telinga gue peling.
“Cukup!” sahutan itu juga terdengar jelas. Padahal orangnya entah berada di mana.
“Lalu kapan kita bergerak?” dia kembali menoleh ke gue bertanya hal lain seperti mengatakan pertanyaan gue sebelumnya sudah terjawab.
“Tunggu persenjataan datang.”
“Senjata?”
Gue mengangguk. “Seorang teman berjanji memberikan bekal senjata. Kita tidak mungkin bergerak dengan mengandalkan batang-batang bambu dan pisau dapur terus menerus.”
“Lalu sebelum itu?”
“Kumpulkan orang lebih banyak. Tidak baik jika kita terpecah seperti ini. Semua orang punya tujuan yang sama.”
“Tujuan mereka tak sama, Cui Sinshe. Mereka–”
“Sekarang ini tujuan kita dengan mereka masih sama.”
“Menyerang musuh luar baru ‘membereskan’ di dalam?”
“Ya, ‘membereskan’. Lu cerdas.”
Si Brewok menyinyir malu karena pujian tersebut. Ya Tuhan, dia itu perampok. Bagaimana mungkin perampok bisa menampilkan wajah malu seperti itu? Atau mungkin seperti lagu di abad ke-21 nanti? Bukankah ada lagu berjudul ‘Rocker Juga Manusia’. Sedangkan kali ini judulnya adalah ‘Perampok Juga Manusia’.
“Bagaimana membereskannya?”
“Itu urusan nanti.”
“Kalau rencana kita berhasil–”
“Gue sudah punya rencana berikutnya. Tenang saja.” Selesai mengatakan, diam-diam gue menghela nafas pelan.
Sejujurnya gue masih meragukan rencana yang gue susun itu. Jika yang kami jalankan ini sukses dan jika kelompok lain mau bergabung jadi satu kekuatan dengan kami, mungkinkah mereka mau menerima rencana pendirian republik yang gue buat?
Bagian lima
Kalut tak juga pergi ketika kaki gue telah sampai di rumah.
Sementara itu, mungkin karena muka yang pucat dan kelihatan seperti nyawa tidak lengkap membuat Gwat Nio dengan semangat mengagetkan gue. Sumpah kaget setengah mati. Gue tatap dia setelah menghilangkan setumpuk rasa kaget yang membuat jantung nyaris lompat keluar. Dia tertawa cengengesan memandangi gue tak ada rasa menyesal.
“Apeh… ajari Gwat Nio. Gurunya kasih soal susah. Gwat Nio tidak tahu jawabannya.”
“Tanya pada Abuh ya, Sayang.”
Mukanya merengut kecewa.
“Kepala Apeh pusing.”
Tak menghiraukan apapun yang dikatakannya lagi, gue masuk ke kamar. Kepala gue pusing bukan karena penyakit. Hanya secara psikis karena terlalu banyak hal yang berkecamuk di dalamnya. Termasuk kondisi Batavia yang semakin terpuruk.
Setelah panen buruk selama beberapa tahun terakhir yang mengakibatkan naiknya harga pangan, nilai rumah-rumah juga turun karena banyak rumah dijual pemiliknya yang bangkrut.
Akibatnya, gue juga terkena dampak. Beberapa klien kabur sebelum melunasi kontrak. Ada pula yang bangkrut. Masih untung jika mereka mau melunasi kontrak. Karena ada satu-dua orang yang justru menyalahkan gue atas kebangkrutan mereka.
Di lain pihak, melapor ke pihak berwenang adalah hal sia-sia. Bukannya membantu menyelesaikan masalah, mereka justru ‘memaksa’ gue keluar uang. Dengan janji-janji manis akan bantuan menagih piutang, jumlah uang yang keluar justru lebih banyak dibanding hasilnya. Seperti sudah ketiban tangga, masih ketiban pula kaleng cat, benar-benar membuat gue semakin semangat mengusir mereka dari tanah ini.
Namun, penggerakan massa untuk mengusir meneer kompeni jelas-jelas membutuhkan biaya. Selama ini gue menggunakan pendapatan gue untuk mengatur setiap pergerakan dan membiayai dana yang kami butuhkan. Jika keadaan seperti ini terus, gue ga tahu uang siapa yang bisa digunakan. Gue kira mencari donatur pergerakan adalah jalan terbaik walau beresiko.
Mohammad Salim memang turut membantu masalah keuangan dan persenjataan. Tapi jaraknya yang jauh membuat bantuannya tak banyak membantu. Bahkan sering kali membuat gue diliputi ketakutan karena kirimannya datang terlambat. Yang gue takutkan adalah kompeni mengendus asal dan tujuan barang yang dikirim dan dapat membongkar pengelabuan kami.
Dan hari ini, situasi bertambah parah. Bayangkan saja jika ke pasar dan tak menemukan satupun pedagang sayur dan beras. Karena hampir semua toko termasuk di pasar Vink—yang di zaman gue nanti dikenal sebagai Pasar Senen—tidak buka. Kalaupun buka, dipasangnya harga setinggi langit. Lalu apa yang bisa dimakan?
Gue sendiri sadar, sebagian lauk yang akhir-akhir ini gue makan didapat dengan mengambil jatah Hien Nio dari keluarga Ni. Kehidupan kami mulai ikut terpuruk. Mungkin lebih baik jika gue ungsikan Hien Nio dan Gwat Nio menjauhi Batavia. Tempat kakak perempuannya yang menikahi putra kapiten Que adalah pilihan yang tepat bagi mereka.
Tapi bagaimana cara mengutarakannya?
Tanpa ganti pakaian, gue berbaring di dipan. Paling Hien Nio akan berteriak menyuruh mandi nanti. Tapi saat ini, gue hanya ingin tidur, melupakan semua masalah yang terjadi.
*#*#*