Lanjut ke konten

12 – Menikah

Bagian satu

Berkuda dan naik kereta kuda? Walaupun berkuda cukup melelahkan, gue tetap pilih yang pertama. Toh naik kereta tak senyaman mengendarai mobil. Ketemu jalan berbatu sedikit saja sudah membuat badan condong ke sana ke mari. Kepala jadi taruhan, terantuk berapa kali pada badan kereta. Hal itu benar-benar tidak nyaman.

Sepanjang perjalanan meninggalkan Batavia dulu, gue lewatkan segala pemandangan jalur Pantura di abad ke-18 ini. Tentu saja penyebabnya adalah kekalutan karena mendadak miskin. Kali ini gue bertekad untuk menikmati semuanya. Sebuah tekad yang membuat tunangan gue—Hien Nio sudah bisa dikatakan resmi menyandang status calon istri Enru Tirtonegoro—merasa heran.

Gadis itu duduk di dalam kereta kudanya dengan sebentar-bentar melihat gue yang berkuda tak jauh dari dia. Gue tahu itu dari bisikan Asiu yang juga berkuda menemani.

Apakah karena dia takut gue akan melarikan diri? Atau dia penasaran dengan tingkah tunangannya yang katro? Ah… entahlah…. Gue ga peduli. Tak lama lagi status gue sudah akan berubah menjadi menantu keluarga Ni. Lebih baik gue puaskan diri menikmati masa lajang ini.

Ahnia,” panggil Hien Nio.

Gue tolehkan wajah padanya. Rupanya ia meminta bantuan gue agar bisa turun dari kereta. Dia memang lebih manja dari Lala. Mungkinkah karena kakinya yang kecil itu?

Sepertinya gue lupa cerita bahwa kaki Hien Nio mengalami pengikatan kaki. Memang ini adalah hal wajar ditemui dalam masyarakat Tionghoa golongan menengah ke atas. Katanya, semakin kecil kaki seorang gadis, semakin cantik dan berkelaslah dia.

Ketip, pelayan pribadinya bercerita dengan mengagung-agungkan kaki Hien Nio yang disebutnya indah bagaikan bunga lotus. Tapi gue ga tahu di segi mana indahnya. Gue hanya tahu, karena kaki seperti itulah, Hien Nio sulit kabur dari berandalan bejat dan akhirnya peristiwa naas itu terjadi. Tapi gue tetap heran, bagaimana dia bisa keliaran sendirian sampai bertemu berandalan itu? Sepertinya hal tersebut tetap akan menjadi misteri karena Hien Nio tak pernah mau mengungkit dan membicarakan bahkan sekalipun kami hanya berdua.

Tersenyum pada Hien Nio, gue turunkan dia dari kereta dengan mengangkat tubuh dan menggendong turun. Gue baru sadar pinggang gadis ini begitu kecil. Karena kecilnya, kedua telapak tangan nyaris saling bertemu saat memegang pinggang tersebut.

Saat ini kami baru saja sampai di muka pintu sebuah penginapan. Hari memang sudah sore dan menyusuri pantura dalam masa ini di kala malam bukanlah pilihan baik, terlebih dengan membawa seorang gadis. Hal terburuk yang mungkin terjadi adalah menjadi korban perampokan.

Pantura saat ini bukanlah seperti pantura yang pernah gue lalui ketika pulang kampung bersama Papa dan Mama. Seperti yang sudah pernah gue katakan, saat ini, setiap kota pun desa berjarak jauh satu sama lain dan hutan menjadi pengapit di antara kedua jenis pemukiman itu. Maka, gue tak mengeluarkan protes karena lagi-lagi Ni Hoe menghentikan perjalanan begitu menemukan penginapan di kota ini.

Kembali pada Hien Nio. Nampaknya dia sudah memulai sandiwara kami sebagai pasangan yang saling mencintai. Ketika Ketip menawarkan diri membantu memasuki penginapan, Hien Nio justru memilih jalan berdampingan dengan gue. Beberapa kali gue sadari dia mencuri-curi senyum ketika kami masuk ke dalam penginapan layaknya pasangan yang dimabuk cinta.

 

Bagian dua

Semakin mendekati Batavia, Asiu terlihat bertambah senang. Gue ga bingung melihat ulahnya, karena di kota itulah dia mendarat pertama kali dari China.

Tapi perasaan gue tak sama dengan Asiu. Perjalanan ini gue lalui tanpa ada rasa senang, sedih pun gejolak perasaan lain. Hati rasanya begitu datar. Gue nikmati setiap pemandangan lalu melupakan karena pemandangan berikutnya. Yang gue pikirkan selama di perjalanan ini adalah bagaimana hidup gue kelak. Seperti apa mertua gue dan bagaimana hubungan beliau dengan cukong bermarga Yo itu.

Sekarang, daerah yang kami lalui lebih banyak dihuni oleh rumput dan pepohonan. Namun kelak, semua pohon ini akan tumbang. Kedudukannya digantikan oleh pohon beton. Yah, dari keterangan jarak yang disebut Ni Hoe, gue kira tempat inilah yang disebut Bekasi di masa depan.

Di tempat ini pula, Ni Hoe tak lagi menghentikan rombongan. Dia memang harus melakukan itu jika ingin sampai rumah sebelum pintu gerbang kota Batavia ditutup.

Gue lihat tak jauh dari jalan besar yang kami lalui adalah perkebunan tebu milik Yo Sinshe. Kemudian, berselang tak lama setelahnya, rumah yang sangat gue kenali sebagai tempat tinggal Peng Guan. Rumah kecil itu terlihat seperti rumah mainan dari balok plastik dilihat dari tempat gue saat ini.

Pada saat itulah, sekumpulan perasaan membanjiri hati gue. Getir rasanya mengingat gue juga pernah tinggal di rumah itu. Sejuta pertanyaan yang timbul kemudian menepis perasaan itu. Apakah Peng Guan juga memainkan peran penting dalam kejatuhan gue? Dia anak buah Yo Sinshe. Kalau itu benar terjadi, gue jamin, dia tak akan lolos dari incaran. Tapi mudah-mudahan saja tidak. Semoga orang yang berada di balik kehancuran gue adalah orang lain. Bagaimanapun gue punya hutang budi padanya. Pada mereka.

Toahnia,” seru Hien Nio membuat seluruh rombongan berhenti. “Bolehkah gua ikut berkuda dengan Ahnia?”

Ni Hoe melirik pada gue. Lirikan yang hanya gue jawab dengan sebuah senyum. Sementara itu, Hien Nio dibantu Ketip naik ke atas punggung kuda gue.

Setelah dia naik dan duduk dengan benar di belakang, gue merasakan hangatnya sepasang tangan memeluk pinggang. Dan punggung gue juga terasa hangat. Sepertinya dia benar-benar memeluk gue rapat. Mungkin takut jatuh.

Toahnia,” kali ini Asiu yang memanggil gue. Dengan memamerkan senyumnya, ia mengerling. Jelas berniat menggoda gue. “Kalian ini sepasang ayah dan anak atau sepasang kekasih?”

Rasanya pipi gue memerah. Dia benar-benar tak pernah lupa untuk membuat gue ingat bahwa Hien Nio lebih pantas menjadi anak daripada istri. Di saat yang sama, pelukan Hien Nio semakin erat, seolah-olah menunjukkan hubungan kami benar-benar bukan ayah dan anak. Apakah remaja ini mulai merasakan masa cinta-monyet? Ataukah hanya berharap sandiwara ini bisa berjalan dengan lancar?

Gue tepuk lembut tangannya beberapa kali. Maksud gue memintanya tetap tenang. Tak akan ada yang mencurigai sebab sesungguhnya pernikahan kami yang tak lama lagi. Semua pasti akan berjalan dengan baik.

 

Bagian tiga

Gue harus melupakan rencana pernikahan gue dengan Lala. Bahkan konsep acara yang sudah dia pikirkan berbulan-bulan sebelum gue berencana melamarnya juga harus dilupakan. Sebenarnya konsep yang diinginkan Lala sangat sederhana, tapi menurut gue keren juga.

Pernikahan dalam bayangannya itu diadakan di areal terbuka semacam taman. Kami undang pastur untuk upacara pernikahan lalu dilanjutkan dengan jamuan makan prasmanan di tempat itu juga. Sayang… semuanya kini hanya angan-angan yang tak mungkin diraih.

Beberapa hari lagi yang menjadi istri gue bukanlah perempuan bernama Lala, namun Hien Nio. Dan keluarga Ni juga telah menyiapkan segala keperluan pesta pun upacara pernikahan. Tak ada pastur. Karena upacara tidak dilaksanakan menurut tata cara gereja Katolik.

Tapi tetap akan ada pesta taman. Karena meskipun ruangan dalam rumah keluarga Ni luas dan banyak, namun tetap saja tak akan menampung jumlah tamu mereka undang. Jumlah pastinya tak yakin, pokoknya sangat banyak, mungkin ribuan. Jadi, meja tetap akan memenuhi taman mereka. Mudah-mudahan, hujan tidak datang. Kabarnya, mereka memanggil dan membayar beberapa pawang hujan untuk memastikan tidak ada setetes airpun yang turun begitu meja dipersiapkan sampai acara selesai.

Semua persiapan pernikahan sudah dilakukan oleh keluarga Ni. Tak satupun yang butuh campur tangan gue. Bahkan penjahit yang mengurus pakaian nikah kedua mempelai pun telah disiapkan. Ibaratnya, gue tinggal duduk manis bersiap-siap menjadi menantu keluarga Ni.

Tapi gue tak mau kehilangan wibawa sebagai seorang laki-laki. Sekalipun gue menikah masuk dalam keluarga mereka, tak akan gue biarkan rumah tangga kami juga menjadi urusan keluarga Ni. Untuk tujuan itu, gue membujuk orangtua Hien Nio agar mengizinkan kami tinggal di rumah sendiri, terpisah dari rumah keluarga mereka. Yeah… akhirnya diizinkan. Walaupun tanah tempat rumah itu berdiri tetap milik mereka.

Lalu, karena tak ingin selalu bergantung pada kemampuan ekonomi mertua, gue pinjam modal darinya untuk mendirikan ulang biro perencanaan marketing. Gue cukup puas, karena beliau yang seumuran dengan gue itu mendukung prinsip yang gue pegang teguh,‘hidup mandiri setelah menikah’.

Mengisi hari dengan melobi para tuan tanah, pedagang besar sampai meneer kompeni, membuat hari-hari menjelang pernikahan tak terasa. Bahkan bisa jadi terlupakan jika saja Asiu tak menegur.

Toahnia, penjahit sudah mengirim baju lu. Tidak dicoba lagi? Kalau ternyata masih tidak pas, dia masih punya waktu untuk memperbaiki.”

“Baju? Baju apa? Gue ga pesan baju,” jawab gue sembari mengecek buku catatan berisi daftar orang-orang yang harus didatangi.

Buku ditutup paksa oleh Asiu membuat gue mau tak mau menatapnya. “Apa harus gua ingatkan bahwa besok Toahnia harus menjemput calon Toaso, kemudian menjalani upacara pernikahan di sana?”

Hal pertama yang gue lakukan adalah terdiam karena kaget. Kedua, “Besok?” gue tatap dia cepat-cepat. “Pernikahan itu besok?!?” ulang gue meyakinkan diri.

Melihat dia menganggukkan kepala kaget, gue lanjutkan lagi dengan santai, “Bukannya masih minggu depan?”

Toahnia terlalu gila kerja,” keluh Asiu setelah memandangi gue dengan tatapan kaget dan tak percaya.

“Mama dan Lala juga sering mengeluhkan hal itu,” balas gue tersenyum tanpa merasa bersalah.

Toahnia selalu menyebut Lala, apakah sampai sekarang Toahnia masih merindukan dia?”

“Di antara semua perempuan yang pernah menempati hati gue, dia… cinta sejati gue, Asiu.”

“Memangnya berapa perempuan yang pernah hinggap di hati Toahnia?”

Tersenyum misterius, gue tak jawab pertanyaan itu. “Semua itu masa lalu. Yang gue nikahi besok adalah Hien Nio. Lala mulai saat ini hanya bisa gue anggap sebagai masa lalu saja.”

“Gua kira tak masalah jika Toahnia juga menikahi Lala.”

Gue tertawa terbahak-bahak mendengarnya. “Lu itu masih polos saja. Kalau gue bisa bertemu Lala, tak mungkin masih ada di sini. Pastinya sudah pulang ke rumah kami.”

“Jadi hubungan Toahnia dengan Lala sudah tak ada kemungkinan lagi?”

Mengangguk pelan, gue jawab dia dengan satu kata, “Begitulah….”

 

Bagian empat

Hari ini, pertama gue datangi rumah mertua dan upacara pernikahan dilakukan di sana. Pada jam yang telah ditentukan serta tak boleh terlambat. Semalam, yang berperan sebagai mak comblang datang dan memastikan agar gue tak sampai lalai. Asiu bahkan menjanjikan padanya untuk tidur di dekat gue agar mudah membangunkan untuk persiapan.

Lepas dari serangkaian upacara ala Tionghoa—dari menyisir rambut mempelai, hormat langit bumi sampai saling memberi hormat dengan mempelai perempuan—dan beberapa tetek bengek lainnya, perjamuan makan barulah dimulai. Di acara ini pun gue tak bisa santai walau sejenak. Terlalu banyak tamu yang harus ditemui—baik kenal pun tidak—untuk berbasa-basi. Dari meneermeneer kompeni, sampai tuan tanah pribumi, semua ada di sini, membuktikan jaringan bisnis dan persahabatan keluarga ini demikian luas.

Baru gue tahu, menjadi menantu laki-laki di keluarga Ni amat sangat merepotkan. Mengapa Hien Nio adalah putri keluarga jetset? Yah… jetset adalah sebuah istilah yang cukup mewakili kekayaan keluarga Ni.

Kekayaan dan jumlah kenalan mereka membuat ribuan tamu berdatangan. Sebagian memang berhubungan dekat. Namun gue yakin, tak hanya satu atau dua orang yang datang hanya dengan harapan bisa menghabiskan persediaan hidangan dalam perjamuan ini.

Keluarga Ni benar-benar membuat pusing. Melihat segunung harta mereka, ke urutan berapa harus ditempatkan? Dulu gue taruh Tuan Yo di urutan delapan dalam skala ala Enru. Lalu keluarga Ni? Sebelas?

“Enru,” sapaan itu terdengar dari suara yang sangat gue kenali. Gue menolehkan wajah ke asal suara. Benar, Yo Sinshe.

Gue berikan senyum terbaik pada jutawan ini. Seorang aktor seharusnya dapat membuat penonton yakin dia yang terlihat polos itu benar-benar polos, tidak bengis. Menurut gue, aktor seperti itulah yang berhasil. Bukan aktor yang matanya melotot dan terlihat seperti ibu tiri di sinetron-sinetron itu.

Dari aktor seperti yang gue sebut pertamalah gue belajar memberikan senyum terbaik pada Yo Sinshe saat ini. Lihat, nampaknya dia sama sekali tidak memiliki dugaan apapun pada senyuman itu. Gue harus melakukan hal ini. Karena gue sedang merancang sebuah skenario penyelidikan—tentang keterkaitan Tuan Yo dengan segala peristiwa yang menimpa kami sebelumnya.

“Akhirnya lu menikah juga.”

Gue jawab dengan sebuah cengiran.

“Dulu lu tolak Kim Nio karena Lala. Apa sekarang Lala tak lagi berarti?”

“Yeah, apa boleh buat… Hien Nio pandai merebut hati.”

“Benarkah Hien Nio yang pandai merebut hati lu? Bukan lu yang berusaha menaklukkannya?”

“Apa maksud Yo Sinshe?”

Dia tersenyum. Senyum yang mengandung maksud tertentu.

“Gue mengincar hartanya, begitu?” membuang nafas, baru gue lanjutkan, “Kalau gue orang seperti itu, dari dulu sudah gue nikahi Kim Nio.”

“Usia kalian seperti ayah dan anak.”

Sungguh, jalan pikiran Yo Sinshe saat ini sudah tak dapat gue pahami. Penolakan itu berlangsung beberapa tahun yang lalu dan sekarang Kim Nio sudah menikah, punya anak pula. Mengapa masih juga mengungkitnya? Karena gue menikahi seorang gadis yang lebih pantas jadi anak gue? Hanya karena itu?

“Lalu kenapa? Bukankah salah satu istri muda Anda usianya jauh lebih muda dan pantas menjadi cucu Anda?” Sebenarnya gue mau bicara lebih lanjut, namun seorang pelayan bilang mertua gue telah memanggil. Katanya sudah waktu gue masuk kamar pengantin. Tak tahu harus bersyukur atau sedih karena kesempatan penyelidikan terbuang satu kali.

 

Bagian lima

Tak ada yang bisa gue ceritakan selain frase, malam pengantin hancur. Trauma Hien Nio kambuh dan menghujani gue dengan gigitan serta tendangan. Semua itu membuat gue tampak cukup mengerikan di pagi ini.

“Maaf, Ahnia….” Suara perempuan itu terdengar sangat dekat. Rupanya ia berada tepat di balik tubuh gue. Gue menggelengkan kepala pelan lalu menariknya agar duduk di bangku tepat di sisi gue.

Freud sudah mengeluarkan tulisannya tentang psikologikah saat ini? Atau ada psikolog terkenal lain di zaman ini? Apa gue bisa mendapatkan buku teori psikologi berkenaan dengan trauma? Sepertinya gue harus mendapatkan buku seperti itu secepatnya.

Dia menangis terisak-isak. Sepertinya karena merasa sangat bersalah dengan keadaan gue pagi ini. Berusaha menenangkan, gue tepuk-tepuk lembut pundaknya.

“Seharusnya Ahnia tak perlu menghalangi gua bunuh diri, waktu itu….”

Hah?!? Apa maksudnya? Membiarkan perempuan yang namanya saja belum gue tahu gantung diri di rumah gue? Lalu gue akan dianggap apa oleh orang-orang? Tak sudi jika harus berurusan dengan pengadilan hanya karena masalah seperti itu.

“Nyawa manusia itu sangat berharga. Demikian juga nyawa lu. Apa lu tak menghargai orang tua yang telah merawat dan membesarkan?”

“Tapi guagua… tidak suci lagi… Gua buat Ahnia terluka seperti ini….”

“Gue ga pernah mempermasalahkan masalah waktu itu. Luka-luka ini pasti cepat sembuh. Tapi luka hati lu, kapan bisa sembuh?”

Gue pandangi Hien Nio lekat. Dia istri sekaligus gadis kecil gue yang malang. Merengkuh pundaknya, gue buat ia bersandar di dada.

“Kalau Ahnia berniat ambil istri lain, Hien Nio tak akan melarang…,” mendengar kata-katanya yang seperti tengah dalam keraguan, gue yakin dia tidak benar-benar menyetujui. Gue percaya, tak seorang pun perempuan yang mau dimadu. Pengalaman gue di abad ke-21 yang mengajarkan hal itu.

“Bicara apa ini?”

Ahnia menikahi gua karena kasihan, bukan? Hien Nio sudah merasa cukup dengan status istri pertama Ahnia.”

“Gue tak pernah mengatakan hendak mengambil istri lagi. Bagi gue satu sudah cukup.”

Ia memandangi gue tak percaya.

Ibunya bukan istri pertama Tuan Besar Ni. Setelah ibunya, masih ada beberapa gundik yang memperanakkan keturunan Ni. Gue kira atas latar belakang itulah membuat dia tidak percaya gue ga akan mengambil istri lain selain dirinya.

Kalau pacaran, dengan satu-dua orang sih menurut gue boleh-boleh saja, asal bisa maintance. Lagipula, mencari yang terbaik sah-sah saja, ‘kan? Tapi menikah? No way. Dijambak oleh seorang perempuan itu rasanya menyakitkan. Apalagi kena tampar. Lebih parah lagi sampai dieksekusi ‘itu’-nya seperti berita di koran kriminal yang pernah terbaca dulu. Seram. Pokoknya perempuan kalo sudah cemburu buta itu amat sangat menyeramkan.

Dan apa kata pastur pun guru agama tentang pernikahan? Monogam! Dari masa TK sampai SMU, semua gue tempuh di sekolah Katolik. Masalah itu sudah disebut mereka berulang kali. Mungkin ratusan kali. Jadi tak mungkin gue bisa melupakannya.

Apa perlu pakai sumpah? “Cukup, Hien Nio. Gue tak suka lu yang seperti ini. Gue harap trauma itu bisa segera sembuh. Tak baik bagi lu terus hidup dalam trauma seperti itu. Semua sudah lewat. Status lu adalah istri gue, ingat?”

“Apa arti trauma, Ahnia?”

Celaka! Bagaimana menjelaskan arti kata trauma pada gadis belia dari abad ke-18? Setelah beberapa detik terdiam, akhirnya gue baru menjawab, “Luka di sini dan di sini.” pertama gue memegang dada lalu kepalanya.

“Luka yang membuat lu menggigit gue dengan membabi-buta tadi malam.”

Akhirnya dia tersenyum. Senyum tersipu malu.

Ahnia tidak menyalahkan Hien Nio karena semalam?”

Gue gelengkan kepala secepatnya. Gue tidak menyalahkannya. Tidak akan. Yang gue salahkan adalah orang yang pertama kali mengatakan kaki kecil itu indah. Yang gue benci adalah berandalan yang tak dapat mengontrol napsu binatangnya.

“Selagi gue ingat, Hien Nio. Gue benar-benar tidak mau kaki putri kita diikat.”

“Kenapa?”

“Gue akan mengajarinya taekwondo agar bisa membela diri kalau ada berandalan jahil. Gue mohon.”

Dianggukkan kepala beberapa kali. Dalam hati kecil, gue berharap kata-kata itu tidak membuatnya tersinggung. Gue memang–

“Taekwondo?”

“Maksud gue kuntao,” akhirnya secara ajaib gue sudahi percakapan model resmi dan kembali pada jatidiri gue. “Salah satu cabang kuntao. Gue belajar itu sejak kecil. Dan perlu lu tahu, suami lu ini beberapa kali memenangkan pertandingan.”

Matanya berbinar-binar mendengar cerita gue.

“Benarkah? Lalu berandalan itu juga menerima pukulan dari Ahnia?”

Hanya sekali gue anggukkan kepala. “Ya, waktu itu gue tendang kemaluannya.”

“Harusnya Ahnia bunuh saja mereka.”

“Lu ingin gue masuk penjara?”

Apeh pasti langsung mengeluarkan Ahnia. Apeh dan Toahnia punya banyak kenalan di Stadhuiz.”

Tersenyum, lalu gue berkata, “Saat ini, hanya Lu dan Asiu yang tahu gue bisa bela diri. Jadi diam saja, ya?”

“Mengapa Ahnia menyembunyikannya?”

“Gue kira hal itu tak perlu disebarluaskan. Kuntao bukan untuk dipamerkan, benar bukan?”

“Mengapa Ahnia tak menghentikan gua tadi malam dengan ilmu itu?”

“Lu melakukannya tanpa sadar. Mana mungkin gue gunakan jurus yang dapat membuat tulang lawan rontok hanya karena masalah seperti itu?”

Dia terus tersenyum memandangi gue.

“Gue lapar,” tampaknya ucapan gue yang terakhir membuyarkan lamunan Hien Nio. Dia terkesiap sampai bibirnya yang mungil itu menganga kaget. Entah apa yang sedang dilamunkan gadis kecil gue….

Ya, dia gadis kecil gue….

 

Bagian enam

Setelah beberapa bulan usaha, biro perencanaan marketing gue kini sudah punya klien lagi. Dapur juga mulai mengepulkan asap hasil jerih payah dan keringat gue sendiri. Sebelumnya Tuan Besar Ni alias mertua gue masih mendanai kebutuhan sehari-hari kami. Beras dan uang didatangkan setiap minggu. Begitu klien pertama gue dapat dan kontrak kerja ditandatangani bersama, gue datangi dia meminta agar bantuan itu dihentikan.

“Kebutuhan perempuan setelah menikah adalah tanggung jawab suaminya, bukan orangtuanya lagi,” sebut gue ketika ditanyakan alasan penghentian bantuan.

Dia tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban itu. Gue kira kekerasan kepala gue memang benar-benar di tingkat parah.

“Bagus. Gua suka dengan kekerasan lu. Sayang, dulu kita belum saling mengenal. Kalau saja sudah, pasti gua jodohkan lu dengan adik gua.”

“Terus terang, saya paling tidak suka dijodoh-jodohkan.”

“Gua jadi ingat, bukankah dulu lu pernah tinggal di rumah Yo Sinshe?”

Gue menganggukkan kepala membenarkan.

“Saat A Hoe mengirim surat dengan kuda tercepat kami tentang masalah waktu itu, gua langsung menyelidiki asal usul lu.”

Gue ga heran, juga tidak merasa tersinggung. Dalam kejadian waktu itu, apa yang dilakukannya suatu hal yang wajar. Hanya gue yang terlalu cuek. Tanpa menyelidiki identitas, langsung menjanjikan Hien Nio sebuah posisi penting dalam hidup gue.

“Gua dengar juga, dia berniat menjodohkan lu dengan putrinya?”

Kembali gue menganggukkan kepala. Peristiwa itu siapa yang tidak tahu.

“Lalu lu menolaknya begitu saja? Lu sangat berani, Enru.”

Deg. Jantung gue berhenti sesaat. “Kenapa?”

“Apa tinggal beberapa tahun dengannya tidak membuat lu sadar siapa serigala itu?”

“Serigala?”

“Di balik usaha pembuatan gula dan toko yang menjual kebutuhan pangan, hubungannya dengan para bandit sangat kuat. Merekalah yang mengamankan tanah-tanahnya.”

Kalimat terakhirnya membuat gue teringat pada Peng Guan. Bukankah Peng Guan kepala pengawas ladang tebu yang ada di dekat Kampung Melayu? Apakah dia juga digolongkan mertua gue sebagai bandit?

“Benarkah?” jawab gue bingung harus percaya atau mempertanyakan.

“Tak sulit baginya mencari beberapa orang bandit untuk menggerayangi rumahmu.”

“Anda juga tahu masalah itu?”

“Sekitar dua sampai tiga tahun yang lalu, gua pernah melihat Yo Sinshe mendatangi kantor Kepala Schutterij. Penasaran dengan gerakan dia selanjutnya, gua suruh anak buah diam-diam mencari tahu. Kelanjutannya lu pasti bisa menebak.”

Jantung gue berdebar lebih cepat dari sebelumnya. Rupanya dugaan gue selama ini benar. Dialah sutradara di balik kebangkrutan beberapa tahun lalu. Pasti dia juga yang membuat kaki Asiu jadi cacat. Gue tak akan melepaskannya. Tunggu bukti yang lebih kuat lalu gue buat dia mengalami nasib yang sama dengan Asiu, bahkan lebih parah dari itu!

 

Bagian tujuh

Datangnya sejumlah klien membuat Asiu sangat bersemangat. Ia seperti sekretaris yang terus mengingatkan kapan gue harus bertemu orang untuk melobi, presentasi, sampai ke hal-hal kecil lainnya.

“Seandainya klien Toahnia dulu juga sebanyak ini,” ujar Asiu masih bersemangat walaupun sudah kerja setengah hari. Dia benar-benar tak peduli sumpeknya udara Batavia di musim kemarau yang membuat keringat bercucuran dari pori-pori kulitnya.

“Bagaimana kalau kita cari Made juga Ketut lalu ajak mereka kembali bersama kita? Rumah pasti jadi ramai. Hasil ukiran Made juga sangat bagus.”

Gue menggelengkan kepala. Sebenarnya gue sudah tahu mereka ada di mana namun tak ingin mengganggu ketentraman mereka. “Biarkan mereka memenuhi hidup sendiri. Kemampuan Made sangat baik. Pasti ada banyak orang yang bisa menghargai karyanya.”

Dia cuma mengangguk pelan. Mungkin karena kecewa.

“Lu ga sedang bilang bahwa lu tertarik dengan Ketut, ‘kan?”

“Hah?!?” dia menjawab dengan gelagapan.

Gue tertawa melihatnya. “Umur lu sudah cukup tua. Perlukah gue carikan calon istri?”

Wajah Asiu tersipu malu mendengar kata-kata gue.

Ahnia benar. Umur lu hampir tiga puluh tahun,” Hien Nio baru memasuki ruangan bersama Ketip, ketika mengatakan hal tersebut.

Dia benar-benar istri yang baik. Hien Nio mendukung gue dengan membantu menasihati Asiu.

Memamerkan cengiran terbaik, gue anggukkan kepala menyetujui usulan Hien Nio. Sementara itu, istri gue berceloteh panjang lebar menawarkan beberapa pilihan. Dia sedang bersemangat membujuk Asiu untuk segera menikah sampai-sampai tidak juga menyuruh  Ketip mengansurkan nampan berisi cemilan ke meja.

*#*#*

%d blogger menyukai ini: