Lanjut ke konten

30a – Merah Kali Angke

Bagian satu

Setelah malam tanpa boleh menyalakan lentera berlalu, pagi kembali datang. Suasana di rumah Enru begitu tenang namun mencekam. Di sana jelas-jelas ada kehidupan namun tak terlihat tanda-tanda itu.

Ada desah nafas. Tapi desah itu terasa seperti desah orang yang sudah mati. Desah tanpa nyawa.

Di sana jelas tak ada suara sang Nyonya Rumah yang meneriaki suami maupun anak semata wayangnya yang berkolaborasi melakukan suatu kejahilan.

Tak ada suara tawa anak memanggil orangtuanya sambil bermain ayunan.

Juga tak ada pelayan yang hilir mudik melayani kebutuhan majikan.

Sunyi, sampai kemudian terdengar suara langkah kaki yang berat. Begitu berat seolah beban setinggi gunung ditimpakan padanya. Mungkin karena kaki itu dulu biasa dirantai atau karena ada masalah yang membebani pikiran. Yang jelas, semua orang saat ini bermuka muram.

Toahnia, ada laporan Ni Hoe Kong dipanggil ke kastil. Pagi buta tadi berangkat.”

Enru mengangkat kepalanya dalam diam, menatap sesaat Ketut yang sedang datang melapor, menganggukan kepalanya sekali lalu kembali menundukkan kepala, termenung.

“Apakah semua rencana ini tak mungkin lagi dilakukan?”

Enru menggelengkan kepala lemah. “Waktunya sudah terlambat,” jawabnya perlahan.

“Lalu bagaimana langkah kita selanjutnya, Toahnia?”

Gue tidak tahu. Sumpah, gue ga tahu!” kali ini nada terakhir ditekan hingga seperti sedang membentak. “Maaf. Bukan maksud gue marah ke lu, Ketut.” Wajahnya sendu saat menatap lawan bicara. Ada rasa sesal yang tak terungkap di sana.

“Ketut mengerti juga tidak menyalahkan … Toahnia.”

Mereka terdiam beberapa waktu. Semua sibuk dengan pemikirannya masing-masing. Masa depan. Masih adakah masa depan bagi mereka? Tak hanya bagi Enru dan Ketut, namun juga Asiu, Made dan anak-anak. Mereka semua terlibat dalam pergerakan. Bahkan anak-anak itu juga memiliki keterlibatan, sekalipun hanya sebatas informan.

“Di mana Asiu?”

“Sedang menjerang air.”

“Jika keadaan menjadi gawat, sembunyikan Asiu di tempat kalian atau di manapun yang kalian tahu.”

“Kenapa Toahnia bicara seperti itu? Tidak baik didengar.”

“Entahlah… tapi sejak semalam firasat gue tidak enak.”

Tiyang tidak pernah tahu Toahnia bertindak sesuai firasat.”

“Biasanya memang tidak. Entahlah….”

Kesunyian tiba-tiba kembali bersama mereka. Tak ada yang bersuara sampai Enru menegur Ketut, “Biasanya lu selalu terbata-bata kalau keadaan sedang tidak baik. Hari ini lu bicara lancar sekali.”

Yang ditegur hanya diam. Matanya memperhatikan seorang lain yang datang menghampiri mereka dengan membawa poci teh pada sebuah nampan.

“Teh, Toahnia?”

Diambilnya poci teh yang disodorkan Asiu lalu menenggaknya seperti biasa. Setelah itu ia berdiri meninggalkan kedua anak buah yang sudah dianggap bagai keluarganya sendiri.

Toahnia mau kemana?”

“Melihat keadaan di luar sebentar.”

 

Bagian dua

Ketakutan Enru adalah suatu hal yang bisa dipahami. Karena di tempat lain, dalam jarak puluhan kilometer dari rumahnya telah terjadi suatu hal tak terbayangkan.

Kawanan budak yang sebagian besar berkulit hitam memenuhi jalan dengan muka beringas seperti serombongan singa yang sedang kelaparan. Di tangan mereka terdapat parang, pisau daging, tusukan untuk memanggang daging dan beragam alat dapur pun pertukangan.

Kelakuan mereka tak ubahnya dengan sekelompok orang yang pernah mengacaukan beberapa benteng pertahanan kompeni dalam kurun waktu tahun ini.

Budak-budak itu tampak sangat marah. Entah siapa yang memicu kemarahan itu hingga mereka tak peduli dengan segalanya menyerbu kota Batavia dari beragam sisi. Dalam waktu singkat, beberapa sudut kota menjadi alat panggang raksasa. Api berkobaran di mana-mana terlebih di tempat pemukiman warga Tionghoa.

Tak luput dari mereka, Ni Hoe yang dalam perjalanan pulang dari Kastil Batavia.

 

Bagian tiga

Ni Hoe dicegat oleh sekawanan budak liar di antara kastil batavia dengan rumah. Tepatnya di tepi barat Grootegracht, persis setengah perjalanan. Padahal dia cuma berempat sedangkan pihak lawan di atas sepuluh orang, mungkin lima belas atau dua puluh.

“Mau apa kalian?” tanya Ni Hoe dingin. Begitu dingin hingga citranya sebagai seorang pemerhati musik lenyap seketika.

Menanggapi pertanyaan itu, di antara kelompok budak terjadi sebuah pembicaraan. Pastinya bukan untuk menjawab pertanyaan Ni Hoe. Mereka tengah membicarakan apa yang akan mereka lakukan pada mangsa empuk di hadapannya.

Ketika mata mereka saling bertatapan, Ni Hoe sadar melawan adalah pilihan terbaik. Karena dia masih ingin hidup. Tak mau hidupnya terbuang percuma di tangan budak-budak tersebut. Dipasangnya kuda-kuda siaga. Hal yang tidak diketahui oleh kawanan budak itu adalah lawannya menguasai kuntao.

Perkelahian tak imbang terjadi. Tak imbang dalam hal jumlah dan kemampuan. Secara jumlah, Ni Hoe tentunya kalah jauh. Namun kemampuan kuntao yang dimiliki Ni Hoe dan ketiga anak buahnya lebih baik dari kawanan budak.

Sembari melawan, Ni Hoe terus bergerak mendekati rumah. Berharap rumahnya akan melindung mereka dari budak yang mengamuk. Selagi itu, tak ada satupun Schutterij yang berusaha melerai mereka.

Semua petugas keamanan seperti dibius hingga tak tahu keadaan kota yang mulai kacau balau. Jika saja mereka bertindak sekarang, pastinya keadaan tidak bertambah kacau.

Tapi penyesalan yang datang terlambat sia-sia belaka. Atau mungkin mereka tak pernah menyesal.

 

Bagian empat

Balai pengobatan yang disebut Yang  Tjee Ie di barat kota tak luput dari sasaran budak yang mengamuk. Itu adalah balai tempat Enru membawa Asiu ketika keluar dari sel, dahulu. Di tempat itu, dari tabib, peracik obat sampai pasien tak satupun yang luput dari incaran budak.

Satu demi satu, sepuluh demi sepuluh orang telah tumbang. Dari sekitar seratusan orang yang ada di balai pengobatan tersebut, kiranya satu korban pun tak tertinggal.

Jerit tak berdaya dan ketakutan terdengar menyakitkan telinga namun tidak juga membuat budak-budak itu sadar bahwa yang dibunuh adalah manusia. Mereka terus mengamuk, membunuh dan membanting semua benda yang mereka temui. Keadaan sudah sangat kacau balau. Ibarat musuh telah datang dari luar untuk memporak-porandakan kota. Sayang, musuh ini datang dari antara penduduk Batavia sendiri.

Schutterij datang tanpa membawa perubahan yang lebih baik. Bahkan rupanya mereka sama saja dengan budak yang mengamuk. Para petugas keamanan yang harusnya menentramkan keadaan justru membuat suasana semakin mencekam.

Tak peduli dari sekian korban kebrutalan budak tersebut ada yang masih hidup dan sekarat. Pula ada yang masih bernafas menunggu diselamatkan. Mereka sungguh tak pedulikan semua itu. Jumlah orang sekarat dan korban jiwa justru bertambah banyak dengan kehadiran mereka.

 

Bagian lima

Para Tuan dan Nyonya bermata sipit sibuk melarikan diri membawa anak-anak mereka. Namun kedatangan para Laskar Tionghoa membuat gerbang kota tak dibuka. Pintu itu tertutup rapat tak membiarkan seekor tikus pun keluar masuk melalui gerbang tersebut. Semua tempat dikelilingi Schuterij yang berjaga dari para laskar Tionghoa

Di pihak lain, budak-budak mengejar dan mengkianati majikannya sendiri. Mereka yang dulu dipecut kini menusuk. Mereka yang dulu dipukuli kini memperkosa anak majikan dengan membabi buta.

Ketakutan, kecemasan pun putus asa bertumpuk menjadi satu dalam hati dan pikiran mereka. Kiranya…, tak ada jalan lain kecuali kematian.

Para ibu membunuh anak gadisnya takut mereka diperkosa oleh budak beringas. Para ayah membunuh penerus keturunan takut mereka dipermalukan oleh sekawanan makluk yang dianggapnya berderajat lebih rendah.

Tuan dan Nyonya terhormat yang biasa dilayani puluhan budak membakar diri bersama harta kekayaannya takut dirampas. Mungkin mereka kira dengan membakar diri beserta rumah membuat mereka baik-baik saja.

Tidak!

Mayat hangus masih menjadi incaran budak beringas itu. Cincin yang dipakai, giwang penghias telinga tak luput dari incaran. Semua dirampas. Kepala mayat dipenggal demi mendapatkan kalung yang masih menempel di leher. Tangan ditebas guna gelang emas yang tadinya bertahta dengan manis pada tangan terawat sang Nyonya.

Darah dan air mata bergelimpangan. Sama banyaknya dengan jumlah mayat yang bertebaran di seluruh kota.

Para tentara kompeni keluar namun mereka tidak mengamankan keadaan kota. Bagi mereka, orang Tionghoalah yang bersalah. Kaum bermata sipit itulah yang perlu dibasmi. Puluhan atau mungkin ratusan orang bermata sipit ditangkapi oleh mereka hanya untuk dipenggal kepalanya. Kali Angke, Grootegracht dan kali-kali lain juga selokan yang mengalir di sekeliling pun dalam kota kini berwarna kemerahan oleh darah manusia.

Cincangan mayat tersebar di mana-mana. Terinjak oleh kaki kuda dan kereta pembawa mesiu dari kastil ke setiap bastion penjaga kota Batavia.

Hari ini, tak terdengar lagi hiruk pikuk tangis bayi yang ingin menyusu. Tak ada pula jerit tawa riang anak-anak bermain di sepanjang jalan. Hanya ada hanya mayat dan darah penduduk bermata sipit. Itu saja.

 

Bagian enam

Keadaan yang semakin buruk membuat Ni Hoe berpikiran untuk kabur keluar Batavia. Dibawanya istri dan anak turut serta. Setelah tangis menderu karena kecemasan sang Nyonya pun ketidakrelaan para istri muda meninggalkan segala kekayaan, dia menyaru sebagai perempuan meninggalkan rumah yang bagai istana itu.

Rencananya, ia akan pergi berlindung di rumah Enru. Letaknya hanya sekitar satu jam berkuda dari Batavia. Asalkan mereka bisa menyogok Schutterij yang menjaga gerbang, maka kemungkinan selamat dari amukan budak semakin besar. Karenanya, dibawalah perhiasan dan sejumlah uang cukup banyak.

Di rumah adik iparnya ini, ada dua orang bekas budak belian yang telah dianggap tuan rumah sebagai keluarga sendiri. Hubungan mereka yang sangat baik tentunya tidak akan membocorkan persembunyian ke budak-budak yang mengamuk di seluruh penjuru kota.

Rencana begitu matang. Namun sayang, ia lupa memperhitungkan suatu hal.

Budaknya. Dia punya lebih dari lima puluh orang budak untuk melayaninya sekeluarga dalam rumah yang sangat luas itu. Dari sekian yang setia dan memperoleh kebaikan dari Ni Hoe, tak mungkin ada yang tidak picik. Terlebih persamaan nasib menjadi dasar dalam pergerakan budak tersebut.

Kepergian mereka bocor di tangan budaknya sendiri. Ingatkah kisah tentang Peter Erberveld? Kiranya mereka punya kemiripan nasib. Budak itu melaporkan pelarian Ni Hoe pada pasukan kompeni yang mulai berkeliaran mencari sisa jarahan.

Ni Hoe sekeluarga dikejar oleh pasukan kompeni yang meminta pertanggungjawabannya atas kerusuhan kota. Kata mereka, Ni Hoe sebagai kapiten Tionghoa pasti tahu dengan pergerakan kaumnya beberapa hari lalu. Pergerakan itu yang membuat budak mengamuk. Karena beras tak ada, majikan yang stres memukuli budak. Dan mereka bangkit melawan para majikan, sebut orang-orang itu.

Tapi tidak semua benar. Para budak dari rumah-rumah meneer yang memulai semua itu. Mereka telah dihasut tapi tak merasa terhasut. Merekalah yang menghasut budak dari bangsa lain untuk melawan majikan. Memusnahkan orang Tionghoa adalah tujuan utamanya.

Ni Hoe susah payah melawan. Jumlahnya jauh kalah banyak dan ia membawa anak pun istri. Dirinya tidak sebebas pagi tadi yang hanya pergi dengan tiga orang kepercayaannya.

Usahanya itu sia-sia. Kaki-kaki mungil para perempuan membuat mereka tak dapat membela diri ketika  pasukan menghadang. Tak rela anak dan istrinya dipermalukan, menyerahlah Ni Hoe.

 

Bagian tujuh

Sepanjang tepi barat Grootegracht, api membakar rumah-rumah. Karena pada dasarnya orang Tionghoa suka tinggal dalam suatu komunal, maka rumah-rumah tersebut dapat dipastikan adalah milik mereka.

Abunya menyesakkan paru-paru. Asap membuat perih mata. Besarnya api adalah teror tersendiri yang tak terpisahkan dari abu pun asap. Terlebih, bahan utama pemukiman tersebut adalah kayu. Ditambah dengan perabotan kayu, kertas dan daun teh kering, api semakin cepat membubung ke angkasa, bagaikan tungku raksasa yang menggoreng awan di langit. Langit memerah oleh api dan menghitam karena asap.

Ketika malam kembali berlalu, deretan rumah telah berubah menjadi seonggok abu. Asap membubung dari bekas kebakaran menjadi bukti dasyatnya kebakaran saat rawi masih berjaya di langit.

Tapi semua ini belum berakhir. Semua kacau dan bertambah kacau.

Penjarahan merebak di mana-mana dan tak kunjung berakhir. Emas, perak sampai daun teh berkualitas menjadi incaran penjarah. Begitu banyaknya barang berharga yang dijarah sampai uang receh menjadi tak berharga sama sekali hingga beberapa pekan mendatang.

Beberapa kompi prajurit didatangkan untuk mencegah penjarahan lebih lanjut di rumah Ni Hoe namun tak juga membuahkan hasil. Keluarga Ni dikenal sebagai keluarga jutawan, maka rumah mereka, termasuk saudara-saudara Ni Hoe yang telah mati terbunuh tak luput dari incaran orang-orang yang gila dengan harta.

-bersambung-

%d blogger menyukai ini: