Lanjut ke konten

3 – Air Tidak Mengalir ke Atas

Xuanli

Mereka tiba, musuh kami. Terpancing oleh umpan yang kami pasang, datang dengan napsu menggebu-gebu seolah hendak mencuri yangqi kami semua. Xuanjing menyambut mereka dengan ‘hangat’. Begitu lama ia tidak ‘menggerakkan badan’, pastinya kesempatan ini tak akan dilewatkan sedikitpun. Berkelahi secara fisik dengan yao.

Beberapa waktu sebelum Lingtong dan Lingyan datang, menandai penyesalan Da Shixiong, Shifu memberikannya pedang kayu untuk menggantikan senjata akrabnya dahulu. Perjuangan kami tak sia-sia dengan penyesalan Da Shixiong kali itu. Sungguh payah untuk membuatnya sadar. Aku, para Shidi, dan Shifu bergiliran membacakan kitab klasik setiap hari hampir sepanjang waktu. Suatu ketika, pernah ia kabur karena ada tamu masuk ke daerah Da Shixiong dikurung dengan membicarakan kalah dan takluknya negara Han ke Da Song. Kali itu, sekali lagi, ia sempat membuat masalah. Masih untung bagi kami, kaburnya belum sampai jauh dari perguruan.

Pedang kayu yang diberikan Shifu itulah yang digunakannya saat ini.

Memang, seharusnya ia dilahirkan sebagai ksatria. Gerakannya yang lincah dan bertenaga menyembunyikan umurnya yang sudah empat puluhan tahun. Namun takdir berkata lain, Xuanjing lahir dalam keluarga bangsawan bermarga Liu[1].

Itu artinya, Xuanjing termasuk dalam keluarga bangsawan Da Han[2]. Ayahnya adalah adik tiri dari pendiri kerajaan Da Han, si bungsu. Waktu itu, setelah sang pendiri kerajaan meninggal, anak-anaknya saling berebut kekuasaan. Hal itu membuat Ayah Xuanjing, si bungsu yang lahir dari rahim seorang selir, melarang anak-anaknya terjun ke militer sekalipun tahu anak sahnya punya kemampuan untuk itu.

Sepanjang hidup sang ayah hidup bergelimang kemewahan serta sengaja memanjakan anak-anaknya dengan harta namun menarik diri dan menjauhkan keluarganya dari politik istana. Status bangsawannnya seperti kosong belaka karena tak punya kekuatan apapun di pemerintahan.

Xuanjing adalah anak pertama sang Raja Muda, sekaligus sang penerus gelar. Berbeda dengan ayahnya, ia sangat menyukai bela diri dan punya kemampuan militer. Shifu juga berpendapat sama atas bakat Xuanjing. Jadi, gelar bangsawan, ditambah kemewahan sejak lahir, kepandaian militer yang harus disembunyikan dari bangsawan lain membuat akupun tak heran bila Xuanjing kerap menunjukkan sikap pongah di masa lalu bahkan juga saat menghadapi yao di hadapannya sekarang ini.

Setelah merasa sudah waktunya bergabung, barulah aku masuk bahu membahu dengan Xuanjing. Kurasa sudah cukup waktu baginya melemaskan badan.

-*-

Lingtong

Aku dan Lingyan tadi diminta Shifu dan Shishu untuk diam menunggu. Kami punya tugas sendiri. Terlihat, adikku menanti waktunya dengan tidak sabar. Tangannya sudah gatal untuk membuka sarung pedang dan bertarung dengan makhluk itu. Tapi tugasnya memang bukan melawan yao dengan pedang tersebut.

Yao tak akan mati dengan pedang biasa yang kami pegang. Yao baru akan mati dengan barang yang dipegang Shifu itu. Salah satunya adalah sebuah pedang dari kayu tao yang terus disandangnya sejak diberikan oleh Shigong entah sejak kapan. Jelas sebelum kami menjadi muridnya.

Pada suatu ketika, Shifu melemparkan sebilah pedang dari peralatannya itu padaku. Tanpa disuruh, aku sudah tahu apa yang harus kulakukan. Kutorehkan pedang pada tanganku hingga terluka dan berdarah lalu darah itu kucucurkan pada pisau kayu tersebut. Darah bersifat yang. Terlebih aku adalah laki-laki dan belum pernah ‘menyentuh’ perempuan.

