Lanjut ke konten

31a – Hien Nio

Bagian satu

 

Apeh!” seruan Gwat Nio di akhir hidupnya berulang kali membayangi mimpi gue.

Dia memanggil dalam senyum dan berkata, “Gwat Nio tidak mau kehilangan Apeh. Gwat Nio cuma ingin membantu Apeh. Apeh jangan usir Gwat Nio.”

Gue gelengkan kepala perlahan. “Tidak… mana mungkin Apeh mengusirmu…?”

“Lalu mengapa Apeh menyuruh Gwat Nio dan Abuh meninggalkan Batavia? Mengapa Apeh berbohong pada Gwat Nio?”

“Karena ApehApeh….”

Memeluknya dengan erat, gue tak peduli pada kawanan budak yang begitu liar oleh hasutan meneer tengah menghampiri. Belum lagi pasukan kompeni berada di belakang mereka, menanti kekalahan. Gue tak peduli semuanya. Dalam pelukan ini adalah anak gadis gue. Anak lincah dan cerdas yang setiap harinya membayangi langkah gue. Tak akan gue biarkan seorangpun menyentuhnya.

Apeh… Gwat Nio sangat sayang pada Apeh…”

“Ya, Apeh tahu. Apeh juga sangat sayang pada Gwat Nio.”

Dia tersenyum sekilas. Namun darah semakin deras mengucur dari lukanya. Demikian juga air mata gue.

Ketika matanya perlahan terkatup dan tak lagi membuka, rasanya seluruh kekuatan gue hilang total dan tak berbekas.

Siapapun yang waras tak akan tega melihat akhir hidupnya seperti ini, terlebih gue. Putri kesayangan gue. Sudah susah payah bujuk Hien Nio agar membawa Gwat Nio pergi meninggalkan Batavia. Setengah bulan sebelum kerusuhan besar-besaran yang terjadi beberapa hari yang lalu. Siapa yang menduga anak itu akan kembali?

Kembali hanya untuk menggantikan tempat gue.

Lebih baik gue yang mati. Gue… yang… mati….

Apa yang mereka lakukan pada jenazah putri gue? Tak mungkin ‘kan mereka akan memperlakukannya dengan senonoh? Tidak bisa gue bayangkan jenazah putri gue mereka perkosa. Mengingat trauma ibunya, bagaimana arwah anak manis itu bisa bertahan? Mereka kuburkan di mana Gwat Nio? Ataukah jenazah si manis hanya dilempar ke dalam kubangan lumpur?

Tidak! Mereka tak boleh lakukan itu padanya. Dia tidak bersalah. Dia tak pernah tahu apa yang gue lakukan!

Cepat-cepat gue berdiri dan berlari. Tak sadar kalau usaha itu pasti akan sia-sia. Teralis besi berdiri dengan kukuh di hadapan, memisahkan seorang Enru dengan dunia luar. Udara kebebasan.

Mereka tak hanya mengurung gue di balik penjara pengap ini. Rantai besi memborgol kaki, terhubung dengan bola besi besar di sudut penjara. Apa yang dialami Asiu dulu kini gue rasakan. Oh… dulu Asiu tak separah ini.

Lempengan besi dingin membelenggu kedua pergelangan tangan gue. Tapi mereka bukan gelang yang bisa dilepas kapanpun gue mau. Mungkin bagi mereka, gue adalah binatang liar dan buas yang sangat berbahaya.

Beban bola besi dan atap rendah penjara membuat gue terjatuh. Gemerincing rantai besi yang besar dan berat terdengar sesudahnya.

Terbungkuk-bungkuk dan menyeret langkah dengan tertatih-tatih, gue hampiri pintu besi kokoh penghalang kebebasan. Cemas membuat gue tak peduli segala sesuatu. Pintu itu gue goyangkan sekuat tenaga hingga terdengar suara berderik yang sangat bising.

Di penjara ini gue hanya seorang diri. Tampaknya mereka sengaja mengasingkan gue dari tahanan lain. Bahkan Asiu, gue ga tahu bagaimana nasibnya.

“Diam!” suara gertakan itu terdengar memekik telinga. Menyusul sesaat kemudian sabetan pecut pada teralis pintu penjara. Tangan gue yang menggenggam dan menguncang teralis adalah sasarannya.

“Putri gue? Jenazah putri gue…?”

Gue hanya bisa bisa duduk di atas lutut karena tinggi penjara ini tak sampai setinggi ketiak. Mungkin baginya, posisi gue seperti hamba yang mengiba-iba hingga dia menertawai.

“Cui Enru….” Matanya menatap gue sinis. “Apa katamu waktu mengatakan pekerjaanmu dulu? Konsultan strategi penjualan?” dia tertawa.

“Siapa yang bisa menyangka orang seperti ini sanggup menggerakkan ratusan orang untuk sebuah pemberontakan?” lanjutnya dengan bicara pada temannya yang tak terlihat oleh gue. Tapi suara tawa yang terdengar adalah jawaban bahwa orang di sekitar sel tak hanya ia seorang.

“ANAK GUE! MANA ANAK GUE!!!” teriak gue frustasi.

“Mati,” jawabnya dingin.

“Jenazahnya?”

Dia menaikkan bahu tak peduli lalu meninggalkan sel penjara tempat gue dikurung. Tanpa jawaban.

 

Bagian dua

 

“Ni Hoe juga turut dalam persengkongkolan ini?” tanya meneer yang menjabat sebagai jaksa penuntut dalam kasus gue.

Gue jawab dia lagi-lagi dengan sebuah gelengan kepala. Berapa kali masalah itu ditanyakan dan berapa kali pula kepala gue digelengkan tak lagi terhitung, jelas jumlahnya di atas puluhan kali. Tapi tetap saja ia mengulang dan terus mengulangnya.

Tiba-tiba, leher gue dicengkeram. Rasanya sesak seperti dicekik.

Mata meneer itu nyalang mengancam.

“Ti… dak…,” jawab gue di tengah sakitnya cengkraman dia pada leher.

Kedua tangan dan kaki gue diikat pada batang kayu berbentuk salib yang ditanam di ruang penyiksaan membuat gue tak dapat berbuat apapun untuk membela diri selain terbatuk setelah cengkraman dilepaskan.

Dia memang tidak. Mana pernah terpikir hal seperti ini oleh seorang Ni Hoe? Bahkan tanggung jawabnya sebagai kapiten saja lebih banyak dilimpahkan ke gue.

Lelah menanyai dan mungkin takut gue keburu mati sebelum pengakuan mereka dapatkan, membuat gue dikembalikan pada sel. Tapi gue yakin, hari berikutnya tak lebih baik dari sekarang.

Malam tanpa makanan memadai juga tanpa obat untuk semua luka di tubuh, paginya gue kembali diseret ke ruang penyiksaan. Lain dari sebelumnya, kali ini mereka menggantung kedua tangan gue tinggi pada tiang hingga kaki terasa agak tergantung. Tentu saja, kaki gue pun dirantai mereka sehingga tak mungkin berontak sedikit pun. Lagipula, tubuh gue mulai melemah. Jauh melemah walaupun dibandingkan pada masa kebangkrutan sekian tahun lalu, selain itu selama berjam-jam ini tak ada sedetikpun waktu yang bisa gue gunakan untuk mengistirahatkan tangan yang lelah tergantung.

Tak tahu apa yang dikodekan meneer ini pada anak buahnya. Tiba-tiba saja sebuah lecutan cambuk menghantam gue keras. Sekali… dua kali… tiga kali….

“Ni Hoe ambil bagian dalam rencanamu?”

Sekali lagi gue gelengkan kepala. Sungguh gue tidak berbohong. Tak hanya Ni Hoe, Hien Nio juga tidak tahu masalah ini sedikitpun. Tapi mereka tetap tak percaya.

Cambuk itu kembali mendera gue.

Semua orang bilang di Stadhuiz, yang atas minum wine, di bawah menuai pain. Tak ada yang salah dengan kalimat tersebut. Para hakim tak akan peduli narapidana mengaku karena siksaan atau benar-benar mengaku. Yang mereka inginkan hanyalah pengakuan. Karena setelah ada pengakuan, hukuman dijatuhkan dan tugas selesai. Artinya, bisa kembali menikmati wine. Mana ada pengacara. Setidaknya dalam kasus gue.

Tapi ini bukan Stadhuiz. Sebodoh-bodohnya gue tentang sejarah, waktu sekolah dulu juga pernah masuk ke Museum Fatahilah dalam rangka karya wisata. Setiap isi bangunan sudah gue telusuri kala itu. Dan ketika Asiu terkena masalah, gue juga mendatangi penjara Stadhuiz. Kemudian saat Peng Guan hendak dibawa kembali ke China, gue juga mengunjunginya di penjara Stadhuiz.

Penjara tempat gue dikurung ini rasanya dan mungkin berada di kastil Batavia. Sebuah tempat yang pada suatu saat nanti akan dihancurkan tanpa bekas.

“Nasib lu juga tidak akan lebih baik dari gua,” kalimat yang diucapkan Peng Guan kembali terngiang di benak gue. Apakah benar dia bisa meramal hidup orang lain? Atau dia bicara atas dasar kekesalannya? Atau mungkin… dia berkata dengan menafsirkan tabiat gue?

Dan hari demi hari berlalu dengan penyiksaan setiap hari. Dari sekian waktu itu, tak ada kabar tentang Asiu, Hien Nio dan Ni Hoe sampai ke telinga gue. Bertanya pada sipir pun percuma. Ia terlalu senang melihat kecemasan gue. Melihat gue tak bisa tidur setiap hari karena mengkuatirkan mereka.

Terhadap Hien Nio, gue tak begitu kuatir. Surat yang dititipkan pada Ketip waktu itu adalah surat cerai. Asal dia membawanya ke pihak berwenang, ikatan tali pernikahan kami terputus. Ia bisa melenggang bebas tanpa menyandang status istri narapidana juga dicurigai.

Sedangkan pada Ni Hoe hanya ada rasa bersalah. Dia tidak terlibat namun dianggap terlibat. Semua itu karena beberapa adiknya menjadi pendukung di belakang gue. Padahal, dia yang hampir setiap hari dimabukkan oleh eksperimen musik, mana pernah tahu rencana besar yang kami siapkan.

Asiu seorang yang membuat gue serba salah. Dia terus bersikap seperti adik yang baik, pendukung setiap rencana gue. Demikian pula dengan rencana muluk kali ini. Mengubah sejarah? Semua orang di zaman gue pasti tahu kalau Belanda menjajah Indonesia sampai pertengahan abad ke-20. Mimpi muluk ini justru membuat kaum gue celaka, terlebih Asiu.

Tak sadar, setetes air mata jatuh membasahi pipi.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari luar. Mata gue terkesiap ketika melihat siapa yang datang. Hien Nio.

Ahnia.”

Dia terdiam. Gue pun diam. Tak ada yang bisa gue katakan padanya saat ini. Juga tak tahu apa yang harus gue beritakan padanya.

“Apa maksud menitipkan surat itu pada Ketip?”

Gue tatap dia yang berwajah sendu di hadapan. “Tak perlu ditanyakan lagi. Lu pasti tahu. Apakah sudah selesai mengurusnya?” berpura-pura dingin pada perempuan yang selama ini mendukung di belakang adalah hal paling memuakkan.

Dia menggelengkan kepalanya membuat gue terpana. Kenapa?

Gua tak ingin berpisah dari Ahnia. Itulah mengapa kami kembali. Gwat Nio mengatakan dia mendengar Ahnia merencanakan sesuatu yang besar.”

Dia mendengar? Gadis sepuluhan tahun itu tahu rencana gue?

“Gwat Nio…?”

“Sudah diurus. Tenang saja. Tak mungkin gua biarkan mereka memperlakukan jenazah putri gua seenak perut sendiri.”

“Maaf, Hien Nio.”

Dia menggelengkan kepalanya. Tapi dari matanya saja gue sudah melihat tanda tanya besar dalam hatinya.

“Gue tak tahan lagi melihat bagaimana meneer itu memperlakukan orang-orang kita di negeri ini.”

“Negara ini?” alisnya berkerut bingung oleh ucapan gue.

“Ya, di tanah ini kelak akan berdiri sebuah negara merdeka. Ribuan kali kalian menanyakan asal-usul gue tapi tak pernah dapat suatu jawaban pasti karena… gue tidak berasal dari zaman yang sama dengan kalian. Gue lahir dan besar tiga ratusan tahun setelah hari ini.”

Dia terlihat bingung sejenak. “Bagaimana bisa, Ahnia? Mana mungkin di dunia ini orang bisa berpindah zaman?”

“Gue juga tidak mengerti. Tiba-tiba saja gue berada di abad ini padahal sebelumnya sedang berpesta dengan rekan kantor. Menang pitching, … kami pesta sampai mabuk,” cerita gue dengan suara pelan. Selain karena tenaga yang terkuras habis, gue juga butuh mengingat-ingat masa lalu gue yang merupakan masa depan bagi mereka. “Mungkin itulah mengapa Tuhan tidak memberikan kita anak, agar sejarah tidak berubah dengan kedatangan gue.”

Dia menggelengkan kepala dan mulai terisak, membuat hati gue semakin miris dan seperti dicabik lalu ditetesi cuka.

“Di masa itu, ada kerusuhan besar. Toko papa… Apeh gue dijarah kala itu. Seperti yang dilakukan para budak itu kepada majikan mereka.” Gue melanjutkan cerita perlahan. “Gue kira… jika negeri itu dibangun oleh bangsa kita dan Holana secepatnya diusir dari tanah ini, tidak akan ada gerakan separatis di kemudian hari. ”

“Gua akan mengeluarkan lu, Ahnia.”

“Bukti keterlibatan gue sangat kuat. Lu tak perlu susah payah, Hien Nio. … Yang bisa gue lakukan saat ini adalah mempertahankan kenyataan bahwa lu juga Cihu tidak terlibat sebelum nyawa gue dicabut mereka.”

“Tapi mereka…,” sambil bicara dia meneliti seluruh badan gue yang dapat terlihatnya karena tidak tertutup oleh tembok tebal penjara.

Gue tahu apa yang dia lihat dan kuatirkan. Seluruh tubuh ini sudah berhiaskan sabetan cambuk dan memar pukulan, hadiah dari para meneer karena tidak mengakui keterlibatan Ni Hoe dalam rencana muluk itu.

“Gue tidak menyesal. Berusaha mengubah sejarah adalah perbuatan yang tidak gue sesali. Hanya sayang, gue tidak dapat mengkoordinir semuanya dengan baik. Karena keteledoran itulah, banyak orang kita yang ikut menemui ajal juga membuat kakak lu….”

Toahnia juga dikurung di sini,” balasnya cepat.

“Bagaimana keadaannya?”

“Mereka memaksa Toahnia mengakui bahwa ia terlibat dalam rencana pemberontakan. Tanah, uang, semua harta benda banyak dirampas.”

“Lalu bagaimana dengan lu?”

Hien Nio terdiam. Kelihatannya ada yang disembunyikan. Tapi gue tidak tahu dan ga punya gambaran sedikitpun.

“Gwat Nio sudah dikremasi. Abunya ada di gua.”

Dia sengaja membelokkan percakapan. Entah untuk alasan apa. Sebagai seorang adik dari tertuduh dan istri dari ‘pesakitan’, hidupnya pasti tidak sebaik dulu.

“Pulanglah, Hien Nio. Jangan kembali lagi. Pulang.”

“Apapun yang terjadi, Ahnia, gua tetap istri lu. Lebih baik gua putuskan hubungan dengan keluarga Ni daripada harus berpisah darimu.”

“Kenapa? Pernikahan kita sebenarnya–”

“Tidak ada kenapa. Gua hanya tahu lebih rela kehilangan status dalam keluarga Ni dibanding berpisah dengan Ahnia.”

“Hien Nio…,” sebut gue lirih sebab merasa bersalah

“Gue pergi sekarang. Tapi besok akan menengok Ahnia, lagi dan lagi.”

Ia pergi sebelum gue sempat melarangnya kembali menengok. Menatap kepergian Hien Nio, yang ada pada hati gue hanya rasa bersalah. Dan kemauannya tetap berstatus istri gue membuat gue tak bisa tidak mengkuatirkan dirinya. Mengapa dia tidak mengurus surat cerai itu?

Dari mulutnya, gue ketahui Asiu tidak ditemukan di manapun. Demikian juga dengan Made dan Ketut. Mungkin kedua orang itu berhasil melarikan dan menyembunyikan Asiu. Mudah-mudahan saja begitu.

Pengadilan berjalan amat lambat. Dan di setiap kesempatan, mereka akan memaksa gue membuat pengakuan bahwa Ni Hoe terlibat dalam rencana pemberontakan. Tidak mengaku artinya siksaan kembali mendera. Entah sampai kapan harus gue lalui semua ini.

-bersambung-

%d blogger menyukai ini: