Lanjut ke konten

Senja Silam

Ketika tersadar, aku sudah berada di puncak bangunan. Tinggi. Tinggi sekali. Memandang ke bawah, atap rumah-rumah terlihat seperti semut merah berkerumun. Tak beraturan.

Tak ingat aku sudah berapa lama berada di tempat ini; dan mengingatnya pun membuat kepalaku pening tak terkira. Ya Tuhan, apa yang terjadi padaku sebelumnya.

Angin berhembus; dari sepoy hingga bertambah keras seolah hendak melarikan jiwaku. Langit temaram senja menghilang. Riuh mega tebal berlarian; berlomba menjadi yang pertama.

Hujan datang, badai mendekat.

Tanpa pedulikannya, aku terus mengawasi sekeliling. Entah apa yang kucari hingga seorang perempuan yang tengah sibuk dengan canda tawa menarik perhatianku. Kepadanyalah aku pergi.

Aku datang tepat di hadapannya tersenyum dan melambaikan tanganku. Ia melihat namun mengacuhkan diriku dan tetap sibuk dengan canda tawa bersama dua kawannya. Ia terus berlalu dan berlalu meninggalkan aku semakin jauh. Sungguh aku tak rela. Aku juga ingin bercanda dengan dia; berkenalan dengan kedua kawannya.

Tapi… Tapi… kedua kawannya juga tidak pedulikan aku. Oh… Tidak! Seorang sungguh tak pedulikan aku sedangkan sisanya berusaha tak melihatku. Apakah aku bersalah pada mereka?

Aku bingung. Aku takut. Aku takut pada keadaan ini…. Tanpa tersadar, aku mulai terisak. isakan kecil dan perlahan berderai seperti hujan yang turun di senja itu.

Lalu, muncul seorang perempuan lain. Perempuan ini muncul dari balik perempuan penuh canda tawa tadi. Kaget aku melihatnya. Sedari awal, sungguh tak sekalipun aku menyadari ada di sana. Siapa dia?

Dia tersenyum padaku. Senyum yang hangat namun jauh. Sekalipun tak dapat melihat wajahnya dengan jelas, aku yakin ia sedang tersenyum. Di saat itu, suara perempuan tadi terdengar berkata padanya, “Biarkan dia absen dan cerita padamu.” Mendengarnya, perempuan ini mengangguk dan berkata padaku, “Mari, kita ke sana.”

Tanpa sadar, aku mengikuti langkahnya. Ringan, seperti terbang. Atau mungkin kami sungguh sedang terbang. Aku tak berani memandang sekeliling selain tubuhnya yang berjalan di depanku.

Ia berhenti. Tempat perhentian itu adalah gedung tempat aku tersadar. Tergagap aku ingin bertanya padanya namun gerakan tangan dan jawaban berikutnya begitu mengejutkan aku.

“Tak sadarkah dirimu?” tanyanya dengan nada mengambang. “Kamu… sudah… mati.”

Aku berteriak. Menggelepar seperti ikan dilempar ke udara. Mana mungkin?! Mana mungkin?! “Terimalah dan ingatlah perlahan,” katanya lagi.

Aku membisu seketika. Entah mengapa perintah tersebut sanggup membuatku membisu. Perempuan ini sepertinya memiliki kekuatan mistis. Sesuatu yang membuat kau tak sanggup berkata ketika ia telah bicara. Atau mungkin aku yang terlalu polos. Aku menatapnya perlahan. Dia menganggukkan kepala; ringkas namun jelas.

Mendadak sebuah ingatan muncul dalam kepalaku membuat mulutku terbuka dan berkata, “Dia… orang itu… mendorongku dari atas sini.”

“Lalu?” tanyanya lagi. “Siapa orang itu?” mendengar pertanyaan terakhir, aku terisak dan tersedu. “Aku… tak ingat. Aku tak ingat,” jawabku kemudian.

Dia menghela nafas. Helaan yang tak kupahami sedikitpun. Ia hanya menghela nafas lalu menyentuh kening dengan telunjuknya. Sesaat kemudian dia berkata, “Mungkin, tak lama lagi, kau akan menemukan jawaban itu.”

Aku tak bergerak sedikitpun. Menjawab dengan sebuah huruf pun tidak. Aku diam. Berdiri mengamati dia. Wajahnya yang separuh tak nampak. Namun separuhnya lagi memancarkan keanggunan dan kecantikan klasik tiada tara. Tersenyum ia seperti mengizinkan aku melakukan hal itu. Lalu perlahan… dia menjauh dan semakin menjauh mendekati perempuan yang kini telah berpisah dengan kedua kawannya.

Tinggalkan sebuah Komentar

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: