10b – Kota Terasi
Bagian enam
Dua rijksdaalder itu sudah gue bayar, harusnya tak ada masalah. Maka, dengan tenang gue tinggalkan Batavia. Tujuan gue adalah kembali ke ‘kota terasi’.
Duduk dalam kereta kuda yang dibayari oleh The Sinshe, pikiran gue terbang ke segala penjuru.
Kapan gue kembali ke masa jaya? Mengapa masa menyenangkan itu demikian singkat? Bagaimana caranya agar masa itu kembali secepatnya? Lebih baik lagi jika kemudian jadi lebih kaya dari Yo Sinshe. Saat itu, kita akan lihat, apakah dia berani macam-macam.
Memang, pelaku perampokan dan semua yang terjadi belum tentu dia pelakunya. Ini masih perkiraan semata. Karena berdasarkan hasil laporan pada schutterij[1] yang tidak ada tindak lanjut, gue membuat kesimpulan ada ‘orang besar’ yang bermain di belakang. Dan menurut gue—seperti yang sudah dikatakan sebelumnya—satu-satunya orang yang punya kepentingan hanya Yo Sinshe.
Gue hela nafas, entah sudah keberapa kalinya. Tak ingat dan tak ingin mengingat.
Dulu, ketika pertama kali bertemu muka dengannya, sama sekali gue tak menyangka dia yang sangat baik ke gue kelak akan menjadi musuh. Senyumnya yang bersahabat, kesabarannya memperbaiki dialek yang hancur… Nasihat ketika gue jatuh… apakah semua itu hanya kepalsuan?
Atau sejak awal dia memiliki suatu maksud? Yang kedua bisa saja terjadi. Karena maksudnya yang tidak kesampaian itulah, ia mendorong gue perlahan ke dalam jurang kebangkrutan.
Gue perkirakan saat ini gue sedang melintasi daerah Cikampek. Mungkin sekedar tebakan karena perbedaan drastis masa kini dengan zaman VOC buat gue sulit untuk menerka. Di sana, kusir menghentikan kudanya mengajak gue turun dan beristirahat. Hanya berjarak sekian meter dari kami memang terdapat sebuah rumah makan atau kedai yang sangat ramai. Tampaknya kedai ini begitu terkenal di kalangan musafir.
Kembali pada The Sinshe. Ia mengundang gue kembali mungkin karena hendak membicarakan program marketing susulan. Mudah-mudahan kerja sama dengan The Sinshe berjalan lama dan mengembalikan pundi-pundi gue yang habis dibobol maling. Mudah-mudahan juga
Sampai di Kota Terasi, gue segera menemuinya. Ia menyambut gue dengan hangat juga menanyakan bagaimana kemalingan itu bisa terjadi. Ia mendengar cerita gue dengan mengangguk-anggukkan kepalanya perhalan. Mungkin sedang mencerna dan menganalisa. Tak lama, terdengar suaranya berkata, “Cui Heng pernah buat masalah dengan siapa kalau gua boleh tahu?”
Jadi apa yang dipikirkannya sama dengan yang gue pikirkan. Ini tentang pembalasan bukan kejadian kriminal biasa.
Bagian tujuh
Tahun mendatang, promosi berikutnya dari usaha The Sinshe akan diluncurkan. Mudah-mudahan semua berjalan seperti rencana dan sukses seperti program sebelumnya. Obrolan-obrolan seru dengan The Sinshe membuat gue kembali bersemangat saat balik ke Batavia.
Merogoh celana, gue jadi teringat uang yang diberikan The Sinshe sebelum pulang. Ia membekali beberapa puluh rijksdaalder. “Untuk bekal Cui Heng[2] dalam perjalanan,” katanya waktu itu. Padahal ia telah memberikan fee sesuai yang gue minta.
Gue bukan tipe orang yang suka menolak rezeki atau punya sifat malu-tapi-mau. Uang itu langsung diterima dengan tentu saja mengucapkan terima kasih. Lumayan untuk memberikan bonus pada Made sesuai yang telah kujanjikan.
Dengan tenang dan tanpa firasat apapun, gue bertolak pergi, kembali ke Batavia. Tetap dengan kereta kuda sama seperti berangkat dan bahkan dengan kusir yang sama, mampir istirahat pun di rumah makan yang sama, penginapan sama. Yang berbeda adalah cuacanya. Perjalanan ini, cuaca tampak lebih menyenangkan dari saat berangkat. Mungkin hanya perasaan gue saja.
Bagian delapan
“Toa… Toahnia, ce… laka! Asiu di… tahan di… Stadhuiz,” seru Ketut dengan wajah pucat pasi. Dia pasti sangat panik dan cemas sampai menghentikan kuda dengan terburu-buru. Padahal tak lama lagi pasti kusir akan menghentikan laju kuda. Toh gue sudah sampai di depan rumah.
Sebagai seseorang yang telah lama dijual sebagai budak ke Batavia, Ketut tentu tahu bagaimana nasib para tahanan di Stadhuiz. Sebagian besar dari tahanan itu adalah budak yang di tempat majikannya hanya melakukan kesalahan tidak penting. Tak jarang para tahanan tidak pulang dalam keadaan hidup. Kondisi dalam penjara yang sangat memprihatinkan membuat tanpa siksaan badan pun tahanan akan cepat bertemu dengan ajal.
Satu lagi, tentu saja dalam kasus seperti itu uang memegang peranan penting. Bukan lagi jenis kesalahannya.
Segera gue minta kusir menghentikan kuda. Mata gue menatap Ketut kaget dan tak percaya. “Salah apa dia?” tanya gue tanpa basa-basi.
“Dia… dia… orang-orang….”
Ya Tuhan, gue lupa kalau ‘penyakit’ gugup Ketut selalu kambuh ketika panik melanda.
“Mana Made?”
Ia tunjukkan arah dengan menuding rumah. Wajahnya tetap pucat dan panik. Saat itu juga, gue merasakan ada yang tidak beres. Apakah selama kepergian kemarin ada lagi perampok yang datang ke rumah? Apalagi yang terjadi pada rumah gue, anggota keluarga gue?
Meloncat dari atas kereta, gue langsung berlari masuk ke dalam rumah.
“AAAAAA!!!!” tanpa sadar, gue menjerit. Kesal, marah sekaligus putus asa. Rumah kembali berantakan. Entah angin puyuh dari mana lagi yang mendatangi.
Mendengar jeritan, Made yang tadinya sibuk membereskan barang, menolehkan wajahnya yang pasi lalu menatap gue dengan sendu.
“Toahnia…,” tegur Made dengan nada tak kalah sendu dari wajahnya.
“Kenapa, Made? Siapa yang melakukan ini? Mengapa Asiu bisa dipenjara?”
“Kami sedang pergi ke rumah Sheng Sinshe. Ketika pulang, dicegat schutterij. Asiu diminta menunjukkan surat-izin-tinggal. Padahal… Asiu bawa surat itu. Tapi mereka… mereka mencari alasan-alasan lain. Katanya Asiu tidak bawa lisensi. Lalu… lalu….”
“Mereka memang keparat!” tak hanya keparat yang disebut. Beberapa jenis binatang di kebun binatang sampai binatang pengerat yang tinggal dalam got juga keluar dalam sumpah serapah.
Tak tunggu waktu lebih lama lagi dan tak peduli pada rembulan yang mulai menjalankan tugas, gue hela kuda mengejar waktu ditutupnya pintu gerbang kota.
Masalah rumah bisa nanti. Lagipula Made dan Ketut pasti tahu apa yang harus mereka lakukan. Yang terpenting adalah menyelamatkan nyawa Asiu. Gue tidak mau kehilangan nyawanya. Tidak mau! Tidak mau!
Bagian sembilan
Gue gunakan uang yang seharusnya disiapkan untuk bonus Made menjadi uang suap penjaga penjara. Sudah menyuap mereka pun, tak membuat gue bisa mengeluarkan Asiu detik itu juga. Mereka hanya membiarkan gue menengok.
“Asiu! Asiu!” teriak gue di muka bilik penjara yang menurut si penjaga, Asiu ditahan di sana.
Derik bunyi rantai terus menerus mengganggu pikiranku. Gue melihat wajah lesu dan pucat yang bersandar pada dinding penjara. Ia bukan Asiu. Tapi dia begitu memprihatinkan. Tanpa pernah mempelajari ilmu pengobatan pun, semua orang langsung tahu kalau ia sedang sakit.
Dalam gelapnya malam dan hanya pencahayaan dari lentera di muka penjara, gue tak bisa melihat jelas isi penjara bagian dalam. Di mana Asiu? Panik semakin melanda pikiran. Kalut rasanya. Apakah gue hanya akan bertemu dengan jasad Asiu? Tidak. Bukan begitukan? Asiu pasti masih hidup. Dia menunggu gue membebaskannya.
“Asiu!” teriak gue sekali lagi dengan nada bertambah getir. Lidah berasa sangat pahit.
Sekali lagi gelombang bunyi dari rantai yang beradu pada lantai penjara tertangkap oleh gendang telinga. Ssrrk. Crik. Ssrrk. Crik.
Dari kegelapan bilik penjara bagian dalam, sesosok orang yang sudah gue anggap adik sendiri muncul.
Siapapun tak akan ada yang tega melihat adik atau teman mengalami nasib seperti Asiu. Rantai di kakinya itu terhubung pada bola batu. Pasti berat rasanya menggeret bola itu hanya untuk menemui gue.
Teralis besi membatasi jarak gue dengan Asiu.
“Toahnia tak perlu hiraukan aku,” ujarnya lemah. Ia terduduk di lantai penjara yang dingin dengan tangan memegangi teralis di jendela penjara. Jendela dimana gue bisa melihatnya.
Asiu terlihat sangat lemah. Pasti ia tidak mendapat makan cukup. Dengan gue, ia selalu menghabiskan dua mangkuk nasi setiap makan. Atau mungkin penyakit yang diderita tahanan lain telah menularinya.
“Bodoh, mana mungkin gue biarkan lu diperlakukan seperti ini? Mana mungkin biarkan adik gue diperlakukan seperti ini?”
Asiu tersenyum. Senyumnya begitu polos. Tapi gue tahu bahwa kepolosannya tidak berarti ia bodoh.
“Gue pasti mengeluarkan lu.” Setelah berkata, gue tinggalkan ia menemui kepala penjara.
Perundingan memakan waktu yang lama. Bahkan sampai berhari-hari dengan hasil yang buat gue terhitung sia-sia. Mereka tetap meminta ratusan rijksdaalder sebagai uang jaminan untuk mengeluarkan Asiu.
Mereka sengaja mempersulit. Gue yakin itu.
Pelaku perampokan rumah tak diusut. Bahkan, ketika rumah digeledah perampok dua kali, tak satupun petugas yang bergerak mengamankan. Dan setelah kejadian itu, gue justru dituntut untuk mengeluarkan ratusan rijksdaalder demi sebuah kesalahan yang tak mungkin dilakukan seorang Asiu.
Darimana gue dapatkan uang sebanyak itu? Penghasilanku sudah sangat minim. Barang-barang di rumah juga cukup banyak yang diambil perampok. Termasuk pula satu-dua guci antik pemberian rekanan bisnis. Satu-satunya jalan tanpa menurunkan gengsi adalah menjual rumah.
Butuh waktu satu bulan hingga akhirnya rumah itu terjual. Sangat murah. Jauh lebih rendah dari harga pembelian. Tapi apa daya… gue membutuhkan uang secepat mungkin. Karena semakin lama Asiu berada di penjara, kemungkinan dia keluar dalam keadaan hidup semakin tipis.
“Made, Ketut,” panggil gue setelah rumah terjual.
Gue diberikan waktu seminggu untuk membereskan barang. Dan malam di hari penjualan itulah gue memanggil mereka.
Gue berikan pada mereka masing-masing satu amplop. Dengan menarik nafas panjang karena tak rela, gue baru melanjutkan. “Di tempat gue namanya uang pesangon. Kalian bisa menggunakannya untuk pulang atau tetap di Ommelanden memulai usaha kalian sendiri. Made, lu cerdas dan kreatif. Memulai hidup sebagai seorang seniman patung rasanya cocok bagi lu.”
Made menatap gue dengan pandangan memelas.
“Ketut, kamu ikut dengan Made saja. Gue tahu, beberapa bulan terakhir ini kalian mulai pacaran. Pesan gue, jangan buat masalah dengan orang kaya… Apapun kebangsaannya. Mengerti?”
Entah benar-benar mengerti atau hanya ingin membuat gue tenang, Ketut menganggukkan kepalanya perlahan. Sangat pelan hingga rasanya sedang nonton film yang diperlambat puluhan kali.
“Aku mau ikut Toahnia,” kali ini Made yang bicara.
Gue gelengkan kepala tanda tidak setuju. “Gue ini pemarah, gampang mengamuk, kelak akan mendapat masalah dengan orang kaya lain. Lebih baik lu mulai hidup sendiri.”
Wajah Made terlihat sedang berusaha merengek. Kembali gue gelengkan kepala. “Mulai besok pagi, kita tempuh jalan hidup masing-masing.”
Sebenarnya gue ga tega melepas mereka. Bagi gue, hidup bersama mereka sudah hampir sama dengan tinggal bersama saudara dan sahabat. Tapi ini adalah pilihan terbaik bagi mereka. Membiarkan Ketut dan Made hidup mandiri dengan status orang bebas.
Besok, gue akan serahkan uang pada meneer itu lalu Asiu akan bebas.
Bagian sepuluh
Gue sengaja bangun sepagi mungkin. Tak mau lewatkan sedikitpun waktu kebebasan Asiu. Di luar kamar Made menyambut. Sebuah kain berisi beberapa lembar baju dan satu dua barang yang gue berikan untuknya tersandang pada bahu. Begitu pula dengan Ketut.
“Kita berpisah di sini,” ujar gue dengan memainkan sesaat rambut mereka yang hitam dan lurus. Setelah itu gue pergi meninggalkan mereka sebelum ikut terbawa perasaan. Gue pergi tanpa mandi pun sarapan. Karena kuda juga telah dijual untuk pesangon Asiu, aku berlari ke arah stadhuiz. Lari dengan kecepatan penuh, tak ingin kehilangan sedetikpun waktu.
Bagian sebelas
Meneer itu, seseorang dengan kumis tebal. Wajahnya membuatku teringat pada foto Adolf Hitler dengan mata terlihat bengis. Ia menyeringai licik ketika uang diterima dengan tangannya.
Lalu uang itu masuk ke dalam laci meja. Laci yang sangat berat dan tambun yang menurut gue karena menyimpan begitu banyak uang suapan.
Suara meneer berkumis ini berat. Mungkin karena terlalu banyak menelan uang panas. Serangkaian kata membahana dalam bahasanya, “Keluarkan tahanan bernama Asiu itu.”
Sedangkan untuk gue, masih harus menunggu sekian waktu—pasti lebih dari tiga jam—hingga akhirnya bisa melihat Asiu berjalan dengan langkah lemah ke arah gue.
Tanpa mengucapkan apapun, gue papah dia keluar. Tujuan pertama adalah balai pengobatan yang ada di sebelah barat luar kota Batavia. Luka-luka pada tubuhnya harus segera diobati.
Keadaan Asiu sekarang ini benar-benar membuat gue merasa miris. Kiranya ia tak sanggup berjalan jauh—sejauh jarak dari Stadhuiz ke balai pengobatan itu—maka, gue cari sado yang dapat disewa. Ia diam dalam mata menyiratkan rasa terima kasih dan terharu.
Sampai di sana, gue serahkan Asiu pada tabib-tabib yang ada dan gue terduduk di salah satu kursi kayu yang dipasang berderet di salah satu sisi bangunan. Menunggu tabib-tabib China selesai memeriksa dan mengoleskan sejenis salep yang membuat hidung gue tak tahan karena baunya, pikiran melayang-layang pergi.
Gue kira, dengan pengalaman seperti ini, The Sinshe dan Sheng Sinshe tak akan sudi lagi menjadi klien. Mereka tentunya menduga gue punya masalah dengan pembesar, karena itu pasti tak akan mau terlibat dalam masalah apapun yang terkait gue.
Satu-satunya jalan… adalah… meninggalkan Batavia….
*#*#*
Catatan kaki:
- Schutterij : petugas pertahanan sipil
- Heng: logat Hokkian untuk ‘xiong’ artinya ‘saudara’