Kuserahkan pedang kayu yang telah berlumur darahku pada Shifu. Ia membaca mantera dengan tangan membentuk serangkai mudra. Kemudian, dilemparkannya pedang tersebut ke arah yao yang tengah menyerang Shishu. Yao itu meraung. Meronta. Marah! Ia berusaha mencabut pedang yang menancap pada punggungnya. Namun semuanya tak berlangsung lama karena kemudian ia jatuh tergelepar dan hilang bagai debu berterbangan. Pedang itu terjatuh di tanah ketika yao tadi menghilang. Shishu meraih dan dengan sigap membantu Shifu menyimpan benda tersebut.

Selagi itu, Shifu melemparkan pada Meimei ujung benang dari yang dipegangnya. Meimei menangkapnya dengan tangkas dan kemudian seolah terbang, ia sudah sampai di ujung lainnya. Lalu sementara memegang tengah benang, ujung benang dioper padaku. Dengan sisa yao di tengah sebagai pusat, kami berada di luar membentuk sebuah kotak. Benang ini adalah benang khusus yang juga telah dilumuri suatu tinta berwarna merah dari salah satu jenis bebatuan. Kami menyebut tinta tersebut sebagai zhusha. Ketika kotak selesai dibuat, kami membacakan mantera bersama-sama.

Beberapa yao terpekik. Ada pula yang meminta ampun. Anak-anak desa terlihat melihatnya dengan tercekat. Ada rasa belas kasihan yang tak terkatakan di mata salah seorang anak.

-*-

Lingyan

Shifu menghentikan pembacaan mantera ketika beberapa yao bertekuk lutut memohon ampun. Ia mengeluarkan botol labu, membuka sumbat, membacakan mantera dengan mudra-mudra lalu mengarahkan botol lubang pada para yao. Secara ajaib, mereka tersedot ke dalam botol labu tersebut yang kemudian segera disumbat kembali oleh Shifu. Lalu, seperti yang sudah-sudah. Shifu melemparkan botol itu tanpa bicara sepatah katapun. Kali ini pada Shishu dan yang dituju pun tampak telah mengerti apa yang harus diperbuatnya.

Selesai semuanya, barulah Bao Feng menampakkan diri dengan membawa anak-anak tadi. Shishu memang memintanya agar menjaga mereka ketika kami ‘bermain’ dengan para yao. Dia tak bicara banyak, hanya melirikku sesaat lalu melengos ketika pandangannya bertemu dengan Shifu. Kuperhatikan juga Shifu namun wajahnya tak bicara banyak. Aku tak tahu apa yang dipikirkan oleh beliau saat ini.

Shishu mengurus anak-anak itu bersama Tong Ge. Mereka mencari2 di rumah lain keberadaan tempat rahasia seperti itu. Sungguh, kami berharap masih ada orang dewasa yang tertinggal. Tapi mungkin harapan itu sia-sia. Di suatu tempat, dalam kuil yang sudah terlantar, didapati ratusan mayat yang telah mengering dan mengeriput seolah dagingnya disedot keluar dan tinggal kulit dengan tulang. Usianya beragam dari yang muda seumuran Tong Ge sampai seusia Shigong.

Anak-anak yang kami temukan di tempat tadi mendadak nangis meraung di suatu sudut. Mereka berteriak dalam sela tangisnya, “Adie Aniang!” Kami semua memalingkan muka pada mereka. Wajah Tong Ge terlihat begitu emosional. Ia seperti menahan begitu banyak perasaannya di saat itu. Aku tahu, ia teringat pada malam kematian orangtua kami.

-*-

Xuanjing

Setelah tertunda karena harus menitipkan anak-anak yang mendadak yatim piatu di beberapa tempat, guna mempercepat perjalanan, saya meminta Bao Feng menyewa keledai. Masa perang seperti ini, kuda menjadi binatang mahal sehingga harga beli ataupun sewa keledai lebih ekonomis.

Namun Bao Feng justru menjawab, “Mengapa keledai? Bukankah kau dulu begitu membanggakan asal-usulmu? Seratus kuda, katamu waktu itu, kau sanggup beli.”

Saya terdiam mendengar jawaban Bao Feng. Dulu, kalimat semacam itu memang pernah saya katakan. Tepatnya ketika Bao Feng masih bocah belum lima tahun. Dengan umur sekecil itu, mungkinkah ia ingat demikian jelas kata-kata saya? Bukankah berarti seseorang atau banyak orang menceritakanya lagi dan lagi sehingga ingatan akan peristiwa itu terpatri dalam batin seorang anak kecil sekalipun.

“Baik, terserah kau sewakan keledai atau kuda bagi kami,” Li ikut menimpali. “Da Shixiong pergi ke rumahmu untuk mempertanggungjawabkan kesalahannya dahulu. Kau sengaja hendak memperlambat atau justru menghalangi? Kau tahu berapa banyak orang di dunia ini yang tidak menyukai Da Shixiong? Sampai orang-orang itu tahu ia ke rumahmu, mungkin rumahmu akan jadi tempat pertumpahan darah. Mengerti?” Xuanli mendengus sebelum melanjutkan “…Semakin cepat semakin baik. Semakin sedikit yang mengetahui.”

Setelah mendengarnya, dengan muka muram dan kesal, Bao Feng menyuruh Bao Jin mengurus penyewaan. Harga sewanya tentu bukan masalah bagi keluarga mereka. Hanya karena tak jadi mempermainkan saya maka ia kesal.

Keluarga Bao memang terpandang. Mereka adalah keluarga tuan tanah. Jumlah anggota keluarganya relatif besar untuk membentuk sebuah negara kecil. Kekayaannya juga begitu besar. Kurasa bagi mereka saat ini membeli ratusan kuda pun mereka sanggup. Seperti bual saya di masa silam.

Fuwang[3] seorang bangsawan yang mendapat anugerah gelar raja dari kaisar Da Han, kakak tirinya. Gelar kosong memang, karena fuwang tidak punya pengaruh apapun di pemerintahan. Itulah sebabnya keluarga kami menjadi bahan penindasan dari keluarga besar lalu saya sejak kecil bertekad menguasai ilmu perang sebagai bekal terjun ke pemerintahan yang membuat Fuwang memaki dan memarahi saya habis-habisan.

Namun demikian, kekayaan kami di masa jaya Da Han juga bukan isapan jempol. Sekiranya, bila kerajaan itu masih ada, sekalipun tidak mendapat apapun lagi dari kaisarnya pun kami masih bisa hidup bertahun-tahun dengan total anggota keluarga sampai seluruh pelayan di kediaman sekitar seratusan orang. Sekarang, semuanya hanya masa lalu.  

Saat ini, perang memang masih terjadi. Serangan dari luar perbatasan utara belum pupus walaupun seluas tanah di dalam lingkup tembok besar kini telah menjadi tanah Da Song. Dalam kondisi seperti ini, kuda termasuk barang mahal. Begitu mahal hingga harga sewa kuda tidak akan terjangkau oleh rakyat jelata. Saya? Sekarang adalah rakyat jelata bahkan mungkin juga termasuk buronan sejak negara saya kalah oleh si Marga Zhao[4].

-*-

Xuanli

Masalah yang ditimbulkan Da Shixiong semasa muda begitu besar. Lagipula, ia adalah keturunan terakhir bangsawan Da Han yang tersisa. Lebih baik bagi kami segera sampai ke kediaman keluarga Bao dan segera kembali ke perguruan sebelum seluruh dunia tahu kemunculannya.

Di kedai kemarin, jantungku sudah berdebar kencang mendapati riuhnya tempat tersebut oleh para pendekar. Untung saja, Da Shixiong bersembunyi di balik jenggotnya yang beberapa tahun belakangan dibiarkannya tumbuh. Penampilannya saat ini sungguh jauh berbeda dibandingkan masa mudanya dulu. Terlebih ia mulai beruban sejak berita negaranya kalah dan semua anggota keluarga termasuk pelayan, mati bunuh diri ataupun jadi tawanan. Bajunya pun terbuat dari kain kasar sewarna dan sama dengan yang kupakai juga Lingtong dan Lingyan. Kuharap dengan penampilannya sekarang musuh-musuhnya tidak mudah mengenali.

“Shifu, berapa lama lagi perjalanan kita untuk sampai ke tempat orang itu?” aku menoleh ke asal suara. Lingtong yang duduk di sisi kiriku menanti jawaban dari Xuanjing. Lingyan pun turut menanti dalam kebisuannya.

“Semoga tidak sampai setengah bulan lagi,” jawab Xuanjing menatap dalam Bao Feng. Da Shixiong juga menyadari Bao Feng sengaja membuat kami berputar. Orang yang ditatap hanya melengos ke samping, sama sekali tak mengindahkan Xuanjing. Dari titik ini, seharusnya tidak sampai tiga hari kami sudah bisa tiba di kediaman keluarga Bao. Seharusnya.

Mendekati tempat tersebut, terlihat semakin banyak bawahan maupun orang yang kucurigai sebagai mata-mata keluarga tersebut. Mereka berkeliaran dan acap bertatapan mata denganku. Berita kedatangan kami pastinya sudah sampai ke tangan keluarga tersebut. Pikiranku semakin tak menentu membayangkan apa yang harus dilalui Xuanjing.

Di sini, di kedai teh sederhana beberapa li di luar gerbang kota, aku kembali menghela nafas sebelum kami kembali melangkahkan kaki menuju tempat tujuan.

-*-

Lingtong

Tiba di pintu gerbang raksasa di muka kediaman keluarga Bao, si Bao Feng menghilang masuk ke dalam. Hanya ia, sang Tuan Muda dan pelayannya yang bisa masuk. Kami tidak. Mungkin ini bagian dari balas dendam mereka terhadap Shifu. Kami disuruhnya berdiri menunggu di muka pintu hingga lebih dari tiga shichen. Itupun karena Shifu menyuruh Shishu meninggalkannya sendiri dengan membawa aku dan Meimei mencari penginapan. Mungkin saat ini Shifu pun masih berdiri tak menentu di luar pintu gerbang itu.

Setelah menemukan penginapan yang cukup murah dan bersih—serta aman—Lingyan meminta Shishu agar mengizinkan ia menengok Shifu. Setidaknya agar dapat memastikan keberadaan. Tampangnya yang memelas dan tampak begitu kuatir akhirnya melelehkan kekerasan hati Shishu. Pesan beliau hanyalah, “Jangan gegabah! Gurumu menyelesaikan masalah masa lalunya, jangan sampai terjadi masalah baru atas hal apapun lagi.” Tapi sayangnya, aku tidak dibiarkan ikut. Shishu tak memberikan penjelasan atas itu. Hanya sebuah kalimat yang tegas diucapkan padaku, “Tunggu kabar di sini!”

-*-

Lingyan

Shifu masih berdiri di sana, depan pintu gerbang itu. Wajahnya mulai kuyu, terlihat lelah. Setelah kedatanganku, mungkin masih ada sekitar 1 shichen yang berlalu sampai akhirnya pintu tersebut terbuka. Bao Feng terperanjat melihat ke arah kami dan berlari padaku hendak meraih tangan. Aku menarik tangan dengan lugas dan berdiri berlindung di belakang Shifu.

Melihatku demikian, ia berpaling dan memandang Shifu dengan pandangan mengejek. “Masuklah!” ujarnya singkat. Bao Feng tidak membawa kami ke ruang tamu namun hanya pelataran saja. Lalu di sana, berkatalah ia pada pelayannya agar menghantarkan aku ke kamar tidur tamu, bahkan meminta pada pelayannya itu agar memperlakukan aku dengan baik. Kemudian, ia berkata padaku, “Di sini urusan para lelaki. Pergilah bersama pelayan itu, sepupu perempuanku akan menemui dan menemanimu di sana.”

Aku menoleh pada Shifu berharap beliau memintaku untuk tinggal bersamanya. Tapi yang terjadi sebaliknya. Ia menyuruhku menuruti kemauan Bao Feng. Karena tak ingin ada masalah baru lagi pada Shifu, juga menuruti pesan Shishu, akhirnya aku tinggalkan ruangan tersebut mengikuti langkah kaki pelayan yang ditunjuk Bao Feng.

Ruangan yang ditunjukkan padaku itu ditata dengan sangat rapi dan cantik. Berbeda jauh dari kamarku di perguruan yang sederhana. Di ruangan ini, beberapa vas yang dikerjakan dengan sangat rapi, berseni dan terlihat antik dipajang di rak bersanding dengan beberapa buku. Meja dan kursi di tengah ruangan terbuat dari kayu zitan lama yang diukir rapi dan rumit.

Mendadak aku jadi ingat ketika masuk melewati lorong-lorong kediaman ini. Rasanya malu karenanya. Saat itu aku terus memandang takjub pada lukisan dan ukiran pada kayu-kayu balok sedangkan Shifu berjalan dengan mata lurus tak kagum pada apapun yang dilihatnya di kediaman ini. Mungkin bagi para pelayan pun aku tampak seperti gadis kampung.

-*-

Xuanjing

Menatap sekilas punggung Lingyan yang menjauh membuat saya merasa tentram. Anak itu tidak perlu turut mempertanggungjawabkan perbuatan saya di masa lalu. Bukankah ia hanyalah anak dari kemenakan Shifu yang dititipkan untuk menjadi murid saya? Sekalipun statusnya adalah murid, namun perbuatan saya di masa lalu bukanlah sesuatu yang pantas ikut disandangnya.

Belum lama setelah Lingyan dibawa pergi, mereka datang. Tuan Besar Bao membawa istri tuanya, ibu kandung Yanghua—sedangkan Bao Feng adalah anaknya dengan gundik kesayangan. Andaikan dihitung, sesungguhnya Tuan Besar Bao memiliki tidak kurang dari lima belas anak dari istri dan para gundiknya.

Bila di masa lalu, rambutnya belum memutih dan kumisnya masihlah lebat menghitam, kini tidak kurang dari sepertiga kepalanya terhias uban pula di kumisnya yang lebat dan jenggotnya yang rapi. Sekurangnya, wajah Tuan Besar bao dulu mengingatkan saya pada gambar rupa Tao Yuanming[5].

Ah, tapi saya pun telah beruban di mana-mana. Waktu telah berlalu sejak hari itu menyisakan duka dan kenangan masa lalu semata.

Tunggu, mengapa saya merasa firasat tak beres dengan kedatangan mereka? Sesuatu yang berhubungan dengan masa lalu ataukah harus membuka mata ketiga? Tidak begitu jelas karena perasaan saya saat ini tengah bergejolak. Sebab itulah, saya menahan diri tidak membuka mata ketiga yang dapat menguras perhatian dan hanya berharap semua baik-baik saja; bahwa firasat buruk ini hanyalah dikarenakan kemarahan memuncak mereka melihat saya, yang telah menghancurkan rencana pernikahan Yanghua di masa lalu.

Ya, Bao Yanghua berpasangan dengan lelaki itu dahulu dikenal sebagai pasangan ‘Buntalan Emas’. Siapa yang tak tahu soal mereka? Dikatakan pasangan tersebut sangat serasi. Seorang pemuda gagah dengan seorang gadis yang kecantikannya dapat memabukkan para lelaki, termasuk saya.

Tak hanya itu, mereka berdua juga pesilat yang tangguh. Namun, tak ada yang tahu selain saya dan mereka – serta keluarga Yanghua bahwa sayalah yang mengalahkan lelaki itu, merebut Yanghua sekaligus nyawanya. Sampai saat ini kematian lelaki itu menjadi misteri besar di dunia persilatan karena keluarga Bao juga menutupnya rapat. Tak lama setelah itu, Yanghua bunuh diri.

Saya menjura memberi salam hormat pada mereka. Suatu sikap yang tak akan pernah saya tunjukkan di masa lalu kecuali terhadap para paman bibi dan orangtua saya sendiri. Seliar-liarnya saya, tata krama di kalangan keluarga saya sendiri tidaklah terlupakan. Belumlah saya berdiri tegak, terdengar suara berdentam keras, begitu mengejutkan. Lalu sekonyong-konyong meja yang berdiri di samping Tuan Besar Bao ambruk ke lantai.

Saya menatapnya, terpana sesaat. Tuan Besar Bao bukanlah seorang pesilat. Tubuhnya lemah dibandingkan dengan tubuh adik kandungnya namun pemikiran-pemikirannya dalam hal perdagangan sangat cemerlang. Sebab itulah kejayaan jurus-jurus bela diri keluarga Bao diturunkan pada sang Adik sedangkan seluruh aset klan diserahkan padanya untuk diurus. Jadi dari mana kekuatan untuk menggebrak meja sampai hancur demikian rupa?

-*-


  • [1]
  • [2] Da Han kini disebut Nan Han. Salah satu negara di China dalam masa ‘5 Dinasti dan 10 Negara’
  • [3] 父王 adalah panggilan dari anak bila ayahnya seorang raja.
  • [4] 大宋 Da Song (dinasti Song) didirikan oleh seorang yang bermarga Zhao 趙, bernama Kuangyin匡胤 (di masa sekarang dikenal sebagai Song Taizu)
  • [5] 陶渊明 (365?–427 M) nama lain: Tao Qian陶潜. Penyair yang hidup antara zaman Jin Timur.
Tinggalkan sebuah Komentar

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: