Bab 3
Pintu gerbang rumah kayu di hadapannya ini sudah diketuk Fan Ku lebih dari lima kali. Namun tak ada seorang pun yang membukakan pintu. Harusnya seorang kakek berusia enam puluhan tahun ada di rumah itu menunggu kedatangan pasiennya.
“Chu Langzhong!” sekali lagi Fan Ku berteriak memanggil pemilik rumah.
Ia semakin cemas karena kondisi Bai Lengyu yang justru semakin memburuk. Pemuda itu masih tak sadarkan diri sekalipun mereka telah mengarungi berbagai tempat demi bertandang ke rumah Chu Langzhong di Lembah Gunung Selatan. Tampaknya guncangan dalam perjalanan tak juga membuatnya terganggu dan kembali ke dunia sadar. Bahkan, Fan Ku merasa nafas Bai Lengyu semakin melemah. Kiranya tak lama lagi Heibai Wuchang akan menjalankan tugas mereka.
Tanpa sepengetahuan Fan Ku yang sedang cemas bercampur panik, Chu Langzhong sendiri sebenarnya sudah ada di belakang Fan Ku. Beberapa puluhan langkah jaraknya mengawasi kedatangan Fan Ku sejak beberapa saat tadi.
“Mengapa kamu teriak-teriak di muka rumahku? Buat sial saja!” tegur Chu Langzhong langsung masuk ke dalam rumah. Pintu gerbangnya tak ditutup seolah memberikan jalan pada Fan Ku untuk masuk. Namun ia juga tidak mempersilahkan Fan Ku untuk masuk..
“Apa keperluanmu?” tanya Chu Langzhong lagi sambil membereskan keranjang yang digendong di punggungnya. Isinya adalah dedauan serta akar-akaran dari aneka ragam tanaman. Tercampur di dalam adalah beberapa bunga dan kulit kayu.
“Muridku sakit parah. Mohon Chu Langzhong bersedia mengobati,” jawab Fan Ku dengan membawa tandu tempat Bai Lengyu terbaring tak sadar.
“Memangnya kamu ini siapa?” tanya Chu Langzhong lagi. Kali ini nadanya seperti kenal namun tak mau kenal.
“Aku… Fan… Ku…,” Fan Ku menjawabnya perlahan. Seperti seorang gadis pemalu ditanyai namanya oleh laki-laki yang disukai.
Mendengar jawaban tersebut, mendadak Chu Langzhong tertawa terbahak-bahak. Hanya ia sendiri yang tahu alasannya mengapa tertawa. “Fan Ku? Fan Ku yang mana? Fan Ku yang membuat keponakanku patah hati atau Fan Ku seorang jiaozhu Baiyu Jiao?”
“Ke… keduanya…,” kali ini Fan Ku menjawab dengan rasa bersalah. “Aku mohon, Chu Langzhong. Sembuhkan muridku. Kondisinya sudah sangat kritis.”
“Fan Ku… Fan Ku… apa kamu tidak ingat aturanku?” melihat Fan Ku terdiam tak berani buka mulut padahal dari wajahnya terlihat tahu apa yang dimaksud, Chu Langzhong kembali melanjutkan, “Aku tidak akan pernah mengobati satupun orang Baiyu Jiao.”
“Tapi dia…,” Fan Ku sudah sangat panik saat itu. Satu hal yang diinginkannya adalah Bai Lengyu bisa sembuh. “Kumohon Chu Langzhong. Kali ini saja. Sembuhkan dia. Apapun syaratmu pasti kupenuhi. Sekalipun kau minta nyawaku.”
Mendengarnya membuat Chu langzhong tahu bahwa Fan Ku sangat menyayangi pemuda yang tak sadarkan diri di dipan. Hal itu membuatnya penasaran, seperti apakah orang yang berhasil membuat seorang Fan Ku rela mengorbankan segalanya termasuk nyawa itu.
Perlahan didekatinya Bai Lengyu. Seperti kucing mendekati mangsanya. Atau seperti anak-anak yang ingin membuat temannya terkejut. Begitu perlahan dan hati-hati. Namun yang terlihat kemudian justru membuatnya benar-benar terkejut. Sebuah liontin giok putih. Liontin serupa dengan yang dikatakan seorang prajurit yang dulu pernah menolongnya. Tanpa sadar dirabanya kalung tersebut dengan lembut.
“Aku punya alasanku sendiri mengapa pergi meninggalkan Xiaoxia. Satu hal yang Chu Langzhong perlu ketahui, aku masih tetap mencintai Xiaoxia.”
“Aku tidak minta penjelasanmu. Akhirnya tetap kau melukai keponakanku.”
Mendengar lontaran kata-kata seperti itu membuat dada Fan Ku terasa sesak. Ia ingin mengatakan hal yang sebenarnya terjadi ketika itu. Tapi sesuatu itu sebetulnya tak layak dikatakan. Sesuatu yang hanya menyatakan kelemahan; ketidakmampuan seorang lelaki mempertahankan semua miliknya.
Di saat yang sama, Chu Langzhong sangat tertarik pada Bai Lengyu. Tak henti-hentinya mengamati dengan seksama wajah pun apapun yang dikenakan Bai Lengyu. Tentu saja, ketertarikan Chu Langzhong pada Bai Lengyu harus dimanfaatkan dengan baik oleh Fan Ku. Ia berharap, setelah tahu bagaimana cerita ia mendapatkan Bai Lengyu, tabib tua satu ini akan berubah pikiran lalu mengobati Bai Lengyu.
“Bai Lengyu adalah anak angkat Zhu Xu dengan Yi Meixin. Aku mendapatkannya ketika masih bayi dari tangan perempuan yang sudah meninggal. Kala itu Bai Lengyu menangis kelaparan. Kubawa ia pulang agar Yi Meixin menyusuinya.
“Darimana giok ini?” Chu Langzhong tak kuat lagi menahan rasa penasarannya.
“Sudah ada di lehernya sejak aku menemukan dia pertama kali.”
Tersenyum senang menemukan ide yang menurutnya baik, Chu Langzhong kemudian berkata, “Aku bisa menolongnya. Tapi ada syaratnya.”
“Katakan Chu Langzhong! Katakan!” Fan Ku benar-benar tak sabar lagi.
“Lepaskan hubungan guru dengan murid antara kalian. Dan itu artinya dia tak berhak menyandang jabatan zhuyaozhu karena dia sudah bukan lagi pengikut Baiyu Jiao.”
Mendengarnya membuat Fan Ku merasa sedang disambar petir. “Tapi dia sudah kutetapkan sebagai calon penggantiku.”
Tersenyum merayakan kemenangan, Chu Langzhong menimpali, “Terserah. Kau mau lihat dia meregang nyawa di hadapanmu, yang pastinya tak lama lagi. Atau kau umumkan kematiannya tapi orangnya tetap hidup di tempatku.”
Mungkin karena merasakan sedang dijadikan bahan pembicaraan, Bai Lengyu kemudian sadar. Dengan demikian melalui telinganya sendiri ia mendengar ketika Fan Ku berkata bahwa Bai Lengyu sudah mati. Dan pemuda yang terbaring di tandu itu adalah seseorang yang tidak dikenal juga tidak punya ikatan apapun dengannya. Serta, jika kelak pemuda itu mengaku-aku sebagai Bai Lengyu ataupun pengikut Baiyu Jiao, semua murid Baiyu Jiao berhak membunuhnya.
Karena ia tak ada tenaga sedikitpun, tak satupun kata yang keluar dari bibirnya. Yang keluar hanya beberapa tetes air dari pelupuk matanya.
“Lalu apa yang kau lakukan di sini?” Chu Langzhong menegur Fan Ku dengan nada ketus. “Pergi! Awas kalau berani kembali ke rumahku.”
Masih memandangi Bai Lengyu tak rela, Fan Ku menyeret kakinya mundur perlahan keluar dari rumah Chu Langzhong. Di saat yang sama, Bai Lengyu terus memanggilnya dalam bisikan-bisikan lemah yang hanya bisa didengarnya sendiri, “Shifu! Shifu! Jangan tinggalkan Lengyu!”
Selepas Fan Ku pergi dan tak lagi terlihat, Chu Langzhong terus memperhatikan pemuda pucat yang bicara saja tak punya tenaga. Bahkan menangis pun tanpa tenaga sehingga hanya ada sedikit tetesan air mata yang mengalir begitu lambat. Jika pemuda ini tidak dibuatnya tidur, bisa jadi nekat bunuh diri. Dan hal ini tidak boleh terjadi. Karenanya ia mengeluarkan obat bius dari dalam lengan bajunya.
Baru botol obat tersebut dibuka, Bai Lengyu sudah tertidur membuat Chu Langzhong terkejut sesaat tak menyangka. Perlahan dipindahkan Bai Lengyu yang telah tertidur ke dipan dalam rumah. Dipan yang memang disiapkan untuk mengobati pasien-pasiennya.
Tiba saatnya nanti, akan kuberitahukan padanya untuk mencarimu di Jingcheng. Seperti permintaanmu saat itu, En’gong[1].
***
Memasuki Jingcheng kembali, seharusnya Zhang Shahai merasa tenang telah kembali ke kampung halamannya. Tapi perasaan seperti itu justru sedang tidak dimiliki oleh Zhang Shahai.
Dalam hati dan pikirannya, ia hanya terus menerus mengingat kembali apa yang dikatakan Yi Meixin. Ada suatu perasaan aneh membuat Zhang Shahai kini meragukan jawaban-jawaban itu. Perasaan aneh yang mungkin bisa disebut sebagai insting bahwa ia telah dibohongi.
Dihentikan kudanya. Perlahan Zhang Shahai menarik tali kekang mengarahkan kepala kuda kembali ke arah selatan. Ingin rasanya bertanya lebih detail. Ia menyesal tidak melakukan itu sebelumnya. Mungkin jika bertanya lebih detail, kalau Yi Meixin benar-benar membohonginya, jawaban yang sebenarnya akan cepat terbongkar.
Ia kecewa mengapa nyonya yang harus diakui sangat cantik dan lemah lembut itu yang menjawab pertanyaannya. Jika saja laki-laki suami nyonya itu yang menjawabnya, mungkin jawaban yang sesungguhnya sudah didapat. Karena ia dapat merasakan laki-laki suami nyonya tersebut bukan orang yang pandai membohongi orang.
“Fuqin!” tegur Zhang Erbao yang benar-benar kebetulan sedang berada di sekitar gerbang selatan Jingcheng. “Mengapa pergi tanpa mengatakan sesuatu pada kami? Setiap hari Muqin[2] mencemaskan Anda.”
Menoleh pada Zhang Erbao, Zhang Shahai kemudian memaksakan sebuah senyum. Senyum yang awalnya terpaksa itu lambat laun menjadi senyum sesungguhnya setelah melihat wajah anak yang benar-benar memperhatikan dirinya.
“Fuqin pergi ke mana? Menyelidiki hal apa? Kata Dage, Fuqin mungkin sedang menyelidiki Bai Lengyu. Apa Dage benar? Mengapa Fuqin menyelidiki Bai Lengyu? Karena Wang Yinhuo-kah?”
Zhang Shahai mengangguk. Ia merasa anak-anaknya tak perlu tahu bahwa yang dicarinya tak hanya seorang Bai Lengyu yang kini disebut-sebut telah meninggal, tapi juga keberadaan anaknya yang lain. “Kita pulang.” Zhang Shahai turun dari kudanya.
Dengan penuh hormat dan rasa sayang terhadap orangtuanya, Zhang Erbao membantu memegang kuda lalu menariknya pulang. Berjalanlah mereka, ayah dengan anak menuju kediaman mereka.
*
“Aku merasa yang kamu selidiki bukan hanya tentang seorang Bai Lengyu. Fuma ye, menurutmu dugaanku benar tidak bahwa yang kamu selidiki sebenarnya adalah anakmu ‘itu’?”
Melirik ke arah Qhing Gongzhu, Zhang Shahai menganggukkan kepalanya. Dalam kamar mereka sendiri, Qhing Gongzhu bicara dengan suara perlahan. Tentunya dengan maksud agar anak-anak mereka tidak mendengar apa yang mereka bicarakan. Karena itu, Zhang Shahai juga membalasnya dengan suara pelan, “Zheng yang digunakan Bai Lengyu adalah zheng yang dulu aku hadiahkan ke Nvlei.”
Nyaris tersendak Qhing Gongzhu mendengarnya. Ini kali pertama nama perempuan yang jauh hari telah merebut hati suaminya disebut. “Jadi… Nvlei adalah nama perempuan itu? Sejak kapan Fuma mengenalnya?”
“Aku tidak ingat secara pasti. Hanya ingat ketika itu aku sedang bertengkar dengan Yinqian di sebuah rumah makan. Ia datang melerai kami lalu memperdengarkan lagunya untuk menenangkan emosi kami.”
“Yinqian….,” Qhing Gongzhu berusaha mengingat-ingat siapakah yang disebut Yinqian. Menyebut seseorang hanya dengan nama panggilan menandakan hubungan mereka sudah cukup dekat. Dari mereka yang memiliki hubungan dekat dengan suaminya, siapakah yang memiliki nama panggilan Yinqian? “Huo Laoban?”
Zhang Shahai mengangguk membenarkan. “Setelah itu aku ketagihan mendengar alunan musik yang dimainkan. Ketika hubungan kami menjadi dekat dan kami tahu saling mencintai, ternyata Fuqin tidak menyetujui hubungan itu. Karena… Nvlei adalah gadis yatim piatu dari kelas bawah yang mencari uang dengan menjadi penghibur. Sekalipun yang dijualnya hanya suara dan kemampuannya memainkan alat musik, Fuqin tetap saja tidak setuju. Aku telanjur mencintainya teramat sangat kemudian memutuskan kawin lari berdua. Mas kawin yang kuberikan padanya adalah sebuah zheng tua sangat cantik yang kuperoleh dengan ikut pelelangan. Zheng itulah yang digunakan Bai Lengyu.”
“Jadi kamu menduga apakah Bai Lengyu adalah anakmu?”
“Atau mungkin seseorang yang berkaitan dengan pembunuh Nvlei. Atau … hanya seseorang yang kebetulan membeli zheng tersebut dari orang lain.”
“Lalu hasil apa yang telah kamu dapatkan?”
“Ternyata yang ketiga.”
Menghela nafas lega baru Qhing Gongzhu mengajukan protesnya karena ia tahu, marah dan cemburu juga tak ada gunanya bahkan hanya akan memperkeruh masalah, “Seharusnya kamu pergi setelah memberi tahu kami. Bukannya pergi tanpa pamit. Untung saja Fuhuang tidak sedang membutuhkanmu.”
“Maaf. Aku terlalu panik ketika mendengar kabar Bai Lengyu terluka parah.”
***
Kembali tiba di markas besar Baiyu Jiao, yang dirasakan oleh Fan Ku hanya hampa. Ia tidak tahu harus menjawab apa jika Zhu Xu, Yi Meixin dan Zhu Bu bertanya tentang Bai Lengyu padanya. Haruskah dijawab sudah mati? Ataukah dijawab kalau Chu Langzhong menginginkannya dan membuat mereka harus putus hubungan?
Di depan sana, Zhu Xu sudah terlihat sedang menanti kedatangannya. Demikian juga Yi Meixin. Juga … Zhu Bu. Ketiga orang yang saat ini sedang tak ingin ditemui justru bersiap menghadang.
“Shifu, mana Lengyu?” Zhu Bu bertanya sambil celingukan mencari keberadaan Bai Lengyu.
Fan Ku mengeluarkan kotak kayu dalam bungkusannya. Diberikannya kotak tersebut pada Zhu Bu, berharap ia tak perlu lagi menjawab dengan satu kata apapun.
Zhu Bu menerimanya dengan takut-takut dan hati penasaran. Setelah diterima, kotak tersebut dibuka. Di dalamnya ada guci keramik yang tertutup rapat. “Apa ini, Shifu? Kenapa shifu berikan guci ini padaku? Mana Lengyu, Shifu?”
“Yang ada di dalam guci, itulah Lengyu.”
“Kenapa, Dage? Sebenarnya apa yang telah terjadi?”
“Chu Langzhong minta nyawaku sebagai ganti mengobati Lengyu. Entah mengapa ketika itu Lengyu sadar. Ia langsung…. bunuh… diri…”
Tak sadar Zhu Xu langsung mundur beberapa langkah sangat terkejut. Yi Meixin ambruk. Badannya terasa sangat lemas. Sementara itu Zhu Bu hanya melangu memandangi kotak kayu di tangannya. Untuk menangis pun tidak sanggup.
*
Ketika malam telah tiba, Fan Ku hanya duduk menghadap meja bulat di dalam kamarnya. Ia terus duduk diam di sana entah apa saja yang sedang dipikirkan hingga Zhu Xu masuk dan langsung duduk di hadapan.
“Katakan padaku yang sebenarnya, Dage. Lengyu tidak benar-benar sudah meninggal?”
“Bagaimana kamu tahu itu?”
Tersenyum kecil Zhu Xu menjawab, “Kita tumbuh besar berdua saling bahu membahu mengatasi kesulitan. Bagaimana aku tidak tahu kau sedang menyembunyikan sesuatu? Lagipula… jika Bai Lengyu telah meninggal, kau harusnya memasang muka berduka bukan bingung seperti ini.”
Fan Ku tersenyum. Namun senyumnya begitu pahit karena tak ada kegembiraan dalam hatinya. “Bagi kita, sekarang dan seterusnya nanti, ia meninggal atau masih hidup tak ada lagi kaitan.”
Fan Ku tahu Zhu Xu terus memandanginya meminta penjelasan. Setelah mengambil nafas, ia baru melanjutkan, “Chu Langzhong bersedia mengobati asal aku mengumumkan kematian Bai Lengyu dan hidup mati dia seterusnya tidak ada hubungan apapun lagi dengan kita.”
“Mengapa Chu Langzhong lakukan itu? Ia tidak menerima anggota kita sudah jadi rahasia umum. Tapi mengapa mengobati dengan mengeluarkan syarat seperti itu?”
“Entahlah. Yang jelas sebelumnya Chu Langzhong menanyakan asal-usul liontin giok Lengyu. Mungkin… ia tahu dengan jelas siapa orangtua Lengyu.”
“Aku jadi ingat, beberapa hari lalu Da Jiangjun datang ke markas minta bertemu dengan Lengyu. Ia membawa selembar kertas yang tak habis terbakar bergambar zheng milik Lengyu. Ia ingin tahu asal-usul zheng itu bisa jatuh ke tangan Lengyu karena katanya zheng itu adalah hadiah yang diberikan olehnya pada seorang perempuan.”
Mendengarnya Fan Ku cukup terkejut. Jelas-jelas dulu ia mengambil zheng itu dari atas meja dalam rumah seorang perempuan yang sudah meninggal. Dengan demikian artinya perempuan itu adalah perempuan yang menerima hadiah zheng dari Da Jiangjun. Dan seorang Da Jiangjun bisa memberikan hadiah semahal itu pastinya hubungan mereka begitu khusus. “Jadi… besar kemungkinan Bai Lengyu adalah anak luar nikah Da Jiangjun dengan perempuan itu?”
“Kalau benar demikian, terjawab sudah darimana bakat musik dan kungfunya berasal.”
“Tapi ini juga bukan berita baik.”
Kemudian mereka semua terdiam. Larut dalam pikirannya masing-masing.
“Dage, sebaiknya biarkan A Bu tidak tahu hal yang sebenarnya. Tiadanya Lengyu harusnya bisa dimanfaatkan untuk membuat A Bu dewasa.”
“Aku mengerti. Tapi bagaimana dengan Meixin? Apakah tidak sebaiknya ia tahu masalah ini?”
“Kala Meixin sedang emosi, kadang ia tidak sadar mengatakan hal yang tak perlu dikatakan. Mungkin lebih baik ia tidak perlu tahu sehingga memperkecil kemungkinan A Bu tahu.” Berhenti sesaat, Zhu Xu baru melanjutkan, “Nanti akan kupikirkan cara agar ia tak terlalu larut dalam kesedihannya. Aku permisi, Dage.”
Untuk sampai ke kamarnya dengan Yi Meixin, ia harus melalui lorong samping kolam tempat paviliun favorit Bai Lengyu berdiri. Di sanalah ia melihat Yi Meixin sedang duduk mengelus-elus zheng Bai Lengyu.
Paviliun tengah kolam tempat Yi Meixin berada saat ini memang sangat unik. Tanpa ilmu meringankan tubuh, tak mungkin seseorang bisa pergi ke sana. Karena paviliun itu dibangun tanpa jembatan. Dan lagi air yang menggenanggi kolam di sekitarnya adalah air yang sangat panas – dan merupakan satu-satunya sumber panas yang bisa ditemui di sana.
Tak ingin menghabiskan waktu lebih lama, Zhu Xu menggunakan ilmu meringankan tubuhnya menjumpai Yi Meixin. “Meixin,” perlahan Zhu Xu menghampiri istrinya dan merangkulnya dengan perhatian.
“Sedalam apapun kita mencintainya, Bai Lengyu sebenarnya bukan milik kita,” dibalasnya tatapan istrinya dengan lembut. “Anggaplah Laotian Ye meminjamkan pada kita sesaat. Membiarkan kamu dengan senang dan bersemangat menularkan kepandaianmu. Membuatmu merasa memiliki teman dengan keahlian yang sama di tempat ini.”
“Tapi… membayangkan sudah umurnya untuk menikah. Dan membayangkan sebenarnya dia punya orangtua kandungnya sendiri… aku…,” air mata Yi Meixin kembali bercucuran.
Zhu Xu menundukkan kepalanya. Mereka terdiam. Tak satupun yang bersuara namun air mata Yi Meixin tetes demi tetes terus mengalir jatuh.
***
“Sudah bosan tidur?” tegur Chu Langzhong melihat Bai Lengyu akhirnya membuka mata. “Obatmu juga sudah siap. Habiskanlah,” disodorkannya mangkuk berisi air berwarna kehitaman pada Bai Lengyu.
Namun Bai Lengyu tetap diam tidak menerimanya juga tak bicara apapun. Bahkan sepotong kata pun tidak diucapkannya. Tangannya juga tak bergerak mengambil mangkuk. Ia terus terbaring dalam diam. Seolah jenazah kaku.
“Kenapa? Kamu tak mau minum obatmu? Kamu ingin mati, hah?” Chu Langzhong mengembalikan mangkuk obat ke meja lalu pergi ke arah rak-rak obatnya mempersiapkan ramuan obat yang lain. “Kasihan sekali laki-laki yang setengah mati mencarimu dengan membawa sebuah liontin giok itu. Tak tahu apakah ia bisa menerima kenyataan ini atau tidak,” Chu Langzhong terus bicara seolah sedang bicara sendiri. Ia sama sekali tidak menanti reaksi Bai Lengyu. “Harusnya ia tidak perlu repot-repot mencari anaknya. Toh anak itu lebih memilih mati daripada bertemu dengan dia.”
Akhirnya Bai Lengyu memberi reaksi, walaupun sangat singkat, “Maksudmu?”
Chu Langzhong tertawa puas karena pancingannya berhasil. “Entah kamu pura-pura tak mengerti atau benar-benar tak mengerti. Baiklah, kuberikan ringkasannya. Yaitu… aku pernah bertemu ayah kandungmu. Ayah kandungmu yang sedang cemas mencari anak dan istrinya sesuai perang lalu.”
“Ayah kandungku masih hidup? Aku punya ayah kandung? Benarkah?” kali ini air mata Bai Lengyu menetes terharu. Buru-buru ia berusaha bangkit dari tidurnya melawan rasa lemas pada tubuhnya.
“Benar! Karena itu jaga baik-baiklah dirimu. Jangan semudah itu berpikir ingin mati hanya karena dibuang Fan Ku. Begitu kebetulan aku pernah melihat liontin giok seperti milikmu. Kalau tidak… lebih menyenangkan melihat Fan Ku menangis, melihat dengan matanya sendiri murid kesayangannya meregang nyawa, mengerti?”
“Aku tidak mengerti,” jawab Bai Lengyu membuat Chu Langzhong memasang wajah kesal menyangka Bai Lengyu demikian bodoh. “Aku tidak mengerti mengapa Chu Langzhong begitu membenci Shifu dan Baiyu Jiao. Bukankah seorang langzhong harusnya mengobati siapapun pasien yang datang padanya? Tak pilih kasih? Tak pandang bulu?”
Chu Langzhong menghela nafas dengan raut sedih. “Kalau diceritakan akan sangat panjang.”
“Tak apa. Aku tetap akan mendengarkan sampai selesai,” sahut Bai Lengyu cepat.
“Baiklah. Tapi kau dengarkan sembari habiskan obatmu, mengerti?” Chu Langzhong mengambil mangkuk obat itu lagi dan memberikannya pada Bai Lengyu.
“Awalnya aku juga seperti itu. Siapapun yang datang meminta pengobatan pasti kuobati sepenuh hati. Kemudian….”
~~~
Hujan deras menghujam bumi tak juga berhenti. Tapi semua bukan masalah karena Chu Langzhong – saat itu umurnya menjelang dua puluh tahun – tengah menghabiskan waktu bersama istrinya yang tengah mengandung. Justru baginya hujan deras itu adalah anugrah karena setelah itu rumput-rumput dan tanaman pasti tumbuh dengan subur. Dengan demikian, ia tidak akan kekurangan bahan obat-obatan.
Kemudian Shi Jiaozhu datang di tengah hujan deras itu membawa muridnya yang sedang terluka. Muridnya itulah yang kemudian dikenal sebagai Bai Jiaozhu. Kejahatan Shi Jiaozhu semua orang sudah tahu. Tapi melihat bagaimana ia menyayangi muridnya seperti anaknya sendiri dan naluri sebagai seorang penyembuh membuat Chu Langzhong tetap berusaha mengobati Bai Jiaozhu.
Kemudian setelah Bai Jiaozhu sembuh, bencana itu dimulai. Shi Jiaozhu tidak ingin musuh-musuhnya kelak mendapatkan pengobatan dari murid seseorang yang disebut ‘Hua Tuo[3] yang Kembali Hidup’ sehingga bermaksud menghabisi Chu Langzhong muda sekaligus istrinya.
Sang Istri menyadari maut tengah mengancam suaminya kemudian mengakali Chu Langzhong agar pergi meninggalkan rumah sementara waktu. Kemudian, ketika Chu Langzhong pulang, ia hanya mendapati jasad istrinya dalam lumuran darah dengan membawa pergi janin anak mereka.
~~~
“Rupanya begitu. Aku hanya pernah mendengar kalau Baiyu Jiao dalam masa pemimpinan Shi Jiaozhu amat ditakuti orang.”
“Kukira orang-orang dunia persilatan takut kau akan sekejam dia sehingga mati-matian ingin membunuhmu.”
Apakah aku sekejam itu di mata semua orang?
“Siapa yang membunuh Wang Yinhuo?” Chu Langzhong tak menyadari Bai Lengyu tengah termenung. Diajukannya pertanyaan cepat-cepat.
“Aku.”
“Wanshang Bianfu?”
“A Bu yang turun tangan menghunuskan pedang sedangkan aku menggunakan musik mengacaukan konsentrasinya.”
Sedikit terperangah Chu Langzhong bertanya, “Apa kamu tahu musik harusnya digunakan untuk menghibur orang? Musik juga bisa digunakan untuk mengobati penyakit. Mengapa justru kamu gunakan untuk membunuh orang?”
“Karena dia sudah tahu siapa diriku. Sudah tahu bagaimana rupaku. Kalau hal ini tersebar keluar, aku pasti kena hukuman.”
“Yang aku tanyakan apakah kamu tahu gunanya musik adalah untuk menghibur orang dan juga bisa digunakan untuk mempercepat proses pengobatan?”
“Aku tahu. Niang juga mengajarkan itu padaku.”
“Bagus kalau kamu tahu,” tiba-tiba Chu Langzhong berhenti sebentar teringat sesuatu. “Tadi kamu bilang siapa? Niang? Siapa yang kamu sebut Niang?”
“Yi… Yi Meixin… Yin Shennu.”
“Selanjutnya kamu tidak boleh memanggil Yi Meixin dengan sebutan Niang. Zhu Xu dengan sebutan Die juga Fan Ku dengan sebutan Shifu. Ingat! Fan Ku mengancam akan membunuhmu jika kamu mengaku-aku sebagai Bai Lengyu.”
“Lalu siapa aku? Cuma seseorang tanpa identitas…”
“Identitas mudah dibuat. Tapi hati sulit diubah. Berhentilah membunuh orang. Mulai sekarang hiduplah baik-baik seperti pemuda lain. Jangan sampai ayah kandungmu kecewa karena tahu anaknya adalah musuh dunia persilatan.”
“Sampai kapan? Walau bagaimanapun aku tetap Bai Lengyu. Di mata semua orang aku tetap Bai Lengyu. Sampai kapan harus menipu mereka dan diri sendiri? Begitu ia tahu, mungkin justru akan ikut memburu aku sampai mati”
“Tanpa usaha tak akan berhasil. Kamu bisa memulai dengan obati dirimu baik-baik. Setelah itu… kamu bisa baca semua buku di rumahku ini, mempelajari semua yang telah kukuasai. Atau kamu bisa ikut ujian negara, hidup baik-baik sebagai pejabat yang mencintai rakyat. Banyak hal yang bisa kamu lakukan untuk menanggalkan predikat Bai Lengyu, sang pembunuh tanpa berkedip. Tapi yang pertama harus kulakukan selain menghilangkan racun dalam tubuhmu adalah memberi nama baru. Apa sebaiknya, ya…”
“Ketika mereka tahu Bai Lengyu adalah aku, kukira mereka tetap ingin membunuhku sekalipun aku mengganti nama dan tak lagi ikut campur dunia persilatan.”
“Diam!” tegur Chu Langzhong yang sedang sibuk berpikir. “Baiklah. Namamu Baiyu saja. Seperti liontin kalung di lehermu itu.”
“Terserah,” jawaban ini lebih terkesan sebagai ketidakpedulian.
“Chu Langzhong… mengapa kamu begitu membenci Shi…,” melihat mata Chu Langzhong yang melotot padanya, buru-buru Bai Lengyu atau berikutnya dipanggil Baiyu membenahi, “Fan Jiaozhu? Kukira apa yang dilakukan Fan Jiaozhu selama ini masih dalam batas kewajaran. Fan Jiaozhu hanya memperketat aturan aliran sehingga para pengikutnya tak satupun yang berani melanggar.”
“Ya… dalam hal ini memang benar… mungkin karena itu keponakanku jatuh cinta padanya…”
“Keponakanmu jatuh cinta? Aku pernah bertanya pada… Yin Shennu mengapa… Fan Jiaozhu tidak menikah meskipun aturan Baiyu Jiao mengizinkan ketuanya memiliki seorang istri.”
“Setelah istri dan anakku meninggal, aku menumpang tinggal di rumah adik perempuanku. Sebenarnya bukan adik kandungku. Dia putri guruku dan hubungan kami sudah seperti saudara kandung. Ia menikah dengan seorang laki-laki dari keluarga baik-baik dalam dunia persilatan. Dengan laki-laki itu ia mendapatkan seorang putri. Ketika usianya remaja, putrinya itu mendapati seorang pemuda yang terluka parah tak jauh dari rumah. Pemuda itu dibawanya pulang dan ia meminta aku mengobati pemuda tersebut.”
Chu Langzhong berhenti sejenak untuk menghabiskan isi cangkirnya. “Setelah orang itu sembuh, hubungan mereka menjadi semakin dekat. Sebenarnya adikku dan suaminya menyukai pemuda tersebut. Seseorang yang sopan, pintar dan bertanggung jawab, tidak mungkin mereka tak menyukainya. Namun suatu ketika… rumah adikku kedatangan perampok. Pemuda itu menggunakan ilmu kungfunya membekuk perampok tersebut. Barulah kami mengetahui ia adalah pengikut Baiyu Jiao.”
“Apakah pemuda itu adalah Fan Jiaozhu?”
Chu Langzhong menganggukkan kepala. “Karena adikku dan suaminya sudah telanjur menyukai, mereka bisa menerima dia sebagai menantu asal melepaskan diri dari Baiyu Jiao. Tapi ia tidak setuju. Ia berkata sampai mati akan tetap menjadi pengikut Baiyu Jiao. Mereka ribut beberapa waktu lamanya hingga tiba-tiba pemuda itu pergi meninggalkan rumah dan tak pernah kembali. Kemudian diketahui ia tak hanya pengikut Baiyu Jiao tapi juga seorang zhuyaozhu yang akan dinobatkan sebagai calon jiaozhu berikutnya. Apalagi yang bisa dikatakan? Yang ia cintai bukan keponakanku tapi kekuasaan.”
“Sepertinya kalian salah paham. Kemungkinan besar Fan Jiaozhu terpaksa tidak menyetujui syarat itu karena dalam Baiyu Jiao, seorang zhuyaozhu yang berkhianat tidak akan dibiarkan hidup. Dan seorang zhuyaozhu yang telah dinobatkan sebagai calon jiaozhu jika berkhianat, ia, orangtua, saudara, istri, mertua, dan anaknya akan dibunuh. Sedangkan bagi seorang jiaozhu, sampai keluarga sepupu dan sahabatnya akan dibunuh. Mungkin karena itulah Fan Jiaozhu tidak menyetujui syarat adik Chu Langzhong. Ia tidak mau melukai kalian.”
Chu Langzhong memandangi Baiyu tak percaya.
Baiyu mengangguk tanda ucapannya tadi benar. Kemudian ia menambahkan, “Ketika aku menanyakan masalah itu, Yin Shennu menjawab karena orangtua pihak perempuan tidak mengizinkan hubungan mereka. Dan Fan Jiaozhu sendiri terlalu mencintai perempuan tersebut hingga selamanya tak mungkin ada perempuan lain yang bisa menggantikan kedudukannya dalam hati Fan Jiaozhu. Jadi aku yakin, keponakan Chu Langzhong tetap satu-satunya perempuan yang dicintai Fan Jiaozhu, tidak pernah berubah.”
“Mungkin kami memang salah paham. Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri? Dihitung sejak aku bertemu ayah kandungmu yang waktu itu berkata anaknya pasti belum lama lahir, sampai saat ini kira-kira sudah ada sembilan belas tahun. Usia itu sudah sangat cukup untuk menikah.”
Tersenyum miris Baiyu menjawab, “Aliran putih ingin membunuhku katanya aku kejam. Lalu kini Baiyu Jiao juga ingin membunuhku jika aku muncul dengan namaku sendiri. Tidak ada alasan bagus untuk menikah.”
Mendengar jawaban miris seperti itu membuat Chu Langzhong terdiam. Diperhatikannya pemuda yang masih berbaring di dipan. Sebenarnya pemuda ini tampan. Dan karena ia pernah menjadi murid kesayangan Fan Ku, pastinya memiliki otak yang cerdas. Tapi tak dinanya, ia memandang rendah dirinya sendiri.
***
Seekor burung merpati pos terbang mendekati Zhu Bu. Dilihat pada kedua kakinya tak ada surat terikat menandakan sesuatu yang aneh sedang atau telah terjadi. Apakah burung ini terbang pulang dengan kemauannya sendiri? Ataukah seseorang sengaja melepaskannya dengan terburu-buru?
Pedang yang tadinya terus digenggam Zhu Bu untuk latihan kemudian ditaruh di sisinya. Ia mengelus burung tersebut dan segera membuat keputusan. Keputusan yang sangat mendadak.
“Die, aku ingin pergi mengunjungi teman.”
Zhu Xu menoleh dan terus memandangi Zhu Bu. Anaknya ini kini seperti orang lain. Bukan Zhu Bu yang ia kenal dahulu, seorang anak ceria dan sering semaunya sendiri. Sekarang ia justru merasa Zhu Bu seperti Bai Lengyu kedua. Seorang yang serius dan menghitung semua yang dilakukannya dengan cermat.
Dianggukkan kepalanya tanda setuju. Kalau Zhu Bu yang dahulu minta izin, tak mungkin ia mengizinkan dengan mudah seperti saat ini. Ia pasti akan meminta Bai Lengyu menemani. Karena Zhu Bu yang dulu mudah terbawa emosi, kemungkinan mendapat masalah lebih besar sedangkan ilmu kungfunya tak begitu baik. Sekarang, ilmu kungfunya maju dengan pesat. Baik tangan kosong maupun dengan pedang.
Memandangi Zhu Bu yang menjauh pergi darinya membuat Zhu Xu tak tahu harus merasa senang atau sedih. Sebagai orangtua tentu harusnya merasa senang jika putranya tumbuh dewasa. Tapi ia kehilangan Zhu Bu yang ceria, kehilangan celoteh Zhu Bu yang sering tidak melihat tempat dan waktu.
*
Memasuki sebuah rumah sederhana tempat tinggal Hou Nulang, Zhu Bu mendadak bingung harus berkata apa. Ia tahu yang dicintai Hou Nulang adalah Bai Lengyu bukan dirinya. Dan kini ia kembali datang tanpa bersama Bai Lengyu, tak tahu apa yang akan dipikirkan Hou Nulang padanya dan pada Bai Lengyu.
“Mana Bai Dage? Apakah ia beralasan tidak datang lagi? Apakah melihat merpati itu ia sama sekali tidak merasa cemas?” air muka Hou Nulang menyiratkan kekecewaannya. “Harusnya aku sudah tahu… mengapa aku masih juga mengharapkannya…,”
“Sebenarnya… kali ini… sekalipun Lengyu berniat datang, ia tidak mungkin bisa datang,” Zhu Bu benar-benar tidak tahu bagaimana mengatakan apa yang telah terjadi. Ia berharap gadis tersebut bisa menangkap pesan tersirat dari kata-katanya.
“Sebenarnya, apa yang ingin Zhu Erge[4] katakan?”
“Lengyu…,” menahan diri untuk tetap tenang Zhu Bu baru melanjutkan, “Telah meninggal.”
Apa yang terjadi kemudian sesuai dengan dugannya. Gadis itu ambruk seakan-akan semua tenaganya disedot keluar hingga tak bersisa. Buru-buru Zhu Bu menompangnya kemudian menuntunnya duduk di salah satu bangku kayu yang di ruangan tempat ia diterima masuk.
“Bagaimana Bai Dage meninggal, Erge?”
“Dibunuh musuh keluarga kami.”
“Erge, apa kamu sedang bercanda? Ilmu kungfu Bai Dage begitu tinggi. Aku tahu itu. Erge juga selalu membangga-banggakan ilmu kungfu Bai Dage. Katamu dulu ada Bai Dage semuanya pasti aman.”
“Kala itu aku lupa bahwa di atas langit masih ada langit. Aku terlalu mabuk dengan rasa banggaku sendiri.”
Isak tangis Hou Nulang semakin jelas terdengar. Rupanya ia demikian sedih dan tak bisa menerima kenyataan tersebut. Tangisannya itu membuat ayahnya yang biasa dipanggil oleh Zhu Bu dengan panggilan Hou Laobo[5] datang terpogoh-pogoh bersama istrinya.
“Die, Niang… kata Erge, Bai Dage telah meninggal.”
Hou Laobo diam di tempatnya berdiri demikian terkejut. “Zhu Gongzi, sebenarnya apa yang telah terjadi?” ditariknya Zhu Bu ke ruangan lain. Sikapnya seolah seorang petugas pengadilan hendak menginterogasi tersangka. “Sebenarnya siapa kalian?”
Ditanya seperti itu membuat Zhu Bu tersendak kaget. “Kami… pengikut Baiyu Jiao.” Tak tahu apa yang dipikirkan Hou Laobo ketika itu namun Zhu Bu melihat raut wajah laki-laki yang umurnya sudah di awal lima puluhan tahun tidak menunjukkan ekspresi terkejut pun tidak suka. “Sepertinya Hou Laobo sudah menduga hal ini sebelumnya.”
Hou Laobo mengangguk mengiyakan. “Satu atau dua bulan lalu di setiap warung arak ramai membicarakan kematian Bai Lengyu.” Tertawa aneh Hou Laobo menambahkan, “Padahal penduduk desa ini tak satupun yang bermusuhan dengan Baiyu Jiao, tapi berita kematian Bai Lengyu sanggup membuat semua warung arak ramai dikunjungi orang-orang yang penasaran.”
Zhu Bu terdiam, tak tahu apa yang harus dikatakan sementara waktu ini. “Kedatanganku sekaligus untuk pamit. Berikutnya aku tidak akan kembali. Mohon Hou Laobo sekeluarga jaga diri baik-baik.”
“Erge mau kemana? Mengapa tak mau kembali?”
Kemunculan Hou Nulang secara mendadak di muka pintu cukup untuk membuat Zhu Bu terkejut. Ia menarik nafas dalam-dalam baru berani menatap Hou Nulang. “Tentu saja pulang. Banyak yang harus kukerjakan. Bai Lengyu telah tiada, tugasnya juga menjadi bagian tugasku.”
“Erge tak ingin menemuiku lagi? Apakah Erge membenciku karena yang kubicarakan hanya tentang Bai Dage?”
“Mana mungkin… mana mungkin aku membencimu. Nulang Mei[6], sampai kemarin, aku baru mengerti mengapa Bai Dage tak pernah mau kuajak menemuimu. Karena… Bai Dage tak ingin kalian mendapatkan bahaya jika saja orang-orang tahu identitas kami sebenarnya.”
“Apa yang kalian sebut dengan bahaya, buat kami belum tentu sebuah bahaya. Zhu Gongzi, apakah kamu tahu mengapa merpati itu dilepaskan tanpa selipan surat untuk kalian?”
Zhu Bu menggelengkan kepalanya tanda tak mengerti. Yang jelas, karena merpati pos tanpa surat itulah membuatnya terburu-buru menemui Zhu Xu mohon izin pergi ke rumah Hou Nulang ini.
“Tak sengaja Nulang bertabrakan dengan seorang Gongzi dari kota tetangga ketika menemani ibunya menjual sayur dari ladang kami. Ternyata… Gongzi itu orang yang kurang ajar. Ia–”
“Apa yang dilakukan orang itu? Siapa orangnya? Biar kuhajar dia!”
Menyengir hingga menampakkan giginya yang sudah kehitaman, Hou laobo menggelengkan kepalanya, “Ternyata… Zhu Gongzi demikian memperhatikan keselamatan putriku.”
Merasa terjebak, Zhu Bu terdiam bingung. Berarti pertanyaan itu hanya untuk mengetesnya saja. Sebelumnya mana pernah terpikir olehnya akan ada seorang petani menguji seorang zhuyaozhu.
Mungkinkah Huo Laobo ini sebenarnya pendekar besar yang mengasingkan diri? Tapi kelihatannya juga bukan. Walaupun ada kemungkinan putri seorang pendekar besar tidak menguasai ilmu kungfu, namun insting Zhu Bu mengatakan Huo Laobo bukan orang seperti itu.
Ataukah mungkin Huo Laobo bekas pejabat? Kalau yang ini masih ada kemungkinan. Tutur katanya yang halus dan teratur adalah ciri orang berpendidikan. Bagaimana dia berperilaku juga terkadang menampakan bahwa ia tidak asing dengan aturan ala pejabat yang pernah diketahui Zhu Bu.
Untuk pengetahuan ini Zhu Bu memang harus berterima kasih pada Bai Lengyu. Dulu, demi menjalankan tugas, Bai Lengyu pernah menyamar sebagai seorang pejabat. Dan agar samarannya sempurna, sebelumnya ditemani Zhu Bu mengamati tingkah beberapa orang pejabat. Bahkan kemudian, untuk peran itu Zhu Bu harus menyamar sebagai juru tulisnya. Dengan pengalaman itulah, ia bisa mengetahui bagaimana tingkah para pejabat kemudian memutuskan bahwa kemungkinan Hou Laobo pernah menjadi pejabat. Mungkin tingkat rendah setara camat, atau mungkin tingkat tinggi setara menteri ia memang tidak yakin.
“Laobo tahu bagaimana sikapmu pada putriku. Laobo juga percaya padamu.”
Perlahan Zhu Bu melirik mata Hou Laobo kemudian beralih ke Hou Nulang. Ketika berangkat ia tidak pernah memikirkan mendapatkan hasil seperti ini. Hou Nulang sedang memandanginya dengan malu-malu. Juga seperti sedang tak enak hati karena ucapan ayahnya.
Mereka terdiam lama seperti itu. Zhu Bu dapat merasakan Hou Laobo tengah memandanginya dengan penuh harap. Tapi ia sendiri tak berani mengambil keputusan.
Ibunya, Yi Meixin, meskipun tak bisa ilmu kungfu namun bisa ilmu meringankan tubuh dan ilmu musik, sampai menghipnotis orang dengan musik pun dia bisa. Sehingga sekalipun Baiyu Jiao dalam bahaya karena diserang seperti penyerangan sebelum ia lahir, Zhu Xu tidak begitu kuatir. Namun Hou Nulang berbeda. Ia benar-benar seorang gadis biasa yang tak tahu ilmu kungfu, ilmu meringankan tubuh pun tak bisa. Ini membuatnya kuatir kalau-kalau Baiyu Jiao kembali diserang.
Kediaman terus merajai mereka sekalipun waktu terus beranjak pergi. “Die, jangan paksa Erge. Toh dalam hatiku…”
“Aku tidak bisa memutuskan hal besar seperti ini sendiri. Biarkan orangtuaku yang memutuskan, ya?” selesai bicara, Zhu Bu melirik pada Hou Nulang kemudian Hou Laobo. Sekalipun wajah Hou Laobo menandakan ia kurang puas, tapi ia mengangguk sebagai tanda setuju.
Mungkin dipikirnya Hou Laobo, Zhu Bu seorang pemuda yang tak berani mengambil keputusannya sendiri atau anak yang terlalu menurut pada kemauan orangtua. Zhu Bu tak peduli dianggap orang seperti itu. Jika Yi Meixin setuju mengambil gadis dari keluarga biasa sebagai menantu mereka, pastinya ia akan membekali gadis tersebut dengan pengetahuannya. Hal itu adalah hal yang terbaik bagi Hou Nulang jika saja dunia persilatan kembali menyerang Baiyu Jiao.
***
“Chu Langzhong, makanan sudah matang!” teriak Baiyu membawa dua piring sekaligus. Piring pertama dan kedua berisi tumis beberapa macam sayur dan ikan yang dimasak dengan cara di tim.
Tersenyum masam dikembalikan sumpit ke meja dan buru-buru mengambil air. “Kamu kurang pandai memasak,” tegur Chu Langzhong kemudian. Wajahnya berkerut-kerut tak tahan harus berkata apa agar pemuda tersebut tidak tersinggung.
Ditegur seperti itu Baiyu tersenyum, “Biasanya aku selalu mengandalkan Zhu Bu untuk mencampurkan bumbu-bumbu. Kalau Zhu Bu menyatakan makanan itu enak, berarti enak. Sebab terus terang bagiku semua sama saja.”
Mengertilah Chu Langzhong akan suatu hal. Penciuman Baiyu demikian baik hingga sedikit obat bius saja sudah memberi pengaruh. Namun indra pengecapnya tak berfungsi dengan baik. Mungkin inilah yang disebut kelemahan di balik kelebihan.
Meletakkan sumpit lalu menatap Baiyu seperti seorang kakek memperhatikan cucunya, Chu Langzhong bertanya, “Fisikmu sudah cukup kuat. Apa rencanamu berikutnya?”
Baiyu menggelengkan kepalanya seperti orang yang telah menyerah kalah. “Sebenarnya… aku ingin belajar ilmu pengobatan darimu. Tapi aku juga pernah mendengar Chu Langzhong telah bersumpah tidak menerima murid.”
Dihelanya nafas lega dan ia tersenyum “Tidak mengambil murid bukan berarti tidak mengangkat seorang cucu ‘kan? Seorang kakek mencurahkan semua ilmu pada cucunya bukan suatu hal yang melanggar sumpahku.”
Dalam sekejab, wajah Baiyu diliputi cahaya kegembiraan. Buru-buru ia turun dari kursinya, berlutut dan menyembah Chu Langzhong “Cucumu memberi hormat pada Gan Yeye[7].”
“Bangunlah! Lanjutkan makanmu dulu. Setelah itu baru kuajari dasar ilmu pengobatan. Oh ya, Baiyu, dengan keputusanmu ini, berarti kamu akan tinggal lama di sini. Setelah fisikmu sudah lebih kuat, lebih baik kamu bangun kamarmu sendiri. Jangan merebut dipan pasien terus-menerus!”
“Siap, Gan Yeye!” Baiyu menjawab dan kemudian dari bibirnya tersungging sebuah senyum yang amat tipis. Senyum karena sebetulnya ingin tertawa oleh karena usaha Chu Langzhong bergurau namun kedua belah bibirnya tak sanggup terbuka lebih lebar lagi. Karenanya hanya senyum geli yang nampak pada wajahnya.
*
“Jantung adalah rajanya organ, jantung tidak sadar, maka kedua belas organ pun dalam bahaya. Karena dalam jantung terdapat jiwa, dalam paru-paru terdapat semangat, dalam hati terdapat arwah, dalam limpa terdapat pikiran, dan dalam ginjal terdapat aspirasi…,” sembari memegang buku yang warnanya sudah kusam di tangannya, ia merapal kalimat-kalimat yang tertera dalam buku tersebut. Dalam saat yang bersamaan, kakinya juga terus melangkah, mondar-mandir dalam rumah kayu Chu Langzhong.
Tiba-tiba Baiyu berhenti mendadak. Wajahnya menunjukkan bahwa ia sedang serius memikirkan sesuatu “Senang yang berlebih menyebabkan jantung terluka, sedih pun akan melukai paru-paru. Dan marah melukai hati. Pikiran juga akan melukai limpa. Sedangkan takut melukai ginjal. Bukankah seseorang yang tidak merasakan emosi apapun akan berumur panjang?”
Chu Langzhong hanya tersenyum tanpa bermaksud menimpali satu patah katapun. Ia tersenyum sembari menggerus obat dalam penggilingan batu membiarkan Baiyu menganalisa sendiri isi buku yang sedang dibaca.
“Kemari Baiyu!” panggil Chu Langzhong menghadap patung manusia dari perunggu seukuran setengah tubuh manusia normal. Dalam patung perunggu tersebut banyak gambar titik bertebar sebanyak enam ratus lima puluh tujuh titik. Dan setiap titik disertai keterangan nama. Patung tersebut memang digunakan untuk keperluan pembelajaran titik akupuntur.
“Pelajari dan ingat baik-baik nama titik dan letaknya. Beberapa hari kemudian Gan Yeye akan mengujimu.”
Dilihatnya Baiyu menganggukkan kepalanya dengan yakin. Tersenyum senang, Chu Langzhong meninggalkan Baiyu bersama patung tersebut. Saat ini yang bisa dilakukannya hanya tersenyum. Bagaimana tidak? Baiyu hanya membutuhkan waktu sepuluh kali lebih singkat daripada waktu yang dibutuhkan mendiang muridnya untuk menguasai hal yang sama. Meskipun latar belakangnya seseorang yang dilatih kungfu sejak kecil, bukan ilmu pengobatan.
***
Memasuki sebuah kota yang terletak di tepi laut di arah Tenggara negara, Zhu Bu memutuskan untuk istirahat di sebuah penginapan. Tertera di papan nama kayu depan penginapan tersebut ‘rumah makan dan penginapan Yikou’.
Kala itu matahari juga sudah berada di ujung barat. Nyaris menenggelamkan diri di balik selimut bumi. Wajar jika tempat penginapan sudah ramai atau bahkan penuh.
Begitu masuk, Zhu Bu langsung menuju meja kasir, menanyakan apakah masih ada sisa kamar yang bisa disewanya. Pada saat yang sama, seorang murid Wen Daxia juga datang ke kasir dan ia juga menanyakan hal yang sama dengan Zhu Bu.
Orang yang berdiri di belakang meja kasir pun bingung harus memberikan satu-satunya kamar yang tersisa pada tamu yang mana. Jelas Zhu Bu datang terlebih dahulu. Tapi murid Wen Daxia ini sudah terkenal suka mencari masalah. Orang ini seperti tidak takut gurunya malu menyandang nama sebagai pendekar besar namun memiliki murid seperti dirinya.
“Ti.. tinggal satu, kedua gongzi. Tadi Gongzi ini,” menunjuk pada Zhu Bu, “datang duluan. Jadi sekarang sudah habis.”
Murid Wen Daxia tersebut, yang diketahui bernama Pan Xiao tiba-tiba menggebrak meja kasir hingga Zhu Bu pun kaget tak menyangka. Terlebih orang yang berdiri di belakang kasir yang sepertinya pemilik rumah makan dan penginapan itu. Tak juga kaget, ia juga takut. Takut Zhu Bu akan melakukan hal yang sama dan mereka berkelahi sehingga menghancurkan bisnisnya.
Jika biasanya Zhu Bu mudah naik darah, kali ini justru terlihat sangat tenang. “Tidak apa-apa. Berikan saja padanya. Apakah ada kamar lain? Yang jelek pun tak masalah. Toh hanya semalam.” Sembari itu, jemari tangan kanan Zhu Bu ditekuk seperti menunjukkan angka tiga dengan telunjuk, jari tengah dan jari manis terbentang. Namun jika biasanya ibu jari disembunyikan di balik telapak tangan, ujung ibu jari Zhu Bu ini dibiarkan nampak di antara jari tengah dengan jari manis.
Rupanya itu adalah komunikasi rahasia antara pengikut Baiyu jiao. Karena jika ditarik garis pada ketiga jari tersebut dan antara sendi dekat pangkal juga ditarik garis memotong ketiga garis pertama dengan ujung ibu jari sebagai pengganti lambang titik, maka akan didapat huruf ‘giok’[8].
Menyadari hal tersebut, sang pemilik penginapan sedikit bernafas lega. “Gongzi bisa pakai kamar putra saya. Kebetulan putra saya sedang pergi keluar kota beberapa hari.”
Kemudian pemilik penginapan menanyakan nama masing-masing tamu barunya dan mencatatnya di buku tamu, setelah itu berteriaklah ia pada pelayannya yang tidak sedang sibuk, “A Ding, hantarkan Zhu Gongzi ke kamar Ru’er. A Fu, Pan Gongzi dihantar ke kamar kita yang masih kosong itu.”
Dengan muka diselimuti kesombongan, Pan Xiao tak lupa tersenyum sinis pada Zhu Bu. Kemudian barulah ia mengikuti A Fu pergi ke kamarnya yang terletak di samping kiri rumah makan tentu saja dengan langkah kakinya petantang-petenteng layaknya orang besar.
“Zhu Gongzi bisa kungfu?” tanya A Ding entah pertanyaan itu diajukan asal atau ada tujuan tertentu. Dugaan Zhu Bu karena A Ding tahu kode yang ia tunjukkan pada pemilik rumah makan.
Pengikut Baiyu Jiao secara garis besar bisa dibedakan menjadi dua. Pesilat dan non pesilat. Para pesilat biasanya menduduki posisi penting dalam struktur organisasi. Baik sebagai pilar kiri dan kanan, pilar utama yang disebut zhuyaozhu, ketua juga wakil dengan penasihatnya pun posisi rendah seperti penjaga markas dan lain-lain.
Sedangkan non pesilat tidak memiliki kedudukan dalam struktur organisasi namun keberadaanya begitu penting bagi Baiyu Jiao. Biasanya mereka adalah golongan para pedagang yang kegiatan bisnisnya dalam perlindungan Baiyu Jiao. Mereka juga yang memberikan dana terbesar untuk kepentingan organisasi dalam Baiyu Jiao.
Ada pula dari golongan terakhir ini yang bukan pedagang namun mereka memiliki kedudukan dalam pemerintahan. Ibaratnya, merekalah yang akan melindungi kepentingan Baiyu Jiao jika sampai berbentrokan dengan pemerintah yang berkuasa. Tentu saja, golongan inipun juga dalam perlindungan pengikut Baiyu Jiao yang menguasai kungfu.
Kala itu, gaya Zhu Bu kala itu memang tak mirip dengan seseorang yang bisa dipastikan mahir kungfu juga tak tampak seperti golongan pedagang. Golongan terpelajar pun tak mirip. Mungkin lebih mirip seperti petani. Di kunciran rambutnya kali ini hanya terdapat sebuah pita kain berwarna biru tua yang senada dengan bajunya.
Padahal, seorang pengikut Baiyu Jiao yang memiliki kedudukan dalam struktur organisasi akan menggunakan hiasan di kuncir puncak kepala bertahtakan giok putih yang telah dipahat dan dihaluskan untuk menunjukkan identitasnya.
Dan untuk seorang zhuyaozhu, ia pastinya akan membawa dan menunjukkan plakat khusus yang juga dibuat dari giok putih diukir. Tanpa itu semua namun berani mengatakan dirinya adalah zhuyaozhu sama saja cari mati.
Jadi dalam gaya ini, meskipun ia menunjukkan kode tangan tersebut, orang-orang yang mengerti pun tak mengetahui apa kedudukannya dalam Baiyu Jiao.
“Kenapa?” tak bermaksud menjawab Zhu Bu balik bertanya.
“Kalau bisa kungfu akan baik tentunya. Orang bermarga Pan itu sudah sering menganggu kami. Heran… katanya murid pendekar besar, tapi kelakuannya tak sedikitpun mirip pendekar.”
Zhu Bu hanya tersenyum. Sebuah senyum misterius yang membuat orang lain bertanya-tanya apa yang sedang dipikirkannya. Setelah itu mendadak ia kembali ke sifatnya yang semula, seorang yang periang dan tak mau dikekang. Dalam sifat seperti itu, ia menimpali A Ding “Bisa atau tidak, semuanya harus dilihat keadaan. Kelak, Si Marga Pan itu pasti dapat ganjaran. Kamu tenang-tenang saja.” Kemudian ia kembali tersenyum. Sikapnya begitu santai. Seolah kelakuan buruk Pan Xiao tadi sama sekali tidak mengganggu dirinya.
*
Pan Xiao sedang duduk gelisah di belakang meja kayu menghadap pintu keluar rumah makan. Kala itu memang malam sudah cukup larut. Keberadaannya di sana duduk seorang diri dengan tak henti-hentinya memandangi pintu tentu saja menarik perhatian Zhu Bu yang ingin bersantai.
Terlihat di meja depan Pan Xiao hanya terdapat dua piring cemilan, tiga guci arak dan satu cangkir. Cangkir itu diisi arak kemudian dikosongkan, diisi lagi lalu kembali dikosongkan berulang kali sehingga cangkir tersebut lebih mirip tempat perhentian sementara sebelum dituang ke dalam mulut Pan Xiao.
Salah satu cemilan yang serupa dengan kacang tak henti-hentinya masuk ke dalam mulut Pan Xiao bergiliran dengan arak. Mungkin ini sudah piring kesekiannya. Sepertinya hanya para pelayan yang tahu jumlah pastinya.
Dengan melihat dari pintu rumah makan yang dibiarkan terbuka, jalanan nampak kosong. Angin laut berhembus masuk ke dalam ruangan rumah makan membawa bau asin yang khas. Sudah menjelang musim salju, membuat angin yang datang pun membuat sebagian besar orang menggigil kedinginan. Tentu saja kecuali Zhu Bu yang besar dalam tempaan udara dingin membeku sepanjang waktu.
“Aku mau fenjiu[9] dan sepiring daging,” Zhu Bu meminta sembari mengambil tempat di sudut ruangan. Di meja yang juga menghadap jalanan.
Rupanya karena mendengar suara Zhu Bu yang menggelegar itu, Pan Xiao terganggu hingga melirik ke arah Zhu Bu kesal. Zhu Bu sendiri membalasnya dengan sebuah senyuman kemudian mengacuhkan Pan Xiao menikmati pemandangan jalanan yang sepi dari orang-orang berlalu-lalang.
Belum lama Zhu Bu duduk, di saat yang bersamaan dengan pesanannya datang, Ting Xun, murid kedua Lie Jinjia masuk ke dalam rumah makan dan langsung menuju meja di mana Pan Xiao duduk. Kedatangannya itu langsung disambut makian Pan Xiao, “Gila kau! Buat aku menunggu begini lama.”
“Maaf, maaf. Aku pergi bersama shifu yang sedang mencari jejak istri dan anak Fan Shixiong. .Baru sekarang aku bisa pamit meninggalkan shifu di kamar. Dalam rangka apa kamu mencariku?”
“Aku menawarkan bisnis untukmu.” Ditariknya pundak Ting Xun agar makin mendekat lalu ia berbisik di telinga Ting Xun.
Nampaknya suatu bisnis yang sangat rahasia. Dengan kemampuan telinga Zhu Bu, ia tidak mungkin bisa mendengarkan bisikan tersebut walaupun jarak mereka cukup dekat. Tingkat pendengaran Zhu Bu layaknya orang normal, ia tidak memiliki pendengaran setajam Bai Lengyu.
Pan Xiao seperti sadar kalau orang yang duduk di sudut ruangan tertarik mendengar pembicaraannya, diliriknya Zhu Bu dengan wajah sangar.
“Silahkan lanjutkan pembicaraan rahasia kalian!” tegur Zhu Bu dengan memaksakan senyum. “Aku tidak akan bilang ke siapapun,” kali ini dikatakan dengan suara tertahan seolah sedang berbisik. Kemudian ia tertawa cekikikan.
Tangan yang memegang sumpit, batal memasukkan daging ke dalam mulut. Tangan tersebut diletakkan di atas meja. Dagingnya terguncang-guncang karena tawa Zhu Bu namun tidak juga jatuh. Padahal biasanya kalau orang tertawa cekikikan seperti Zhu Bu kali ini, kekuatannya memegang sumpit mengendur sehingga apapun yang dijepit sumpitnya bisa jatuh. Hal ini berbeda dengan Zhu Bu.
Kesal ditertawakan seperti itu membuat Pan Xiao menghampiri meja Zhu Bu. Ia menggebrak meja Zhu Bu. Meja itupun retak oleh ulahnya. Kemudian dinaikkan kakinya ke atas kursi di hadapan Zhu Bu. “Siapa namamu?” tanya Pan Xiao garang.
Tersenyum Zhu Bu baru menjawab, “Margaku Zhu.”
“Heh, babi[10]! Manusia bicara, babi tidak boleh dengar, tahu!?!” kemudian Pan Xiao tertawa puas.
Zhu Bu berdiri seolah-olah tak marah. “Gongzi, apakah dengan umur setua itu hanya mengenal satu kata zhu saja? Rupanya Gongzi, murid seorang pendekar besar adalah seseorang yang buta huruf. Malang sekali Wen Daxia yang mengambil dirimu sebagai murid.”
Ejekan Zhu Bu tadi membuat Pan Xiao marah, semarah-marahnya. Ia mengeluarkan pedangnya dari dalam sarung dan mengacungkan ujungnya ke muka Zhu Bu.
Zhu Bu sendiri bukannya takut justru tertawa geli. Tawanya itu terdengar seperti meremehkan ilmu pedang Pan Xiao. “Kamu minta kamarku, kuberikan. Apakah kau juga mau meja dan arakku?”
“Iya, bodoh! Sana masuk ke dalam kandangmu! Dasar babi bodoh!”
Zhu Bu berdiri diiringi mata pedang Pan Xiao yang terus mengikuti gerakannya. “Kau jangan pernah lupa, Gongzi!” bisiknya pelan-pelan mendekati telinga Pan Xiao. “Di Zhongyuan[11], yang menggunakan marga Zhu tak hanya satu atau dua orang. Termasuk di antara mereka adalah… guwen… dan… zhuyaozhu… Baiyu Jiao.” Sembari bicara, tangan Zhu Bu bergerak. Ketika ia selesai bicara, mata pedang Pan Xiao telah bersarang di dada Pan Xiao sendiri.
Gerakan Zhu Bu begitu cepat dengan disertai bisikan yang sengaja diperlambat membuat Pan Xiao tak menyadari apa yang sedang dilakukan Zhu Bu. Begitu ia sadar, semuanya sudah terlambat. Satu-satunya yang sempat dilakukan hanya melirik lukanya kemudian jatuh tanpa nyawa.
Gerakan pertama yang dilakukan Zhu Bu tadi awalnya adalah gerakan yang sering dilakukan Bai Lengyu pun Zhu Bu ketika mereka sedang berkelahi. Sebuah gerakan sederhana namun penuh taktik, misalnya saja mengecoh perhatian dengan bisikan seperti yang dilakukan Zhu Bu baru saja.
Kemudian, untuk menusukkan pedang yang sudah direbut, Zhu Bu menggunakan jurus ‘jarum dingin menembus sukma’. Karena gerakannya yang sangat cepat, di mata orang yang melihat akan mengira Zhu Bu melakukannya dalam satu jurus. Dan itulah yang sedang dipikirkan Ting Xun kali ini.
Zhu Bu melirik ke arah Ting Xun membuat Ting Xun cukup gemetar juga. Tapi egonya sebagai murid kedua Lie Jinjia membuat ia tak berani kabur. Terlebih kawan dekatnya sesama murid-murid dari aliran putih telah mati di tangan Zhu Bu.
“Masih tak lari juga? Kenapa? Mau balaskan dendam temanmu? Sini! Dengan senang hati kulayani.” Nada yang digunakan Zhu Bu begitu menantang. Namun sikap orangnya justru biasa saja. Ia menghampiri pemilik penginapan meminta maaf telah membunuh orang di tempatnya, memberikan uang lalu meninggalkan penginapan Yikou.
Akan tetapi, ketika salah satu kaki Zhu Bu telah berada di luar pintu rumah makan, Ting Xun mengejarnya dengan pedang terhunus. Tampaknya sudah tidak merasa terkejut dan takut akibat kejadian tadi.
Dengan salto meloncat ke atas, Zhu Bu berhasil menghindari terjangan Ting Xun. Namun akibatnya ia kembali berada di dalam rumah makan. Agar cepat selesai, Zhu Bu langsung menghajar Ting Xun dengan ilmu ‘tapak dingin bunga es’.
Sebenarnya gerakan tangan ketika melancarkan serangan dengan ilmu ini nampak biasa. Yang luar biasa adalah tenaga dalam yang dipancarkan keluar dan bekas luka yang dihasilkan. Karena pengikut Baiyu Jiao ditempa dalam udara beku, tentu saja ilmunya membuat lawan merasa kedinginan jika terkena tenaga dalam itu. Dan untuk ilmu ini, luka pada bagian tubuh yang terkena tidak berbentuk tangan, namun seperti bulatan yang garis luarnya tak beraturan bagai pecahan es berwarna kebiruan. Karena bekas luka aneh inilah ilmu ini dinamakan demikian.
Ilmu ini bisa diibaratkan adalah ilmu tapak dengan kesulitan tertinggi dalam Baiyu Jiao. Sama halnya dengan ilmu ‘pedang giok es’, ilmu tapak dingin bunga es membutuhkan dasar kuat baru seseorang bisa menguasainya. Namun ilmu ini tidak seeksklusif ilmu ‘pedang giok es’ karena setelah seseorang dinobatkan sebagai zhuyaozhu, ilmu ‘tapak dingin bunga es’ pasti diajarkan pada orang tersebut.
Menyadari lukanya akan bertambah parah jika terus nekat menghajar Zhu Bu, Ting Xun kabur keluar rumah makan kembali ke penginapan tempat gurunya menginap.
***
Kalau aku keluarkan tenaga dalamku, maka efek racun sial itu kembali kambuh. Mungkin karena sifat tenaga dalamku adalah yin, racun itu juga bersifat yin. Keduanya seolah jadi saling menambah.
Cara termudah sebenarnya memusnahkan ilmu kungfuku. Dengan demikian, mengeluarkan racun itu sudah bukan lagi hal yang sulit. Tapi Gan Yeye melarangku melakukannya… berarti… satu-satunya cara adalah mempelajari ilmu bersifat yang untuk menekan racun tersebut. Tapi dengan siapa aku belajar? Siapa yang mau mengajariku?
Sibuk memikirkan itu membuat Baiyu tak sadar kalau pintu gerbang telah berulang kali diketuk seseorang. Berulang kali pula orang tersebut meneriakkan nama Chu Langzhong memanggil-manggil tanpa ada yang menjawab. Bahkan Baiyu, satu-satunya orang yang sedang berada di dalam rumah juga tak segera menjawab.
Begitu Baiyu tersadar bahwa ada orang datang mencari Chu Langzhong, buru-buru ia keluar membukakan pintu. Di pihak lain, sang tamu tak lain adalah Lie Jinjia membawa Ting Xun yang terkapar menahan sakit dan rasa dingin di tubuhnya dibantu oleh Ru Wei. Tak sabar karena tak juga dibukakan pintu, Ru Wei terus mengetuk pintu tanpa sadar ada seseorang di balik pintu sedang membukakan pintu untuk mereka.
Alhasil, begitu pintu terbuka, dahi Baiyu kena sasaran ketuk tangan Ru Wei. “Aduh!” seru Baiyu lebih karena terkejut.
Sebenarnya yang terkejut tak hanya Baiyu. Semua orang terkejut. Lie Jinjia dan muridnya terkejut karena yang dijumpai bukan seorang kakek tua berusia enam puluhan, sedangkan Baiyu terkejut karena yang datang adalah orang-orang yang pernah menginginkan nyawanya.
“Ini benar kediaman Chu Langzhong?” Lie Jinjia bertanya melirik halaman dan ruangan dalam dari pintu rumah yang dibiarkan terbuka.
Baiyu mengangguk membenarkan. “Gan Yeye sedang keluar,” melirik ke arah Ting Xun, Baiyu memberanikan diri bertanya, “Dia kenapa?”
“Dasar Baiyu Jiao sial!” umpat Lie Jinjia. Terpaksa Baiyu membuat kesimpulannya sendiri.
“Masuklah! Tak lama lagi Gan Yeye pasti pulang.” Dibukakan pintu gerbang lebar-lebar. Demikian juga pintu rumah. Lalu ia menyuruh Ru Wei menaruh Ting Xun di dipan yang dulu ditidurinya.
Penasaran tentu saja meliputi perasaan Baiyu. Bagaimanapun ia adalah pengikut Baiyu Jiao. Sekalipun Fan Ku tak lagi mau mengakuinya, setidaknya ia telah menghabiskan waktu hampir dua puluh tahun dalam lingkungan Baiyu Jiao. Karenanya ia mendekati dan memeriksa keadaan Ting Xun.
Dia pasti terkena ilmu ‘tapak dingin bunga es’.
Setelah memeriksa bekas luka di punggung Ting Xun, Baiyu memeriksa denyut nadi.
Sebenarnya sebagian racunnya sudah keluar. Tapi… yang menguasai ilmu ini dengan benar-benar baik bukankah hanya Die? Namun Die ketika mengeluarkan ilmu ini pasti menggunakan tangan kanannya. Sedangkan…. luka ini tidak mungkin dihasilkan dengan tangan kanan. Arahnya berbeda. Pasti dengan tangan kiri.
Yang belajar ilmu ini dengan tangan kiri…. hanya A Bu! Apakah berarti ilmunya sudah meningkat demikian pesat?
“Siapa yang melakukan ini?”
“Seorang pemuda. Mungkin seusiamu. Pemilik penginapan mengatakan ia mendaftarkan diri dengan marga Zhu,” jawab Lie Jinjia malas-malasan. Ia heran apakah untuk menghilangkan racun tersebut harus tahu dulu siapa yang turun tangan.
“ZHU?!?” seru Baiyu kaget membuat Lie Jinjia tak kalah kaget.
“Kamu kenal dia?” pandangan mendelik Lie Jinjia membuat Baiyu sadar tindakannya begitu mencurigakan.
“Tidak… tidak tahu… cuma… sepertinya… pernah tahu seseorang bermarga Zhu. Tapi orang bermarga Zhu juga banyak… entahlah…”
Jawaban terputus-putus yang diberikan Baiyu justru membuat Lie Jinjia tambah penasaran. Terus-menerus diamatinya Baiyu yang berusaha bersikap normal dan menyibukkan diri dengan mengamati Ting Xun.
Gaya berdiri Baiyu sambil menopang dagu dengan tangan kanannya seolah-olah ingin mengatakan ia sedang berpikir sangat serius mencari akal bagaimana mengeluarkan racun dari dalam tubuh Ting Xun. Namun apa yang dipikirkan sebenarnya tidak jelas. Terus melompat kesana-kemari karena terlalu banyak hal yang menyita perhatian.
“Baiyu! Baiyu! Ada tamu yang datang?” teriak Chu Langzhong dari luar.
Bersuka-ria Baiyu menyambutnya berlari keluar hingga menjumpai Chu Langzhong. “Gan Yeye…, orang yang di dalam itu yang mengincar nyawaku,” bisik Baiyu dengan nada mirip seorang anak yang melapor pada ibunya atas tindakan nakal teman sepermainannya.
“Dia siapa? Kenapa sampai ke rumahku?”
“Terkena ilmu ‘tapak dingin bunga es’,” Baiyu kembali berbisik kali ini serius seperti biasanya.
Chu Langzhong mendesah dan tersenyum kaku, “Ilmu itu kamu pasti sangat ingat. Bagaimana cara penanganannya kamu juga seharusnya tahu.”
“Tapi dia–”
“Lakukan, Baiyu! Kamu bukan lagi pengikut Baiyu Jiao. Posisimu harus netral.”
“Gan Yeye juga tak mau mengobati pengikut Baiyu Jiao,” protes Baiyu cemberut. Baru kepada Chu Langzhong seorang Baiyu yang dulunya adalah Bai Lengyu menjadi kekanak-kanakan seperti layaknya Zhu Bu.
“Kesalahan langzhong terbesar seperti itu biarlah hanya Gan Yeye yang menanggung.” Menyadari Baiyu masih diam berdiri tak rela beranjak, Chu Langzhong buru-buru menambahkan, “Baiyu, dalam peristiwa yang lalu itu tidak adakah efek positif yang kamu rasakan? Kamu bukan lagi Bai Lengyu. Kamu juga tahu bahwa ayahmu masih hidup dan ia sayang padamu hingga susah payah berusaha mencarimu. Tak hanya itu, semua ilmuku juga kupercayakan padamu. Apakah semua itu tidak sebanding dengan sebuah status calon jiaozhu Baiyu Jiao?”
Bagaimanapun juga Baiyu sadar bahwa kemalangannya harus melepas status sebagai calon jiaozhu juga memiliki efek lain yang sebenarnya berarti baginya. Apalagi Chu Langzhong benar-benar mencintainya juga mempercayai semua ilmu yang telah dikuasai kepadanya. Hatinya tidak terbuat dari batu.
Terlebih lagi, baru di tempat inilah hatinya terasa begitu bebas. Tak ada beban yang harus ditanggung sebagai seorang zhuyaozhu sekaligus calon jiaozhu. Tak ada lirikan mata penuh kecemburuan dan dengki. Chu Langzhong juga tak membebaninya harus begini, begitu dan segala macam. Ia belajar sesuka hati. Tertawa sesuka hati dan cemberut sesuka hati. Bersama Chu Langzhong, apapun emosi yang ia rasakan Chu Langzhong membiarkan ia mengeluarkan.
Padahal dulu, dalam lingkungan Baiyu Jiao, Fan Ku tak akan membiarkan ia mengeluh. ‘Semua tugas harus dikerjakan sebaik mungkin’. ‘Semua keluhan harus ditahan sebaik mungkin’. ‘Jangan sampai musuh mengetahui kelemahan kita’. Ia dibiasakan menanggung beban tugasnya juga tugas Zhu Bu. Memang Zhu Bu juga selalu menyertai setiap ia melaksanakan tugas karena kelemahan yang telah menjadi rahasia umum bagi petinggi Baiyu Jiao.
Mengingat itu semua, akhirnya Baiyu menurut pada perintah Chu Langzhong, kembali masuk ke dalam rumah guna mengobati Ting Xun. Di belakangnya, Chu Langzhong mengiringi kepergian Baiyu dengan hembusan nafas lega.
“Apa yang kamu lakukan?” tegur Lie Jinjia melihat Baiyu hendak memindahkan Ting Xun dari dipan.
“Mengobati,” Baiyu menjawab santai sambil terus berusaha memindahkan Ting Xun. Sama sekali ia tidak menoleh pada sang penanya ketika memberikan jawaban.
Buru-buru Lie Jinjia menghalangi Baiyu. Ia tidak percaya Baiyu dapat menyembuhkan muridnya. “Mana Chu Langzhong? Mengapa ia tidak juga masuk?”
“Gan Yeye sibuk mengurus bahan-bahan obatnya. Dia minta aku yang melakukan.”
“Memangnya kamu bisa?”
Memandangi Lie Jinjia sambil menghela nafas baru Baiyu membalas, “Percaya atau tidak terserah. Gan Yeye yang menyuruh aku mengobati muridmu. Kalau Daxia tidak percaya, silahkan tinggalkan rumah kami. Tak ada lagi yang dapat kami lakukan.”
Mamandangi wajah Baiyu yang angkuh membuat Lie Jinjia sadar mungkin ia telah melukai perasaan pemuda tersebut. Perlahan ia mundur tak lagi menghalangi Baiyu melanjutkan apa yang telah dikerjakan.
“Apakah ini artinya… Daxia mengizinkan aku mengobati muridmu?” melihat anggukan Lie Jinjia, Baiyu melanjutkan, “Nah, kalau muridmu sembuh, apa yang akan kau berikan padaku?”
“Apapun yang kau minta,” pastinya Lie Jinjia mengira yang diminta Baiyu apalagi kalau bukan emas dan perak.
Tersenyum puas, Baiyu mengangguk. “Bantu aku masukkan dia ke dalam kuali besar itu!”
“Hei, kau masih bisa keluarkan tenaga dalammu ‘kan?” tanya Baiyu kepada Ting Xun dalam kuali. Ting Xun mengangguk membenarkan dan Baiyu bicara lagi, “Kalau begitu pusatkan racun dalam tubuhmu ke tangan. Ingat! Jangan salah memusatkan racun itu ke jantung, kau mati aku tak mau tanggung. Aku akan bantu prosesnya dengan akupuntur.”
Kembali Ting Xun mengangguk. Dengan anggukan tersebut, Baiyu memulai menancapkan beberapa jarum perak masuk ke dalam kulit Ting Xun di beberapa titik meridian.
*
Api telah menyala cukup lama di bawah kuali. Namun Ting Xun tidak merasakan panas sedikitpun. Dan ketika disentuh, air tersebut memang sama sekali tidak terasa panas, hanya sedikit hangat. Itu berarti tanda racun dalam tubuh Ting Xun dalam proses pengeluaran. Racun yang keluar bercampur dengan air. Karena racun tersebut dihasilkan dari latihan di bawah suhu beku, maka dinginnya racun menetralkan panas air dalam kuali.
“Bukankah Chu Langzhong pernah bersumpah tak mau terima murid lagi? Mengapa sekarang ada pemuda yang kelihatannya sudah menyerap begitu banyak ilmumu?”
“Benar… aku pernah mengucapkan sumpah itu di hadapan seorang prajurit muda yang menolongku. Tapi ketika aku melihanya, tak ada yang dapat kulakukan untuk menahan keinginan itu.”
Chu Langzhong berdiri memandangi Baiyu yang masih konsentrasi mengeluarkan racun dari dalam tubuh Ting Xun. Mata Lie Jinjia pun bergerak ke arah yang sama. Bertumbukan dengan sosok Baiyu. “Bagaimana kau melihatnya waktu itu?”
“Di bawah tebing dalam hutan, pingsan,” adalah keputusan bersama antara Chu Langzhong dengan Baiyu untuk menjawab semua pertanyaan berkaitan dengan masa lalu Baiyu dengan jawaban seperti itu. “Ketika sadar, tak satupun diingat. Bahkan namanya sekalipun. Tapi dia sangat cerdas. Sangat memuaskan melihat dia menyerap pengajaranku sedemikian cepat,” Chu Langzhong selalu tersenyum puas bila mengingat seberapa cepatnya Baiyu belajar dari dia.
Ketika itu, Baiyu tersenyum dan mencabut semua jarum perak yang ditancapkan pada Ting Xun. Ia berlalu sembari menyuruh Ru Wei mengeluarkan Ting Xun dari kuali dan membaringkannya kembali ke dipan.
“Dia sudah sembuh. Semua racun sudah aku keluarkan. Istirahat sehari pun sudah cukup untuknya,” mengibaskan tangannya yang lelah akibat terlalu banyak memegang dan meenekan jarum perak, Baiyu mendekati Lie Jinjia dan Chu langzhong.
Chu Langzhong mengangguk. Bibirnya juga kembali menyunggingkan senyum tanda kepuasan.
“Apa yang kamu minta?” tanya Lie Jinjia setelah melihat kondisi muridnya yang memang sudah jauh lebih baik. Selain rasa lemas akibat mengeluarkan tenaga dalam untuk mengeluarkan racun tersebut, tak ditemukan sedikitpun tanda racun masih tersisa.
“Mudah. Aku cuma minta rapalan ilmu ‘satu tangan menjemput satu nyawa’ perguruanmu.”
“Baiyu!” tegur Chu Langzhong. Ia paham apa yang akan dilakukan Baiyu setelah mendapat rapalan ilmu tersebut.
Keterkejutan Lie Jinjia tentu saja melebihi keterkejutan Chu Langzhong. Keterkejutan yang kemudian membuat kecurigaannya keluar. Siapakah Baiyu? Apakah ia hanya pemuda desa biasa yang jatuh dari tebing? Ataukah mungkin… seorang pesilat kalah tarung yang melarikan diri?
“Kenapa terdiam? Sebelumnya Daxia sudah berjanji memberikan apa yang kumau, bukankah begitu?”
“Baiyu, untuk apa rapalan itu?”
“Gan Yeye…,” kali ini dengan nada manja. “Baiyu cuma ingin tahu saja. Ilmu itu dikenal tanpa ampun, siapapun tidak ada yang pernah berhasil mengelak ketika berhadapan dengan ilmu tersebut.”
“Darimana kamu tahu itu?” yang bertanya adalah Lie Jinjia.
“Dengar-dengar.”
Dipaksa oleh janjinya sendiri dan tak ingin predikat pendekar besar luntur akibat tidak memenuhi janji membuat Lie Jinjia beralih pergi ke meja tulis. Di sana, pada selembar kertas, ia menuliskan rapalan ilmu yang diminta Baiyu. Dalam pandangan matanya ketika menatap Ting Xun dan Ru Wei, nampak sekali kedua muridnya tidak suka pada Baiyu. Sekalipun Ting Xun, yang nyawanya diselamatkan oleh Baiyu.
Diletakkan kuas ke tempatnya. Tinta pada kertas tersebut tentu belum mengering sempurna. Ia memperhatikannya dengan baik lalu membuang nafas. “Hanya lihat kan? Waktumu tiga puluh hitungan untuk melihat rapalan ini. Dari sekarang,” setelah itu Lie Jinjia segera menghitung cepat.
Berlarian Baiyu mendekati Lie Jinjia. Tentu saja karena daya penglihatannya tidak sebaik daya pendengaran dan penciuman. Ketika hitungan Lie Jinjia berakhir, Baiyu tersenyum. “Kejam. Benar-benar kejam. Mempelajari ilmu pengobatan dengan Gan Yeye tetap pilihan terbaik.”
“Sekarang kamu sudah sadar?”
“Sudah Gan Yeye. Seumur hidup Baiyu akan memperdalam ilmu pengobatan saja. Tak tertarik dengan ilmu kungfu.”
Di saat yang sama, Lie Jinjia membakar kertas tersebut dalam perapian di dalam rumah Chu Langzhong. Api dengan segera melalap habis kertas tanpa meninggalkan sisa. Baiyu mengacuhkannya. Karena walaupun kertas itu telah menjadi abu, ingatan akan rapalan ilmu tersebut telah terpatri dalam kepalanya.
Tak bicara sepatah katapun, Chu Langzhong membelakangi Lie Jinjia yang membakar kertas rapalan memandangi langit di kejauhan dari jendela rumahnya yang terbuka. Ketika tatapan matanya turun memandangi semak perdu yang membingkai jalan setapak menuju rumahnya, berjibakulah matanya dengan sosok yang tak mungkin salah dikenali oleh seorang Chu Langzhong.
Terburu-buru ia keluar dari rumah dengan berusaha mengurangi sedikitpun kecurigaan para tamunya. Bahkan Baiyu sekalipun tak akan dibiarkan sadar kemana ia pergi kali ini dan untuk apa ia pergi.
“Chu Langzhong. Bai Lengyu bagaimana? Apakah nyawanya berhasil kau selamatkan?”
“Bai Lengyu sudah mati. Pulanglah,” kata-katanya ini terdengar lebih halus daripada saat Fan Ku membawa Bai Lengyu ke rumahnya.
“Chu Langzhong, kau bohong ‘kan? Aku tahu kau pasti berhasil menolong nyawa Bai Lengyu.”
“Sekali lagi kukatakan Bai Lengyu sudah mati.” Melirik ke dalam sesaat, ia menambahkan, “Yang ada hanya Baiyu, cucu angkatku. Mengerti? Pulanglah! Aku tidak mau cucuku dapat masalah. Ia sedang mengobati murid Lie Jinjia.”
“Baiyu?” sesaat kemudian Fan Ku tersadar bahwa Baiyu pastinya adalah nama baru yang diberikan Chu Langzhong pada Bai Lengyu.
“Kalau begitu tolong berikan bungkusan ini padanya. Ini baju-bajunya, zheng kesayangan juga tabungannya selama ini,” diberikannya sebuah bungkusan yang cukup berat kepada Chu Langzhong.
Begitu sampai di tangan Chu Langzhong, bungkusan tersebut dibanting ke tanah. Beberapa isinya berhamburan keluar. “Kukatakan sekali lagi padamu, Fan Ku, pergi! Kau sendiri sudah berjanji melepaskan hubungan guru dengan murid di antara kalian. Apakah kau mau ingkari janjimu itu? Kau ingin kami kena musibah, hah?”
Fan Ku memandangi Chu Langzhong memelas, berharap bungkusannya tetap diberikan kepada Baiyu.
“Aku sudah tahu di hatimu masih ada keponakanku. Aku juga tahu kesulitanmu saat menolak keponakanku. Semua itu aku sudah tahu. Tapi istri dan anakku dibunuh oleh Baiyu Jiao tetaplah suatu kenyataan. Aku mohon, anggaplah lakukan ini untuk Xiaoxia, jangan ganggu aku … juga cucuku.”
Fan Ku tetap berdiam bersikeras agar barang-barang tersebut dibawa pada Baiyu.
Chu Langzhong menghembuskan nafas lelah. Sekalipun ia rajin melatih diri dengan ilmu ‘lima hewan bermain’ ciptaan Hua Tuo dan fisiknya nampak sama bugar dengan para pesilat seusia di bawah dia sekalipun, namun berhadapan dengan Fan Ku membuat ia benar-benar lelah. Membuat ia kembali merasakan proses penuaan yang berjalan seiring usianya yang terus bertambah. Ia benar-benar lelah secara psikis.
Karena Baiyu Jiao – aliran yang kini dipimpin Fan Ku – ia kehilangan istri sekaligus anaknya. Karena Fan Ku, keponakan yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri mengalami patah hati demikian parah. Dan dari Fan Ku pula Baiyu berasal. Begitu susah mengubah pendirian Baiyu yang telah dididik dengan ketat oleh Fan Ku berdasarkan aturan dan tata cara Baiyu Jiao.
“Ia sedang bersusah payah mempelajari ilmu pengobatan, melupakan masa lalunya. Kau memberikan semua barang-barang ini padanya hanya akan membuatnya sulit meninggalkan masa lalu, mengerti?”
“Mengapa Chu Langzhong bertekad memisahkan Bai Lengyu dari kami?”
“Pulanglah! Sebelum Lie Jinjia atau murid-muridnya menyadari keberadaanmu ini.”
Berdiri memandangi Chu Langzhong dengan tatapan memelas pun tak menggoyahkan hati Chu Langzhong. Kecewa, dengan langkah perlahan, Fan Ku mundur sembari tetap berharap Chu Langzhong mengizinkan ia melihat sebentar saja keadaan Baiyu.
Begitu Fan Ku pergi tanpa membawa kembali barang-barang yang mau diserahkan kepada Baiyu, Chu Langzhong memutuskan segera menguburkan semua benda itu. Barang itu tak bisa dibuang karena bagaimanapun juga memiliki kenangan bagi Baiyu. Tapi barang itu juga tak boleh dibawa pulang. Karena keberadaannya hanya akan membuat Baiyu ragu-ragu meninggalkan Baiyu Jiao selamanya. Terlebih adanya Lie Jinjia dan kedua muridnya di rumah Chu Langzhong.
***
[1]En gong : tuan penolong
[2]Muqin: panggilan ke ibu bentuk formal
[3]Hua Tuo : bapak pengobatan China yang pertama kali melakukan pembedahan dengan pembiusan; tabib yang mengobati Guan Gong ketika terkena panah beracun dari musuhnya.
[4]Erge : panggilan untuk kakak laki-laki (baik saudara kandung pun saudara angkat) di urutan kedua
[5]Laobo : paman tua
[6]Mei : atau meimei berarti adik perempuan
[7]Gan Yeye : kakek angkat.
[8]玉
[9]Fenjiu : salah satu nama arak China yang terkenal dan sudah dikenal sejak masa Dinasti Utara dan Selatan.
[10]Babi dalam bahasa China juga dilafalkan Zhu dan memiliki nada yang sama dengan Zhu marganya Zhu Bu, yaitu nada 1. Marga Zhu hanzi-nya ‘诸’ sedangkan zhu yang berarti babi hanzi-nya ‘猪’.
[11]Zhongyuan : daratan tengah. Orang-orang China di masa lalu menganggap negara mereka adalah pusat dunia dan negara lain kedudukannya di bawah mereka. Karena itu mereka menyebut China sebagai Zhongyuan