11b – Ni Hoe
Bagian lima
“Kenapa Toahnia tertawa meringis seperti itu? Apa hari ini ada kejadian lucu lagi?” tegur Asiu lalu duduk di sisi gue. Dihidangkannya semangkuk bubur encer ke hadapan, bubur serupa dengan yang gue makan setiap hari di rumah Peng Gam.
Melihat bubur tersebut, entah mengapa perut bergejolak. Tapi memang hanya ini kemampuan keuangan gue sekarang. Tak mungkin gue salahkan Asiu yang bersusah payah membuatkan bubur ikan asin.
Cepat-cepat gue habiskan bubur seolah-olah makanan itu yang terlezat di dunia ini kemudian pergi meninggalkan rumah. Kalaupun sampai luar rumah makanan termuntah, setidaknya Asiu tak melihat, pikir gue.
Namun sampai di luar rumah, jangankan muntah, badan ini justru terasa sangat nyaman. Kecuali bibir dan lidah yang menderita oleh bubur yang terlampau asin, lainnya dalam keadaan baik-baik saja.
Memanfaatkan sore, ada baiknya gue jalan-jalan sebentar. Mungkin ada uang yang bisa gue dapat agar besok menu bisa lebih baik dari bubur ikan asin itu. Siapa tahu ada tuan tanah kaya yang butuhkan pegawai. Jadi centeng seperti Peng Guan pun tak masalah sekarang. Asal ada uang bulanan yang cukup untuk biaya hidup dan tabungan tuk kelak kembali membangun bisnis, di sini ataupun tempat lain.
Melalui sebuah jalan kecil yang lebih tepat disebut gang senggol—karena sangat sempit—telinga gue tertarik pada suara teriakan seorang perempuan. Suara itu terdengar lamat-lamat karena terbawa angin. Mendengarnya begitu memilukan membuat gue berimajinasi tentang Cece yang pernah nyaris diperkosa.
Teringat oleh hal itu, kuping gue menjadi lebih waspada. Suara itu memang mirip suara Cece. Tak mungkin kan kalau Cece juga terlempar ke abad ini lalu mengalami kejadian seperti dulu lagi?
Gue ikuti suara itu. Sepertinya kaki dan firasat membawa ke arah yang benar. Suara tersebut semakin jelas terdengar hingga akhirnya tiba di sebuah tempat berumput tinggi, ujung gang. Terlihat awalnya seperti sebuah lapangan yang lebih besar dari lapangan sepak bola. Namun tempat tersebut tak terawat sehingga semak dan ilalang tumbuh meninggi, lebih dari pinggang. Adakah ular di sana? Sial! Ada ular atau tidak tapi suara itu? Cece? Atau siapa? Apa yang terjadi dengan perempuan itu? Mengapa sekarang suaranya menghilang?
Gue semakin panik. Cece…! Cece….! Keringat dingin perlahan menetes dari setiap pori-pori pada kulit. Jantung berdetak lebih cepat dan rasanya hampir meledak.
Kaki membawa gue semakin masuk ke dalam rimbun ilalang. Gatal dan perih akibat tergesek tepian helai rumput tak dipedulikan. Suara itu menghilang. Gue tak lagi mendengar suaranya. Apakah dia membunuh Cece setelah … menuntaskan nafsu bejatnya?
Panik melanda seperti serbuan badai tropis.
Mungkinkah mereka melakukannya pada Cece? Waktu itu, orang-orang di abad ke-21 tak sanggup menangani Cece yang gigih membela diri. Apakah orang-orang di masa ini sanggup mengantisipasi perlawanan Cece? Bukankah Cece juga menguasai taekwondo?
Tiba-tiba, terdengar suara tawa penuh kepuasan dari beberapa orang laki-laki. Gue sibak ilalang tinggi mendatangi asal suara dengan tergesa-gesa. Kalut dan cemas adalah dua emosi yang bercampur aduk di hati gue saat ini. Rasanya sungguh lebih kalut sekarang daripada ketika menemukan diri gue terdampar di abad ke-18, sekian tahun lalu.
Kemudian, tanpa perkenalan diri dan basa-sasi, gue sikat mereka semua. Orang yang pertama gue lihat menerima bogem mentah dekat hidungnya. Satunya lagi, sebelum sempat membenahi celana, gue kasih tendangan persis di kemaluannya. Satu orang lagi gue tinju tepat di ulu hati. Dan sisanya—tinggal satu orang yang belum sempat diurus—lari terbirit-birit meninggalkan kawan-kawannya.
Mata gue nyalang menatap berandalan “korban” kebrutalan. Mereka sangat payah, melawan gue saja tidak sanggup. Jadi mana mungkin juga mereka bisa menghadapi Cece? Gerakan Cece tergolong gesit dan tenaganya kuat. Walaupun terakhir kali gue bertemu dia sedang hamil, rasanya kelahiran anak tak membuatnya sampai begitu payah.
Cece? Cepat-cepat gue tolehkan wajah pada sisi lain. Gue mencari ke segala arah hingga menemukan bayang-bayang kain berwarna keungungan. Kain itu koyak. Jahanam itu pasti melepas paksa dari Cece. Serabut kain yang tercerabik sangat jelas terlihat.
Tak jauh darinya, seorang gadis nyaris telanjang. Dia terbaring di tanah tanpa bergerak. Gue ga tahu pasti apakah dia masih hidup atau sudah mati ketakutan. Yang jelas, dia bukan Cece.
Diam-diam air menggenangi pelupuk mata. Syukurlah, Cece tidak mengalami nasib sama, terlempar ke abad ini. Rasa lega membanjiri hati.
Gue kembali menolehkan wajah pada berandalan itu. Ternyata, mereka telah kabur. Sial! Seharusnya gue ikat mereka. Tapi, gue ga punya tali… Dengan apa baru bisa mengikat mereka? Alang-alang? Apa kuat?
Tahu akan sia-sia mengejar, dan gadis nyaris telanjang ini tak boleh dibiarkan begitu saja… Apa? Nyaris telanjang? Berarti gue…. sudah….
…
Dia memang sempurna. Sama sempurna dengan model di majalah dewasa. Payudara itu juga ranum. Tak heran membuat bajingan itu ingin menikmatinya. Berapa umurnya? Gue pikir dua puluh tahun saja belum. Gadis malang…
…
Gue lepas baju yang warnanya telah kusam dimakan waktu. Benda itu gue pakai untuk menutupi tubuh telanjang si Gadis Malang lalu barulah memeriksa keadaannya. Gue raba nadi pada leher gadis tersebut, masih ada tanda kehidupan. Artinya dia masih hidup. Sepertinya hanya pingsan. Pingsan karena ketakutannya.
Lalu sekarang apa yang harus gue lakukan? Bawa pulang? Nanti dikira orang-orang gue yang culik… Menunggunya sadar? Kalau sampai besok pagi dan besoknya lagi masih pingsan, apa gue harus terus duduk di sini menunggu? Atau meninggalkannya? Lalu kalau diperkosa lagi, kasihan kan?
“Toahnia!” tegur Asiu yang langsung mempercepat langkah kakinya menuju tempat gue duduk sambil berpikir.
Hebat sekali dia! Bisa menemukan gue di tempat seperti ini. Padahal rasanya sudah cukup jauh dari rumah. Apakah Asiu memasang radar sehingga bisa tahu keberadaan gue? GPS?
Gue melambaikan tangan menyuruh dia mendekat. Tak apalah, dengan ada dia, setidaknya ada saksi bahwa gue duduk diam tak melakukan suatu apapun pada gadis itu.
“Susah sekali mencarimu, Toahnia. Tidak pulang? Sudah malam sekarang.”
Gue melirik gadis yang masih pingsan, “Lalu dia? Satu hal yang menyebabkan gue tidak juga pulang, ya… menunggu dia sadar,” gerutu gue kesal. Sudah sangat lama gue berada di sini menunggu gadis itu sadar dengan duduk dan jalan mondar-mandir.
“Te… telanjang?!?” celetuk Asiu kaget. Dia terus menatap minta jawaban.
“Berandalan-berandalan kurang ajar itu melakukan sesuatu padanya.” Gue tak tega menyebut ‘dia telah diperkosa’.
“Lalu mereka?” Sebelum gue sempat menjawab, Asiu sudah menjawabnya sendiri, “Harusnya aku tidak perlu tanya. Mungkin mereka sedang mengaduh-aduh entah di mana.”
Tertawa datar, gue alihkan pandangan pada gadis itu lagi.
“Asiu, gue lapar… lu bawa sesuatu?” Sayang, dia menggelengkan kepala.
Sampai kapan harus menunggu seperti ini?!? Gue benar-benar frustasi sekarang.
Sekali lagi gue berdiri dan jalan mondar-mandir. Kira-kira sepuluh langkah ke arah utara kemudian sepuluh langkah lagi ke selatan, demikian seterusnya, tak sadar kalau gadis itu mulai menunjukkan gejala akan siuman.
“AAAAAAAAAAAAAAAA…,” teriakan yang melengking tinggi dengan mendadak membuat gue dan Asiu menutup telinga.
Dia—yang gue harapkan segera siuman—akhirnya menjawab keinginan. Sayangnya teriakan ketakutan itu di luar rencana gue sebelumnya.
Lepas berteriak, gadis itu mengkerutkan tubuh seolah fetus dalam rahim ibunya. Mata dia mengerling takut pada gue dan Asiu seolah-olah kami yang telah merengut kegadisannya.
“Kau baik-baik saja?” pertanyaan bodoh macam mana ini? Mana mungkin dia baik-baik saja setelah diperlakukan seperti itu. “Gue mau pulang. Lu bisa pulang sendiri atau perlu dihantar?”
Tak menjawab, dia kian erat mendekap baju yang gue gunakan untuk menutupinya sambil berteriak ricuh seolah-olah gue ini laki-laki hidung belang yang menodainya.
Menghela nafas berusaha sabar, gue jongkok di dekatnya, hanya berjarak dua langkah, barulah berusaha menjelaskan, “Gue dengar teriakan. Terus gue cari asal suara dengan susah payah dan menendang kemaluan para brengsek itu, ini balasannya? Tahu begitu, gue tak perlu repot-repot.”
Baju dia telah robek, tak mungkin digunakannya lagi. Mengingat itu semua, ada rasa iba dalam hati menghantui. Ada sedikit rasa sesal telah menanyainya dengan sikap seperti tadi.
Sedangkan dia terus memandangi. Memandangi gue yang telanjang dada, takut akan melakukan sesuatu padanya. Gadis itu merangsek mundur berusaha menjauh.
“Yang terus kau dekap itu baju gue.”
Dia melirik baju yang didekapnya erat. Tangannya bergetar ketika memegangi baju itu. Mengetahui dirinya tanpa pakaian lengkap dan ada dua orang laki-laki di hadapannya pasti suatu hal yang menakutkan.
“Asiu! Baju lu! Baju!” teriak gue. Badan Asiu lebih kecil dari gue. Mungkin akan lebih pas dikenakan gadis ini daripada baju gue. Sementara baju gue… mungkin bisa jadi pengganti roknya.
Baju Asiu yang baru dilepas langsung gue berikan padanya tanpa melirik sedikitpun. Ketika terasa tangan tanpa beban baju lagi, gue minta dia segera memakainya.
“Di mana rumah lu?”
Tak ada jawaban.
“Nama?”
Tetap sunyi.
Celaka, malam semakin larut. Tak baik bagi kesehatan Asiu harus telanjang dada lebih lama lagi.
“Malam sudah larut. Kami ingin pulang. Lu mau menginap di sini, gue hantar pulang atau….?”
Juga tak ada jawaban.
Lelah membuat gue mudah emosi. Akhirnya gue berdiri dan berjalan menjauh. Ketika menjauh itulah gue mendengar suara tangisnya kembali terisak. Benar-benar membuat gue frustasi.
Gue dekati dia lagi lalu menyuruhnya berdiri. “Besok pagi gue hantar lu pulang. Malam ini, tidurlah dulu di rumah gue.”
Bagian enam
Setelah menutup pintu kamar gue, tempat dia tidur malam ini, pergilah gue ke kamar Asiu.
Tak butuh waktu lama untuk segera pulas tertidur dan membiarkan Asiu terjaga dengan segala pertanyaan di hatinya.
“Toahnia! Toahnia!” gue kira belum lama tidur, namun Asiu sudah berteriak heboh berusaha membangunkan.
“Berisik! Gue masih mau tidur,” memiringkan badan ke arah lain, tanpa pedulikan si Asiu.
“Dia baru saja berniat gantung diri di kamar Toahnia.”
Seketika itu gue langsung terjaga.
“Siapa?”
“Gadis yang Toahnia selamatkan kemarin.”
Jadi rupanya gue benar-benar membawa pulang seorang gadis korban pemerkosaan. Dia bukan hanya mimpi semalam. Secepat kilat gue bangkit lalu berlarian ke kamar.
Dia sedang menangis di dipan dengan bekas kemerahan nampak pada leher. Artinya Asiu berhasil menyelamatkannya tepat waktu.
Kursi masih tergeletak tidur di lantai dan kain kelambu gue tergantung di batang kayu pada langit-langit kamar. Di luar, langit masih gelap, bisa jadi ini jam dua atau tiga pagi.
Asiu berbisik di telinga, “Bagi seorang perempuan, kejadian seperti kemarin pasti sangat memalukan. Lebih baik dia mati. Karena calon suaminya pun pasti menganggap gadis yang tidak perawan sebagai perempuan nista.”
Gue terbisu tak jadi marah-marah. “Siapa namamu?”
Dia masih membisu. Hanya ada suara tangisan tersendak-sendak yang keluar dari mulutnya.
“Nama gue Enru. Sne[1] Cui atau Tirtonegoro, terserah pilih mana. Sedangkan adik angkat gue ini Asiu. Siapa nama lu?”
“Ni… Ni Hien Nio…,” empat patah kata itu diucapkan dengan sangat pelan di sela isak tangis.
Tanpa pikir panjang, gue berkata padanya, “Tidak akan ada yang mengitimidasi kamu. Tidak akan ada seorang pun yang berani merendahkanmu.”
Dia tetap terisak. Matanya menatap gue bingung. Mungkin karena kata ‘mengintimidasi’ tak ada dalam kamus abad ini. Atau karena dia tidak mengerti maksud gue?
“Kalau lu tak keberatan dengan si Miskin ini, gue akan menikahi lu.”
Matanya yang sayu mendadak terangkat. Mungkin ia sangat terkejut. Gue juga terkejut dengan tindakan nekat ini. Jelas gue tidak jatuh cinta padanya. Jelas hati gue masih dipenuhi oleh Lala. Entah mengapa mulut ini demikian lancang melamar gadis yang hanya gue ketahui namanya.
“Izinkan gue bertemu Apeh.”
Dia menggelengkan kepala.
“Abuh[2]?”
“Apeh dan Abuh di Batavia. … Aku ikut Toahnia mengunjungi keluarga Cece dan Cehu[3]…,” lalu dia menangis terisak-isak lagi.
“Baik. Gue hantar lu pulang dan pertemukan gue dengan Toahnia. Ayo!”
Gue genggam tangannya mengajak dia pergi. Awalnya dia mengelak keras. Keringat dingin membanjiri tubuhnya.
“Tidak akan ada yang memandang rendah ke lu. Tidak! Gue tidak! Asiu pun tidak. Biarkan masalah ini hanya rahasia di antara kita bertiga dan Toahnia lu. Mengerti?”
Bagian tujuh
“Toahnia!” seru Ni Hien Nio melihat punggung seorang laki-laki yang berdiri kaku di luar gerbang rumah.
Laki-laki itu membalikkan badan. Melihat Hien Nio, dihelanya nafas lega dan berlari menghampiri kami.
“Dia,” Hien Nio melirik ke gue. “Ingin bicara sesuatu dengan Toahnia.”
Yang disebut Toahnia oleh Hien Nio kiranya baru berusia awal dua puluhan. Dari pakaiannya, jelas terlihat bahwa ia orang kaya dan berpengaruh. Ya Tuhan, mudah-mudahan gue tidak akan pernah terkena kasus apapun dengannya.
Dia menatap dengan pandangan curiga. Oh, tentu saja. Yang gue kenakan bukan baju dari bahan halus seperti di masa jaya. Ini adalah baju kasar yang membuat kulit gue lecet-lecet saat pertama pakai. Tentunya jelas sangat berbeda dengan sutra yang dikenakan laki-laki bermarga Ni ini.
Hien Nio meminta pembicaraan tertutup antara dia, kakaknya dan gue sehingga mereka menggiring gue masuk ke dalam ruang baca.
“Sebenarnya ini rumah keluarga ipar saya. Tapi saya kira mereka tidak akan ikut campur dalam pembicaraan ini. Katakan, apa yang ingin dibicarakan.”
Gue melirik Hien Nio. Dan di saat yang sama, ternyata ia juga melirik gue.
“Izinkan saya menikahi adik Anda,” gue sengaja bicara sesopan dan sesingkat mungkin.
Tak heran jika lawan bicara gue terperanjat karena masalah ini. Maka, ketika mendengar ia berkata ada baiknya mendengar kata orangtua mereka terlebih dahulu, gue mengangguk setuju.
Pembicaraan berikutnya, terkait dengan latar belakang gue. Terhadap hal ini gue juga tidak heran. Hal yang wajar untuk meneliti latar belakang orang yang melamar saudarinya. Gue juga melakukan itu pada laki-laki bule yang kini telah resmi jadi suami Cece.
Terlebih umur gue sekarang ini mungkin sudah memasuki empat puluhan—dengan perhitungan saat bertemu Peng Guan baru tiga puluh dua tahun.
Laki-laki itu pasti sangat penasaran dengan om-girang-kurang-ajar yang mengatakan hendak menikahi adiknya. Sudah miskin, tua, masih tak tahu diri pula.
Sampai saat ini, gue sendiri tak sampai hati mengatakan maksud meminta pernikahan ini. Cinta? Jelas gue tak punya perasaan itu terhadapnya. Sayang? Tak mungkin gue tiba-tiba menyayangi seorang gadis yang baru dikenal. Dua jenis perasaan itu terlalu gombal untuk disebut dalam masalah ini.
Mungkin perasaan padanya adalah iba? Atau karena menyukai suaranya yang seperti suara Cece dan membuat gue seperti ada di rumah.
Lebih lucunya mengingat dulu gue mati-matian mengelak dari rencana perjodohan Yo Sinshe. Tapi sekarang, justru gue yang melamar seorang gadis ingusan. Sepertinya ada hukum karma berperan dalam kasus ini.
Di akhir perbincangan, kira-kira matahari telah tepat di atas kepala, akhirnya ia menyudahi ribuan pertanyaannya. Mungkin karena laki-laki muda bermarga Ni ini mendengar bunyi krucuk-krucuk yang keluar dari perut gue. Pagi tadi, gue belum sarapan.
“Ikutlah makan,” ajaknya.
Setelah ia tahu di Batavia gue pernah mengalami masa jaya, lagaknya tak terlalu sinis. Mungkin ia pernah mendengar sedikit cerita tentang seseorang yang berbisnis di bidang konsultan marketing dan menempelkan cerita yang dia tahu pada gue. Lalu tentu saja, ajakan makan itu tak mungkin gue tinggalkan.
Bagian delapan
Sekitar seminggu setelahnya, beberapa orang—kira-kira ada lima orang jumlahnya—datang ke rumah kami guna menjemput gue. Gue hanya tahu mereka pesuruh keluarga Ni. Karena seseorang dari mereka gue kenali adalah pelayan yang memanggil kakak Hien Nio sebagai ‘tuan muda pertama’.
“Kenapa?” tanya gue.
Tapi mereka tak menjawab.
“Ada yang perlu dibicarakan oleh majikan kalian?”
Juga tak menjawab.
“Hei! Kalian ini pura-pura bisu, ya?!?”
“Shaoya hanya menyampaikan pesan agar datang menjemput. Kami tak berani menanyakan perintah majikan.”
Gue sempat menarik nafas lega, setidaknya pertanyaan terjawab. Namun beberapa pertanyaan yang timbul sesudahnya membuat gue segera merasakan rasa penasaran lagi.
Mungkin mereka hendak membunuh gue? Memangnya salah apa? Bukankah justru gue yang menolong adik perempuannya itu. Kenapa juga gue pikir semacam itu? Kembali pada Enru yang dulu, tolol. Seorang Enru mana mungkin bertele-tele seperti sekarang. Pergi ya pergi saja. Toh membunuh Enru bukan hal yang mudah.
Bagian sembilan
Menurut gue kakak pertama Hien Nio sudah tahu apa yang menimpa adiknya namun terus berusaha menyembunyikan kenyataan itu. Mungkin karena mereka keluarga terpandang. Atau mungkin takut jika orang-orang curiga dengan pernikahan mendadak salah satu anggota keluarganya dengan laki-laki berumur yang miskin pula.
Dalam ruangan yang hanya diisi oleh gue dan dia, pembicaraan proses selanjutnya diteruskan. Sebenarnya, sejak awal dia bicara gue sudah tahu maksud pemanggilan kemari. Namun gue biarkan saja dia bicara dengan lidahnya sendiri.
“Pernikahan ini bisa disetujui dengan syarat…,” dia sengaja menggantung kalimatnya. Harus diakui, pemuda ini luar biasa. Gue kira keluarganya di Batavia memiliki kedudukan yang sangat berpengaruh. Namun sayang, sampai detik ini, yang gue tahu hanya namanya. Ni Hoe.
“Ahnia menikah masuk ke keluarga kami.”
Dia sudah mengakui umur gue memang lebih tua darinya dan menghargai dengan memanggil sebagai kakak. Atau mungkin memanggil Ahnia dengan tujuan membujuk gue agar menyetujui permintaannya?
“Ahnia tak punya sanak saudara selain Asiu yang hanya berstatus adik angkat tanpa surat resmi itu.”
Meninggalkan harkat gue sebagai seorang laki-laki, dengan ditukar berbagai fasilitas memang bukan pilihan yang sulit, gue pasti menolaknya. Masalahnya adalah janji gue pada Hien Nio. Kasihan jika ia menikah dengan laki-laki yang tak dapat menerima istrinya pernah dinodai.
Seperti yang dikatakan Asiu pada gue, jika keluarga mempelai pria mendapati mempelai perempuan bukan perawan, ia akan dipulangkan. Tentunya jika itu terjadi, pasti diiringi rasa malu yang sangat besar.
Hien Nio bukan seorang gadis yang kuat menerima rasa malu seperti itu. Sebab jika dia perempuan kuat, tak akan berniat bunuh diri di rumah gue.
Gue pejamkan mata rapat. Irama nafas yang teratur menguatkan hati gue, sebelum sebuah suara dengan nada tegas keluar dari mulut gue sendiri, “Baiklah. Saya bersedia.” Memberikan jeda sedikit panjang, kemudian gue menambahkan, “Tapi saya lakukan bukan demi diri saya. Ini untuk memenuhi janji pada adik Anda.”
Dia yang sudah tersenyum senang mendengar jawaban pertama, tak lagi menaruh perhatian pada kelanjutan kalimat gue.
“Ahnia seorang laki-laki yang cerdas. Tentunya sebuah hal mudah bagimu mengarang cerita bagaimana pertemuan kalian. Jika Ahnia sudah mendapatkan suatu pemikiran, ada baiknya untuk memberitahu kami. Sedangkan masalah budak-budak itu, tak perlu Ahnia risaukan. Kami yang akan menangani mulut mereka agar tetap bungkam.”
Gue tersenyum datar. Laki-laki ini pastinya sudah dididik sejak kecil untuk menjadi pebisnis sejati. Pemilihan kalimat, gesture tubuh. Bahkan kapan harus memuji juga kapan harus tersenyum, ia bisa menentukan waktunya dengan tepat. Kelak, ia pasti bisa mengalahkan kepiawaian Yo Sinshe dalam menangani bisnis ladang tebu.
“Urusanku di sini sudah hampir selesai. Ada baiknya bagi Ahnia untuk juga berkemas.”
“Saya tahu,” jawab gue singkat terkesan seadanya.
Gue kira pembicaraan sudah waktunya diakhiri. Toh mereka sudah mendapatkan apa yang dimau. Gue juga sudah memenuhi janjiku pada Hien Nio. Menurut perkiraan gue, pernikahan kami pasti akan dilangsungkan secepatnya begitu tiba di Batavia.
Akankah Tuan Yo menjadi tamu pada saat itu? Yang gue tahu dengan pasti, pincangnya kaki Asiu harus diminta pertanggungjawaban!
*#*#*
Catatan kaki:
- Sne: marga
- Abuh : mama
- Cehu : panggilan kepada suami dari kakak perempuan