Episode 2 “Jiu Ming En Ren?”
Jika saja aku tidak ikut campur, aku tidak akan bertemu dengan mayat hidup yang satu ini. Jika saja aku dapat mengontrol diriku, aku tidak akan diam terpaku di tengah padang rumput menunggu kematian, seperti saat ini.
Mayat hidup berwujud mayat pendeta itu terus mendekatiku. Kuku-kuku pada jari tangannya telah berlumur darah kedua laki-laki asing. Pasti darah itu tertinggal saat ia berusaha menangkap kedua orang asing tersebut.
Sementara itu, dari kejauhan aku mendengar lolongan serigala. Begitu pilu terdengar seolah hendak memberitahukan bahwa ia kelaparan, sama seperti mayat hidup yang tak hentinya memandangku dengan lekat ini.
Tak lama berselang, terdengar bunyi kemeresak dari rumput-rumput yang terinjak. Namun, aku yakin suara itu bukan karena kaki kami termasuk musuh kami. Ada sesuatu lagi di padang rumput. Entah apakah sesuatu itu manusia, binatang atau sebangsa dengan musuh kami.
Keringat dingin mengalir deras membasahi tubuhku. Bahkan bajuku telah basah hingga kurasa dapat diperas dengan tenaga seorang anak-anak. Tanganku mencengkram kuat batang rumput ssembari aku masih terduduk dengan kaki serasa terkunci.
Salah seorang dari laki-laki asing mengompol. Ia yang tadi sore dipanggil oleh gadis pendatang sebagai Gao Fa. Air seninya membasahi celana dan kemudian rerumputan. Dan aku tak tahu apakah harus tertawa atau prihatin karenanya.
Lalu bunyi gemerincing tiba-tiba sampai pada telingaku. Kukira asalnya dari lonceng yang dibunyikan oleh pendeta Shaman. Berarti, ada seorang pendeta yang melintas dan pastinya ia membawa sekawanan mayat hidup.
“Oh… tidak,” pikirku kalut. “Kuharap mereka tidak ikut bangkit dan meneror kami.”
Aku masih kalut saat sebuah tali seketika terjulur melalui kami dan seseorang dengan lompatan panjang melalui kami. Kemudian tali lain di belakang mayat hidup musuh kami dan di sisi kiri kanannya. Tiga orang berpakaian murid pendeta Shaman mengepung musuh kami. Tali itu melilitnya dan ia meronta sekuat tenaga.
“Kami selamat!” pikirku. Dengan masih didera rasa takut dan kuatir, aku berdiri dan mendekati pendeta dan para muridnya hendak berterima kasih.
“Terima kasih atas pertolongannya. Aksi para murid Anda sangat hebat. Pastinya Anda seorang pendeta berilmu tinggi,” ujar Gao Fa mendahuluiku. Ia mengulurkan tangannya yang tak kumengerti untuk apa. Namun karena pendeta itu tak membalas, ia menarik kembali tangannya dengan mimik wajah perncampuran antara berpura-pura tenang, sedih dan malu.
“Kalau Anda berkenan mampirlah ke gubukku,” kataku dengan sopan. “Gubukku tak jauh dari sini.”
Pendeta itu tersenyum dan mengangguk. Ia menyuruh para muridnya mengikat lebih erat musuh kami lalu ia sendiri membariskan mayat hidup yang ia bawa dengan kekuatan ilmunya.
“Mulai kapan kampung ini diteror jian shi?” tanya pendeta tersebut tentu saja padaku.
Selagi aku menjawab, ketiga orang pendatang mulai ribut sendiri. Gao Fa tetap bersikukuh tidak percaya masih ada vampire di zaman republik. Setan adalah kepercayaan orang lama katanya.
“CUKUP!!!” teriak si gadis pendatang galak. “Gao Fa! Kalau kau tidak mengajak kami kemari, tidak akan ada kejadian seperti ini,” bentak gadis itu begitu gusar. Aku, pendeta penolong kami dan murid-muridnya hanya memandang ke arah laki-laki yang dipanggil Gao Fa. Apa rasanya dimarahi oleh seorang perempuan di hadapan laki-laki lainnya?
“Da ge,” seru gadis itu lagi. Tapi kali ini suaranya telah berubah menjadi tenang. Ia juga berlari ke arahku dengan tersenyum. “Maaf, kami membuatmu nyaris celaka,” katanya di hadapanku.
Sungguh, gadis ini sangat manis. Suaranya mengalir tenang jika ia sedang senang namun, saat ia marah, ia tampak seperti halilintar yang menghujam bumi. Tak mungkin aku sebanding dengannya.
Aku hanya warga kampung yang bisa baca tulis saja sudah sangat beruntung. Aku tidak kenal siapakah Sun Zhong Shan* yang tengah dibicarakan kedua laki-laki pendatang itu saat ini. Aku juga tidak mengerti paham nasionalis pun komunis yang diributkan kedua laki-laki itu. Ya, mereka tak lagi meributkan vampire yang nyaris merenggut nyawa mereka. Kini yang mereka ributkan justru paham-paham baru yang begitu asing kudengar.
“Da ge, namaku Huang Niang, ia adalah kakakku, Huang Feng,” katanya dengan menunjuk seorang pria tampan dengan kemeja putih di sebelah laki-laki bernama Gao Fa. “Dan satunya adalah teman kuliah kakakku sekaligus teman mainku, Gao Fa. Siapa nama da ge?”
“A Niu,” jawabku malu.
“Huang Feng,” sahut laki-laki kakak Huang Niang dengan mengulurkan tangannya padaku. Dengan ragu aku membalasnya. Dan aku merasa tangannya mencengkram tanganku begitu kuat dan lekat. Tampak ia seorang laki-laki yang tegas.
Lalu, Gao Fa juga menjulurkan tangannya padaku. Namun berbeda dengan kawannya, laki-laki ini kukira tidak setegas Huang Feng. Ia laki-laki yang ceria, dengan percaya diri yang berlebihan namun sebenarnya penakut. Buktinya ia mengompol saat diteror vampire tadi.
“Silahkan masuk di gubukku,” kataku di depan pintu rumahku. Aku memandangi para tamuku dengan bulu kudukku yang berdiri tegang. Memang, aku sedikit takut. Pendeta ini membawa serombongan vampire dengan pakaian ala pejabat dinasti Qhing. Mungkin pendeta ini mendapat tugas mengembalikan mereka ke desanya masing-masing dan membakarnya setelah serangkaian upacara.
Entahlah, yang kuharapkan hanyalah kedamaian segera kembali pada desaku dengan dibawanya pergi sang murid pendeta yang turut berubah menjadi vampire.
Ketiga murid pendeta ini meletakkan para vampire di gudang di halaman samping rumahku. Kukira tempat itulah yang terbaik sementara ini agar paman juga bibiku yang masih tidur tidak terganggu dengan keberadaan mereka. Toh, besok malam mereka akan pergi. Lalu aku menjamu mereka dengan makanan seadanya dan teh hangat.
Aku melirik pada si pendeta. Mungkinkah ia kenal dengan shu gong? Mungkinkah aku mendapat kabar mengenai shu gong darinya? Shu gong sudah lama pergi. Dari berita terakhir yang keluargaku terima, ia menjadi salah seorang pendeta Shaman. “Mushi… apakah–”
“SHI FOU…!!!” jerit murid pendeta itu tiba-tiba. Jeritannya begitu menggelegar diikuti bantingan pintu ke ruang tengah tempat kami berada. Aku yakin, paman bibiku pasti mendengar suara teriakannya. “Mereka… mereka bangun. … Jianshi mushi… buat ulah!” ia berteriak sekali lagi dengan terengah-engah. Tangannya dengan erat mencengkram kusen pintu rumahku menjaga agar dirinya tak ambruk.
Sang pendeta segera bangkit dari duduknya dan pergi ke arah gudang mendahului kami. Sedangkan aku, Gao Fa, Huang Feng dan Huang Niang jalan berbaris dengan ragu-ragu dan takut. Keluar ke halaman untuk masuk ke gudang di sebelah kiri halaman rumah. Kami tampak seperti ular yang dengan nekat mendekati sarang burung elang.
Saat di halaman aku melihat bulan purnama dengan jelas menyinari bumi. Cahayanya walaupun redup memancarkan hawa misterius namun anggun. Dan dari tempat itu pula, aku mendengar jeritan ketakutan pun kesakitan dari arah gudang sekaligus bunyi dentuman tubuh manusia yang terbanting ke lantai. Sekali dua kali aku juga mendengar suara patahan kayu. Rasanya seperti gudang rumahku akan menjadi tempat pembantaian.
Keringat dingin dengan deras mengucur dari tubuh. Tak hanya aku, Gao Fa, dan Huang Niang, begitupula Huang Feng, sang pendeta dan ketiga muridnya. Tampaknya pendeta itu bertemu lawan yang sangat tangguh.
Lalu, tak terbayangkan olehku sedikitpun juga. Seorang vampire telah mencengkram leherku dari arah samping kiriku. Matanya mendelik penuh napsu dan kepalanya mendekati leherku bagai singa kelaparan.
***