Lanjut ke konten

21b – Rampok di Batavia

Bagian empat

Apeh,” panggilan Gwat Nio kembali terdengar di telinga gue.

Kaki kuda baru saja membawa kami mendekati Ommelanden. Ni Hoe gue tinggalkan di kota itu setelah mendengar keadaan Batavia bertambah buruk. Buruk! Karena rumah gue nyaris jadi korban perampokan. Tapi peristiwa itu ada untungnya juga, karena gue jadi punya alasan untuk tak menjawab kesanggupan menjadi perancang rencana pengusiran kompeni.

“Kenapa kita buru-buru pulang? Bukankah ada urusan yang harus dikerjakan Apeh dan Toaku?”

“Rumah hampir dirampok, Sayang. Apa kamu tidak cemaskan Abuh?”

Dia mengangguk lemah. Sepertinya terselip rasa kecewa dalam hati Gwat Nio karena pulang lebih cepat dari yang direncanakan.

“Lain kali kita jalan-jalan lagi. Dan kali itu, Abuh juga ikut bersama kita, mau?”

Kali ini dianggukkannya kepala dengan semangat. Wajah murung itu perlahan sirna. “Pergi bersama Abuh, pasti akan sangat menyenangkan. Benar, ‘kan, Apeh?” dia menoleh pada gue minta jawaban. Anggukan yang mantap adalah jawaban untuknya. Pasti akan sangat menyenangkan. Pasti.

Di depan, rumah semakin dekat. Rumah yang bagi gue tampak seperti sebuah villa megah di daerah puncak. Dia tetap berdiri angkuh, seolah tak pernah terjadi peristiwa yang nyaris merenggut seluruh isinya.

Made berlarian menyambut kedatangan kami. Ia gendong Gwat Nio turun dari kuda sembari perlahan menjelaskan apa yang terjadi pada rumah gue.

“… untung saja kebetulan si Brewok Ong sedang mencari Toahnia. Dia membantu kami…”

Ada Made yang tidak tidur di rumah bukankah artinya kejadian di siang hari? Lalu si Ong satu itu bukannya sudah memusuhi gue? Kenapa kembali mencari?

“Kapan kejadiannya?”

“Sepuluh hari yang lalu.”

Kabar sampai ke gue empat hari yang lalu. Begitu menerima berita, gue langsung bertolak pulang. Sepuluh hari bagi mereka mungkin relatif cepat tapi buat gue sangat lama. Terlebih gue pernah merasakan masa-masa dimana berita dapat diperoleh beberapa detik setelah kejadian.

“Menjelang pagi. Toaso menyuruh agar tidur di rumah karena pekerjaan selesai larut malam. Kata si Ong, kebetulan dia sedang mengikatkan kain untuk minta bertemu Toahnia. Berkat teriakan si Ong, penjaga segera meningkatkan kewaspadaan dan menyalakan semua lentera.”

“Si Ong?”

Made menggelengkan kepalanya. “Dia tidak berani menampakkan diri. Kemungkinan karena tak ingin pihak lawan mengetahui si Ong punya hubungan dengan kita.”

“Bisa jadi demikian.” Atau justru menjaga nama baik gue. “Apakah orang kita ada yang terluka?”

“Hanya luka kecil. Sudah diobati dan sekarang sudah membaik.”

“Alau?”

“Dia baik. Sangat baik sampai melukai pemimpin rampok.”

“Dia memang bisa diandalkan. Lalu lu dan Asiu? Toaso lu?”

“Tidak ada yang perlu dikuatirkan dari Toaso, Toahnia. Toaso baru tahu keributan itu setelah matahari terbit. Asiu tak diizinkan selangkah pun keluar dari kamar.”

“Terima kasih, Made.”

“Sudah wajar tiyang lakukan, Toahnia.”

Selesai bicara, kami sudah berada di dalam rumah. Gwat Nio sudah menghilang lari entah kemana—tapi pasti ada di rumah atau kebun belakang—jadi tak perlu dikuatirkan. Hanya Hien Nio, Asiu—yang mungkin syok—dan beberapa penjaga rumah yang terluka. Merekalah yang harus mendapat perhatian utama.

 

Bagian lima

“Terima kasih atas bantuan lu.”

Dia menggelengkan kepala dan tersenyum samar. Setelah itu kami terdiam. Hanya angin yang bergemerisik di antara dedauan dan helai rumput. Juga pekikan burung elang di angkasa.

“Ada apa cari gue?”

Si Brewok Ong tetap diam. Namun diamnya kali ini terlihat karena ada keraguan untuk menyampaikan sesuatu. Tak mungkin, ‘kan kalau maksud mencari gue kali ini untuk meminta sekali lagi agar bersedia dipanggilnya ‘Toahnia’?

Angin yang berderu menerjang kami terasa dingin di kulit. Musim hujan memang sudah datang. Dan di langit bagian selatan, awan hitam bergelung-gelung sangat berat.

“Apa Cui Sinshe punya waktu untuk mendengar kata-kata dari orang rendah seperti saya ini?”

Kulit dahi gue berkerut merasa hilang akal dengan maksud yang diutarakan si Brewok Ong. Namun demikian, kepala gue tetap terangguk untuknya.

Dia mengajak gue ke markasnya dan kami tiba tepat pada saat tetes air hujan pertama menghujam bumi. Tempat itu lebih tepat kalau disebut sekawasan rumah-rumah kayu. Dan di sana juga ada keluarga utuh—ada suami, istri, anak bahkan mungkin mertua—tak ubah dengan isi rumah milik orang lain.

Si Brewok ini memiliki tiga istri. Lalu dari mereka lahir enam belas orang anak yang kebanyakan laki-laki. Suatu hal yang tadinya juga tidak gue ketahui, dia dan anak buahnya ternyata masih satu keluarga. Mereka adalah sepupu, adik, keponakan juga ipar.

“Keluarga kami sudah tinggal di tanah Jawa sejak dua generasi sebelum saya lahir,” katanya memulai cerita.

Gue terkesima mendengar ceritanya. Rupanya, pada awalnya Ong adalah keluarga petani. Tanah mereka cukup luas hingga akhirnya dirampok oleh meneer kompeni. Pantas jika ia benci setengah mati pada mereka.

Nantinya, dalam perjalanan pulang sampai tiba di rumah, cerita keluarga Ong yang brewokan ini terus terngiang dalam benak. Mendengar kisahnya seperti sedang dibacakan sebuah novel oleh penulis terkenal.

Siapa nyana dari keluarga petani baik-baik bisa berubah menjadi keluarga rampok? Seperti halnya malaikat yang dikutuk menjadi iblis, masalah itu seperti halnya membalikkan kartu seratus delapan puluh derajat. Joker dan hiasan rumit tapi menawan yang ada di belakang kartu.

 

Bagian enam

Pekerjaan tak juga berkurang demikian juga beban pikiran. Dan entah mengapa apapun yang dikatakan Salim pun kedua Ong terus membayangi otak gue setiap hari. Mereka seperti menggoda dan membujuk. Ayo ubah sejarah, adalah bunyi yang paling sering terdengar.

Mungkinkah sejarah bisa berubah? Dan kalau berubah apa akibatnya? Gue tak pernah tahu apa yang akan terjadi kelak karena pengetahuan minim tentang sejarah.

Yang diketahui hanya penjajahan ini akan berlangsung sampai sekian ratus tahun lagi. Kemudian diganti oleh bangsa yang menganggap diri sebagai ‘saudara tua’ sebelum akhirnya kemerdekaan diproklamirkan. Bukankah seperti itu yang diajarkan oleh guru sejarah di masa sekolah dulu?

Apa yang terjadi kemudian, gue tak pernah tahu sebelumnya baik saat di abad dua satu maupun sekarang ini. Salahkan saja pemerintah orde baru yang menutup-nutupi. Salahkan juga pelajaran sejarah zaman gue SD sampai kuliah tak pernah mencantumkan. Tapi sepertinya gue juga harus menyalahkan diri sendiri yang tidak pernah menyimak cerita gadis-unik dengan berdalih ‘gue benci belajar sejarah. Monoton. Membosankan.’

Selagi itu, beragam pertemuan tertutup terus dilaksanakan di antara kalangan mata sipit. Yang dibicarakan tak lain dan tak bukan adalah perkembangan kondisi Batavia yang semakin memburuk. Beberapa orang mulai mempertimbangkan untuk mengalihkan usaha ke daerah lain. Beberapa lainnya mempertimbangkan kembali ke kampung halaman namun terkendala oleh peraturan kekaisaran Qing.

Setelah perampokan gagal di rumah gue, terjadi pula perampokan di tempat lain. Kejahatan semakin merebak. Sama halnya dengan meningkatnya jumlah kematian.

Perampokan, kondisi usaha yang tidak lagi kondusif, peraturan Kompeni yang semakin menggelikan dan semena-mena mendera terus menerus, silih berganti. Dan kegelisahan terus mewarnai kehidupan kami di tengah memburuknya situasi ekonomi dan sosial.

Situasi buruk sebenarnya tak hanya menimpa para Tionghoa. Para bule meneer juga tak lebih baik. Perampokan juga penyakit mendera mereka. Hal yang unik menurut gue karena penyakit tersebut lebih jarang menimpa para Tionghoa.

Hal itu baru gue sadari beberapa waktu lalu dengan diagnosa karena perbedaan air yang diminim. Para tionghoa memasak airnya terlebih dahulu karena teh membutuhkan air panas. Sedangkan para meneer meminum air yang diambilnya dari sungai dan atau manapun begitu saja tanpa direbus. Tentu dampaknya besar bagi tubuh. Karena sungai itupun juga tempat semua warga membuang sampah metabolisme tubuh mereka.

Mungkin orang-orang seperti Tio Sinshe dan The Sinshe—klien gue dulu—yang paling menikmati kondisi ini. Tingginya tingkat kematian meningkatkan jumlah penjualan kayu mereka untuk dibuat peti mati. Permintaan peti tak hanya datang dari kaum Tionghoa, namun juga dari para meneer.

Atau mungkin gereja dan klenteng, karena tingginya tingkat permintaan upacara kematian dan penguburan. Terkait satu ini, pernah gue dengar lebih banyak permintaan upacara penguburan daripada pernikahan dimulai dari beberapa tahun lalu. Tepatnya ketika gue banyak berurusan dengan para meneer terkait upaya pencalonan Ni Hoe sebagai calon kapiten. Beberapa klien bule gue meninggal di masa itu.

Terlebih sekarang adalah musim hujan. Sistem pengairan yang terdiri dari banyak kanal ini rupanya tak juga menanggulangi masalah banjir. Aneka ragam penyakit musiman juga datang mendera penduduk kota. Kacau. Sungguh kacau.

Mudah-mudahan keluarga gue baik-baik saja. Gue cukup kuatir dengan Hien Nio yang tak bisa bela diri sedikitpun. Takut kalau rumah dijadikan sasaran perampok dan ia menjadi target kejahatan mereka sekali lagi. Kuatir dengan dirinya yang terlihat rentan. Kuatir dengan Gwat Nio yang rupanya tertular ‘penyakit’ emosi cepat meledak dari gue. Akankah dia akan aman dengan situasi sosial yang makin memburuk.

Di Batavia pun sekitar Ommelanden, pertikaian mulut sampai perkelahian dengan senjata kini seperti agenda harian. Bahkan hanya karena uang pembayaran kurang satu ketip saja, pisau sudah teracung mengancam.

Terakhir gue dengar, terjadi keributan yang cukup besar antara golongan pedagang dengan beberapa prajurit di luar kota. Begitu parah sampai terjadi kontak senjata. Banyak yang terluka dan bahkan kehilangan nyawa. Kelihatannya kehancuran kota ini tinggal menunggu waktu.

*#*#*

%d blogger menyukai ini: