Lanjut ke konten

6 – Ratusan Purnama tak Meredakan Gundah

Xuanjing

Lambat laun satu demi satu dari orang-orang yang seharusnya mengawasi itu justru menikahi gadis dari desa terdekat. Akhirnya, waktu berganti tak hanya hari demi hari namun tahun demi tahun. Mereka hanya datang bergiliran mungkin sebulan hanya beberapa kali. Terkadang membawa teman atau entah siapa, mungkin atasan, menghampiri saya. Bila mereka membawa orang lain, biasanya pembicaraan akan meluas bahkan sampai ke politik. Terkadang saya mengira apakah pembicaraan itu disengaja untuk menilai apakah saya memiliki niat tertentu. Karenanya, saya pun acap menahan diri untuk membicarakan masalah krusial terlebih bila menyangkut negara saya dan masa sebelum dinasti ini berdiri.

Tapi, bila mereka datang sendiri, biasanya hanya kegiatan seperti melihat saya dan mengirimi kebutuhan sehari-hari, menceritakan kondisi di desa terdekat, mendengar saya membacakan kitab-kitab tao yang telah saya hafal lalu sedikit bertanya apa maksud dari isi kitab tersebut, semacam semua itu.

Waktu semakin panjang sehingga saya tak lagi ingat itu adalah tahun ke berapa sejak saya ditempatkan di atas gunung itu. Tepatnya di sebuah rumah yang temboknya berlapis tanah kering, sendirian. Para penjaga itu hanya berkunjung sebulan satu sampai dua kali, membuat saya punya banyak waktu luang untuk merenungi masa lampau.

Ingatan akan percakapan dengan Xuanli kembali terngiang. Atas jatah pakaian dari Shifu, sekarang ini, barulah saya memahami maksudnya. Saya datang ke dunia ini di keluarga bangsawan kaya. Segala kebutuhan duniawi selalu tercukupi semenjak belia bahkan Muqin[1] sangat memanjakan saya. Mungkin, Shifu sengaja melatih saya dengan memberikan jatah serba kurang di masa itu. Teringat Shifu lantas membuatku teringat pada para Shidi dan Lingtong serta Lingyan. Dua anak-anak itu, apa yang mereka lakukan saat ini? Apakah Lingyan benar-benar menikah dengan Bao Feng atau pulang ke perguruan? Apakah Lingtong bisa memaafkan saya?

Waktu itu saya tengah berjalan kaki, tentu seorang diri, hingga menjumpai sebuah paviliun di pinggir tebing. Jarak paviliun dari rumah sebenarnya tak terlampau jauh untuk sekedar menggerakkan kaki. Tapi biasanya saya tidak tertarik untuk mengunjungi tempat tersebut. Kali ini berbeda. Entah mengapa saya tertarik mendekati tempat itu.

Di sana, sudah ada seorang lelaki paruh baya berdiri terdiam, mungkin tertegun melihat pemandangan. Langkah kaki saya rupanya mengusik ketenangan sehingga ia berbalik dan kami pun berhadapan. Lelaki itu sebenarnya cukup gagah namun wajahnya terlihat lelah. Usianya mungkin sudah empat puluhan. Ia menyapa saya dengan sebutan ‘Paman Tua’ yang membuat saya memandangi diri sendiri. Rupanya rambut dan jenggot saya semuanya telah memutih. Karenanya, kemudian saya tersenyum.

-*-

Lingtong

Setelah meninggalkan Lingyan di kediaman Bao, aku pergi tiada arah. Tanpa sadar, aku sudah berada di perbatasan utara. Itu adalah tempat di mana perang seolah tiada akhir. Waktu itu, karena tak tahu harus mengerjakan apa dan uang pun sudah tak ada, akhirnya aku bergabung menjadi tentara mempertahankan benteng kota. Lumayan. Aku mendapat makan setiap hari, tempat tidur dan teman mengobrol.

Semenjak itu, ternyata waktu telah berlari meninggalkan aku. Ketika tersadar, aku sudah menjadi lelaki paruh baya, beristri bahkan sudah bercucu pula. Saat itu, setidaknya aku sudah mempunyai jabatan di militer sekalipun tetap ditempatkan di perbatasan utara. Tapi negara ini menurutku tak ramah untuk seorang militer. Aku seperti merasa mereka takut dikhianati kami namun di sisi lain membutuhkan kami untuk menjaga perbatasan.

Lelah dengan semua itu, aku meminta cuti panjang sebab aku teringat Meimei juga Shigong, Shishu atau mungkin juga … Shifu. Tapi aku tak berani naik dan kembali ke perguruan. Aku takut bila bertemu mereka akan kehilangan kata-kata dan tidak sanggup menghadapi mereka, terutama Meimei dan Shifu. Jadi, aku menanti di batas desa terdekat. Perguruan membutuhkan beberapa keperluan sehari-hari yang harus dibeli tidak mungkin dikerjakan sendiri. Mungkin mereka akan lalu lalang dan aku bisa melihat mereka dari kejauhan.

Tapi, sudah berlalu beberapa puluh hari mereka tak pernah tampak. Bahkan aku tak melihat satupun orang perguruan melintasi desa. Desa ini cuma punya satu jalan. Rumah dan warung menyebar di kanan dan kiri jalan itu saja. Jadi cukup mudah untuk memperhatikan perilaku orang-orang dari luar daerah.

Dari sepanjang waktu itu, aku juga hanya dua kali melihat kereta kuda pergi ke arah perguruan. Kereta pertama hanya melintas tanpa bertanya pada siapapun. Di dalam kereta itu, dari jendela yang tertutup kain tipis, sekilas aku melihat seorang perempuan, lebih tampak seperti nyonya dengan pakaian sederhana. Tapi bisa memiliki kereta kuda, nyonya itu pasti cukup berpunya. Mungkin ia hendak bersembahyang atau konsultasi sesuatu dengan para Shishu atau Shigong. Kereta berikutnya tampak baru pertama kali ke sana. Kusirnya sempat bertanya padaku seberapa lagi jauhnya perguruan itu. Akhirnya aku merasa putus harapan sehingga pergi tanpa arah menyusuri gunung.

Tiba-tiba aku sudah sampai di paviliun di pinggir tebing ini. Aku termenung di sana. Pemandangannya indah namun tampak mistis. Mungkin Shifu dan Meimei akan merasakan sesuatu bila pergi ke tempat ini. Ah …, Meimei. Salahkah aku telah meninggalkan Meimei? Meimei sebenarnya tak bersalah. Ia hanya efek samping dari kebejatan Shifu. Tapi mengingatnya adalah anak dari orang yang menyebabkan Adie celaka, aku menjadi benci telah menjadi saudara satu ibu dengannya. Ketika sedang memikirkan itu, aku mendengar suara langkah mendekat. Seorang kakek yang masih sangat kuat dan gesit. Ia bahkan bisa sampai di tempatku tanpa terengah-engah. Dilihat dari pakaiannya yang kasar, mungkin penghuni desa terdekat.

Ia bertanya pada saya setelah terdiam sejenak ketika saya menyapanya sebagai ‘Paman Tua’, katanya, “Mengapa Anda di sini seorang diri?” orang ini berkata-kata dengan sangat sopan dan formal. Berbicara dengannya membuatku merasa sedang berbicara dengan rekan orang sipil di pemerintahan. Apakah ia adalah pejabat setempat yang senang menyamar sebagai orang biasa?

Aku mendesah dan barulah menjawabnya, “Kawan seperjuangan saya banyak yang telah pergi. Perang mencabut nyawa mereka namun perang juga tak pernah berakhir.”

Ia menengok ke bawah tebing dan berkata pelan, “Anda tidak sedang berkata hendak menyudahi hidup di sini, bukan?” mendengar pertanyaannya, sontak aku kaget dan tertawa terbahak-bahak. “Menurut Anda?” kataku lagi.

Paman tua itu tersenyum. Entah mengapa aku jadi tertarik untuk bercerita padanya. Akan kegundahanku pada perang yang tak juga berakhir. Tentang perbatasan yang kurang diperhatikan.

‘Paman Tua’ menghela nafas sebelum berkata, “Anda tahu? Mo[2] pernah dengan kata lain berkata perang tak akan usai karena orang-orang tidak menerapkan cinta universal.”

“Hal tersebut akan sangat susah diterapkan. Utara dan barat adalah wilayah orang barbar. Kehidupan mereka yang seperti itu tidaklah sebanding dengan tempat kita ini. Lebih parah lagi, pemerintah pusat tidak memperhatikan kami, penjaga perbatasan.”

“Anda perlu ingat sejarah pendirian kerajaan ini. Siapa dia dan bagaimana latar belakangnya, dengan demikian Anda akan paham posisi sebagai seseorang dari sisi militer ….”

Aku terangguk-angguk mendengar ‘Paman Tua’ babarkannya bagaimana leluhur marga Zhao mendapatkan tahta dan merasa pernah mendengar hal sama. Dia masih menjelaskan sampai akhirnya dia terdiam mengambil nafas. “Untuk Anda renungkan sendiri,” katanya setelah itu. Aku melihat dia menunggunya melanjutkan. “Lao[3] juga mengatakan sekalipun menempa dengan tajam, tak berarti dapat selamanya melindungi[4]. Jadi–,”

“Tahu cukup. Para penguasa yang haus kekuasaan dan harta selalu akan membuat perang selalu bergejolak. Juga kami… aku tampaknya perlu mengingat tahu cukup. Jabatan apa lagi yang kucari sekarang….” Setelah memotong kata-katanya, aku terdiam membeku. Kalimat terakhir itu berkali-kali dulu telah saya dengar semenjak saya masuk perguruan. “Apakah Anda seorang Daoshi?” kataku memberanikan diri bertanya.

Ia sekali lagi tersenyum, tidak mengangguk ataupun menggelengkan kepala. Ia berkata, “Memang benar saya telah mempelajari taoisme sekian waktu, tapi menyatakan diri sebagai daoshi, saya tetap merasa tak pantas.” Ini adalah jawaban mengambang, tapi mungkin memang begitu sifatnya. Lagipula aku pernah juga berjumpa dengan beberapa pendeta Tao yang memiliki pengetahuan mengagumkan namun begitu merendah, tidak berani membanggakan diri mereka.

Saya pun ikut tersenyum dan membalas, “Saya juga pernah pelajari hal sama dengan Anda. Akan tetapi ada suatu masalah terjadi sehingga saya pergi dari perguruan. …,” saya mendadak terdiam karena tak tahu apakah kisah seperti itu pantas diceritakan ke orang tak dikenal ataupun harus saya simpan seorang diri? Tapi orang ini terlihat cukup bijak, akhirnya aku berani melanjutkan, “Guru saya ternyata adalah orang yang membuat Adie pergi selamanya. Saya waktu itu tak dapat memaafkannya sekaligus merasa tak pantas untuk membalaskan dendam Adie. Karena itu, saya hanya bisa pergi.”

Mukanya menjadi membeku kaget sesaat sebelum tertegun tanpa emosi dengan terus memandangi saya kemudian menganggukkan kepala dan berlalu pergi. Aku tak tahu apa yang ada di pikiran Paman Tua itu namun dapat merasakan ia sungguh penuh misteri, seperti ada yang harus disembunyikannya dari semua orang.

-*-

Lingyan

Aku melahirkan anak perempuan di umurku yang ke tujuh belas, kurang-lebih dua sampai tiga tahun setelah menjadi istri Bao Feng. Sekarang, anak perempuan itu telah menikah dengan seorang laki-laki dari keluarga sederhana. Menantuku itu masih belajar, belum lulus ujian negara. Aku sengaja memilih menantu yang bukan dari keluarga kaya. Lebih baik anakku hidup sederhana tetapi tidak mengalami tekanan sepertiku. Apalagi ia bukan anak dari istri sah yang memiliki nilai tawar tinggi untuk menjadi istri sah dari anak sah keluarga penting. Mudah-mudahan menantuku segera menjadi sarjana dan kehidupan mereka pun membaik.

Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, sang Nyonya Besar sudah meninggal. Karena Bao Feng bukanlah anak dari istri sah, kami semua tetap tinggal di bagian samping rumah utama. Kakak tiri Bao Feng yang kini bertindak sebagai tuan besar. Artinya, sudah hampir dua puluh tahun kiranya aku berstatus selir Bao Feng. Dalam beberapa hari belakangan, Bao Feng sakit dan kini para tabib telah menyerah.

Hari itu, mendadak ia memanggilku dan meminta semua orang pergi. Kami hanya berdua di kamar tersebut dan ia berkata dengan suara pelan, “Ada suatu hal yang selama ini terus kututupi darimu, juga demi kamu.”

Aku menatapnya bingung sedangkan ia berusaha meraih wajahku lalu mengusap pipi kemudian hidungku dengan perlahan. Lelaki ini telah berusaha membuatku mencintainya hingga di waktu ini. Tapi entah mengapa hatiku tetap kosong. Selama ini, selain memikirkan anak gadisku, yang di dalam pikiranku hanya Tong Ge dan Shifu. Untuk mereka bertiga aku membaca kitab dan mendaraskan setiap hari, pagi dan sore.

Lalu ia menghela nafas barulah melanjutkan, “malam itu aku melihat Lingtong masuk kamar Xu Daoshi. Karena penasaran, aku menguping di luar.”

Aku tertarik. Apa yang terjadi pada Tong Ge di malam itu sampai acuh padaku dan pergi tanpa pamit? Ia menatapku lekat membuatku berpikir segala kemungkinan, “Waktu itu, kakakmu pergi bukan untuk menolong Xuanjing.” Aku menganggukkan kepala. Aku sudah cukup lama menduga ada masalah di antara mereka setelah itu. Selagi itu, Bao Feng kembali meneruskan, “Aku sungguh tidak tahu bagaimana menyampaikan padamu selama ini. Aku hanya takut kamu akan terpukul,” katanya lagi dan tentu membuatku semakin penasaran. “Tapi, aku sungguh ingin tahu. Mereka adalah orang penting dalam hidupku.”

“Aku tahu. Aku tahu itu,” katanya muram. “Xuanjing …. Kau dan Lingtong bukan saudara kandung.” Aku membalasnya dengan menatap lekat meminta penjelasan.

“Xuanjing menodai ibumu juga … yang menyebabkan ayah kandung Lingtong meninggal,” lanjutnya. Mendengarnya, seketika aku terbelalak. Aku menggelengkan kepala tak percaya dan nafasku—tanpa sadar—tersengal-sengal.

Aku tahu Shifu di masa lalu bukan pria baik-baik. Tapi bila Shifu adalah ayah kandungku sekaligus yang menyebabkan ayah kandung Tong Ge celaka, aku tak ingin percaya. Bolehkah?

“Feng …,” panggilku berbisik. Ia menungguku dengan tatapan matanya. “Apakah kau bersikeras menikahiku karena tahu siapa ayah kandungku sebenarnya?”

Ia cepat-cepat menggelengkan kepala. Meskipun nafasnya jelas terlihat tinggal di ujung penghabisan, untuk pertanyaanku itu ia jelas-jelas menunjukkan tidak suka dengan sekuat tenaganya menggelengkan kepala.

“Sejak kau menggantikan Xuanjing duel, aku sudah menyukaimu. Sungguh.”

Aku tertunduk. Ia selalu membelaku bila istri sahnya mencari masalah. Berkali-kali membuatku merasa simpati dan tak bisa membenci dia. Padahal, sudah begitu lama aku ingin punya alasan untuk membencinya. Namun, ia tidak memberikan peluang. Aku sama sekali tak bisa membenci dia sedikitpun. Seberapapun acuhku padanya, dia selalu membela kepentinganku.

“Kau … selalu ingin pulang ke perguruan bukan?” tanyanya. Serta-merta aku menganggukkan kepala. “Tunggulah. Tunggu sampai setidaknya aku dikubur. Maukah?” tanpa kusadari, mataku berair karenanya.

Hanya selang dua hari setelahnya, Bao Feng meninggal. Tak sampai sebulan setelah kematian dia, aku meminta pada Nyonya[5] agar mengizinkan kembali ke perguruan untuk melanjutkan pelajaranku. Tentu dengan senang hati ia melepasku pergi sampai membekali dengan cukup banyak barang untuk biaya hidup di perguruan. Tersiar di antara keluarga besar bahkan sampai orang luar bahwa selir kesayangan Bao Feng karena begitu berduka memutuskan membiara. Mungkin mereka memang tak pernah tahu bahwa aku memang pernah di sana bertahun-tahun.

Di hari-hari terakhir, anakku menjumpai. Protes dengan keputusanku. Ia berkata, “Aku tahu berita di luar tidak benar. Sepanjang hidup, aku melihat sendiri bagaimana hubungan Aniang dengan Fuqin. Hal itu membuatku semakin bertanya-tanya, mengapa Aniang melakukan itu? Apakah Muqin[6] yang memaksa?” ia tahu hubunganku dengan ibu sahnya tidaklah benar-benar harmonis seperti yang dikira semua orang. Bao Feng terlalu melindungiku, membuat istri lainnya bahkan istri sah merasa iri.

Aku menggelengkan kepala. “Justru Fuqin yang merenggutku dari perguruan, Nak.” Lalu, aku bercerita padanya tentang masa kecilku di sana sampai kemudian bertemu dengan Bao Feng. Aku sengaja tidak cerita bahwa kakek kandungnya adalah guruku sekaligus bangsawan Da Han terakhir yang hidup hingga sekarang. Aku takut kelak akan mempersulit suaminya yang akan menempuh ujian.

“Bila ada waktu kelak, kunjungi aku. Aniang akan mengajakmu pergi ke semua tempat indah yang jarang dilihat oleh orang luar,” kataku di penghujung. Ia terlihat mulai bisa menerima keputusanku.

Dengan dihantar kereta kuda, aku kembali ke perguruan. Aku melihat dari jendela kereta, anakku menghantar hingga muka pintu. Semakin lama mengecil hingga tak terlihat. Tapi tembok rumah keluarga Bao belumlah usai. Kediamannya begitu luas sehingga membutuhkan sekian waktu berkuda hanya untuk keluar dari daerah kekuasaan keluarga Bao.

Hatiku berdegub semakin cepat ketika desa terdekat perguruanku telah kulalui. Bertahun-tahun lampau dengan Shifu, Shishu dan Gege, di sana kami melawan makhluk-makhluk itu dan menyelamatkan orang desa. Sekarang desa tersebut sangat ramai dan damai. Sama sekali tak ada sisa kekacauan dari masa itu.

Menghela nafas, aku meminta kusir memacu lebih cepat. Sungguh, aku tak sabar bertemu dengan mereka yang dulu telah kutinggal pergi. Aku rindu Shigong, rindu para Shishu. Memang ada sekelumit tanda tanya. Bila di sana juga ada Shifu, bagaimana aku harus memanggilnya, Adie, Fuqin ataukah Shifu? Puluhan tahun aku mengenalinya sebagai Shifu, mungkin lidahku akan tak terbiasa memanggil beliau dengan sebutan lain.

Di perguruan, ternyata tak ada lagi Shigong. Shifu juga ternyata tak pernah kembali. Xuanli Shishu yang kini mengepalai perguruan dan mengurus semuanya dibantu dua adik perguruannya sebagai asisten. Dahulu, murid dalam Shigong totalnya lima orang. Kemudian ditambah aku juga Gege yang menjadi murid Shifu. Setelah bertahun-tahun kami tidak kembali, ternyata Shishu mendapatkan tiga orang murid dalam serta beberapa murid luar yang hanya sekali dua kali dalam setahun berkunjung.

Sekarang, aku telah pulang pada mereka.

-*-

Xuanli

Setelah berpisah bertahun-tahun akhirnya Lingyan kembali. Melihatnya pertama kali, aku merasa tak kenal. Seorang perempuan berpakaian rapi dan bersih dengan hiasan rambut sederhana berdiri anggun depan pintu perguruan. Lingyan dahulu sangat tomboy karena tinggal di antara laki-laki bertahun-tahun.

Perempuan yang kulihat berdiri di muka pintu perguruan ini, Aku sampai mengira adalah nyonya entah dari keluarga pejabat mana di kota. Aku baru mengenali ketika ia memanggilku ‘Shishu’. Suara itu memang berubah jadi lebih dewasa dan keibuan. Tapi nada, kehangatan dan manjanya, tentu aku mengenali. Tidak sadar air mataku menetes begitu senang. Aku rindu anak satu ini.

Tak hanya aku, adik-adik seperguruanku pun segera tergesa-gesa mendekati dan menyambut dirinya.

Sepanjang hari itu, dia hanya bercerita dan cerita saja padaku. Ia menceritakan padaku akan Bao Feng dan anaknya, juga … bahwa ia telah mengetahui hubungannya dengan Xuanjing. Aku terdiam sesaat setelah mendengar hal yang terakhir itu. Dia pun bertanya apakah aku sempat berjumpa dengan Xuanjing. Aku mengangguk lalu kataku, “Di dalam penjara Bianjing. Tapi keesokan harinya dia dipindahkan, entah ke mana.”

Sampai saat ini dia ternyata tak pernah lagi bertemu Xuanjing. Bahkan, Lingtong pun ia tak tahu bagaimana kabarnya. Mereka, sepasang guru murid yang hubungannya aneh itu apakah sudah bertemu dan akur kembali? Ataukah justru keduanya telah meninggal? Da Song tidaklah aman. Suku-suku utara banyak menyerbu masuk sehingga perang sering terjadi. Mereka baik-baik sajakah?

Memang, mati adalah takdir setiap makhluk yang hidup. Akupun tak akan lolos daripadanya. Akan tetapi kami yang melatih diri seharusnya berbeda dengan orang kebanyakan sebab kami juga membina kesadaran. Jadi, aku yakin bila Xuanjing telah meninggal, ia seharusnya dapat dengan mudah memberitahu kami. Terlebih Lingyan juga punya indra yang sangat peka dan bukankah ia sudah tahu bahwa Lingyan adalah anak kandungnya? Bila Lingyan pun tak merasakan apapun itu seharusnya berarti Xuanjing masih hidup entah di mana.

Sayang, percakapan kami kemudian tertunda karena ada tamu datang dengan kereta indahnya.

-*-


  • [1] Panggilan formal untuk ibu kandung
  • [2] Merujuk pada Mo Di 墨翟 salah seorang filsuf pada masa 100 aliran filsafat. Cinta universal yang dimaksud adalah ajaran tentang jian’ai 兼爱intinya agar menerapkan cinta yang tidak berjenjang antara ibu saya dengan ibu kamu, negara saya dengan negaramu dan sejenisnya.
  • [3] Merujuk pada Laozi yang dikatakan telah menulis kitab 5000 huruf dan di kemudian hari dikenal sebagai Daode Jing.
  • [4] Dikutip dari Daode Jing bab 9.
  • [5] Merujuk pada istri sah Bao Feng
  • [6] Di sini sebagai ibu sah (bukan ibu kandung).
%d blogger menyukai ini: