Lanjut ke konten

25 – Si ‘Panglima Besar’

Bagian satu

Bukan keluarga Ni namanya kalau membuat sebuah pesta atau sembahyangan tidak dalam skala besar-besaran. Dan kali ini gue berani taruhan, tentunya begitu banyak uang yang dikeluarkan oleh Ni Hoe untuk ‘sembahyang rebutan’.

Sembahyang ini untuk memberi makan dan mendoakan arwah-arwah yang mati penasaran, tanpa sanak saudara dan sebagainya. Namun kemudian, dan yang sedang terjadi sekarang ini adalah persembahan umat justru menjadi rebutan para gelandangan. Tepat setelah semua rangkaian ritual doa selesai. Tapi siapa yang sanggup menangani mereka? Bukankah ketika perut berteriak kelaparan, akal sehat sering tak jalan?

Apeh, mengapa mereka seperti tidak makan setahun?” pertanyaan Gwat Nio yang terdengar lirih di samping gue membuat gue segera meliriknya. “Padahal di pasar banyak makanan.”

“Uang mereka tak cukup untuk membelinya, Nak.”

“Tapi kalau caranya seperti itu, mereka bisa terluka.”

“Ya, sebenarnya begitu. Tapi panganan ini mungkin hanya hidup dalam benak. Mereka belum pernah dan begitu ingin mencicipi sehingga takut kehabisan.”

Tak tahu benar-benar mendengarkan atau tidak, Gwat Nio meringis melihat aksi saling dorong orang-orang itu. Berulang kali dihela dan ditahannya nafas. Mimik yang menyiratkan kekuatiran dan kepedihan nampak jelas di wajahnya yang mungil. Tak sadar gue tersenyum, senang melihat anak gue punya simpati pada orang lain.

Ketika seumur dengannya, gue punya simpati yang sama besarkah? Kayaknya waktu itu gue hanya sibuk bermain dan menggambar tak peduli langit yang mungkin runtuh di sekitar gue menimpa orang lain. Yang terpenting Papa, Mama dan Cece tak terluka, lainnya gue tak peduli.

Apeh, kenapa kita tidak memberikan mereka masing-masing saja? Jadi tak perlu rebutan lagi.”

“Karena sebenarnya persembahan ini bukan untuk mereka.”

“Lalu untuk siapa?”

“Arwah-arwah tanpa keluarga yang bisa mendoakan dan memberi mereka makanan.”

“Tapi kalau mereka tidak dikasih makan, bisa jadi arwah kelaparan juga ‘kan, Apeh?” setelah bicara, Gwat Nio berusaha melepaskan pegangan tangan gue pada pergelangannya.

“Mau ke mana, Gwat Nio?”

“Mau ambil tabungan di rumah.”

“Dari rumah ke mari butuh berapa lama, Gwat Nio?” gue diam dan anak gue sibuk menghitung. Kemudian wajahnya berubah, dia kecewa. “Begini saja, ulang tahun lu tahun depan kita rayakan dengan mengundang mereka, bagaimana? Kamu minta Abuh agar menyuruh pelayan masak banyak, dan kita makan bersama mereka.”

“Bolehkah, Apeh?”

Gue anggukkan kepala dengan tersenyum.

“Tapi nanti Abuh marah? Abuh selalu marahi Gwat Nio.”

“Dia tidak akan marah. Apeh yakin.” Benar, dia tidak marah. Kalaupun misalnya Hien Nio bukan perempuan welas asih, setidaknya ia akan memikirkan image keluarga Ni. Dan selama ini hubungan kami membuktikan ia pasti cukup berwelas asih. Selama hasil panen kebunnya baik dan dapat terjual, permintaan Gwat Nio tak akan jadi masalah baginya.

Tapi, yang perlu gue ingat adalah semua itu baru akan ada jika rencana gue berhasil. Jika kompeni terusir dari bumi pertiwi ini. Karena kalau gagal, gue kira nasib kami tak mungkin lebih baik dari gelandangan itu.

 

Bagian dua

Menunda bukan hal yang baik. Perubahan terjadi setiap detik sehingga jika gue tunda lagi untuk bicara pada Hien Nio, apa yang akan terjadi kelak gue tak bisa bayangkan. Mungkin gue akan menyesali.

Dalam perjalanan pulang ini, puluhan mungkin ratusan kali pandangan mata kami saling bertemu. Namun entah mengapa mulut gue tetap bungkam tak tahu harus memulai pembicaraan dengan cara apa.

Ya, pasti membuka mulut dan mengeluarkan suara dalam bentuk serentetan kata. Serenteng kata tadi membentuk kalimat yang memiliki ide dasar. Masalahnya adalah, ide dasar itupun belum terstruktur dengan baik.

“Ada apa, Ahnia?” suaranya terdengar menggetarkan gendang telinga. Gue menoleh padanya berusaha menyusun kalimat secepat mungkin dan menyalurkannya untuk menggetarkan pita suara gue.

“Lu dan Gwat Nio… pergilah berlibur ke rumah Cihu.”

Alisnya berkernyit mendengar gue bicara.

“Tapi tempat itu…”

“Semua sudah masa lalu, Hien Nio. Lagipula di sana rumah Cece dan Cihu.”

Dia membisu, gue pun turut bungkam. Gue harap, kebisuan kami digunakan dia sebagai ajang memikirkan usul itu. Semua ini demi kebaikannya dan Gwat Nio. Ya, demi kebaikan mereka.

Kebisuan rupanya berlanjut meskipun rumah sudah kami masuki. Seperti pasangan yang sedang musuhan, tatapan gue tak digubrisnya.

“Hien Nio, meminta lu pergi berlibur mengapa sama susahnya dengan menyuruh orang bunuh diri?” Perumpamaan yang kacau tapi gue tak peduli.

Dia memalingkan wajah menatap gue. “Ada alasankah menyuruh gua dan Gwat Nio berlibur?”

Gue bungkam. Sejujurnya, belum terpikirkan alasan yang harus dikemukakan.

“Gua yakin Ahnia menyuruh berlibur bukan karena Ahnia hendak mengambil gundik.” Gue diam mendengarkan sembari merancang alasan. “Situasi saat ini sedang tak terlalu baik. Sudah beberapa minggu pula Ahnia lebih banyak menganggur daripada membuat konsep. Dengan kondisi seperti itu, menyuruh kami berlibur bukankah terlalu aneh?

“Justru… karena situasi seperti ini…”

“Boleh, berlibur. Asal Ahnia ikut bersama kami.”

“…,” mulut gue sudah terbuka namun tak jadi berkata. Rasanya alasan gue terlalu buruk untuk disampaikan.

“Adakah sesuatu yang Ahnia sembunyikan?”

Gue gelengkan kepala perlahan. Tak ada yang bisa gue bicarakan dan katakan. Bagaimana mungkin gue bilang padanya bahwa gue salah satu perancang strategi gerakan yang beberapa hari lalu menyerang pos-pos penjagaan kompeni?

 

Bagian tiga

Gue diam demikian pula dengan Hien Nio. Sepertinya masing-masing larut dalam pikirannya sendiri. Tak jarang, gue menangkap matanya yang diam memperhatikan gerakan gue.

Ketika itu pintu kamar diketuk. Suara Asiu terdengar di luar, “Toahnia,” panggilnya.

Beranjak ke pintu, gue tahu mata Hien Nio terus mengawasi. Tapi, gue biarkan saja begitu.

Mata Asiu mengawasi Hien Nio. Ia bicara dengan suara teramat pelan bahkan mungkin hanya ada gerakan mulut, tapi bagi gue sudah cukup jelas. “Sudah datang,” katanya.

Gue mengangguk.

“Pak Salim titip salam untuk Gwat Nio dan Toahnia,” kali ini bicara cukup keras untuk didengar Hien Nio.

“Akan gue kirim surat untuknya. Terima kasih.”

Dan ia beralih dari pintu. Gue lirik Hien Nio sesaat lalu meninggalkan kamar kami. Tujuan gue ke ruang kerja. Menyiapkan serangkai strategi yang akan kami jalankan berikutnya.

Kerja kami kali ini harus lebih cepat dan ringkas dibanding sebelumnya. Selagi itu, gue perintahkan Made agar membawa pesan pada si Brewok, latih anak buah menggunakan senjata baru.

 

Bagian empat

Di masa saling bisu ini, tetap saja cemilan dan teh dikirimkan oleh Hien Nio sendiri. Dia tetap diam ketika meletakkan piring ke atas meja dan mengangkat piring lama yang kini kosong. Tapi di balik kebisuannya, matanya selalu menatap lekat. Kedua bola hitam dan cantik itu bicara agar gue mengatakan pada dia alasan menyuruhnya berlibur.

Tapi apa yang bisa gue katakan? Karenanya, mulut gue tetap rapat terbungkam. Tangan gue tetap sibuk menulis tanpa tahu apa yang gue tulis tak punya arti. Mereka hanya sederet kata tanpa makna, tak punya ide pokok. Ya, gue hanya menyibukkan diri sendiri sembari mencari celah mendapatkan alasan yang tepat agar bisa membujuknya segera meninggalkan Batavia. Sejauh dan secepat mungkin.

Akhirnya, ia kembali meninggalkan gue sendiri. Pintu tertutup dan kemudian sunyi menjadi raja di ruangan. Pada masa itulah, Made datang dengan wajah pucat dan serius.

“Ong dan anak buahnya terlibat keributan dengan kelompok lain.”

Mata gue terbuka lebar dan kuas gue taruh secepatnya. Mengambil kertas yang telah berisi coretan tanpa makna, gue berdiri dan pergi. Maaf Hien Nio, kue ini bukannya gue tak mau menghabisi. Ada hal penting yang harus dilakukan.

Bersama Made, dengan membawa dua kuda, kami meninggalkan rumah terburu-buru. Sebenarnya apa yang diributkan Ong dan kawanan itu?

Di kejauhan dari tempat kami berkuda sekarang ini, sudah bisa terlihat kepala-kepala puluhan orang yang saling menyerang. Ada dua kelompok yang saling bertarung. Dan si Brewok itu, dengan parang yang telah berlumuran darah tengah melawan seseorang. Rupanya mereka sama kuatnya.

Kuda gue masih melaju, namun gue tak sabar lagi untuk segera melerai mereka. Dari kuda yang masih berlarian itu, gue melompat turun. Untung saja, kuda-kuda gue cukup baik dan sekalipun sel-sel di tubuh gue menua, kekuatan kaki tetap dalam keadaan baik.

Begitu menginjakkan kaki ke tanah, gue berlari pada mereka dan menerjang dengan sebuah lompatan, ketika mendarat, posisi gue sudah di tengah si Ong dan lawannya.

“Cukup! Kalian mau menarik perhatian para schuterijc, hah?!?” teriak gue.

Mereka masih mengacungkan senjata. Mata mereka nanar saling menatap.

“Lu ha mang?” pertanyaan itu tentunya diajukan pada gue oleh lawan si Ong.

Tak mungkin gue jawab bahwa gue ipar kapiten Tionghoa. Pula tak mungkin katakan nama asli gue. Mereka melihat wajah gue saja sebenarnya sudah tidak baik.

“Lu sendiri siapa?” jawab gue tanpa ikut menggunakan dialek Hokkian.

Rupanya pertanyaan balik itu justru membuatnya marah. Parang itu diayunkannya mengarah pada gue. Dengan cepat gue berkelit lalu mengeluarkan tendangan belakang mengincar tangan yang menggenggam parang. Setelah empat sampai enam kali gue mengeluarkan tendangan dan pukulan yang ditangkisnya dengan garang, parang itu terlepas. Ia genggam pergelangan tangan dengan wajah nampak meringis menahan sakit.

