Bab 5
“Nvlei Guniang…,” nada Lao Zhen tidak seperti bertanya tapi mata dan gerakan tubuhnyalah yang bertanya pada Baiyu.
Jadi… nama Nvlei di sisir itu benar-benar nama ibu kandungku.
Baiyu menggelengkan kepalanya tanda tidak tahu.
Sebenarnya mana mungkin seorang Baiyu tidak tahu. Jelas-jelas ia yang membuat makam dan menuliskan sajak berpasangan pada nisan di depan makam. Ia hanya berpura-pura agar rahasianya tidak terbongkar.
“Sayang sekali,” keluh Lao Zhen kecewa.
Zhang Shahai tidak lagi mendengarkan percakapan ini. Ia terlalu sibuk dengan suka-citanya sendiri. Berlarian ia menghampiri Qhing Gongzhu dan semua orang menyampaikan kabar suka-citanya—yang sebenarnya bisa jadi kabar duka bagi keluarganya yang lain.
“Ibu kandungmu, NvLei Guniang seorang pemain zheng yang sangat mahir. Sampai-sampai mas kawin yang diberikan Laoye padanya sebuah zheng antik yang dibeli dari pelelangan.”
Baiyu teringat pada zheng miliknya. Benda itu juga sebuah zheng antik berhias lukisan. Awalnya ia mengira Yi Meixin yang memberikan benda berharga itu padanya. Namun setelah ia tahu asal-usulnya, barulah ia mengetahui bahwa benda tersebut bukan pemberian Yi Meixin. Ternyata, zheng itu mas kawin dari Zhang Shahai untuk ibunya. Sebuah kebenaran yang tak pernah disangkanya.
Namun kini benda itu telah terkubur di halaman belakang rumah Chu Langzhong. Benda itu juga telah dikenang sebagai milik Bai Lengyu. Dengan kematian Bai Lengyu, seharusnya benda itu juga turut mati. Ia tidak perlu kembali hadir mengingatkan mereka pada masa lalu.
***
Pagi menjadi hari yang ribut di kediaman keluarga Zhang. Setelah dini hari penuh keributan ulah Sang Tuan Besar, tak mungkin seluruh penghuni rumah tidak tahu bahwa tabib yang tengah mengobati penyakit Sang Nyonya Rumah adalah anak lain dari tuan besar mereka. Dalam arti lain, tabib yang setiap hari nyaris tanpa suara itu juga salah satu majikan mereka.
Dalam sekejab, keributan itu sampai ke telinga Qhing Gongzhu. Berita yang membuatnya tak peduli ia masih sakit namun tetap harus berperilaku sebagai nyonya rumah yang baik. Dipanggilnya Baiyu ke kamar.
Semua rencana yang telah disusun sejak tahu berita ini dari suaminya terpaksa batal dilaksanakan oleh karena kehebohan yang telah terjadi. Takut berita ini akan segera tersebar keluar sebagai gossip, maka ia harus melakukan sesuatu pada anak di luar nikah itu. Ya, status Baiyu harus diperjelas sebelum berita ini sampai ke telinga di luar kediaman keluarga Zhang.
Ketika Baiyu tiba di kamarnya, ia ‘mengusir’ semua orang. Termasuk dalam semua orang itu juga Zhang Shahai. Katanya ia ingin bicara empat mata dengan Baiyu.
“Siapa yang akan menyangka langzhong yang sedang berjuang menyembuhkan penyakitku ini adalah anak haram suamiku?”
Menghela nafas tak perduli dengan yang dikatakan Qhing Gongzhu, Baiyu baru bicara dengan nada dingin tanpa ekspresi sedikitpun di wajahnya, “Setelah penyakit Anda sembuh, aku akan segera pergi.”
“Aku jadi curiga apakah penyakitku ini ada karena disengaja.”
“Yang kupelajari ilmu pengobatan. Nyawa manusia sangat berharga, tak mungkin kugunakan hanya untuk mendapatkan sebuah status. Lagipula, Gan Yeye tidak akan pernah mengizinkan aku menggunakan ilmunya untuk melakukan hal serendah itu.”
“Bicaramu sangat manis. Apakah ibumu yang seorang penghibur itu yang mengajarkan hal itu padamu?”
“Aku tidak pernah melihat ibuku. Seperti apa rupanya pun aku tak ingat. Gongzhu tak perlu merendahkan diri dengan menghina ibuku. Sudah kukatakan, begitu penyakit Anda sembuh aku segera pergi. Tak perlu diulangi puluhan kali, bukan?”
Jawaban tersebut tentu membuat Qhing Gongzhu terperanjat. Pemuda di hadapannya ini rupanya benar-benar tak ingin tinggal bersama mereka. “Tampaknya kau benar-benar bermaksud untuk pergi dari hadapan ayah kandungmu?”
Baiyu diam tak menjawab.
“Coba bayangkan, ayahmu seorang Da Jiangjun. Ia berkuasa atas ratusan ribu pasukan. Memiliki harta yang cukup banyak. Apakah ada yang mau meninggalkan ayah kandung seperti itu?”
Kali ini yang ingin dilakukan Baiyu hanya cepat-cepat menyembuhkan penyakit Qhing Gongzhu. Lalu beli zheng—atau dixiao, mungkin agar lebih praktis dan tidak terlalu terlihat—kemudian menggunakannya untuk menghipnotis mereka semua agar melupakan bahwa ia pernah ada di rumah itu.
Memandangi Baiyu yang terus berdiam diri, membuat Qhing Gongzhu juga ikut terdiam. Selama beberapa saat Baiyu masih tetap berdiri kaku seperti sebuah patung di hadapan Qhing Gongzhu. Satu hal yang langsung dapat ditangkap Qhing Gongzhu atas sifat Baiyu adalah keras kepala. Diam yang ditunjukkan Baiyu bukan diam yang berarti menurut. Ia diam justru karena berontak.
Bagaimanapun dialah yang menyembuhkan penyakitku. Dia pula yang menyembuhkan penduduk desa Tu. Ilmu pengobatannya sangat berharga bagi Fuhuang. Sekalipun aku tidak janji pada Fuma Ye, orang satu ini harus tetap dipertahankan tinggal di Jingcheng. Lebih baik jika di rumah ini agar selalu terawasi, jangan sampai ia kabur ke negara lain..
Qhing Gongzhu menarik nafas panjang lalu memandangi Baiyu dengan tatapan ramah. “Tarik kursi dan duduklah dekat sini.”
Kali ini Baiyu menuruti apa katanya.
“Zhang… Yu…, Zhang… Bai…, Zhang… Bai… Yu…. Zhang Baiyu nampaknya lebih tepat. Besok kamu temani aku masuk huanggong[1]. Aku tidak sadar berapa lama, Fuhuang pasti cemas dibuatnya.”
“Apa tujuan Anda? Gongzhu mengunjungi orangtua lebih tepat bersama Fuma Ye atau anak-anak Anda.”
Qhing Gongzhu melirik Baiyu yang bertanya dengan nada angkuh itu.
“Aku tahu kau cerdas. Baiklah, aku akan berterus terang,” Qhing Gongzhu menjawab tanpa menatap wajah Baiyu lagi. “Aku pernah berjanji pada ayahmu memberi izin mengasuh anak dan kekasihnya jika bertemu lagi.”
Baiyu memandangi wajah Qhing Gongzhu terkejut. Karena apa yang terjadi ternyata tak sesuai harapannya semalam.
“Aku tak peduli ibumu lebih dulu menikah dengan suamiku tapi nyatanya pernikahan mereka tidak mendapatkan restu juga tidak tercatat. Aku tetap istri resmi dari ayah kandungmu.”
“Aku tahu dan tidak peduli.”
“Kau boleh memanggilku Muqin[2]. Ingat, Baiyu! Ini adalah Jingcheng. Rumah kediaman Da Jiangjun. Aku tahu kau orang yang keras tapi sebaiknya jangan pernah buat masalah agar nama ayah kandungmu tidak tercoreng. Kamarmu, Grha Taman Harapan tengah dibersihkan. Aku dengar sejak tinggal di rumah ini kau paling dekat dengan Yu’er. Kamar itu adalah kamar terdekat dari Yu’er. Satu lagi, pelayan akan menyiapkan pakaian untukmu agar besok kau bisa mengenakannya menemaniku menemui Fuhuang.”
Jelas sudah maksud Qhing Gongzhu adalah menahan Baiyu agar tetap tinggal di sana. Menyuruhnya menemani bertemu dengan kaisar tentu untuk ‘legalisasi perintah’ agar ia tetap tinggal di Jingcheng.
***
Bunyi gemerisik rumput yang terinjak menghantui langkah kaki Baiyu. Ketika Baiyu kembali melangkah, maka bunyi itu kembali terdengar. Demikian juga langkah-langkah berikutnya. Bunyi gemerisik itu senantiasa mengikuti. Tapi bunyi itu bukan berasal dari rumput yang diinjaknya.
Seseorang.
Kiranya ada seseorang berada di belakangnya mengikuti setiap langkah kakinya. Dengan perlahan dan hati-hati seolah macan yang hendak menerkamnya.
Seandainya yang mengikutinya itu sungguh-sungguh seekor macan, mati diterkamnya nampak tak masalah bagi Baiyu. Karenanya ia tetap berjalan seperti biasa. Menghiraukan insting untuk memasang kewaspadaan tinggi.
Ia tetap berjalan. Seolah tak ada apapun di belakangnya. Tak ada apapun yang perlu dikuatirkannya lagi. Hatinya terlalu penuh hingga nyaris meledak, mau ditaruh mana lagi pikiran-pikiran yang baru bermunculan?
~~~
“Tertangkap kau!” seru yang berada di belakangnya itu. “Mau lari ke mana lagi sekarang? Latihan diam-diam lagi di hutan tanpa mengajak aku? Beraninya kau lakukan itu padaku,” nada suaranya terdengar merengut seperti marah tapi marah yang dipaksa. “Ayo katakan, katakan!”
~~~
“A Bu…?” Baiyu berkata dengan mata berair hendak menangis. Ia rindu seseorang yang bisa diajak berbagi isi hatinya. Seseorang seperti Zhu Bu ataupun Chu Langzhong.
Banyak hal yang ingin kukatakan padamu A Bu. Banyak yang ingin kuceritakan.
Berbalik badanlah ia melihat siapa yang menangkapnya.
“Baiyu Ge… Baiyu Ge, mengapa menangis?” Zhang Yu’er yang tadi mengikuti di belakang dan menangkapnya kini memeluk BaiYu’erat dan menatapnya dengan penuh perhatian. “A Bu itu siapa? Teman Baiyu Ge, ‘kah?”
Baiyu menggelengkan kepalanya. “Baiyu Ge tak punya teman satupun.”
Zhang Yu’er merengut. “Aku juga,” balasnya dengan wajah masih merengut.
“Bukankah kamu masih punya Dage, Erge, Sanjie dan Sijie[3]?”
“Dage, Erge semuanya sibuk sendiri. Sanjie, Sijie juga sama saja. Tidak ada yang mau menemani Yu’er.”
“Baik. Baiyu Ge tidak punya teman, Yu’er juga tidak punya teman. Mulai sekarang, bagaimana jika kita berteman?”
“Benarkah, Baiyu Ge? Yu’er setuju.” Dengan loncat-loncat, Zhang Yu’er tetap memeluk pinggang Baiyu. “Akhirnya Yu’er punya teman!”
Sepanjang sisa hari Baiyu dan Zhang Yu’er terus berdua. Bahkan ketika Baiyu membeli obat, merebus sampai menghantarkan ke hadapan Qhing Gongzhu, Zhang Yu’er terus bersamanya. Siapa pula yang akan mengira ketika malam mulai larut, Zhang Yu’er tidur di kamar Baiyu. Di kediaman keluarga Zhang yang luas ini, Zhang Yu’er justru berteman dekat dengan kakak tirinya, bukan dengan keempat saudara kandungnya.
Setelah malam melelahkan bagi Baiyu karena Zhang Yu’er yang tak juga mau tidur dan mengajaknya bermain hingga larut malam, pagi-pagi sekali ia sudah harus bangun menemani Qhing Gongzhu menemui kaisar.
Tentu ia pergi dengan menyeret kakinya. Apapun keputusan kaisar nanti, semuanya pasti demi menahannya tinggal di Jingcheng. Sama sekali ia tak punya minat untuk pergi menemui kaisar walau orang lain cemburu atas kesempatan yang dia miliki. Ya, di pasar, berita tentang keberadaan dirinya sudah mulai jadi perbincangan. Bahkan saat dia membeli suatu barang pun, pedagannya tak akan lupa bertanya kebenarannya, tahu di hadapannya orang dimaksud maupun tidak tahu.
Bila diingat, pesimisnya semakin menjadi sejak di penginapan sebelum ia bertemu Huo Laoban. Tepatnya sejak mendengar kematiannya disyukuri banyak orang. Detik itu juga ia telah memutuskan untuk hidup menyendiri seperti halnya sang Gan Yeye. Sayangnya, Zhang Shahai terus membujuk dan Qhing Gongzhu terus memaksanya. Maka, hari ini Baiyu tampak lebih mirip seperti terpidana yang hendak dibawa ke tiang pancung daripada seseorang yang hendak menerima berkah melimpah dari sang Putra Langit.
Setelah menunggu sekian lamanya di luar ruang, Baiyu diterima di ruang baca kaisar. Di depannya, puluhan langkah dari dia, sang Kaisar duduk didampingi Qhing Gongzhu. Entah apa yang telah mereka bicarakan hingga membuatnya harus menanti di luar nyaris setengah hari.
“Fuhuang, inilah Baiyu yang menyembuhkan penduduk desa Tu. Dia juga yang mengajari para langzhong yang kita kirim agar dapat mengobati penduduk desa sekitar desa Tu.”
Sang Kaisar mengangguk-anggukan kepalanya perlahan sembari mengelus jenggotnya. Tampak ia kagum pada kemampuan Baiyu. “Siapa yang mengajarimu ilmu pengobatan, Baiyu?”
“Jawab, Huangshang, yang mengajari xiaomin[4] adalah Chu Langzhong, kakek angkat xiaomin.”
“Berapa lama kamu telah mempelajarinya?”
“Jawab, Huangshang, kira-kira xiaomin mulai mempelajari sekitar dua sampai tiga tahun yang lalu.”
Satu demi satu pertanyaan diajukan dan satu demi satu pula pertanyaan itu harus dijawab dengan pilihan kata-kata yang tepat dengan standar etika kesopanan tertentu. Salah sedikit akan berakibat fatal baginya. Pantas saja orang-orang mengatakan ‘menemani kaisar sama seperti menemani harimau’.
“Bagaimana jika kamu zhen angkat sebagai kepala dari semua daiyi[5] yang ada di istana zhen ini?”
Serta merta Baiyu berlutut memohon, “Ampun, Huangshang. Xiaomin tidak berani menerimanya.”
“Mengapa?”
“Jawab, Huangshang, amanat terakhir kakek angkat xiaomin adalah meminta agar mengamalkan ilmu yang diajarkannya ini untuk kepentingan rakyat.”
Qhing Gongzhu menarik nafasnya lalu berbisik di telinga sang kaisar. Tak lama sang kaisar menganggukkan kepalanya, sepertinya tanda setuju. Ketika berbisik, bibir Qhing Gongzhu ditutupi tangan dan jarak mereka juga terpaut jauh membuat Baiyu tidak dapat mencuri dengar.
“Nah…, kali ini kamu tidak boleh menolaknya lagi, Baiyu,” dilihatnya Baiyu masih berlutut, menyembah untuk memohon. “Zhen mengangkatmu sebagai cucu angkat zhen dan gelarmu adalah Dayao Wangzi. Dayao artinya obat besar maknanya agar hidupmu seperti obat dalam hidup orang lain.”
Baiyu terperangah dan diam mendengarkan hal tersebut. Satu lagi tebakannya ternyata tepat. Ia disuruh datang ke istana hanya untuk legitimasi perintah ‘tidak boleh meninggalkan Jingcheng selamanya’.
Ia diam dan terus diam. Berlutut dan berlutut. Tak bergerak sedikitpun kecuali jantung dan aliran darah dalam tubuhnya yang memang bergerak tanpa bisa diperintah untuk berhenti sesaat.
“Baiyu, mengapa diam saja? Cepat haturkan terima kasih!” kali ini Qhing Gongzhu yang memberi perintah.
Baiyu memandangi mereka, Qhing Gongzhu dan Kaisar bergantian. Dalam mimik wajahnya, Qhing Gongzhu tetap menyuruh Baiyu segera menghaturkan terima kasih. Baiyu tahu jika ia terus mengelak, bahaya yang diterimanya mungkin akan sampai pada Zhang Shahai. Terpaksa kali ini ia mengalah sambil mengatur cara agar ia bisa menghilang dari mereka.
“Baiyu haturkan terima kasih.”
“Kamu pasti ingin membuka balai pengobatanmu, zhen siapkan rumah besar di jalan Gongzheng. Kamu bisa merenovasi dan membangun balai pengobatanmu sendiri.”
“Terima kasih, Huangshang.” Tentu yang kali ini Baiyu tidak mungkin menolak. Telanjur basah ‘ditahan’ sebagai wangzi, bisa memiliki balai pengobatannya sendiri adalah hal yang baik. Bila kelak balai pengobatannya itu juga berfungsi tempat tinggalnya adalah jalan yang cukup baik.
“Mengapa masih memanggil zhen seperti itu? Aturan istana kau perlu pelajari pelan-pelan. Termasuk bagaimana menyebut zhen. Sekarang pergilah dulu, plakatmu akan disiapkan.”
“Baiyu, pulanglah dulu. Muqin masih akan di sini beberapa waktu lagi.”
“Baik, Muqin. Baiyu undur diri.” Baiyu menundukkan badan lalu mundur teratur dari ruangan tersebut.
***
Di tengah keramaian pasar di Jingcheng, Huo Mei’er ditemani pelayannya, Qian’er berjalan santai menikmati keriuhan. Kanan kiri para pedagang bertebaran menawarkan dagangannya. Pasar yang sebetulnya ada di tepi jalan Ru tersebut sepertinya tak pernah sepi dari pembeli dan pedagang.
Huo Mei’er begitu asyik memperhatikan setiap perhiasan yang dijajakan oleh para pedagang di pasar. Ia tak peduli hiasan itu barang murahan. Tak peduli hiasan itu bukan barang berkualitas bagus. Karena ia cuma senang melihat-lihat, bermain-main juga membelikan dirinya sendiri perhiasan lucu walaupun murah dan Qian’er beberapa pernak-pernik. Mereka begitu asyiknya sampai tak mengira ada gelandangan yang mengincar kantung uangnya.
Ketika Huo Mei’er sedang memilih anting yang pas di telinga Qian’er, gelandangan tersebut menjalankan aksinya. Setelah berhasil, sekuat tenaga ia berlari dengan membawa kantung uang Huo Mei’er.
Terkejut Huo Mei’er dibuatnya. Namun tak sampai lama. Ia segera berlari mengejar gelandangan tersebut dan berteriak kencang-kencang, “COPEETTT!!! Berhenti!”
Gelandangan dan Huo Mei’er terus berlarian sekuat tenaga. Si Gelandangan tak ingin tertangkap sedangkan Huo Mei’er ingin uangnya kembali. Karena tak ingin ditangkap itulah gelandangan itu berlari seenak perutnya sendiri. Ia menerjang apapun yang ada di hadapannya. Menabrak siapapun yang menghalangi jalannya.
Termasuk seorang gadis kecil yang tengah menangis tepat di perempatan jalan pertemuan jalan Ru dengan jalan Wei, tak luput ditubruk gelandangan tersebut.
Gadis kecil itu tadinya menangis dengan satu tangan menutupi muka dan tangan lainnya menggenggam batang manisan pintanghulu sehingga tidak melihat datangnya gelandangan itu. Mungkin ia juga telah terlepas dari orangtuanya.
Dari jalan Wei itulah, Baiyu muncul berjalan dengan melamun dan untungnya adegan tabrakan dan jerit gadis kecil itu membuatnya segera sadar dari lamunannya. Buru-buru ia berlari untuk menolong gadis kecil yang telanjur jatuh tersungkur setelah ditabrak dan didorong oleh Si Gelandangan.
“Berhenti!!!” teriak Baiyu marah. Semua orang yang ada di sana mendadak diam di tempat karena terkejut mendengar teriakannya yang membahana serta tegas, tapi tidak dengan gelandangan itu yang nampaknya sudah kebal dengan perintah. Ia terus berlari menjauh dan menjauh.
Baiyu juga tidak mungkin tinggal diam. Ia mengambil satu butir manisan pintanghulu dari tangan gadis kecil tersebut lalu melemparkannya ke arah kaki gelandangan itu. Lemparannya tentu tepat sasaran. Gelandangan tersebut ambruk, jatuh terjerembab.
Huo Mei’er juga sampai pada waktunya. Ia segera menindih punggung gelandangan itu dengan kakinya membuat gelandangan tersebut tidak dapat berkutik lagi. Dengan santai diambilnya kantung uangnya kembali. “Mau melawan seorang Huo Mei’er? Huh! Jangan mimpi!” puas memaki, Huo Mei’er meninggalkan gelandangan tersebut.
Makian Huo Mei’er membuat orang lain mengira Huo Mei’er lah yang melakukan suatu sehingga gelandangan itu sampai jatuh terjerembab. Sedangkan Huo Mei’er sendiri tak menyadari siapa yang membuat gelandangan yang mencopet kantungnya bisa jatuh di sana.
Di saat yang sama, Baiyu menggandeng gadis kecil tadi mendekati gelandangan. “Kamu yang menabraknya. Minta maaf pada dia lalu kau kulepaskan.”
Gelandangan itu tetap diam.
Semua mata melihat pada mereka, Si Gelandangan dan Baiyu. Bahkan Huo Mei’er juga menjadikan kedua orang itu sebagai tontonan.
“MINTA MAAF!!!” bentak Baiyu. Rupanya Baiyu tak peduli dirinya menjadi tontonan banyak orang hanya karena masalah seperti ini. Lucunya gelandangan itu juga tak segera minta maaf. Ia bahkan memalingkan wajahnya ke arah lain dan membuang ludah.
Baiyu benar-benar harus menahan emosinya kali ini.
Di kala itu juga, seorang kasim muda masih dengan pakaian dinasnya berlarian di jalan Wei yang tadi dilalui Baiyu sambil berteriak memanggil namun tersengal-tersengal karena lelah, “Wangzi Ye[6], tunggu! Wangzi Ye, tunggu! Wangzi Ye….”
Kehadiran seorang kasim yang berlarian memanggil tuannya dan mendekati Baiyu tentu saja menjadi bahan tontonan baru oleh orang-orang itu.
Tiba di dekat Baiyu, kasim tersebut berhenti berlari. Menenangkan nafasnya yang masih tersengal-sengal baru berkata, “Nucai[7] beri–”
“Luar istana, tak perlu aturan.”
Tak jadi berlutut menyembah, kasim itu mengeluarkan benda yang dibawanya dan memberikan pada Baiyu. “Wangzi Ye, plakat Anda tertinggal.”
Maka semua mata kaget memandangi Baiyu. Termasuk gelandangan yang kini memandangnya takut-takut.
Mungkin yang salah adalah baju yang dikenakan Baiyu. Baju yang disiapkan Qhing Gongzhu untuk menemui kaisar memang tadi telah dilepas ketika ia memutuskan ingin pergi jalan-jalan sebelum kembali ke kediaman keluarga Zhang. Jadi, yang dikenakannya ini pakaian kasar dari rami yang dibelinya bersama Chu Langzhong. Sepertinya karena itulah gelandangan tadi benar-benar tak menganggapnya dan memandangnya sebagai sama-sama orang tak punya sehingga tak perlu dihormati pun ditakuti.
Baiyu bersikap seperti tidak terjadi apapun. Tak ada yang aneh, tak ada yang perlu berlutut padanya. Ia mengambil benda yang diserahkan dengan hormat oleh kasim itu dan menyimpannya di balik bajunya. Setelah memberikan uang lelah, ia menyuruh kasim itu pulang ke istana. Kemudian matanya mulai nanar mengincar gelandangan yang kini ketakutan setengah mati.
“Minta maaf!”
Kali ini gelandangan itu langsung berlutut menyembah memohon ampun berulang kali. Namun pada Baiyu.
“Bukan padaku. Yang kau tabrak gadis ini!”
Si Gelandangan mengangguk cepat lebih dari sekali lalu menyembah mohon ampun kiranya lebih dari sepuluh kali dilakukannya membuat gadis kecil itu berhenti menangis dan bahkan tertawa cekikikan.
“Sudahlah. Kali ini kau kuampuni. Pergi sana!”
Gelandangan itu terlihat amat berterima kasih sampai menyembah Baiyu tiga-empat kali lalu lari terbirit-birit. Ketika ia pergi, Baiyu berjongkok sehingga tingginya sama rata dengan gadis kecil itu. “Mana yang sakit? Boleh Dage lihat?”
Gadis itu menjawab dengan beberapa anggukan perlahan. Bibirnya ditekuk ke bawah karena kembali teringat sakit di lukanya.
Setelah Baiyu membimbing gadis tersebut jalan ke pinggir jalan raya yang ada undak-undakan untuk duduk, ia menyuruh gadis kecil itu duduk dan ia kembali jongkok di hadapan gadis itu. Tangannya sibuk mencari-cari sesuatu di dalam balik bajunya. Tak lama, tangannya telah berhasil menemukan apa yang dicarinya, keluar membawa sebuah bungkusan kertas terlipat amat rapi
Setelah lipatan kertas kecil itu dibuka, ia menaburkan bubuk yang terbungkus dalam kertas ke luka dari pergelangan tangan sampai ke siku dan di lutut gadis kecil itu. “Tak lama lagi pasti sembuh.”
Gadis itu mengangguk. Nyaris tak terdengar karena malu-malu ia berujar, “Terima kasih Wangzi Gege.”
“Xiaojie!” kali ini terdengar suara Qian’er yang baru berhasil menyusul Huo Mei’er. Larinya demikian terengah-engah ketika mendapati Huo Mei’er. “Eh, kantong uangnya sudah kembali? Kenapa Xiaojie tidak lekas pulang?”
“Psst!” perintah Huo Mei’er sambil menunjuk ke arah Baiyu. Matanya sendiri tak lepas terus memandangi Baiyu yang bercakap-cakap dengan gadis kecil yang baru ditolong.
Ketika seorang perempuan yang usianya kira-kira lima belas tahun di atas Huo Mei’er datang menjemput gadis kecil itu, Huo Mei’er baru meninggalkan Baiyu. Dengan tawa cekikikan ia terus berjalan pulang ke rumah.
“Qian’er, kau percaya orang tadi itu sebenarnya seorang wangzi?” ia melihat Qian’er menggelengkan kepalanya beberapa kali. “Kalau orang seperti itu yang melamarku, jadi istri keduanya pun aku rela.”
“Xiaojie…?”
Huo Mei’er kembali berlari dengan tertawa cekikikan menyebrangi taman masuk ke dalam kamarnya. Rupanya sudah seperti seorang gadis yang terkena penyakit jatuh cinta. Melamun, tertawa sendiri, kembali melamun dan semua dilakukan dengan bibir tersenyum senang.
“Mei’er, Niang belum lama ini mengenal seorang tabib. Usianya dua puluh satu tahun tapi belum pernah menikah. Dia yang menolong penduduk desa Tu selamat dari wabah penyakit yang melanda beberapa bulan yang lalu. Dia juga yang menolong Niang sehingga kepala Niang tidak terasa sakit lagi. Mei’er, kamu dengarkan kata-kata Niang, tidak?”
Huo Mei’er tampaknya tidak mendengarkan karena sibuk dengan khayalannya sendiri.
“Furen…, dari siang Xiaojie sudah seperti ini. Arwahnya seperti dibawa pergi pemuda gembel yang tadi dilihatnya di pasar. Bahkan Xiaojie mengatakan padaku pemuda itu adalah seorang wangzi,” lapor Qian’er cemas.
“Qian’er! Jangan sumpahi Wangzi jadi gembel!” tegur Huo Mei’er mendadak. Terang saja Qian’er dan Huo Furen terkejut setengah mati karenanya. “Niang… ia benar-benar bukan gembel. Memang bajunya jelek. Bahkan lebih jelek dari Qian’er. Tapi kasim itu jelas-jelas memanggilnya Wangzi Ye. Berulang kali.”
“Tapi mana mungkin ada wangzi mau berpakaian seperti itu, Mei’er?”
“Furen, Laoye meminta Anda dan Xiaojie ke ruang tamu. Zhang Daren dan Baiyu Gongzi datang bertamu.”
“Baru kubicarakan orangnya sudah datang. Mei’er, Baiyu Gongzi adalah orang yang tadi Niang sebut. Orangnya memang pendiam dan kaku tapi Niang merasa dia orang baik-baik. Cobalah kamu bersikap manis.”
Huo Mei’er memasang wajah cemberut.
Di ruang tamu keluarga Huo, Baiyu dan Zhang Shahai telah duduk di kursi tamu yang ada. Huo Yinqian juga duduk tak jauh dari mereka sedang mengobrol akrab. Sepertinya Huo Yinqian sudah tahu bahwa Baiyu dan Zhang Shahai telah saling mengenali sebagai ayah dan anak. Berulang kali, ia mengucapkan selamat pada Zhang Shahai atas keberuntungannya tersebut.
Pakaian yang dipakai Baiyu kali ini tampak terbuat dari kualitas terbaik. Tentu saja, setelah ia ‘dikuliahi’ oleh Zhang Shahai di rumah ketika pulang tadi, mana berani ia datang bertamu menemani Zhang Shahai dengan pakaian seperti yang dipakainya tadi siang.
“Laoye, Furen dan Xiaojie telah datang,” lapor pelayannya dari arah dalam rumah.
Huo Yinqian menganggukkan kepalanya lalu menyuruh pelayannya kembali masuk.
“Zhang Bobo, Mei’er ucapkan salam untuk Zhang Bobo.” Kala itu wajah yang berhadapan dengannya adalah Zhang Shahai seorang. Baiyu tengah memalingkan muka ke arah lain seperti sedang mencari suatu benda.
Ketika akhirnya mendapat kesempatan melihat wajah Baiyu, Huo Mei’er tak sedikitpun terkejut, Mei’er mengucapkan salamnya, “Mei’er, beri salam pada Wangzi Ye.” Ia memberi salam dengan lututnya sedikit ditekut dengan sikap hormat dan anggun, benar-benar tak seperti Huo Mei’er yang biasanya.
Memang benar, sikap anggun tadi cuma sesaat. Tak lama kemudian senyum riang khas Huo Mei’er kembali menghiasi wajahnya.
Baiyu terkejut mendengar salam itu dan kemudian lebih terkejut lagi melihat sosok gadis yang memberikan salam seperti itu padanya. Ia terkejut bukan karena telah melihatnya tadi siang namun karena wajah Huo Mei’er sangat mirip dengan Hou Nulang.
Bedanya adalah jika wajah Hou Nulang bersinar seperti rembulan, maka Huo Mei’er seperti matahari. Huo Mei’er seperti Hou Nulang dalam kemasan lain, kemasan yang ceria, lincah, dan berbalutkan pakaian sutra dan kain berkualitas baiknya lainnya dengan hiasan sulaman indah.
Karena kagetnya itu, Baiyu sampai terperangah dan diam beberapa saat lamanya hingga semua yang dikatakan ayahnya sama sekali tak terdengar. “Baiyu, dia anak gadis Huo Shushu. Kamu masih belum juga berikan salam? Baiyu… Baiyu!”
Tergagap Baiyu yang akhirnya kembali sadar, buru-buru ia menyampaikan salamnya malu-malu karena tak enak hati.
Huo Furen merasa tenang sekarang. Sikap aneh Huo Mei’er sejak siang berarti putrinya ini memang menyukai Baiyu. Tampaknya Baiyu juga tertarik pada Huo Mei’er. Status Baiyu sekarang sudah jelas, bahkan punya kedudukan sebagai cucu angkat kaisar. Kurang apalagi untuk tidak menjodohkan putrinya pada Baiyu? Mudah-mudahan jenderal besar ini juga menyadari keanehan di antara putra-putri mereka dan berminat menjodohkan.
***
“Yu’er,” tegur Qhing Gongzhu menemani Zhang Yu’er makan.
Mereka tinggal berdua di rumah. Zhang Yi Lang dan Zhang Er Bao masih di markas militer, Zhang Shahai membawa Baiyu ke rumah Huo Yinqian. Sedangkan kedua putrinya sedang menginap di kediaman adik Qhing Gongzhu.
“Selama ini kamu yang paling dekat dengan Baiyu ge, apakah Baiyu Ge pernah cerita padamu sesuatu?”
Zhang Yu’er menganggukkan kepalanya bangga.
“Dia cerita apa?”
“Baiyu Ge… cerita pernah tinggal di suatu tempat yang selalu dingin sepanjang tahun. Terus… Baiyu Ge sering pergi. Ke mana saja dia sudah pernah pergi. Danau di Barat, gurun di Utara, menyusuri Sungai Kuning….”
“Baiyu Ge pernah cerita padamu tentang anak atau istri atau pacarnya?”
“Memangnya Baiyu Ge punya anak, Muqin?” Zhang Yu’er justru balik bertanya dengan polosnya.
“Justru Muqin bertanya padamu apakah Baiyu pernah cerita masalah itu atau tidak.”
Zhang Yu’er menggelengkan kepalanya perlahan-lahan nampak ragu-ragu. “Eh… itu Baiyu Ge pulang!”
Padahal Baiyu pulang bersamaan dengan Zhang Shahai, Zhang Yi Lang dan Zhang Er Bao. Tapi yang lebih menarik perhatian Zhang Yu’er justru Baiyu.
“Baiyu Ge… apa Baiyu Ge punya kekasih?”
Bingung karena pertanyaan Zhang Yu’er, Baiyu menggelengkan kepalanya.
“Istri?”
Sekali lagi Baiyu menggelengkan kepalanya.
“Anak?”
Baiyu memandangi Qhing Gongzhu lalu kembali pada Zhang Yu’er. Tiba-tiba Baiyu meninggalkan Zhang Yu’er pergi ke Grha Taman Harapan yang telah menjadi kamarnya di kediaman keluarga Zhang.
Pintu dibiarkan terbuka lebar-lebar. Karena grha tersebut terdiri dari dua lantai dan di lantai ataslah dipan untuknya tidur dipasang, ia segera menaiki tangga, menuju kolong dipan tempat ia menyimpan kotak kayu miliknya.
Zhang Shahai menggendong Zhang Yu’er yang menangis menyusul Baiyu. Zhang Yi Lang, Zhang Er Bao dan Qhing Gongzhu juga.
Begitu masuk, Zhang Er Bao langsung mendekati Baiyu menarik baju dan bersiap menampar Baiyu. Tapi tangan belum keburu menampar, sudah ditangkap oleh Baiyu. membuat Zhang Er Bao kaget bukan kepalang.
Zhang Er Bao jelas terkejut. Sebagai seorang ‘hanya’ tabib, gerakan tangan Baiyu begitu cepat bergerak mendahului tangannya bergerak menampar. Apalagi cengkraman tangan Baiyu demikian erat. Seolah-olah, Baiyu pernah latihan kungfu sebelumnya.
Karena itu, ia terus menerus memandangi Baiyu seolah meneliti. Apakah kakak tirinya ini pernah belajar kungfu? Tapi wajah dingin yang ditunjukan padanya tak menjawab pertanyaan tersebut.
“Baiyu, kamu sedang apa?” kali ini Zhang Shahai yang bertanya.
“Merapikan barang,” nadanya benar-benar kaku. Seperti seorang anak yang sedang menghafalkan satu ditambah satu sama dengan dua.
Sembari menjawab, ia menghentak tangan Zhang Er Bao ketika melepas lalu kembali menyibukkan diri dengan isi-isi kotak kayunya. Ia pergi ke Jingcheng hanya membawa empat stel pakaian. Kalaupun pulang hanya dengan dua stel pakaian tersisa – karena Zhang Shahai menyuruh pelayan membuang pakaiannya tadi siang juga pakaiannya yang masih ada di tempat pencucian – menurutnya tak apa. Berbekal dari sisa tabungannya di Baiyu Jiao dan imbalan yang diperoleh dari Huo Yinqian, ia dapat membeli lagi ratusan stel pakaian dengan kualitas seperti itu.
“Hanya karena pertanyaan Yu’er itu lalu kamu berpikir untuk kabur? Apa-apaan kamu ini?” yang bertanya ini tentunya Qhing Gongzhu. “Memang aku yang meminta Yu’er menanyakan itu padamu. Apa tidak boleh?”
“Aku menikah atau tidak, punya kekasih atau tidak apa semuanya harus diatur?”
“Aku cuma bertanya. Tidak boleh? Kekasihmu toh statusnya menantu keluarga Zhang. Anakmu juga keturunan keluarga Zhang. Aku nyonya rumah di sini, tidak bolehkah aku tahu tentangmu?”
Zhang Shahai yang merasa bersalah tidak merawat Baiyu sejak kecil membuatnya tidak berani banyak protes sekalipun hatinya terasa teriris. Ditelannya kepahitan itu sendiri dengan tatapan merana memandangi Baiyu.
“Aku bukan kabur. Lihat? Kalian sendiri menyaksikan aku beres-beres. Aku pulang.”
“Jadi… menurutmu ini bukan rumahmu?” tanya Zhang Shahai terkejut dan pilu.
“Rumahku… dia terbuat dari bambu. Lantainya tidak dilapisi batu. Letaknya jauh di dalam hutan,” deskripsi cukup tepat dari Baiyu bagi rumah Chu Langzhong.
Sekalipun ia menjawab seperti itu, hatinya justru terasa sangat pedih.
Buat apa menahanku? Keberadaanku hanya akan mencelakaimu, Fuqin. Musuhku tetap mengincar nyawaku sekalipun Fan Ku telah mengabarkan kematian Bai Lengyu.
“Lalu gelar Dayao Wangzi?” tanya Qhing Gongzhu.
“Aku bukan orang yang terpikat pada hal seperti itu.”
“Apa kau tahu tingkah lakumu ini bisa membuat ayah kandungmu celaka, hah?” tegur Qhing Gongzhu tak peduli lagi pada standar etika keluarga ningrat. Kalau saja Baiyu adalah anak kandungnya, pasti sudah kena tampar.
Tapi teguran itu sudah cukup membuat Baiyu kembali memikirkan tindakannya. Tangannya kini lunglai tak lagi memasukkan barang ke dalam kotak kayu. Dipandanginya Zhang Shahai terus menerus.
Bukan sepenuhnya salah Zhang Shahai atas status fuma ye yang disandang. Status yang membuat mereka terpisah demikian jauh, bagai langit dan bumi. Sebuah status yang membuatnya harus berpikir ribuan kali sebelum melakukan suatu tindakan agar tidak merusak nama baik ayahnya, merusak hubungan baik antara ayahnya dengan kaisar.
Begitu lemas Baiyu karena menyadari semua itu. Semua kekuatannya mendadak pergi meninggalkannya. Dipandangi Zhang Shahai dan akhirnya ia berlutut di hadapan Zhang Shahai sembari meminta maaf. Pergi begitu saja jelas-jelas langsung membuat Zhang Shahai celaka. Tapi terus tinggal di sana juga akan membuat Zhang Shahai celaka. Rasanya posisi kali ini benar-benar terjepit. Lebih baik baginya berhadapan dengan Wanshang Bianfu daripada situasi seperti ini. Tanpa ditahan, air mata membanjiri wajahnya. Ia kalut dan bingung harus berbuat apa.
Tak sadar dan benar-benar tak tahu apa yang dipikirkan Baiyu membuat Zhang Shahai mengira kali ini Baiyu sungguh-sungguh merasa bersalah telah melukai hatinya.
Uniknya Zhang Shahai adalah pada anaknya yang lain ia keras. Disiplin ala militer benar-benar diterapkan. Tapi pada Baiyu, Zhang Shahai justru langsung menyuruh berdiri dan merangkulnya. Ia merasa sangat bersyukur anak yang lama dicarinya ini kini berada di sisinya. Asal Baiyu tetap di sisinya, bagaimanapun tindakan Baiyu pada dia tampaknya akan dimaklumi.
*
Selesai pertemuan pagi dengan kaisar – jadwal baru yang harus ditaati oleh Baiyu – kembali Baiyu mengenakan pakaian lamanya. Sedangkan pakaian resminya dihantar pulang dalam tandu yang tadi mengangkutnya dari kediaman keluarga Zhang menuju istana.
Kali ini ia sengaja mengelilingi kawasan pinggir kota Jingcheng bagian Barat, dimana ia tahu ada pemukiman kumuh rakyat miskin.
Menjelajahi pemukiman kumuh itu tak ubahnya dengan menjelajahi desa Tu di awal kedatangan. Banyak orang sakit yang tidak mendapatkan perawatan semestinya. Namun di pemukiman ini bukan karena tabib di sana juga terkena wabah. Tempat ini tak ada wabah yang ada hanya penduduk miskin yang tidak memiliki uang untuk memeriksakan diri dan menebus obat.
Baiyu sengaja mendatangi satu demi satu rumah. Mengecek kesehatan masing-masing penghuni rumah. Kalau penghuni rumah itu dalam kondisi baik, maka ia hanya memberi anjuran yang dapat mempertahankan kesehatan mereka. Jika ada orang sakit di rumah itu, ia akan merawatnya semampu mungkin. Kalau yang dibutuhkan hanya terapi akupuntur, ia langsung melakukan. Tapi jika mereka butuh obat, terpaksa harus menunggu hari berikutnya. Karena tak ada yang bisa disuruh membeli obat.
Membawakan anak-anak di sana uang untuk membeli obat, Baiyu tak begitu yakin obatlah yang dibeli. Bisa-bisa manisan atau jajanan lain yang dibeli. Kalau orang dewasa yang disuruh, rata-rata toko obat ada di dalam kota dan banyak dari orang-orang kota menganggap gelandangan tak mungkin punya uang untuk berobat. Bisa-bisa diusir keluar tapi uangnya diaku milik mereka.
Selesai dari rumah ini, ia pergi ke rumah lainnya.
Rumah kali ini dihuni oleh seorang kakek bersama cucunya. A Gou, nama cucu itu, sakit-sakitan sejak kecil. Si kakek dipanggil Su Laogong[8], adalah seorang kakek yang lumpuh. Entah bagaimana cara mereka bisa bertahan hidup sampai hari ini.
Mungkin karena kondisi keluarga itu yang membuat Baiyu memiliki kedekatan lebih dari keluarga-keluarga lainnya di pemukiman tersebut. Mereka berdua membuatnya teringat tentang hidupnya bersama Chu Langzhong di Gunung Nan.
Chu Langzhong memang bukan seorang kakek yang lumpuh. Ia juga bukan pemuda sakit-sakitan. Ketika itu ia adalah pemuda yang nyawanya di ambang maut karena luka dan racun.
Rupanya, ketika kaki Su Laogong masih berfungsi normal, ia bekerja sebagai tukang ramal keliling. Sudah puluhan kota yang telah dilaluinya. Kala itu, orangtua Agou masih bekerja. Kakinya lumpuh karena ulah seorang kaya yang marah akibat dapat ramalan jelek. Memang, kekayaan kadang membuat mata hati menjadi kabur.
Kali ini, Baiyu benar-benar menghabiskan banyak waktu di rumah Su Laogong. Ia terlihat sangat menikmati waktu berbincang dengan mereka sambil menghirup teh kualitas rendah. Tak terasa kini telah menjelang sore. Akan lebih baik jika ia pulang sekarang.
Tiba di kediaman keluarga Zhang langit mulai gelap. Lao Zhen terlihat di depan pintu gerbang berjalan hilir-mudik sepertinya tak kenal lelah. Persis ketika ia sedang membaca buku-buku Chu Langzhong. Namun Lao Zhen tak memegang satupun buku. Lebih nampak seperti sedang menunggu datangnya seseorang.
Ketika Lao Zhen melihat Baiyu berdiri tak jauh dari pintu gerbang, serta merta ia menyambut tuan mudanya agar segera masuk ke dalam rumah. Kata laki-laki paruh baya itu, kedatangannya telah ditunggu semua orang.
Lao Zhen sendiri yang menyiapkan air untuk mandi. Kemudian menyiapkan pakaian. Baiyu sama sekali tidak diberitahu mengapa mereka menunggunya.
Meski demikian, Baiyu sepertinya sadar, ini adalah cara untuk menjerat kakinya agar tidak berpikiran meninggalkan Jingcheng. Entah siasat apa yang akan mereka gunakan. Tapi… beberapa hari lalu Qhing Gongzhu mengakui ia yang menyuruh Yu’er bertanya apakah ia punya kekasih, istri atau anak, mungkinkah malam ini Qhing Gongzhu bermaksud menjodohkannya dengan seseorang?
Menggunakan pakaian yang disiapkan oleh Lao Zhen, Baiyu telah bersiap menantang permainan Qhing Gongzhu. Menjodohkannya? Apakah gadis yang hendak dijodohkan dengannya lebih cantik dari Hou Nulang? Lebih menyenangkan dari mendengarkan tawa renyah Huo Mei’er?
Rupanya… nama gadis itu adalah Gao Qhingnu. Berdasarkan garis keturunan, tentu saja ia lebih unggul dari Hou Nulang dan Huo Mei’er. Gao Qhingnu berdarah bangsawan. Ibunya adalah Liangfei Gongzhu, kakak kandung Qhing Gongzhu – di kediaman dialah kedua putri Qhing Gongzhu menginap beberapa hari sebelumnya. Ayahnya bergelar Nan Houwang[9], bangsawan yang menguasai perfektur di dekat batas Selatan negara.
Tentu saja Gao Qhingnu memiliki ciri kecantikannya sendiri. Ia mencerminkan kelembutan juga kesopanan gadis-gadis bangsawan pada umumnya. Kemudian menurut Qhing Gongzhu, Gao Qhingnu berbakat pada bidang musik terutama memainkan qin[10].
Baiyu hanya tahu, Yi Meixin menguasai qin, zheng sekaligus dizi juga xiao[11]. Bahkan mendengarkan permainan musik Yi Meixin membuat orang bisa terhipnotis, bukankah Yi Meixin lebih hebat dari Gao Qhingnu?
“Qhingnu, coba perlihatkan pada kami permainan qin-mu,” pinta Zhang Shahai.
Setelah qin milik Gao Qhingnu diambilkan oleh pelayannya, Gao Qhingnu duduk di kursi lain tak jauh dari meja makan dimana mereka duduk bersama-sama.
Selain Baiyu dan Gao Qhingnu yang sengaja diberi tempat duduk bersebelahan, sebenarnya di meja itu ada Nan Houwang, Liangfei Gongzhu, Zhang Shahai, Qhing Gongzhu, Zhang Yilang, Zhang Erbao dan Zhang Yu’er. Mereka semua di ruangan itu mendadak hening menunggu petikan jemari Gao Qhingnu pada senar sutra qin miliknya.
Sesuai dengan dugaan Baiyu, yang dimaksud bakat musik Gao Qhingnu ternyata tidak sebaik permainan Yi Meixin yang pernah ia dengar. ‘Mei Hua San Nong’ yang dimainkan Gao Qhingnu kali ini sekalipun pada dasarnya teknik permainan tangannya sudah baik, namun tidak membangkitkan emosi seperti sedang melihat indahnya pohon plum yang mulai berbunga di musim salju.
Atau mungkin… karena Baiyu yang berusaha membatasi diri sehingga apapun yang diperbuat Gao Qhingnu tidak begitu berkenan di hatinya?
“Baiyu Ge, kau juga bisa main itu, ‘kan?” pertanyaan polos dari Zhang Yu’er membuat jantung Baiyu berdebar. Ia menggelengkan kepalanya cepat-cepat.
Namun pertanyaan polos Zhang Yu’er ini juga membuatnya sadar, sebaiknya ia tidak perlu terlalu terbuka dengan anak ini jika tak ingin masa lalunya jadi rahasia umum. Padahal bisa jadi maksud Zhang Yu’er adalah membanggakan Baiyu hingga tak ingin ada orang yang lebih unggul dari kakak tirinya itu.
“Pemandangan Gunung Nan begitu indah, tinggal di sana beberapa tahun, apakah mungkin seorang Baiyu tidak bisa memainkan satu lagu pun dengan qin? Padahal banyak orang berujar ‘orang buta huruf pun akan lancar membacakan sajak jika melihat pemandangan Gunung Nan’,” tegur Nan Houwang. Tentu saja ia mengenal Gunung Nan, gunung itu berada dalam wilayah kekuasaannya.
Ketika kemudian ketiga perempuan di ruangan itu mendesak dan terus mendesaknya untuk memainkan satu bait saja dari sebuah lagu, ditambah wajah memelas ala Gao Qhingnu, pertahanan Baiyu runtuh. Bagaimanapun ia adalah seorang laki-laki. Laki-laki yang tidak tahan melihat seorang perempuan merengut dan merengek padanya.
Baiyu mendekati qin milik Gao Qhingnu dengan langkah perlahan. Tangannya saja sudah nampak gemetar. Sudah sangat lama ia tidak memainkan benda itu. Sejak Yi Meixin ‘mengampuni’ dan membiarkannya hanya memperdalam zheng di sela-sela kesibukan berlatih pedang juga kesibukan lainnya sebagai seorang zhuyaozhu. Kiranya sudah ada enam bahkan delapan tahun lalu.
Ia memilih lagu ‘Mei Hua San Nong’ yang tadi dimainkan Gao Qhingnu, bukan agar pendengarnya mudah membandingkan permainannya dengan Gao Qhingnu. Alasan sebenarnya adalah baru saja Gao Qhingnu memainkannya dan membuatnya teringat setiap alunan lagu ini. Selain itu, ia tidak mengingat lagu lain selain lagu ini.
Disebut ‘Mei Hua San Nong’ alias ‘Tiga gerakan pohon plum yang berbunga’ karena lagu ini ditulis tiga titi nada berbeda untuk dimainkan dengan qin. Gao Qhingnu tadi telah membawakan versi utuh, kiranya ia cukup membawakan satu titi nada saja.
Pohon plum adalah pohon meihua. Ketika meihua rontok di musim semi, maka buah plum bermunculan pada pohon tersebut.
Tangannya mulai bersiap di atas senar qin. Entah mengapa, ajaran Yi Meixin terngiang kembali dalam ingatannya.
“Ketika kamu membawakan lagu ini kamu harus bisa merasakan alunan dahannya menari karena angin. Indahnya warna merah bunga itu, lekuk-lekuk pohonnya. Kesendiriannya kala pohon lain tak berdaun dan berbunga dan keteguhan hatinya mengatasi musim salju….”
“Memainkan musik harus dari dalam jiwamu. Dengan demikian, semua orang akan merasakan jiwa dari musik yang kamu mainkan…”
Hasilnya adalah, ketika ia bermain, semua orang terpana. Jika tadi yang disuguhkan pada mereka adalah sebuah teknik yang sempurna, namun kali ini penjiwaan yang mendalam membuat mereka merasakan keteguhan hati pohon plum yang berbunga di musim salju ketika pohon-pohon lain meranggas dan tidur.
“Siapa yang mengajarimu musik, Baiyu?” tanya Zhang Shahai setelah tepuk tangan pendengar lainnya usai.
“Seseorang yang datang pada Gan Yeye minta penyakitnya disembuhkan. Aku juga tidak menanyakan namanya. Hanya memanggilnya Ayi, Ayi dan Ayi.”
Diam-diam Baiyu menghembuskan nafas lega bisa mencari jawaban tepat pada waktunya. Lalu ketika ia melirik pada Gao Qhingnu, terlihat gadis itu tengah menatapnya seakan sedang menatap pangeran pujaan hati. Kalau bisa, hembusan nafas lega tadi ditariknya lagi.
***
“Zhen dengar tadi malam kau bawakan lagu ‘Mei Hua San Nong’ dengan qin kala menjamu Nan Houwang makan malam,” tegur kaisar yang khusus menyuruhnya tetap tinggal sekalipun pertemuan pagi telah berakhir.
“Jawab, Huangshang, benar.”
“Zhen sungguh tak mengira selain pandai ilmu pengobatan, kamu juga pandai memainkan qin. Bagaimana jika perdengarkan lagu lain untuk zhen?”
“Ampun, Huangshang. Baiyu hanya pernah belajar satu lagu itu saja.”
Kaisar memandangi Baiyu tak percaya. Tak hanya kaisar, para tamu tadi malam juga tak ada yang percaya.
“Baiyu belajar main qin dari pasien Gan Yeye. Seorang pasien tidak mungkin tinggal lama. Begitu sembuh ia langsung pergi. Karena itu, Baiyu hanya tahu satu lagu itu. Huangshang, apakah Baiyu boleh pergi sekarang? Ada pasien sakit keras yang harus Baiyu periksa.”
Sang Kaisar memandangi Baiyu lagi dan lagi lalu menghela nafasnya kesal. “Qhingnu, menurutmu lagu apa yang paling susah?”
“Jawab, Huangshang, menurut hamba ‘salju putih pada musim semi yang cerah’ adalah lagu cukup rumit.”
“Apakah kau bisa membawakannya?”
“Hamba….,” seperti ragu-ragu Gao Qhingnu baru melanjutkan dengan suara lebih pelan, “Bisa….” Setelah permainannya tadi malam dilibas oleh Baiyu, Gao Qhingnu nampaknya tak berani lagi membanggakan dirinya berbakat dalam musik.
“Kalau begitu, ajari Baiyu sampai bisa. Kalau sebulan belum bisa juga, tambah sebulan lagi. Masih belum bisa, tambah sebulan lagi. Mengerti? Kamu, Baiyu, jika dalam satu bulan satu bait saja tak mampu, lihat saja hukuman dari zhen. Sekarang pergilah lihat pasienmu.”
Baiyu berdiri termenung tak percaya dengan semua yang telah didengar. Jadi menurut analisanya maksud kaisar seperti ini: jika ia mengelak tak juga belajar karena tak ingin bersama Gao Qhingnu, maka ia akan kena hukuman. Kemudian jika ia mengatakan sebenarnya sudah bisa, ia juga kena hukuman telah membohongi kaisar. Hukumannya pasti jauh lebih dasyat dari yang pertama. Kali ini mungkin bisa digantung atau penggal. Pasti akan melibatkan keluarga ayahnya. Sedangkan jika ia menuruti perintah itu, artinya harus ada waktu yang dibuang bersama Gao Qhingnu. Ia yakin, inilah yang diharapkan semua orang.
Kelihatannya tak ada pilihan lain lagi. Ia pun tak ingin berlama-lama di istana. Pasien benar-benar butuh obat darinya, segera. Jadi terpaksa Baiyu menyetujui. Toh, ia percaya bisa membuat Gao Qhingnu menjadi tak-akan-mau-dinikahi oleh Baiyu. Seorang putri bangsawan terhormat bisakah tahan dengan baju gembel yang sering dipakainya? Sambil mengganti pakaian di luar istana, ia tersenyum merayakan ide cerdiknya.
***
Kala itu Fan Ku masih muda. Bahkan lebih muda dari Baiyu dan Zhu Bu saat ini, ketika ia pertama kali bertemu dengan Lin Xiaoxia.
Ia tak akan pernah lupa bagaimana rupa Lin Xiaoxia ketika mereka pertama kali bertatapan juga tak akan lupa di mana mereka sedang berada, yaitu sebuah kamar tidur tamu dalam rumah keluarga Lin.
Ia pingsan selama beberapa hari di rumah tersebut. Kata pelayan rumah itu padanya, Lin Xiaoxia sendiri yang membawa dia pulang dan meminta pada pamannya, seorang tabib bermarga Chu untuk mengobati.
Ketika ia pingsan itupun, Lin Xiaoxia sendiri yang turun tangan menjaganya. Tak mungkin dipungkiri jika kemudian di antara mereka timbul benih rasa cinta. Di awal semua berjalan demikian baik. Sekalipun Fan Ku kemudian pulang-pergi melaksanakan tugas yang diperintahkan Bai Jiaozhu, hubungan mereka berjalan begitu mulus.
Kejadian yang harus disalahkan adalah datangnya perampok ke rumah keluarga Lin ketika ia sedang bertamu di sana. Perampok tersebut rupanya mahir kungfu. Pelayan-pelayan rendahan di rumah itu tak satupun yang dapat menangani perampok tersebut. Lalu ia turun tangan.
Melihat kungfunya saja, tuan rumah langsung tahu bahwa ia pengikut Baiyu Jiao. Kemudian rundingan alot yang lebih nampak sebagai sebuah pertengkaran mulut tak juga menyelesaikan masalah. Lelah dengan keributan yang tak terlihat ujungnya, Fan Ku pergi meninggalkan rumah tersebut. Ketika pulang ke Baiyu Jiao, Bai Jiaozhu menasihatinya suatu hal. Hal yang kemudian membuatnya berkeputusan hubungan di antara ia dengan Lin Xiaoxia tak perlu lagi diteruskan.
Bagaimanapun mereka tak dapat bersatu, kata Bai Jiaozhu kala itu. Sekalipun mereka dapat bersatu dengan ditinggalkannya Baiyu Jiao oleh Fan Ku, hidup mereka di kemudian hari tak akan baik.
Apa yang dikatakan Bai Jiaozhu padanya ketika itu pasti benar. Jika ia benar-benar meninggalkan Baiyu Jiao demi Lin Xiaoxia, sisa hidupnya hanya akan dihabiskan untuk melindungi diri dari kejaran anggota Baiyu Jiao lainnya. Mana mungkin ia tega? Dan lagi… ia masih ingin membuktikan pada ayahnya bahwa ia adalah anak cerdas yang patut disayangi, bukan ditinggal pergi tanpa pernah ada kabar berita.
~~~
Asal mula Fan Ku masuk Baiyu Jiao bisa ditengok ke lembar masa lalunya dimana ia memang berasal dari keluarga pesilat. Ibunya sudah mengundurkan diri sejak menikah dengan ayah Fan Ku. Sang Ayah dikenal sebagai Shuangdao Jieming[12] karena senjata utamanya adalah dua belah golok.
Ketika ayahnya kalah tarung dan kehilangan tangan kirinya, orang itu kehilangan percaya diri dan mulai jadi pemabuk juga penjudi. Bahkan kemudian istrinya pun dijual karena tak sanggup membayar utang judi. Tak tanggung lagi, ia juga meninggalkan Fan Ku yang waktu itu umurnya baru sembilan tahun di rumah.
Ketika persediaan bahan pangan di rumah akhirnya habis dan Fan Ku tak juga mendapati ayahnya kembali, ia terpaksa menggelandang mencari makan. Kadang mencuri, kadang mencopet, kadang mengemis, pokoknya ia bisa makan. Kemudian, saat mencuri sebuah bakpao di pasar, ia tertangkap tangan oleh Bai Jiaozhu.
Bai Jiaozhu terpesona oleh kelincahan Fan Ku yang menghindar dari tangkapannya. Kungfu yang digunakan Fan Ku ketika itu tentu saja kungfu yang diajarkan kedua orangtuanya ketika masih hidup bersama.
Akhirnya Bai Jiaozhu mengambil Fan Ku sebagai muridnya. Benar dugaannya, bakat Fan Ku dalam bidang kungfu memang luar biasa. Tak butuh waktu lama sejak masuk menjadi pengikut Baiyu Jiao ketika Fan Ku diangkat sebagai zhuyaozhu.
Dulu, saat Fan Ku diangkat sebagai zhuyaozhu, ia bertekat membuktikan diri pada ayahnya bahwa ia tak pantas dibuang. Ia ingin menjadi yang terbaik. Hal tersebut adalah salah satu yang diungkit Bai Jiaozhu ketika membujuknya agar meninggalkan Lin Xiaoxia.
Kini setelah puluhan tahun berlalu, ia tak pernah bertemu lagi dengan Lin Xiaoxia. Menjejakkan kaki di kota dimana rumah Lin Xiaoxia berdiri pun ia enggan. Apapun yang berhubungan dengan Lin Xiaoxia bagi Fan Ku tak sebaiknya diungkit lagi. Hanya ada luka di hatinya. Luka yang timbul karena tak dapat mempertahankan perempuan yang dicintai agar tetap berada di sisinya.
~~~
“Shifu, apa yang sedang dilamunkan?” tegur Zhu Bu masuk ke dalam kamar penginapan.
“Tak ada. Bagaimana persiapannya? Mereka semua sudah mengerti?”
“Sudah, Shifu. Kita tinggal menunggu di tempat perjanjian.”
“Kalau begitu kita berangkat.” Selesai bicara, ia mengambil pedang giok di atas meja lalu keluar dari kamar diikuti Zhu Bu.
Beberapa hari yang lalu, seekor burung merpati pos sampai ke markas Baiyu Jiao di gunung Yu. Isinya adalah laporan bahwa ada kemungkinan gerakan untuk bumihanguskan markas Baiyu Jiao. Karena itu, Fan Ku ditemani Zhu Bu turun gunung untuk mengadakan pertemuan dengan Ku Youzhu yang mengepalai semua jaringan mata-mata Baiyu Jiao.
Tempat pertemuan juga bukan tempat sembarangan, tempat ini adalah ruang rahasia bawah tanah toko perhiasan Qinluo yang langsung terhubung ke luar kota.
Lu Laoban, pemilik toko perhiasan ini memang terhitung salah satu pengikut Baiyu Jiao yang bertindak sebagai mata-mata. Kungfu dia memang tidak bisa, tapi untuk urusan kabur dia bisa dihandalkan. Kejeliannya mencari batu-batu berharga menembus gunung, dan menyelam di sungai bisa dimanfaatkannya untuk membuat lorong-lorong rahasia. Salah satu lorong buatannya kini digunakan Fan Ku dan Zhu Bu guna menemui Ku Youzhu.
Ku Youzhu tiba tak lama kemudian. Di dalam toko ada beberapa calon pembeli. Ia tak mungkin masuk begitu saja seperti saat toko sedang kosong.
“Daxia!” tegur Lu laoban semangat melihat Ku Youzhu di ambang pintu. “Giok berukir pesanan Anda sudah jadi. Kebetulan sekali Anda mampir, mari saya perlihatkan di dalam.”
“Ada di sini. Silahkan Anda periksa. Kalau tidak suka, nanti akan diperbaiki lagi,” suaranya ini samar-samar terdengar sampai ke tokonya. Padahalnya orangnya sudah ada di bagian belakang toko.
Di sana ada sebuah lemari kayu yang menempel di dinding sebelah timur. Dibukanya lemari tersebut. Selain itu, perlahan-lahan Lu Laoban juga mengeluarkan lembaran kayu yang berfungsi sebagai rak di dalam lemari. Ketika semua lembaran tersebut di keluarkan, pada bagian bawah lemari terdapat lubang besar dengan anak tangga di salah satu sisi menuju dalam lubang. Ke sanalah Ku Youzhu masuk.
Menyusuri tangga dengan lilin yang diberikan oleh Lu Laoban kemudian ia bertemu dengan ruangan buntu. Tidak benar-benar buntu karena setelah Ku Youzhu menyentuh sebuah batu pada dinding, tiba-tiba dinding di sebelahnya terbuka membentuk sebuah pintu menuju ke suatu ruangan.
Di ruangan tersebut sudah duduk Fan Ku dan Zhu Bu. Ku Youzhu turut duduk di kursi lainnya.
“Jiaozhu, kabarnya pertemuan besar akan diadakan tepat pada saat Zhongqiu Jie[13]. Di Jingcheng sekitarnya. Saat ini beberapa pertemuan kecil sudah sering diadakan. Tapi kami masih belum mendapatkan berita tentang isi pembicaraan mereka.”
“Mengapa pertemuan mereka kala itu kita bisa kebocoran? Datang kala penobatan calon penggantiku pula.”
“Ini…,”
“Sudahlah. Aku tidak ingin mencurigai siapapun. Kami tetap akan ada di kota ini sementara waktu. Segera berikan kabar jika ada perkembangan.”
“Siap, Jiaozhu.”
Kembali di keramaian kota, entah mengapa Fan Ku justru teringat kenangan di masa lalunya. Di kota inilah, tepat di mana ia sedang berdiri ini adalah tempat dimana Fan Bao, ayah kandung yang mencampakkan dan yang menjual ibu kandungnya itu menampakkan diri.
Waktu itu ia sedang menyusuri jalan menuju sebuah tempat untuk penyelidikan bersama Zhu Xu sedangkan Fan Bao tengah mabuk, berjalan kaki tak tentu arah dan tak tegap. Miring kanan kiri menabrak orang lain di sekitarnya. Nyaris dipukul seorang laki-laki yang mengira ia sedang menggoda istri laki-laki tersebut.
~~~
Fan Ku menangkap tangannya, mencengkram dan menghentikan. Mata mereka saling bertatapan. “Die, mengapa pergi tanpa pamit dan tak pernah kembali?”
Namun jawaban yang ia terima kemudian justru jawaban yang tak ingin didengarnya. “Kamu ini siapa, Xiaoxia? Aku tidak kenal…,” jawab Fan Bao sembari menikmati arak dari gucinya.
Padahal ia sangat yakin dan tidak mungkin salah mengenali. Tapi orang mabuk itu mengapa mengatakan ia tidak kenal dengannya? Setelah berkata seperti itu, orang yang dikira Fan Ku sebagai ayahnya tersebut berlalu dari hadapannya. Dalam waktu singkat pula, punggungnya saja tak lagi terlihat.
Di kota ini juga, saat Fan Ku sedang makan siang dengan Zhu Xu di masa awal setelah dinobatkan sebagai jiaozhu, tiba-tiba Fan Bao kembali muncul. Ia mengambil guci arak di meja Fan Ku dan menelan semua isi guci. Kemudian ia memesan beberapa guci lagi meminta Fan Ku yang bayar.
“Aku ayah kandungmu. Jadi arak ini, kau yang bayar.”
Kesal dengan sikap arogan seperti itu, Fan Ku terdiam dengan mata menyorotkan rasa marahnya.
“Pelayan, arak ini bukan kami yang pesan. Ini bayarannya,” Fan Ku meninggalkan beberapa keping perak lalu mengajak Zhu Xu meninggalkan rumah makan.
Fan Bao melompati pagar pembatas rumah makan guna mengejar Fan Ku dan mencengkram tangannya dengan erat. “Fan Ku, mentang-mentang kau sudah jadi jiaozhu lalu kau lupakan ayahmu, hah?!?”
“Kau tidak punya hak bicara seperti itu padaku. Minggir!” Fan Ku melepaskan cengkraman tangan Fan Bao lalu pergi disusul Zhu Xu.
~~~
“Shifu… lagi-lagi Shifu melamun…,” tegur Zhu Bu kedua kalinya dalam satu hari ini.
“A Bu, kembalilah dulu ke penginapan. Aku ada urusan pribadi.”
Setelah Zhu Bu pergi meninggalkannya, pandangannya beralih pada biara yang berada tepat di hadapannya. Pada saat yang sama, seorang perempuan yang umurnya sudah enam puluhan tahun keluar dari dalam kuil menuju tandu yang telah menunggunya di muka gerbang kuil. Seorang biksu yang tampaknya kepala biksu di biara tersebut juga keluar menghantarkan nyonya itu.
Pakaian perempuan tersebut sekalipun sederhana tanpa banyak detail, namun terbuat dari bahan berkualitas baik. Rambutnya disanggul berhiaskan emas dan mutiara. Pastinya seorang nyonya kaya.
Yang membuat Fan Ku memperhatikan nyonya tersebut bukan perhiasan dan pakaiannya. Toh ia bukan pencopet yang mengincar harta nyonya itu. Namun wajahnya menarik perhatian Fan Ku, sebab wajah nyonya itu sangat mirip dengan wajah ibu kandungnya.
Tanpa diketahui oleh sang Nyonya dan pelayan-pelayan yang mengangkut dan mengikuti tandunya, Fan Ku membuntutinya diam-diam.
Tak lama, mereka tiba di depan gerbang rumah besar dengan sebuah papan nama besar. Di atas gerbang tertulis ‘kediaman keluarga Jin’.
Saat ini siang telah berlalu, kegelapan malam mulai menelan bumi. Hal itu membuat Fan Ku mudah mengelabuhi pandangan para penjaga rumah dan dengan leluasa ikut masuk ke dalam rumah mengikuti langkah nyonya tersebut.
Rumah kediaman keluarga Jin memang harus diakui Fan Ku sangat megah dan mewah. Pastinya yang tinggal di sana adalah seorang tuan kaya raya. Seseorang yang usahanya berhasil, atau seorang pejabat korup yang memakan habis pajak negara dan menelan duit rakyat.
Apakah nyonya yang wajahnya mirip dengan ibunya ini adalah nyonya rumah di tempat itu? Ini suatu kemungkinan yang sangat besar melihat betapa hormatnya pelayan-pelayan di rumah itu padanya.
Ketika nyonya itu sudah sampai kamarnya, agaknya ia ingin istirahat sejenak tanpa diganggu oleh siapapun. Semua pelayan disuruhnya keluar. Mereka menuruti perintah itu, keluar dengan menutup pintu terlebih dahulu.
Setelah pintu tertutup, Sang Nyonya merebahkan badan mencoba istirahat. Di saat inilah Fan Ku menampakkan diri dengan memanggil, “Niang?”
Kemunculan seorang laki-laki yang tak diduga tentu saja membuat nyonya ini sangat terkejut. Tapi mendengar kata ‘niang’, Nyonya ini tak jadi berteriak memanggil penjaga rumah. Dengan perlahan dan ragu-ragu, ia menghampiri Fan Ku.
“Ku’er?” rupanya, ia langsung menerka bahwa laki-laki yang berdiri di hadapannya tak lain adalah anak kandungnya sendiri.
Nyonya ini memang adalah Ruxiang, istri Fan Bao yang dijual demi melunasi hutang judi Fan Bao, dengan demikian, ia adalah ibu kandung Fan Ku.
Setelah puluhan tahun tak bertemu dengan putra kandungnya, tentu saja Ruxiang tak dapat lagi menahan rasa rindu yang memenuhi dadanya. Didekapnya Fan Ku seraya bicara dengan suara terisak karena tangis suka-citanya, “Kamu ke mana? Niang dulu mencarimu di rumah tapi rumah itu telah kosong. Mana ayahmu?”
“Die tak juga pulang ke rumah. Hampir sebulan aku menunggu waktu itu. Di rumah tak ada apa-apa lagi yang bisa dimakan, jadi… aku…”
“Laki-laki itu… harusnya dulu aku tidak menerima lamarannya. Maafkan, Niang, Ku’er. Aku yang menyusahkanmu.”
Fan Ku menggelengkan kepalanya dengan mata berkaca-kaca. Ia amat senang. Teramat senang. Benar-benar di luar dugaannya. Dulu sang Ayah bilang ibunya telah meninggal. Ternyata… ibunya masih hidup dan segar bugar. Tak kurang suatu apapun.
“Bagaimana hidupmu, Niang? Die dulu mengatakan Niang telah meninggal…”
“Seperti ini. Untung saja, laki-laki yang membeliku dari ayahmu belum beristri. Ia juga seorang laki-laki yang sangat baik juga bertanggung jawab dan ulet.”
“Syukurlah… kalau tidak, aku tidak akan mengampuni orang itu.”
“Dia ayah kandungmu. Tidak boleh bicara seperti itu,” tegur Ruxiang menutup mulut Fan Ku dengan jari telunjuknya. “Lalu bagaimana denganmu, Ku’er? Apa saja yang kau lakukan selama ini? Berapa anakmu?”
“Aku… tidak menikah…”
“Mengapa?”
“Karena…,” belum sempat Fan Ku melanjutkan tiba-tiba seorang laki-laki yang umurnya lebih muda darinya sepuluh tahun masuk ke dalam kamar mengacungkan pedang. “Siapa kau? Beraninya menyusup ke rumah kami!”
Yang baru masuk mengacungkan pedang, maka Fan Ku mengeluarkan pedangnya. Namun baru separuh dari mata pedangnya yang keluar, Ruxiang telah menekan tangannya agar pedang itu tak jadi dikeluarkan.
“Huijiang, tidak boleh tidak sopan. Dia adalah kakakmu. Putra kandungku juga,” teguran Ruxiang yang tentu saja membuat Huijiang terpana.
“Sebelum jadi istri ayahmu, Niang sudah pernah menikah. Hal itu mendiang ayahmu juga tahu. Kami pernah mencari dia ke rumahku yang lama. Tapi rumah itu kosong. Kalau saja waktu itu kami bertemu, dia juga tinggal di rumah ini seperti dirimu.”
Saling berpandangan akhirnya mereka saling memperkenalkan diri.
“Da Shaoye, masalah besar!” teriak seseorang dari luar. Ketika orang ini telah menemukan siapa yang dicarinya, dengan cemas, panik dan beragam perasaan lain, ia berusaha menceritakan masalah besar tersebut, “Gudang toko dirampok. Semua habis, dan beberapa penjaga mati dibunuh.”
“Siapa yang berani melakukan ini? Bukankah kita sudah menyogok banyak berandalan?”
“Kelompok Langhu.”
“Kebetulan sekali. Aku memang sudah ingin menghabiskan kelompok perampok itu. Masalah ini serahkan padaku. Aku tahu di mana markas mereka,” Fan Ku bicara tanpa memberi celah untuk dipotong. Setelah selesai bicara ia langsung melompati jendela dan pergi dengan ilmu meringankan tubuhnya.
Karuan Ruxiang bertambah panik dan cemas. Paniknya yang pertama karena gudang yang dirampok, panik kedua diselipi cemas karena putranya yang baru bertemu ini tiba-tiba pergi seorang diri menuntaskan masalah perampokan gudang. Dalam emosi seperti itu, ia meminta Jin Huijiang menemaninya pergi menyusul Fan Ku, segera dan secepat mungkin karena bayangan Fan Ku telah tak terlihat, ia sudah sangat panik juga cemas tapi di lain pihak ia sekaligus menjadi tahu bahwa kemampuan ilmu meringankan tubuh anaknya sudah di taraf mumpuni.
*
Di luar kota, dalam temaram cahaya ratusan lilin dan lampion, kelompok Langhu rupanya tengah berpesta merayakan keberhasilan malam ini. Suara tawa mereka bergema sampai ke batas luar hutan yang melindungi markas mereka. Tentu saja, hal tersebut membuat Fan Ku mudah menemukan letak persis markas mereka di tengah gelapnya hutan di malam hari.
Ketika Fan Ku tiba, semua orang menyambutnya dengan waspada. Bagaimana tidak? Mereka sudah pernah bertemu sekali beberapa tahun lalu. Pertemuan yang membuahkan kematian beberapa orang anggota kelompok mereka dan adik angkat ketua mereka.
“Mana ketua kalian? Suruh dia keluar!” teriak Fan Ku garang. Rupanya sudah mirip dengan pembunuh yang hendak menghabisi korban.
Seorang laki-laki yang usianya pasti lebih tua dari Fan Ku keluar dari antara kerumunan perampok. Laki-laki itu benar-benar pantas menjadi ketua kelompok perampok. Wajahnya memancarkan kebengisan dan juga kharisma yang membuat dia ditakuti dan dihormati oleh kawanannya.
“Lama kita tidak jumpa. Apa kabarmu, Fan Ku? Aku dengar… calon penggantimu sudah mati duluan. Kalau… sampai malam ini kau mati di sini, takutnya tak ada orang yang akan menggantikanmu. Bukankah Baiyu Jiao akan binasa?”
Fan Ku tersenyum. Antara geli dan sinis. “Yang mati belum tentu aku. Bisa juga kamu, dan kalau itu terjadi, maka dunia ini akan nyaman dan tentram.”
“Aku masih belum membalaskan dendam adik angkatku. Dan kau… yang harus merasakan pembalasanku. Lihat golokku!”
Tentu saja Fan Ku melayani ajakan bertarung tersebut dengan sepenuh hati. Keduanya punya alasan untuk membunuh musuh. Punya kepentingan untuk mematikan lawannya. Karena itu, petarungan ini bukan sekedar menentukan ilmu siapakah yang lebih hebat. Ini petarungan antara hidup dengan mati. Hanya pemenangnyalah yang hidup.
Masing-masing memasang kuda-kudanya. Mata mereka nyalang, memandang tajam musuhnya. Kebencian dan dendam adalah dua hal yang nampak di mata mereka. Terutama ketua kelompok Langhu. Dua emosi tersebut benar-benar diumbarnya.
Angin dingin yang ingin membuat semuanya beku tiba-tiba datang seperti badai meliputi markas Langhu. Anggota kelompok Langhu cukup ketar-ketir karena kedatangan angin secara mendadak. Mereka berkumpul ramai-ramai sembari mengapit tangan berusaha menghangatkan badan.
Lilin-lilin banyak yang padam. Hanya nyala lampionlah yang bertahan karena terlindung oleh kertas dan rangka. Di musim seperti ini, musim gugur menjelang musim salju, angin dingin memang banyak. Tapi angin dingin kali ini sepertinya benar-benar bernafsu membekukan mereka sekaligus.
Tentu saja angin tersebut berasal dari tenaga dalam Fan Ku yang sedang dikeluarkan. Ketua kelompok Langhu tidak boleh diremehkan. Lagipula ia bukan Bai Lengyu yang suka menyerap kekuatan dan kelemahan lawan dengan mempermainkannya terlebih dahulu.
Menggunakan jurus ‘pedang dingin bersatu dengan tubuh giok’ Fan Ku menyerang ketua kelompok Langhu. Jurus tersebut dibalas dengan jurus ‘macan putih meninggalkan gunung’. Maka adu pedang dengan golok pun terjadi.
Ketika yang diincar lawannya adalah pinggangnya maka Fan Ku menghindar dengan meloncat dan bersalto berada di balik punggung lawan dan menyerang di sana. Ketika yang diserang kakinya maka ia meloncat untuk menghindar sekaligus mengincar kepala lawannya untuk dijadikan sasaran tendangan. Terus menerus. Sekalipun sedang berkelit dari serangan lawan, Fan Ku tak pernah lupa untuk balik menyerang di saat yang sama.
Jurus yang dikuasai oleh ketua kelompok Langhu bertipe keras. Sedangkan jurus-jurus Baiyu Jiao, seperti kata Zhang Shahai dulu, terlihat seperti sebuah tarian. Lengkapnya tarian pengundang maut. Dari sini saja sudah dapat diketahui aliran kungfu mereka berlawanan. Bagai yin dengan yang, membuat pertarungan ini menarik perhatian sekaligus menegangkan. Jangankan Ruxiang dengan Jin Huijiang, anggota kelompok Langhu pun tak ada yang mundur selangkah pun. Padahal angin yang diakibatkan tenaga dalam Fan Ku terus mencoba menderai mereka.
Ruxiang datang bersama Jin Huijiang. Ketika tiba, petarungan Fan Ku telah berlangsung. Kira-kira sudah lima jurus yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak. Begitu sampai, Ruxiang menatap lekat pada pertarungan. Dengan jurus-jurus yang digunakan Fan Ku, tentu saja ia langsung tahu siapakah anaknya kini. Wajahnya pucat pasi ketika menyadari hal itu. Beberapa kali ia menggelengkan kepala tak percaya tapi tetap saja, jurus-jurus yang digunakan anaknya dikenali sebagai milik Baiyu Jiao. Bahkan tak satupun ilmu dari keluarganya yang dipakai oleh Fan Ku dalam pertarungan itu. Walau demikian ia tetap diam berdiri di sana.
Sudah sampai posisi mana dia di aliran itu? Mengapa bisa? Dari ilmu meringankan tubuh dan kekuatan tenaga dalamnya, tentu punya kedudukan khusus. … Oh, apakah nama Fan Ku yang dibicarakan orang-orang adalah anakku sendiri? Anakku adalah jiaozhu aliran sesat itu? Mengapa? Mengapa, Ku’er?
Pertarungan masih belum selesai sekalipun puluh jurus dikeluarkan. Waktu itu golok telah patah kena sabet pedang giok Fan Ku. Posisi ketua kelompok Langhu juga sudah cukup terdesak. Diliriknya pinggang juga lengan, beberapa tetes darah mengalir dari luka gores di kedua tempat tersebut. Tadi Fan Ku tak hanya berhasil mematahkan goloknya,orang itu juga berhasil menyabet pinggang dan lengan dengan mata goloknya sendiri.
Kemudian ia memperhatikan Fan Ku. Laki-laki lawannya malam ini benar-benar berhati dingin. Mungkinkah karena ilmu kungfu yang dilatihnya selama ini? Ataukah karena suatu hal hingga lawannya itu bertarung tanpa memiliki perasaan sekalipun perasaan takut kalah?
Gerakan Fan Ku memang tak dapat ditebak. Ketika bertarung wajahnya begitu dingin hingga apa yang dipikirkan tak dapat terbaca dari wajahnya itu. Apalagi jurus yang digunakan berikutnya, tak seorang pun yang bisa menebak. Tapi bagaimanapun seorang Fan Ku selalu bertarung dengan cara yang adil. Senjatanya adalah pedang dan akan terus menggunakan pedang itu tanpa bantuan senjata rahasia, bagaimanapun situasinya. Hal tersebut sudah menjadi rahasia umum dalam dunia persilatan dan itulah yang membuat orang-orang respek sekalipun ia adalah ketua aliran sesat.
Ketua kelompok Langhu segera sadar kalau lawannya ini tak mungkin dikalahkan dengan cara seperti ini. Ia mulai mencari akal licik guna memenangkan pertempuran.
Diambilnya pisau kecil dari dalam saku untuk digunakan menyerang Fan Ku. Namun tiba-tiba, beberapa jarum perak berhias kelopak bunga plum menghajarnya bertubi-tubi.
Karuan ia melawan datangnya senjata rahasia itu. Golok yang sudah patah di putar-putarkan untuk menghalau jarum yang mengincar tubuhnya. Ia loncat ke atas juga mundur, berguling ke samping dan depan. Semuanya demi menghindari serbuan jarum.
Namun, lemparan jarum meihua, dari dulu tidak ada yang bisa luput dari. Entah bagaimana kejadian persis, satu di antara jarum-jarum tersebut tanpa disadari menembus pertahanan ketua kelompok Langhu dan sukses menembus kulit lehernya. “’lemparan jarum meihua’. Bukankah satu-satunya generasi penerus jurus ini sudah meninggal?” tanyanya di akhir hayat.
Ruxiang menjawab dengan dingin, “Tentu belum. Jika sudah, jarumku tak mungkin menembus kulit kerbaumu.”
Sementara Fan Ku memandangi Ruxiang tak percaya ibunya akan melanggar sumpah yang pernah dibuatnya puluhan tahun lalu, Jin Huijiang terpana. Ia benar-benar terkejut begitu tahu ibunya tahu kungfu. Sebab selama ini ia selalu menganggap Ruxiang adalah perempuan biasa yang tidak tahu kungfu dan tak pernah bercerita tentang masa gadisnya.
Sementara itu, melihat ketua kelompoknya telah mati, kawanan perampok itu kocar-kacir semau mereka sendiri.
Ruxiang mendekati Fan Ku tanpa mengindahkan semua yang terjadi di sekitar. Ini adalah waktu untuk mempertanyakan semua kebenaran pada putranya tersebut. “Jadi…. putraku adalah jiaozhu Baiyu Jiao?” pertanyaan ini diajukan Ruxiang tanpa ada rasa bangga.
“Benar. Aku Fan Ku, adalah jiaozhu Baiyu Jiao.”
“Kalaupun Niang ingin kau mengundurkan diri kamu tak akan mau, bukankah begitu?”
“Itu juga benar. Kedudukan jiaozhu berlaku seumur hidup. Selain mati, aku tetap jiaozhu Baiyu Jiao.”
“Kau ini benar-benar keterlaluan, Ku’er. Apa kau tahu, kakekmu mati di tangan Baiyu Jiao?” jerit Ruxiang marah.
“Tapi Baiyu Jiao yang membesarkan aku. Menanam budi demikian banyak padaku.”
Fan Ku tahu, setelah hampir seratus tahun Baiyu Jiao dianggap aliran setan, merubah pandangan semua orang tidak mungkin mudah. Jika percakapan ini dilanjutkan akhirnya mereka akan ribut tanpa akhir. “Sudahlah, Niang. Jika aku terus di sini maka kalian akan celaka. Lebih baik aku pergi. Huijiang, jaga Niang baik-baik. Aku permisi.”
Tanpa memberi kesempatan pada siapapun untuk menjawab, Fan Ku telah pergi dengan ilmu meringankan tubuhnya. Dalam waktu sekejab, ia tak lagi terlihat seolah keberadaannya lenyap ditelan kegelapan malam.
***
Fan Ku kembali ke penginapan yang ditinggalinya bersama Zhu Bu di kota itu, nampaknya Zhu Bu masih belum tidur. Lillin di kamar Zhu Bu masih terlihat menyala, karena itu, ia tak kembali ke kamar, justru masuk ke kamar Zhu Bu.
“Shifu, akhirnya kau kembali. Shifu abis bertarung, ya?” tegur Zhu Bu melihat baju Fan Ku yang sobek. Sebercak darah ada di sobekan baju. Luka itu memang tak parah, dibanding luka yang ditinggalkannya pada ketua kelompok Langhu yang kini telah menjadi mayat.
“Kelompok Langhu sudah kubereskan. Berikutnya usaha orang-orang kita harusnya tak dapat halangan lagi. Segera kabari Ku Youzhu, kita atur pertemuan di Jingcheng.”
“Baik, Shifu,” jawab Zhu Bu sembari membersihkan luka Fan Ku.
Perubahan mendadak tempat pertemuan alasan utamanya bertujuan dirinya dapat menghindari pertemuan dengan sang ibu. Agar tidak ada cekcok mulut dan memperkecil kemungkinan orang-orang tahu hubungan di antara mereka.
Tapi mengapa Jingcheng yang dipilih Fan Ku pastinya bukan tanpa alasan. Fan Ku memilih Jingcheng sebagai tempat pertemuan selanjutnya karena kedudukan Jingcheng sebagai kota raja yang tentu saja memiliki pengamanan kota yang cukup ketat. Selain itu, di sekitaran kota ini juga nantinya orang dunia persilatan untuk membahas rencana mereka terhadap Baiyu Jiao selanjutnya. Karena itu, Fan Ku ingin menyelidiki tempat manakah yang akan digunakan sebagai tempat pertemuan.
Setelah tempat pertemuan itu diketahui, menyusun rencana untuk memasukkan penyusup akan jauh lebih mudah.
***
[1]Huanggong : istana kaisar
[2]Daniang : ibu besar
[3]Sanjie dan sijie : kakak perempuan ketiga dan keempat.
[4]Daiyi: tabib istana
[5]Wangzi ye: tuan pangeran
[6]Nucai: pelayan/ hamba, cara dayang dan kasim menyebut diri di hadapan majikannya
[7]Laogong : kakek tua
[8]Houwang/hou : bangsawan tingkat dua dalam sejarah dinasti China. Setingkat dengan marquis
[9]Qin: siter China
[10]Dizi: suling yang dimainkan secara horizontal; xiao: suling yang dimainkan vertikal
[11]Shuangdao jieming: golok kembar menjemput nyawa
[12]Zhongqiu Jie: dirayakan pada hari ke 15 bulan ke delapan penanggalan China ketika bulan berbentuk bulat sempurna sebagai perayaan tengah musim gugur.