Episode 05 “(belum berjudul)”
Melihat mata dingin tanpa nyawa yang sedang memandangi kami, aku bergidik ketakutan. Tak satupun kata yang mampu keluar dari mulutku. Tubuhkupun seketika kaku dengan mulut tergagap. Deru nafas terdengar di telingaku bagai angin badai yang bergemuruh datang dan pergi.
Lalu kudengar suara Huang Feng yang lebih nampak seperti desis ular. Katanya, “Lari! Cepat kita lari!” Tanpa mengangguk dan tanpa menjawab dengan sebuah suara, kupapah Gao Fa menjauhi murid pendeta yang telah menjadi vampire itu. Sekuat tenaga aku berlari, karena dengan Gao Fa yang kupapah, dan serangkaian peristiwa malam ini, nyaris tenagaku telah habis.
Di belakang, terdengar derap langkah Huang Feng sangat berat. Kutolehkan kepalaku dan kulihat Huang Niang ada di gendongan punggungnya. Sementara itu, di belakang kami, jarak satu lompatan vampire itu saja sama dengan jarak tujuh langkah manusia normal berjalan kaki.
“Huang Feng, percepat larimu!” seruku memperingati. Aku melihatnya melirik ke belakang dan kembali melayangkan pandangan kepadaku dengan panik. Serta merta langkah kakinya bertambah cepat berusaha menyusulku yang masih terus berupaya berlari.
Suaraku yang panik pastinya terdengar sangat keras di malam hari di kampung yang sangat sunyi ini. Satu persatu penduduk menyalakan lentera dan keluar dari rumah masing-masing. Mereka semua yang masih dalam wajah mengantuk, kelelahan dan terusik, mengeluh dan mengerang marah padaku.
Orang yang pertama kali keluar dari pintu rumahnya melihat keadaan kukenali adalah Ting dashu, tukang jagal babi. Rumahnya baru saja tertinggal di belakang. Tapi erangan marahnya yang khas membuatku menoleh padanya dan terdiam membisu takut dengan golok yang dibawanya.
Kulihat ia berniat menghampiriku. Tubuhnya gemuk hampir mirip dengan babi yang setiap hari disembelihnya. Matanya yang sipit nyaris tak terlihat di antara kulit putih mengandung lemak tebal, kini melotot ke arahku menyuruhku diam. Ketika ia berlari padaku, gumpalan lemak-lemak yang bergelambir di tubuhnya berayun-ayun.
Aku ingin berteriak memintanya jangan menghampiriku tapi terlambat. Napsunya untuk memaki lebih besar dari apapun juga. Dan sang vampire juga tak ingin hilang kesempatannya. Tiba-tiba ia sudah berada di hadapanku menghadang Ting dashu lalu langsung mencengkram Ting dashu seperti saat Ting dashu hendak menyembelih babinya.
Jerit kesakitan Ting dashu yang melengking terdengar membahana. Matanya yang kecil itu melotot seolah-olah biji mata itu nyaris keluar dari kelopak. Sempat ia menebas-nebas serampangan vampire dengan golok yang dibawanya. Tapi semuanya sia-sia.
Aku sendiri terpana memandangnya. Demikian juga Huang Feng, Huang Niang, Gao Fa dan penduduk kampung lainnya. Sungguh, tak ada yang dapat kulakukan karena aku teramat lelah dan syok.
Berbondong-bondong para penduduk desa yang keluar menghampiri kami menjadi diam terpekur. Sebagian dari mereka membawa obor dan sebagian lagi lentera. Semuanya terpana memandangi Ting dashu.
Selesai menghisap habis darah korbannya, vampire murid pendeta itu pergi meninggalkan kami dengan lompatan jauh. Saat itu, barulah aku berani dengan langkah perlahan mendekati Ting dashu yang tergeletak di jalan. Gao Fa juga dengan langkah tertatih mendekati Ting dashu.
Huang Feng yang datang kemudian memeriksa nafas Ting dashu dan denyut nadi di pergelangan tangannya. Sesaat kemudian ia menggelengkan kepalanya perlahan dan tertunduk sedih.
Aku tahu arti gelengan kepala Huang Feng. Karenanya tubuhku yang lelah ini hanya dapat terduduk lemas. Mereka, para penduduk kampung menjadi amat sedih. Terutama Ting ayi, istri Ting dashu. Erangan tangis kehilangan dan kemarahan membahana. Sementara tatapan orang kampung melihati kami dengan marah tertahan. Akhirnya terdengar sebuah suara dari mereka, “pergi dari sini!” diikuti oleh suara lainnya, “benar, pergi! Pergi dari sini!”
Dengan langkah tertunduk dan disoraki penduduk, aku, Gao Fa, Huang Feng dan Huang Niang meninggalkan kampung. Sampai di padang rumput, mereka baru pergi meninggalkan kami dengan pesan “jangan kembali ke kampung ini!”
Sementara aku dan kawan-kawan baruku diarak keluar dari kampung, beberapa penduduk desa mengangkat mayat Ting dashu berniat membakar jenazah dengan upacara dadakan. Ini perlu dilakukan karena orang yang darahnya diisap oleh vampire akan berubah menjadi vampire jika tidak segera dibakar.
Kupandangi gapura gerbang masuk kampungku dengan mata berlinang. Bagaimanapun kampung ini adalah kampungku juga. Sejak lahir aku tinggal dan besar di sini. Demikian juga orangtuaku dan anggota keluargaku lainnya. Aku tidak rela berpisah dengannya juga takut membayangkan apa yang harus kualami lagi hari-hari setelah ini. Apalagi dengan teror dari vampire pendeta dan vampire-vampire lainnya setelah matahari terlelap setiap hari.
Fajar telah menyingsing, untungnya, membuat kami leluasa melihat jauh ke hadapan kami. Inilah padang rumput tempat kami diteror pertama kali. Membayangkan malam itu dan malam yang harus kami lalui setelahnya membuat bulu di sekujur tubuh kami bergidik, merinding ketakutan.
“Ada pondok di sana,” ujar Gao Fa menunjuk bangunan kayu usang di ujung lain padang rumput. “Kita ke tempat itu. Mungkin masih bisa digunakan untuk berlindung sementara waktu,” usulnya lagi yang kali ini terdengar cerdas.
Kami semua mengangguk pelan. Lelah yang teramat sangat dan rasa takut yang masih mengancam membuat kami kehilangan semangat untuk bersuara.
Pondok yang kami tuju ini sepertinya asli hanya terbuat dari kayu dan bambu. Tak ada batu satupun yang terlihat sebagai penguat bangunan. Perabot di dalamnya juga terbuat dari kayu pun bambu. Tampaknya terlalu sederhana bagi Huang Feng dan Huang Niang karena mereka menyeringai sedih melihat isi pondok.
Kami berkeliling di dalam pondok memastikan kelayakan. Jendelanya sudah rusak, menggantung begitu saja tak dapat ditutup. Di sana hanya ada satu ruangan dimana terdapat perapian di tengah rumah yang mungkin digunakan juga untuk masak, dipan bambu yang mulai lapuk di satu sisi dan meja reot dengan bangku yang juga reot tak jauh dari perapian.
Atapnya ditutup atau mungkin tertutup oleh jerami tebal namun di beberapa tempat tetap saja menyisakan lubang-lubang kecil sehingga sinar matahari dapat tembus ke dalam. Lantainya adalah tanah merah yang tidak ditutup apapun juga. Lembab memang namun karena jendela yang tidak bisa ditutup itu dan lubang-lubang di atap membuat udara di dalam pondok tetap cukup nyaman ditinggali sementara waktu, setidaknya menurutku demikian.
Kami berempat saling pandang bertanya lalu sama-sama menghela nafas. Huang Feng dan Huang Niang memilih sudut paling dekat perapian. Aku dan Gao Fa menempati sudut diagonalnya. Tak butuh waktu lama, kami semua telah terlelap.
Kala aku terbangun, matahari sudah di barat, tak butuh waktu lama lagi sebelum bulan menggantikan kedudukannya. Melihat mereka yang masih terlelap membuatku sadar mereka butuh pakaian. Apalagi Huang Niang. Kami juga butuh garam dan mungkin beberapa peninggalan jiugong untuk menakut-nakuti vampire. Setidaknya membuat kami merasa lebih aman sementara waktu.
Aku tidak mengenal banyak huruf, lagipula tak ada pena pun kertas di pondok tersebut untuk meninggalkan pesan pada mereka. Untung saja Gao Fa terbangun sehingga aku bisa mengatakan tujuanku. Melihat keadaan dirinya dan kedua temannya, ia mengangguk pelan membiarkan aku pergi.
Aku berlari dan berlari pulang, bersembunyi dari orang-orang hingga akhirnya sampai ke rumah. Sampai di rumah, hari telah gelap. Suasana misterius melingkupi rumahku. Terutama ketika aku melongok gudang tempat kami dihantui serangan vampire kemarin malam.
Aku berusaha tidak menimbulkan suara mencari baju milik istri pamanku di kamarnya. Kemudian aku mengambil beberapa bajuku sendiri. Lalu aku beralih ke dapur. Mengambil sebungkus garam beberapa mantau panas yang ditinggalkan istri pamanku entah kemana, sekotak korek api kemudian mencari lonceng yang kemarin dilempar di gudang.
Begitu semuanya kudapatkan, aku kembali menyelinap keluar diam-diam. Wajahku mungkin terlihat sedikit lega membayangkan jika saja malam ini lebih tampak seperti piknik keluar kota. Tak ada lagi serangan vampire. Aku mungkin bisa meminta Huang Feng mengajariku menulis. Aku bisa bercakap-cakap dengan Huang Niang. Atau mendengar celoteh Gao Fa yang kadang berlebihan dan tak masuk akal.
Namun sayangnya, semuanya adalah mimpi. Karena beberapa langkah di depanku tiga vampire sekaligus berdiri mengawasi dan haus darahku. Tiga vampire itu, yang berdiri di tengah adalah murid pendeta, sedangkan duanya lagi berbaju pejabat dinasti Qing yang katanya telah ditumbangkan.
Ketiganya menatapku nanar dengan tangan teracung ke depan seolah siap mencekik leher mangsanya, yaitu aku.
***
“Dalam Pelarian”