Lanjut ke konten

15 – Kenakalan Gwat Nio

Bagian satu

Hari ini, lagi-lagi dia memanggil gue. Ah, pastinya mengurus ancaman Sinshe keparat itu. Pembicaraan hari kemarin belum usai bukan? Jadilah gue di sini, di sela kesibukan, tuk berunding; tentu saja dengan hati berdebar.

Ahnia gantikan gua ikuti pembahasan itu. Gua urus masalah ini.” Lalu dia meninggalkan gue begitu saja. “Kuda! Cepat!”seruannya terdengar sampai ke telinga gue.

Sekalipun kesal karena ditinggal begitu saja, ada rasa senang dalam hati gue. Dia kembali pada Ni Hoe yang gue kenal pertama kali. Tegas. Bukan pemusik yang menenggelamkan dirinya dalam alunan melodi tak peduli hingar bingar kehidupan.

Menghembuskan nafas pasrah, gue raih dokumen-dokumen yang ditinggalkannya lalu meninggalkan ruang baca. Nasib gue menikah masuk ke dalam keluarga perempuan. Bocah dua puluhan tahun saja berani memberi perintah.

“Sampaikan pada Hien Nio, saya menggantikan It Shaoya[1]  mengikuti pertemuan,” ujar gue pada salah seorang pelayan. “Ingat, jangan sampai dia tahu apa yang diurus It Shaoya, mengerti?” dia menganggukkan kepala lalu mengundurkan diri.

Pelayan lainnya—tahu gue akan pergi—segera mengambilkan kuda.

Mudah-mudahan pertemuan yang harusnya dihadiri oleh para tetua golongan Tionghoa dan kompeni berjalan baik-baik saja.

 

Bagian dua

Tak ada yang perlu gue katakan tentang hasil pertemuan. Ternyata kami hanya dimintai pendapat saja. Maka, begitu acara tersebut selesai gue langsung kembali ke rumah keluarga Ni, berharap ada berita baik.

Hari belum terlampau sore. Mungkin baru jam tiga. Tak heran kalau rumah ini masih sangat ramai. Karena setahu gue anggota keluarga Ni sangat banyak jumlahnya dan rumah ini adalah rumah kepala keluarga mereka. Bisa dibayangkan berapa orang yang berkumpul di rumah ini ketika ada suatu masalah.

Mengedarkan pandangan ke segala penjuru arah, gue benar-benar tidak tahu apa yang membuat mereka kemari di hari ini. Tak mungkin, ‘kan peristiwa memalukan itu sudah tersiar sampai ke telinga mereka?

Ya terlalu jarang kemari jadi tidak tahu. Mereka pasti akan datang setiap tanggal ini untuk jatah bulanan,” jawab seorang pelayan yang gue tanyai.

“Dulu kalian yang menghantarkan ke rumah.”

“Karena Kouwnio adalah putri kandung mendiang Lauya. Coba bayangkan kalau milik semua orang itu kami kirim, berapa lama waktu yang dibutuhkan? Berapa banyak orang yang harus pergi?”

“Ok. Gue tahu.”

“Maaf, Ya. Maksud Anda…?”

“Maksudnya… Gue sudah mengerti. Terima kasih.”

Jadi begitu? Saudara yang kaya mengayomi yang kekurangan. Selain membantu saudara, hal ini juga meningkatkan gengsi mereka.

Coba bandingkan dengan keluarga besar gue. Saat Papa meninggal dulu, apa saja yang mereka lakukan? Semua sibuk sendiri. Yah, Jakarta memang sedang kacau saat itu. Tapi ketika adik atau kakak kandung sendiri meninggal, lu tidak hadir di pemakamannya? Itukah saudara?

Ahnia, bantu gua, cepat!”

Dia berlalu begitu saja masuk ke ruang baca. Ruangan yang sama dengan yang kami masuki pagi tadi.

“Menurut Ahnia, apa kelemahan Yo Sinshe yang bisa kita manfaatkan?”

Gue kernyitkan dahi tanda serius memikirkannya. Belum sampai terpikir suatu ide, seorang pelayan sudah mengetuk pintu dan mendekati Ni Hoe.

It Shaoya,” panggil pelayan.

“Genteng yang bocor sudah kami temukan. Apa yang harus dilakukan?”

Dan jangan kira yang dia katakan benar-benar tentang genteng, penutup atap rumah. Gue ga tahu mengapa dia memilih istilah ‘genteng bocor’ daripada penyusup atau lainnya.

Gue melirik si Pelayan lalu kembali memperhatikan Ni Hoe. Wajahnya itu mengeras lalu terdengar suara dia menggelegar, “Bawa dia kemari. Gua ingin lihat separah apa kebocorannya.”

Tak lama berlalu, dia sudah kembali, katanya genteng itu sudah dibawa ke lapangan, depan ruangan tempat kami berada.

Penasaran membuat gue mengikuti langkah kaki Ni Hoe keluar. Ipar gue tengah tersenyum sinis melihat orang yang dipaksa berlutut di hadapannya itu ketika gue melihatnya.

Tangan orang itu diikat ke punggung dengan tali yang sangat ketat. Wajahnya pucat ketakutan. Dia berteriak memohon ampun pada Ni Hoe juga pada gue.

Suatu jerih payah yang sia-sia. Jika saja dia hanya menumpahkan air seperti yang dulu dilakukan Asiu, pasti akan gue bantu memohonkan ampun. Tapi kesalahannya adalah pengkhianatan. Terlalu tidak lucu jika hanya karena kasihan, meminta Ni Hoe meringankan hukumannya lalu gue juga jadi pihak yang dicurigai.

Gue pasang wajah tegas dan garang, sebisa mungkin sama dengan yang ditunjukkan Ni Hoe. Selain itu, gue juga berusaha agar rasa kemanusiaan tidak muncul pada saat-saat ini. Karena gue tahu, akhir hidupnya sudah sangat dekat.

Benar saja, tak lama kemudian, Ni Hoe berteriak agar orang itu dibawa ke Stadhuiz. Ajalnya hanya menghitung hari.

Dalam jerit ketakutan dan putus asa, dia diseret beberapa pelayan pergi meninggalkan kami. Tampaknya gue tidak akan pernah lupa jeritannya itu. Begitu takut dan merasa tidak berdaya. Tapi Ni Hoe sepertinya tidak merasakan hal yang sama. Mungkin, bagi para tuan di abad ini, nyawa budak tak ada artinya.

“Kita lanjutkan pembicaraan?”

Gue anggukkan kepala lalu masuk ke ruang baca lagi.

 

Bagian dua

Memejamkan mata, gue berusaha mengingat semua kejadian di rumah Yo Sinshe. Adakah satu dua hal yang bisa gue jadikan alat untuk menekannya?

Dalam usaha ini, gue hilangkan semua batasan kemanusiaan. Berusaha menganggapnya musuh berat yang tak layak mendapatkan ampun. Namun tak satupun yang teringat. Kelihatannya orang itu benar-benar menyembunyikan semua dengan sempurna.

Jantung gue berdenyut lebih keras dari sebelumnya. Mungkinkah kami akan kalah? Harus merelakan tanah itu jatuh ke tangannya? Tidak bisa! Gue tak akan membiarkan hal itu terjadi. Terlebih dia menekan kami dengan kejadian tercela yang merenggut kehormatan Hien Nio. Gue harus berpikir lebih keras. Lebih keras lagi.

Tanah?

Mungkinkah kasus tanah yang gue urus dulu itu bisa diungkit? Tanah tempat rumah Peng Guan berdiri dan lokasi pertama kali yang gue injak di abad ini. Tapi… gue sendiri yang mengurus, tidakkah akan menyeret gue juga kalau masalah itu diungkit? Lagipula orang yang mempermasalahkannya juga sudah mati beberapa tahun lalu—sengaja gue gunakan kata mati karena kebencian ini demikian menumpuk.

Tak peduli. Kemungkinan ini juga perlu gue bicarakan dengan Ni Hoe. Namun gue harus punya alternatif lain. Kasus yang tidak terkait dengan kami sedikitpun.

Toahnia.” Menolehkan wajah pada Ketut yang memanggil, gue tunggu dia mengatakan maksudnya.

“Asiu belum pulang.”

Sudah sore. Asiu belum pulang memang hal yang aneh. Adakah sesuatu hal yang membuat Asiu terlambat?

“Tolong minta orang siapkan kuda gue.”

Apa yang menghambat Asiu? Rasa kuatir mulai terbesit dalam hati. Apakah ada kesulitan yang dihadapi? Berkaitan dengan pekerjaankah? Atau dia bertemu teman lama lalu mengobrol tanpa kenal waktu?

Tapi Asiu bukan orang seperti itu. Jadi pasti karena ada sesuatu yang tak bisa ditinggal. Apa itu?

Gue menyuruh Asiu melakukan riset di sekitar Nieuwpoort Straat, maka ke tempat itulah tempat yang gue tuju. Harapan gue cuma satu, anak polos itu baik-baik saja.

Toahnia tetap bersikeras balas dendam?” tanya Asiu beberapa tahun lalu. Lebih tepatnya ketika gue baru saja menerima syarat dari keluarga Ni untuk menikah masuk ke keluarga mereka.

Gue anggukkan kepala. Meliriknya, gue lihat ada sejumput perasaan tak enak. “Kenapa?”

Dia menggelengkan kepalanya. Wajahnya itu tersirat beragam perasaan. Kuatir, cemas, takut dan masih ada suatu perasaan lain yang tak dapat gue duga.

“Siapapun orangnya, dia sudah membuat kakimu seperti ini. Gue ga terima!”

“Tapi, Toahnia…. Bagaimana kalau dia adalah Yo Cu Sinshe?” gue melarangnya menyebut Keparat itu dengan sebutan cukong. Asiu orang bebas, bukan budak si Keparat itu!

“Dia harus merasakan akibat dari perbuatan sendiri. Uang bukan segalanya. Lihat saja gue buat dia tak bisa berkutik nanti.”

“Tidak bisakah Toahnia tidak balas dendam? Gua tak apa-apa. Nyawa juga masih di sini.”

“Tapi dia sudah membuat kaki lu cacat, Asiu!”

Asiu menggelengkan kepalanya cepat. “Gua tak apa-apa. Benar, tak apa-apa. Coba pikirkan… tak lama lagi Toahnia menikah. Ada istri, kemudian ada anak. Kalau sampai Toahnia kalah, apa akibatnya?”

“Lu bukan polos, Asiu. Terlampau baik. Terlampau pengampun.”

Kami terdiam beberapa saat. Hanya ada suara binatang malam yang terdengar begitu dekat dengan telinga. Di gubuk seperti tempat tinggal kami waktu itu, jangkrik pun bisa leluasa masuk ke dalam rumah. Mengingatnya saja membuat hati gue sangat miris.

“Gue tetap akan balas dendam. Membalaskan dendam penderitaan kita selama dua tahun terakhir ini.”

“Tak seorangpun gue izinkan mempermainkan Enru Tirtonegoro. Tidak seorangpun,” lanjut gue.

Mengingat hal tersebut, jantung gue berdegub lebih keras. Ke mana Asiu? Sekarang gue sudah sampai di Nieuwpoort Straat. Tapi Asiu tak terlihat.

Turun dari kuda dan menuntunnya jalan perlahan, mata gue sibuk mengawasi setiap sudut. Orang yang gue cari tetap tak terlihat. Nyaris putus asa rasanya. Langit sudah gelap. Penerangan tak terlalu baik—jika tidak bisa dikatakan sangat buruk untuk dibandingkan gemerlap lampu Jakarta saat malam tiba.

Tiba-tiba gue mendengar suara memanggil, “Toahnia?” Asiu di sana. Menyeret kaki kanannya mendekati gue.

Gue hembuskan nafas lega dengan berkacak pinggang seolah menegur.

“Tadi gua melihat Yo Sinshe lalu membuntuti.”

“Cerita di rumah saja. Sekarang naik kuda.”

Gue naik ke atas pelana kuda dan membantunya naik. Kaki kanannya yang cacat menyulitkan dia naik ke atas kuda sendiri. Kemudian dalam diam kami pulang ke rumah.

Bisunya kami tentu memiliki arti. Bagi gue, itu adalah usaha agar anak buah Yo Sinshe—seandainya mengikuti—tak dapat mencuri dengar pembicaraan kami.

 

Bagian tiga

“Asiu mendengar tiga orang keparat di tangan Tuan Yo sudah mati. Diduga keracunan,” kata gue dengan berbisik.

Setelah kejadian genteng bocor waktu itu, gue merasa tidak aman membicarakan masalah ini, sekalipun di rumah sendiri.

Dia tersenyum. Dalam senyumnya, gue mendapatkan firasat bahwa yang meracuni ketiga keparat itu adalah orang-orang keluarga Ni. Hebat juga. Artinya Ni Hoe telah berhasil menyusupkan orang ke sana.

Ahnia tak perlu memikirkan masalah itu. Asal Hien Nio baik-baik saja, buat gua sudah cukup.”

Jadi maksudnya adalah gue tak perlu ikut campur masalah pembalasan dendam dengan Yo Sinshe. Cukup membahagiakan adiknya saja. Masalah pembalasan serahkan pada Ni Hoe. Tapi mana bisa. Gue juga ingin merasakan kepuasan itu.

“Asiu cacat karena ulahnya. Saya harus dilibatkan.”

Tiba-tiba matanya menatap lurus ke arah gue. Pasti ada suatu ide yang minta gue selesaikan. “Ahnia bantu gua dapatkan posisi kapiten saja.”

Melirik Ni Hoe tak percaya, mulut gue melongo tak tahu apa yang harus dikatakan.

“Kenapa, Ahnia?”

“Hanya tak percaya dengan yang saya dengar. Cihu benar-benar menginginkan posisi kapiten?”

“Tentu saja. Gua percaya dengan kenalan Ahnia yang sangat banyak dan kemampuan lu bicara dalam bahasa Belanda, tentu mudah merayu meneermeneer itu agar menyerahkan jabatan tersebut pada gua.”

“Kapiten Kwee masih hidup.”

“Tapi dia sudah sakit-sakitan. Banyak pekerjaan yang tak mampu dilakukan orang sakit seperti dia. Lagipula, dengan jabatan kapiten, lebih mudah bagi kita membalaskan kelakuan bajingan itu.”

Membuang nafas sambil membuat keputusan, akhirnya gue jawab dia dengan sebuah anggukan.

 

Bagian empat

Mendekati meneer yang duduk dalam dewan pejabat tinggi adalah suatu hal yang memboroskan tenaga, waktu pun uang. Tenaga karena membujuknya memerlukan kekuatan fisik dan mental. Waktu karena gue habiskan berhari-hari sebelum mereka mau berbincang secara informal dengan gue. Dan uang karena mereka menghendaki acara makan-makan yang mewah, hiburan yang wuah dan semua itu harus keluar dari dompet gue, bukan dompet mereka.

Apa yang gue lakukan saat ini jelas bisa disebut KKN. Tapi mau bagaimana lagi, hanya ini satu-satunya jalan untuk masuk ke dalam lingkungan mereka. Itu pun nada sinis masih juga terdengar. Cuma satu alasannya, Eropa dan Asia. Ya, masalah ras.

“Penguasaan bahasa Anda cukup baik,” pujinya.

Gue pamerkan cengiran. Pujian itu sudah terlampau sering terdengar hingga rasanya tak perlu disebut lagi. Tak peduli dengan tata krama yang umum di masyarakat Asia, gue katakan padanya, “Terima kasih.”

Setelah pujian itu, gue mengira hubungan kami bisa lebih dekat. Gue mulai mencoba bicara tentang jabatan-jabatan yang diberikan pada warga timur asing di Batavia.

“Penyakit yang diderita Kapiten Kwee tampaknya bertambah berat,” kata gue. “Sayang, bukan? Padahal tanggung jawab seorang kapitan begitu besar.”

Kiranya dia mengerti kemana arah pembicaraan lalu menunjukkan kerenggangan. Jawabannya yang hanya sepatah dua patah kata benar-benar membuat gue jengkel.

Ternyata pujian berbeda dengan kedekatan. Memuji kemampuan tidak sama dengan kemauan membuka hubungan dengan orang yang dipuji. Padahal uang gue sudah habis banyak hari ini. Benar-benar sial!

Hasil yang jauh dari harapan membuat gue pulang dengan kecewa. Untung saja ada Gwat Nio yang dengan cepat mengusir kekecewaan.

Apeh,” panggilnya manja langsung naik ke pangkuan. Dia tak peduli gue sedang membaca atau bekerja.

“Gwat Nio, Apeh sedang sibuk. Sini!” celetuk itu pasti keluar dari Hien Nio.

Anak ini menggelengkan kepala lalu memeluk pinggang gue erat. Meliriknya, gue ingat pernah berjanji mengajarkan taekwondo. Gue pikir semakin cepat ia belajar semakin baik.

“Sini, kita keluar. Apeh ajari Lu kuntao, mau?”

Gwat Nio menganggukkan kepalanya cepat, sangat bersemangat. Sedangkan Hien Nio hanya bisa merengut. Dia pasti masih ingat kata-kata gue agar tidak mengikat kaki putri kami. Dan syukur bagi Gwat Nio, ibunya tetap menjalankan permintaan itu, walaupun dengan amukan ibu mertua dengan kata-kata pedas dan tajam seperti silet yang masih baru.

Salah satu yang gue ingat misalnya begini, “Cuma budak dan pelayan saja yang kakinya besar seperti gajah. Maka itu Abuh sebenarnya tidak setuju kamu menikah dengan dia. Paling hanya gembel yang ingin kaya.”

Kata-kata itu gue dengar tanpa sengaja baru beberapa hari yang lalu. Sakit hati pasti. Tapi tak ada yang bisa gue lakukan selain mengurut dada belajar sabar dan tak menghiraukan lagi setiap kata tajamnya. Lebih baik konsentrasi mengajari Gwat Nio taekwondo agar tak seorang pun bisa melecehkan putri gue.

Pertama kali gue belajar taekwondo umur baru enam tahun. Saat itu Papa yang menyuruh untuk mengurangi kenakalan yang gue lakukan di rumah. Katanya, daripada gue pecahkan televisi dan hiasaan kesukaan Mama.

Tak disangkanya, gue betah mengikuti latihan setiap minggu hingga kemudian naik tingkat dan naik tingkat lagi. Lalu oleh sabeum—panggilan untuk guru taekwondo—gue diajak mengikuti pertandingan. Sejak itulah, pertandingan taekwondo menjadi bagian dari hidup sampai masa SMU.

Masa-masa itu sudah berlalu puluhan tahun lamanya. Mudah-mudahan gue bisa mengingat teknik dasar dan mengajari Gwat Nio dengan tepat.

“Sebenarnya Gwat Nio anak siapa?” tanya Hien Nio setelah malam semakin larut dan hanya kami berdua di dalam kamar.

“Maksud lu?” rasa lelah dan kantuk membuat otak gue tak dapat bekerja cepat.

“Mengapa Gwat Nio sangat lengket pada Ahnia? Kalau ada Ahnia, dia selalu melupakan gua.”

Mungkinkah Hien Nio cemburu dengan kedekatan kami?

Ahnia terlalu memanjakan Gwat Nio.”

“Ada satu jalan agar gue tidak memanjakannya.”

“Apakah itu, Ahnia?”

“Berikan adik untuk Gwat Nio,” sambil menjawab, gue berikan senyum untuk menggodanya. Dia tersipu malu dengan wajah tertunduk.

 

Bagian lima

Hampir dua tahun sejak trauma Hien Nio perlahan menghilang. Waktu berlalu semakin cepat. Tak ubahnya dengan perkembangan anak; lewat sebulan saja, baju yang tadinya pas kini tak muat.

Dua tahun ini pula, Gwat Nio sudah menanyai adiknya ratusan kali. Bisa dikatakan hampir setiap hari dia bertanya ‘kapan dapat adik’ hingga rasanya malam berlalu tanpa kealpaan untuk memenuhi rengekan bocah itu. Tapi tak ada tanda yang menunjukkan Hien Nio mulai mengandung. Padahal permintaan Gwat Nio semakin menggebu.

Apeh, kenapa Gwat Nio belum punya adik? Gwat Nio ingin adik,” rengeknya beberapa hari lalu. Rengekan yang membuat gue bingung harus dijawab bagaimana. Lepas dari rengekannya itu, dia semakin lincah, pintar, juga nakal. Begitu nakalnya anak ini, jika saja ada penghargaan anak ternakal, mungkin ia yang mendapat penghargaan tersebut.

Seperti dua hari yang lalu, gurunya baru melapor bahwa ia menumpahkan tinta ke baju sang Guru. Ketika Hien Nio memarahi, dengan pintar, ia membela diri. “Soalnya dia mengatai gambar Gwat Nio salah! Padahal kata Apeh tidak ada gambar yang salah.”

Lain hari lagi, tepatnya seminggu yang lalu, ada laporan kalau Gwat Nio menendang teman mainnya. Sang Pelapor, ibu yang anaknya ditendang itu menangis karena si anak sempat pingsan. Selain itu, masih banyak laporan lain yang membuat Hien Nio dirudung kesal. “Tak seorang pun yang bisa meredam kenakalan Gwat Nio kecuali Ahnia,” cetusnya begitu frustasi.

Terakhir, baru terjadi kemarin membuat gue terpana sampai tak mampu bersuara adalah tingkah Gwat Nio di rumah seorang meneer kenalan. Setelah berusaha mendekati selama dua tahun, akhirnya gue mendapat undangan untuk sebuah acara makan di rumahnya.

Memenuhi undangan tersebut, gue bawa istri dan anak. Tak disangka dan tanpa sepengetahuan kami, anak meneer itu mengatai Gwat Nio ‘mata sipit’, ‘kafir’ dan lain sebagainya karena dia seorang Tionghoa. Buntut dari ejekan itu Gwat Nio dilarang memainkan mainan miliknya bahkan diusir dari rumah.

Jawaban dari Gwat Nio-lah yang membuat gue terpana kehabisan kata. “Di mata Tuhan semua orang sama. Kamu anak Tuhan, aku juga anak Tuhan.” Dia salin semua kata-kata gue ketika ia bertindak kurang ajar pada pelayan di rumah.

“Benar, ‘kan, Apeh?” sahutnya lagi mencari pembelaan.

“Benar. Kalian semua anak Tuhan,” jawab gue.

Karena teguran Gwat Nio, meneer itu akhirnya tahu bahwa gue seorang Kristiani dan sifatnya ke gue tambah melunak.

 

Bagian enam

Di sisi lain, peristiwa tersebut mendatangkan untung buat gue. Sekurang-kurangnya, kini gue lebih mudah mendekati para meneer—sekalipun di Batavia zaman ini perbedaan Kristen-katolik masih juga mendatangkan diskriminasi. Buntungnya adalah anak itu tambah semena-mena.

“Mungkin waktu Cui Sinshe kecil, nakalnya seperti itu,” tegur seorang klien yang melihat sendiri kenakalan Gwat Nio. Ia bertamu ke rumah gue untuk membicarakan konsep penjualan produknya. Perekonomian yang tambah memburuk sangat menyulitkan dia dalam menjual arak, kesimpulan dari hasil curhat-nya beberapa jam lalu.

Tak dapat menjawab apapun, gue hanya tertawa pasrah. Sementara itu yang dibicarakan masih saja membuat kegaduhan.

Beberapa kursi ditumpuknya sampai tinggi di halaman, bawah pohon mangga. Tentu saja, pelayan yang menumpukkan kursi-kursi itu untuk Gwat Nio. Setelah itu, ia memanjat satu demi satu kursi sampai jantung gue nyaris berhenti. Apalagi Hien Nio yang hanya bisa berteriak menyuruhnya turun tanpa dipedulikan. Sampai di tingkat terakhir, tanpa ada takut sedikitpun, dipetiknya mangga matang dari dahan.

Mau menyusulnya, tak enak meninggalkan tamu. Tidak disusul, hati gue ga tenang. Di sisi lain, tamu itu justru tertawa melihat kecemasan gue dan polah bocah tomboi itu.

Mangga didapat, perlahan dia turun dari tumpukan kursinya. Jantung gue berdebar-debar melihat tingkahnya itu. Akankah dia jatuh? Apalagi tumpukan kursi tersebut terlihat tidak terlalu stabil.

Tiba-tiba saja ketakutan gue menjadi kenyataan. Kursi tersebut jatuh beserta Gwat Nio. Cepat-cepat gue berlari ke arahnya padahal jarak kami terpaut puluhan meter. Tamu tadi sudah tidak gue pedulikan.

Hien Nio juga sama. Dengan kakinya yang mungil itu, berlari adalah hal yang menyulitkan. Tapi ia tetap lari demi mengejar putrinya. Akhirnya dua perempuan itu jatuh di tempat berbeda.

Ketika gue sampai, pantat Gwat Nio sudah menabrak tanah. Tapi dia tak menangis sedikitpun. Hanya berdiri sambil merintih sakit memegangi pantatnya dengan satu tangan. Satu tangan lainnya masih membawa mangga hasil petikan.

“Untuk Apeh,” kata anak itu dengan memamerkan geligi susu dalam mulutnya.

Hati gue meleleh dan terharu mendengarnya tak bisa marah ke dia lagi. Gue ambil mangga dari tangannya lalu menolong Hien Nio dan melihatnya apakah terluka baru gue hampiri lagi anak itu.

“Gwat Nio!” seru gue sengaja dibuat seperti marah. “Kursi ditumpuk seperti itu bahaya. Untung lu tidak terluka. Harusnya lu cari tangga, mengerti? Memanjat juga ada tekniknya. Bukan sembarangan seperti tadi.”

Ahnia! Kenapa mengajari seperti itu?” bentak Hien Nio. Sepertinya ganti gue yang kena marah ibunya. “Anak ini jadi nakal karena ajaran Ahnia.”

“Naik tangga lebih aman.”

“Tetap bahaya. Lagipula mana ada anak gadis sebaya dia yang setiap hari lari-larian, panjat-panjatan seperti ini?”

“Ada, ada,” jawab gue semangat. “Cece juga menemani gue memanjat pohon, kok. Bahkan kami juga memanjat pagar. Lari-larian dengan tetangga main gobak sodor…. Lalu….”

Jawaban gue sukses membuat wajah Hien Nio jadi merah padam. Untung saja, dia dibesarkan dengan pendidikan ala abad ke-18. Kalau dia seperti Cece, sungguh tak terbayangkan adegan Hien Nio mengamuk di hadapan tamu. Pasti membuat gue malu setengah mati.

*#*#*

Catatan Kaki:

  1. It Shaoya: Tuan Muda Pertama
Tinggalkan sebuah Komentar

Tinggalkan komentar