“Kuntao macam apa itu? Jurus-jurusnya tidak pernah gua lihat.”

“Tidak penting. Gue hanya ingin tahu apa yang kalian ributkan?”

“Mereka mau merebut senjata-senjata baru itu!” kata si Ong penuh emosi. Mungkin ia merasa kedatangan gue artinya bala bantuan datang. Dan mungkin tidak sadar bahwa kata-katanya dengan kata lain menyiratkan bahwa gue bagian dari mereka.

Musuhnya Ong menatap gue dari atas ke bawah. Baju gue dibuat dari kain halus. Sepatu gue meskipun sedikit dekil dan agak lama tapi tetap merupakan kualitas baik. Tanpa perlu melihat lebih jauh, mereka pasti bisa menerka tingkat ekonomi gue.

Gue membalas tatapan dia dengan pandangan tajam. Sama seperti yang dilakukannya, gue juga memperhatikan dia dari ujung kaki sampai ujung kepala. Kalau di film animasi, mungkin dari mata kami keluar sinar kuning-kuning atau biru-biru.

Ketegangan mewarnai kami. Anak buah mereka tak satupun yang menurunkan senjata. Meskipun mereka tak lagi bertarung, hawa permusuhan begitu lekat.

Sedangkan di antara kami bertiga, gue gunakan seluruh daya untuk memenangkan ‘petarungan’ ini. Kami memang hanya diam, tapi sebenarnya kami sedang bertarung. Aura kami yang ditarungkan. Siapa yang lebih kuat, siapa yang lebih pantas dihormati dan disanjung.

Jika gue ingin berhasil mengusir kompeni, dalam petarungan ini gue tak boleh kalah. Apalagi, bukankah Enru adalah orang yang terbiasa bicara di hadapan pembesar perusahaan? Selain itu, Enru adalah pemegang sabuk hitam taekwondo dengan rekor belasan kali menang kejuaraan. Tak pelak lagi, gue yang harus jadi pemenangnya. Ia harus tunduk. Mau atau tidak mau. Suka atau tidak suka. Terpaksa atau suka rela.

 

Bagian lima

Dia rupanya yang menyebut diri sebagai Panglima Besar. Anak buahnya sangat banyak, lebih banyak dari jumlah kawanan Ong. Salah satu sebab adalah sistem perekrutan beda dengan Ong yang merekut anak buah berdasarkan hubungan darah. Semua anak buah si ‘Panglima’ ini belum tentu punya hubungan saudara. Apa yang ditekankan olehnya adalah ketegasan, dan arogansi seorang pemimpin, sedangkan Ong berdasar kekeluargaan.

“Tujuan kita semua sama, mengapa tidak bergabung jadi satu kekuatan saja?” kata gue tentu saja setelah memenangkan petarungan aura. Kalau tidak, bagaimana mungkin ia mau diam mendengarkan ucapan gue—walau dilakukannya dengan terpaksa?

“Tujuan apa maksud lu?”

Sial, ia sengaja memancing gue untuk bicara terus terang bahwa yang ingin gue lakukan adalah mengusir kompeni.

“Ah… masa lu tidak tahu?” ucap gue dengan nada bercanda dan bersikap sesantai mungkin. Namun karena respon yang gue terima kurang baik, akhirnya kembali gue gunakan wajah serius.

“Yang namanya tamu tak diundang—apalagi yang kurang ajar—harus diusir. Karena tuan rumah diam ketakutan, maka tamu yang datang baik-baiklah yang unjuk gigi mengusir mereka. Bukankah begitu?”

“Apa imbalannya?”

“Ya… rumah itu kembali tenang. Tamu diundang dengan tuan rumah bisa kembali mengobrol dengan santai,” sepertinya gue kehabisan energi untuk bicara dengan sikap serius. Tampil apa adanya dengan gaya dan logat santai memang begitu nyaman. Kepercayaan diri gue bertambah berkali-kali lipat sesudahnya.

Dia, si Panglima Besar—sebenarnya gue tak sudi menyebutnya seperti itu, tapi apa daya, nama aslinya tidak tahu—menyorotkan mata tajam ke arah gue. Rupanya ia belum mengakui kekalahannya.

Tiba-tiba juga, ia menggebrak meja di hadapan kami. Gue memang kaget, tak menyangka orang ini masih juga akan mengajak gue perang. Tapi rasa terkejut itu gue sembunyikan di bagian tersembunyi dalam sudut hati. Gue berdiri mendadak dan menggebrak meja sekeras mungkin.

Akibatnya, meja itu retak dan ambruk perlahan. Mungkin karena meja itu terlalu sering menerima gebrakan dan sudah cukup lapuk. Karena gue tak sepenuhnya yakin kekuatan sendiri sampai separah itu. Tapi hasilnya cukup baik. Semua orang di ruangan memandang ke arah gue takjub, segan atau mungkin juga tak percaya.

Gue tatap musuh ini lekat dengan pandangan penuh ancaman. “Apa mau lu?!?”

“Kaisar.”

“Lu kira kita di mana? China, hah?!? Lu itu tak lebih dari menumpang hidup di sini!!!”

“Lu sendiri?”

“Ini tanah kelahiran gue,” kata gue mantap. Sepertinya gue tersihir dengan kisah jenderal Yang yang diceritakan oleh si Ong seniman.

Ia kembali memperhatikan gue. Lekuk wajah, tinggi dan besar mata, nampak semua itu menjadi bagian pertimbangannya.

“Kaisar atau kita jalan masing-masing.”

Gue tendang meja yang telah ambruk itu menyingkir dari antara kami. Lalu secepat kilat, gue cengram kerahnya, bicara dengan suara sarat kekesalan, “Tanpa kerja sama, usaha ini hanya akan sia-sia, bodoh! Lu hanya akan mengorbankan bawahan lu!”

Dia rupanya tak kalah galak dari gue. Memanfaatkan tubuhnya yang memang jauh lebih besar, seperti pegulat sejati, dilepaskan cengkraman tangan gue. Kemudian, ia pergi meninggalkan kami.

“Dasar brengsek!” seru gue kesal berteriak. Entah apakah ia masih dengar atau tidak.

Pulang dari sana, gue memilih jalan memutar. Takut kalau orang tadi mengutus anak buahnya demi mencari tahu identitas gue. Tidak ada yang boleh tahu identitas gue. Seorangpun dari mereka tak boleh tahu asal-usul gue. Keadaan akan gawat jika mereka mendapatkan hal itu.

Mungkin mereka akan memanfaatkan dan melaporkan ke kompeni. Atau mereka mengancam gue guna sejumlah uang atau posisi kaisar itu. Karena itu, gue ga akan membiarkan mereka tahu.

Namun sepanjang jalan, perasaan diawasi sedikitpun tidak terasa. Sekalipun puluhan kali gue lirik sekitar, mengawasi setiap orang yang berpapasan, tetap saja tak gue dapat tanda-tanda dalam pengawasan. Walaupun demikian, semakin cepat gue ungsikan anak dan istri semakin baik. Mereka harus meninggalkan Batavia dalam beberapa hari ke depan, sebelum kondisi semakin parah.

 

Bagian enam

“Hien Nio…,” panggil gue pelan.

“Keadaan Batavia semakin buruk, sebaiknya lu bawa Gwat Nio segera pergi.”

“Tapi Ahnia?”

“Masih banyak urusan yang harus diselesaikan. Setelah semua beres, gue pasti menyusul kalian.” Tak tahu darimana gue dapat alasan ini. Pokoknya yang keluar dari benak, gue keluarkan saja.

Sorot wajahnya menunjukkan bahwa ia tidak sependapat. Gue tahu maksudnya, bahwa ia ingin mendukung gue dengan terus berada di rumah menyiapkan segala keperluan yang selintas terlihat remeh.

“Kalau kalian sudah pergi, maka gue akan lebih tenang. Jadi pekerjaan ini segera selesai dan bisa secepatnya menyusul kalian.”

“Kenapa harus di sana?”

“Di sana ada sanak saudara lu, jadi gue bisa tenang.”

Dia masih terlihat tidak tenang. Kain yang tengah disulamnya kini dijadikan mainan untuk mengatasi perasaan itu.

“Hien Nio…,” ujar gue dengan nada pelan berusaha membujuk. Gue duduk di sisinya, meraih pundak dan merangkul erat. “Keselamatan kalian adalah yang utama bagi gue.”

Ahnia janji akan benar-benar menyusul?”

Gue anggukkan kepala. Tentu, kalau semua rencana ini berhasil, secepatnya gue susul kalian. Tapi kalimat itu tak keluar dari mulut. Hanya dalam benak saja.

Akhirnya perlahan ia mengangguk disusul dengan hembusan nafas lega dari gue.

 

Bagian tujuh

Gue berdiri kaku memandangi kereta kuda yang perlahan menjauh. Sekalipun Alou mengawal perjalanan mereka ditambah lagi kemampuan taekwondo Gwat Nio cukup mumpuni, tak dapat gue buang perasaan kuatir begitu saja.

Kondisi ekonomi yang semakin memburuk tentunya membuat pengangguran bertambah banyak. Dan mereka butuh makan, maka pencurian pun perampokan adalah jalan tercepat bagi orang-orang itu. Mudah-mudahan kepergian mereka tanpa halangan. Harapan gue hanya satu itu saja.

Rencana berikutnya adalah mulai mengatur waktu serangan.

Ketika kereta mereka tak lagi terlihat, gue berbalik masuk ke rumah. Mengamati sudut rumah yang kini terasa sunyi. Tak ada canda tawa Gwat Nio rasanya seperti tak ada kehidupan di rumah ini.

Beberapa pelayan hilir mudik mengerjakan tugasnya. Gue kira sebelum memikirkan waktu serangan, hal yang terbaik gue lakukan adalah membebaskan mereka semua dari hutang kepemilikan. Istilah nanti adalah PHK. Masalahnya karena gue tak ingin ada seorang dari mereka tahu apa yang kami lakukan.

Terus terang gue meragukan loyalitas mereka. Tentu siapapun tak ingin jadi Pieter Erberveld berikutnya yang mati karena budak sendiri melaporkan rencana dia pada musuh. Dan itu termasuk juga dengan gue.

Kini, ketika semua orang selain Asiu, Made dan Ketut sudah pergi, rumah terasa semakin sepi. Bahkan begitu sepinya sampai sapuan angin pada daun telinga ataupun rambut terdengar begitu jelas.

“Apakah kita akan bawa orang-orang Ong ke mari, Toahia?”

Gue gelengkan kepala. “Terlalu berbahaya. Jika ipar tahu, gue akan kesulitan menjawab.”

“Tapi rumah ini sekarang sangat sepi. Apakah meneermeneer itu tidak akan curiga?”

“Setelah meneer satu itu tidak mengakui kontrak dan bahkan menjelek-jelekkan nama gue, sepertinya tak akan ada lagi calon klien lainnya. Kalaupun ada, gue masih punya akal untuk menjelaskan. Lu tak perlu kuatir, Asiu.”

Ia menganggukkan kepala dan mengawasi sekitarnya, tampak tenang. Padahal Asiu tidak pernah setenang ini dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Apakah mungkin tak ada rasa kuatir dalam hatinya jika rencana yang kami susun ternyata gagal, hancur berantakan? Gue tak yakin ia punya keyakinan seteguh itu dan juga tak tahu apa yang membuatnya setenang saat ini.

*#*#*

%d blogger menyukai ini: