Lanjut ke konten

Bab 4

Di luar sana musim dingin baru saja tiba, namun di puncak Gunung Yu, musim dingin tak akan pernah pergi. Begitu pula kabut tipis ataupun tebal. Ia selalu menyelimuti udara, senantiasa menemani para penghuni puncak Gunung Yu lainnya layaknya seorang sahabat.

Dulu, di masa-masa mereka masih sering bercanda tanpa beban, Bai Lengyu pernah berkata pada Zhu Bu, “Jika saja kabut itu menghilang, mungkin Baiyu Jiao tak akan begitu ditakuti oleh orang-orang. Akan ada banyak orang bertandang ke markas Baiyu Jiao mencuri harta kekayaan kita. Kabut itulah yang melindungi markas Baiyu Jiao. Memberi aura misterius yang membuat banyak orang segan bertandang.” Waktu itu seingat Zhu Bu, ia sedang mengeluhkan hari-hari membosankan dengan latihan dalam udara beku dan kabut sepanjang waktu.

Menjejakkan kembali kaki ke markas Baiyu Jiao dengan membawa berita yang menurutnya aneh tak terkira membuat Zhu Bu merasakan denyut aura misterius yang menyelubungi markas. Perasaan yang sebenarnya tak pernah dirasakannya di masa lalu kecuali tengah bosan. Kali itu justru membelenggunya demikian erat. Memaksanya segera melangkahkan kaki masuk ke dalam bangunan-bangunan yang terhampar di depan. Dalam bangunan-bangunan itu… mungkin… perasaannya akan sedikit lebih tentram.

DieNiang…!” berlarian Zhu Bu mencari orangtuanya dalam kamar, ruang buku, ruang latihan, bahkan kembali ke hutan, lalu menilik paviliun tengah kolam. Namun ia tak menemukan apa yang dicarinya. Bahkan kamar Fan Ku pun kosong.

Kemana perginya mereka semua…

Di saat yang sama, terdengar suara langkah yang sangat ringan. Tentu mereka – para pemilik suara tersebut – adalah orang-orang yang menguasai ilmu meringankan tubuh sangat tinggi. Ke arah merekalah Zhu Bu menoleh.

Sesaat setelah menoleh, ia menghembuskan nafas lega dan berlari menjumpai mereka dengan senang.

Die, Niang. Kalian dari mana?”

“Hanya jalan-jalan di luar. Kenapa, A Bu?” Yi Meixin yang berkata. Melihat wajah Zhu Bu sekilas ia segera mengetahui ada sesuatu hal mendesak yang ingin disampaikan Zhu Bu padanya.

Sebenarnya Yi Meixin tidak tahu hal yang sebenarnya dilakukan Fan Ku dan Zhu Xu. Ia mengira mereka benar-benar hanya berjalan-jalan. Padahal Fan Ku sempat menghilang untuk menyerahkan bungkusan pada Chu Langzhong yang ditolak mentah-mentah. Hal menghilangnya Fan Ku ditutupi pula oleh Zhu Xu.

“Aku….”

“Anakku yang biasanya pandai menjawab mendadak diam seperti ini, sebenarnya ada apa?” kali ini Zhu Xu. Tentu dengan delikan mata menggoda Zhu Bu.

Die… kalau… aku menikahi seorang gadis yang tak tahu kungfu sama sekali apakah itu akan jadi masalah?”

Berpikir sebentar lalu Zhu Xu menggelengkan kepalanya.

Zhu Bu berusaha menjelaskan sebaik mungkin, “Dia benar-benar tidak bisa kungfu. Ilmu meringankan tubuh juga tidak bisa. Benar-benar gadis biasa dari keluarga biasa?”

“Bukankah itu baik? Daripada menikahi gadis yang mengaku-aku dari aliran putih tapi kelakuannya seperti setan beringas?”

Fan Ku tersenyum. Agaknya telah mengerti arah pembicaraan Zhu Bu.

“Gadis mana yang kamu sebut-sebut itu, A Bu? Biarkan Niang mengenalnya. Mungkin… Niang bisa mengajarkan ilmu musik Niang padanya.”

Begitu senang Zhu Bu mendengarnya. Semburat kebahagiaan bersemi di wajah dan setiap gerak-geriknya.

“Huh, rupanya… penasihatku sebentar lagi akan punya mantu. Apakah ini juga peringatan kalau usiaku telah menua?”

Teguran itu membuat Zhu Xu sadar. Namun dengan tangkas digunakannya untuk menggoda Fan Ku agar tak tampak telat menyadari. “Kau sadari itu, Dage? Mengapa tidak kau lamar saja Xiaoxia? Orangtuanya sudah meninggal, dengar-dengar dia juga masih belum menikah. Ulahmu yang membuatnya jadi perawan tua.”

Fan Ku tersenyum pahit dan meningggalkan Zhu Xu beserta keluarganya.

***

“Besok kita berangkat.”

Menoleh kepala karena terkejut, Baiyu bertanya, “Pergi ke mana, Gan Yeye?”

“Tentu saja mengatakan pada dunia bahwa ada kau sebagai penerus ilmu pengobatanku. Selain itu aku ingin membelikanmu beberapa baju.”

Baiyu melihat dirinya sendiri. Baju yang dikenakannya memang bukan bajunya. Terlalu lebar namun kurang panjang untuknya. Semua baju yang dipakainya adalah milik Chu Langzhong. Tubuh Chu Langzhong sedikit gemuk dan tidak terlalu tinggi. Akibatnya baju tersebut serba nanggung ketika dikenakannya.

“Seorang pemuda seperti cucuku tak pantas pakai bajunya orang tua. Tak enak dilihat. Mataku sakit.”

Kelihatannya Baiyu setuju dengan ide Chu Langzhong untuk turun gunung. Mungkin ia juga merindukan masa-masa ketika ia dan Zhu Bu berkelana untuk menjalankan tugas mereka.

Sembari terus belajar, Baiyu kemudian bertanya, “Gan Yeye… bolehkah kita pergi ke suatu tempat dulu?”

Chu Langzhong menunggu tanpa menjawab.

“Sudah lama aku tidak mengunjungi kuburan Niang.”

Kali ini yang dipanggil niang oleh Baiyu tentu bukan Yi Meixin. Chu Langzhong tahu bahwa Yi Meixin masih hidup. “Fan Ku menceritakan padamu bagaimana ia mendapatkanmu?”

Baiyu menganggukkan kepalanya sekali. “Sebelum ia mengajariku ilmu ‘pedang giok es’.”

Pastinya karena ia takut kau tidak pulang setelah tahu bagaimana asal-usulmu.“Tentu saja. Gan Yeye tidak mungkin melarangmu berbakti pada mendiang ibumu.”

***

Salju tebal menyelimuti seluruh permukaan makam. Seluruh pohon di sana tertutup salju. Bahkan puing-puing rumah pun tak luput diselimuti salju. Semuanya serba putih.

Rintik butiran salju pun tak henti menjatuhi payung yang dibawa Baiyu dan Chu Langzhong. Ketika Baiyu melepas payungnya kemudian berlutut menyembah di hadapan nisan, salju pun segera menjatuhi kepalanya.

Chu Langzhong berdiri mengawasi. Tak terlampau dekat namun juga tak jauh. Berdiri diam menghembuskan nafas yang terlihat seperti gumpalan asap. Kala musim salju tiba, dingin yang menyeruak selalu membuat nafas seseorang membentuk gumpalan asap. Gumpalan asap itu kemudian segera menghilang. Seolah larut dalam bekunya udara.

Niang, Die tidak melupakan kita. Gan Yeye bilang Die mencari-cari kita. Setelah aku sembuh, aku akan ganti mencarinya. Tapi… aku takut… takut Die tidak bisa menerima masa laluku…”

“Dia tidak mungkin tahu. Siapa yang akan percaya aku, Chu Langzhong, akan mengambil orang Baiyu Jiao sebagai penerus ilmu pengobatanku? Semua orang sudah tahu Baiyu Jiao adalah musuhku. Biarkan ini jadi rahasia kita berdua. Tak ada yang perlu dikuatirkan. Baik-baiklah belajar dan sembuhkan dirimu. Dunia luas menanti munculnya shen yi berikutnya.”

“Benarkah Gan Yeye?” Baiyu bertanya dengan menoleh pada Chu Langzhong tak percaya. “Apakah mungkin selamanya ini akan menjadi rahasia kita berdua?”

Chu Langzhong menganggukkan kepalanya. Meskipun ia sendiri ragu, Baiyu tidak boleh sampai menyadari keraguannya itu. “Sekalipun pada akhirnya mereka tahu, kala itu kau adalah shen yi. Mereka membutuhkanmu. Mana mungkin mereka berani berbuat macam-macam?”

Dari kejauhan, seorang laki-laki datang ke arah mereka. Tangan kirinya memegang dada kanan. Dan tangan kanan menggenggam sebuah pedang. Pedang itu terus diseretnya ke tanah selama ia berjalan. Nampaknya lukanya teramat berat.

Gan Yeye, ada orang datang. Tampaknya ia mengalami luka berat,” lapor Baiyu. Dengan ketajaman pendengarannya nampaknya mudah baginya membedakan langkah orang dalam keadaan sehat dan langkah orang yang sedang sakit.

“Lakukan tugasmu, Baiyu.”

Setelah menganggukkan kepala, sekali lagi Baiyu memberi hormat di depan nisan kemudian pergi menghampiri orang tersebut.

Orang itu kira-kira umurnya seusia Baiyu atau mungkin sedikit lebih muda. Dari pakaiannya tak diketahui dia dari perguruan ataupun aliran mana. Baiyu juga tidak memperhatikan pedang yang dipegang orang tersebut. Yang jelas lukanya sudah sangat parah. Darah terus menetes dari lukanya membasahi salju yang terhampar di tanah meninggalkan bercak kemerahan.

Wajah orang tersebut juga sangat pucat. Tentunya karena sudah kehilangan banyak darah. Sampai di hadapan Baiyu, ia ambruk. Tentu bukan karena tahu Baiyu dapat menyembuhkan lukanya, namun karena ia sudah tak punya sedikitpun tenaga.

Baiyu mengangkat dan membawanya ke rumah paling utuh di reruntuhan desa tersebut. Entah rumah siapa itu.

Dalam rumah itu, dipan kayu yang ada sudah reot, tak mungkin lagi ditempati. Terpaksa dibaringkannya orang itu di lantai tanah beralaskan baju Baiyu.

Yang pertama kali harus dilakukan Baiyu adalah menghentikan pendarahan. Kemudian juga menjahit luka yang menganga itu. Kali ini ia melakukannya tanpa satupun petunjuk dari Chu Langzhong. Tampaknya Chu Langzhong sengaja melepas, mungkin karena telah percaya pada kemampuannya atau untuk mengetes sudah seberapa tinggi ilmu pengobatan yang dikuasai.

Kemudian kedua proses tadi berhasil dilakukannya dengan baik, walaupun jahitan di luka orang itu tak seberapa baik. Tampaknya Baiyu masih harus banyak berlatih untuk itu. Tapi mana ada orang yang tak terluka apa-apa mau dijadikan bahan latihan?

Melihat luka orang tersebut membuat Baiyu teringat pada luka yang pernah diterimanya. Perlahan ia menggerakkan tangan meraba luka yang dulu nyaris merenggut nyawanya. Tak tahu apa yang dipikirkan Baiyu ketika itu membuat Chu Langzhong bertanya, “Kenapa, Baiyu?”

“Lukaku…”

“Lukamu tak akan ada masalah lagi. Walaupun… luka itu akan tetap meninggalkan bekas.”

“Luka dia…”

“Juga demikian. Lukanya demikian besar. Kau sudah berusaha yang terbaik untuknya. Sekarang istirahatlah. Gan Yeye tahu kamu pasti lelah setelah mengobati orang itu. Sekarang biar Gan Yeye yang menjaga dia untukmu.”

Baiyu menuruti nasihat Chu Langzhong, menyingkirkan diri ke sudut ruangan lalu tidur lelap.

*

Setelah dua kali matahari terbenam dilewatkan orang tersebut, hari ketiga, akhirnya ia sadar. Pertama kali yang dilakukan adalah bertanya siapakah kedua orang asing yang berada di dekatnya dan kenapa ia ada di tempat itu.

“Kami sedang jalan-jalan ketika cucuku melihatmu pingsan dengan luka parah. Untungnya ia menguasai sedikit ilmu pengobatan. Dengan demikian lukamu harusnya tak apa lagi.”

“Terima kasih,” ia terus mengamati Baiyu yang terus bekerja dalam kesunyian. “Siapakah nama tuan penolongku ini?”

“Bai… Yu…,” Baiyu menjawabnya dengan nada tertahan. Seolah-olah namanya adalah sesuatu hal yang tak pantas dikatakan. Tak ingin ditanyai lebih lanjut, Baiyu mendapatkan akal untuk menghindar. “Gan Yeye, aku mohon pamit hendak mencari obat untuknya.”

Kepergian Baiyu diiringi sorotan mata orang yang ditolongnya itu.

Dari perbincangan antara Chu Langzhong dengan orang tersebut, diketahui namanya adalah Cheng Ming. Ia adalah murid luar Shaolin yang kini bekerja pada biro pengawalan ekspedisi.

Lukanya kali ini akibat perampok yang hendak merampas benda berharga yang sedang dihantarnya. Sangat beruntung nasibnya, benda tersebut masih aman tersimpan di balik bajunya. Dan yang berhasil dirampas perampok hanyalah kotak berisi batu belaka.

Katanya ia harus mengirimkan benda tersebut pada keluarga Huo yang tinggal di Jingcheng. Entah apa guna barang tersebut hingga mengundang perampok datang padanya. Mungkin karena nilainya saja. Atau mungkin ada fungsi tertentu. Yang jelas barang itu sendiri tentunya bernilai sangat tinggi. Sebuah giok berukir indah yang dipahat oleh seniman ahli.

Laorenjia[1] hendak pergi ke mana?”

“Aku sendiri juga tidak tahu pasti. Hanya mengikuti kemana kaki ini membawa kami pergi. Sebenarnya… tujuanku adalah memberi kesempatan pada cucu angkatku itu agar dapat lebih banyak mempraktekkan ilmu pengobatan yang belum lama ini dipelajarinya. Rumah kami yang di atas gunung kukira akan membuat ilmunya terkungkung tak berkembang. Hanya pengalaman yang dapat membuat ilmu berkembang. Bukankah demikian?”

Cheng Ming menganggukkan kepalanya setuju. “Kalau begitu… aku ada usul. Apakah Anda bersedia mendengar?”

Chu Langzhong berdiam menunggu.

“Kalau Laorenjia tidak takut dengan kematian, kudengar desa Tu sedang tertimpa suatu wabah. Lebih dari separuh penduduk desa tersebut terkena suatu penyakit serupa. Dan banyak pula di antara mereka yang kemudian meninggal. Pihak pemerintah belum dapat menuntaskan wabah tersebut. Jika Baiyu dapat mengobati mereka, hal ini akan sangat baik bagi penduduk desa tersebut dan juga untuk membangun nama baik cucu angkat Laorenjia.”

“Kau dengar itu, Baiyu?” mendapati Baiyu telah kembali, pertanyaan itu dengan cepat diajukan. Melihat anggukan Baiyu, Chu Langzhong kembali bertanya, “Apakah kamu takut mati, Baiyu?”

Gan Yeye tak perlu mengejek seperti itu. Berangkat, ayolah berangkat. Yang kupikirkan hanya bagaimana dia selanjutnya.” Yang dimaksud dengan ‘dia’ tentunya adalah Cheng Ming.

“Kamu tidak perlu memikirkan aku. Kukira lukaku sudah sembuh karena pertolonganmu. Lagipula… masih ada tugas yang harus segera kuselesaikan. Kalau mau pergi, ya pergilah.”

“Baiklah. Akan kutuliskan resep untuk menambah darah. Obat ini harus diminum sementara waktu ini. Kalau lukamu terbuka lagi, segeralah cari lang–.”

Langzhong. Aku mengerti,” mungkin dalam pemikiran Cheng Ming, Baiyu adalah sosok tabib muda yang cerewet untuk urusan kesehatan pasiennya. Namun di sisi lain ia juga seorang pribadi yang tertutup.

Lihat saja, ditanya namanya, dijawabnya dengan tergagap. Tapi begitu memberi nasihat, kalimat yang keluar dari mulutnya adalah seruntun kata-kata teratur yang diucapkan dengan sangat cepat.

Memperhatikan Baiyu yang tengah menulis, mendadak Cheng Ming mendapat suatu pertanyaan. Tak mau pertanyaan itu akan terus mengganggu pikirannya, ia langsung bertanya, “Kudengar ada seorang shen yi yang tinggal di Gunung Nan. Ia adalah murid dari seorang shen yi yang semasa hidupnya disebut-sebut sebagai ‘Hua Tuo yang kembali hidup’. Apakah Baiyu ini adalah murid dari shen yi yang kumaksud itu?”

Mendengar tebakan tersebut, Chu langzhong tertawa terbahak-bahak. Tampak begitu senang. Dengan tawanya itu, ia sekaligus menjawab bahwa tebakan itu benar adanya.

“Kalau begitu, laorenjia adalah shen yi itu? Kalau demikian aku begitu beruntung nyawaku diselamatkan kalian. Dan juga suatu keberuntungan bagi penduduk desa Tu jika kalian bersedia datang mengobati mereka.”

“Kami akan berusaha sebaik mungkin,” ini adalah jawaban sopan Chu langzhong dengan maksud berusaha merendahkan diri.

Setelah selesai menulis dengan kertas dan tinta yang dibawanya, Baiyu menyerahkan kertas berisi resep obat pada Cheng Ming. Kali ini ia melakukannya tanpa suatu suara apapun. Bahkan tak juga terpancing dengan tebakan jitu yang diutarakan Cheng Ming.

Pada hari itu juga mereka berpisah, Cheng Ming melanjutkan perjalanannya mengirim barang, sedangkan Baiyu dan Chu langzhong mengikuti petunjuk Cheng Ming pergi ke desa Tu.

***

Setelah menempuh perjalanan selama tiga hari, akhirnya Baiyu dan Chu Langzhong tiba di desa yang disebut oleh Cheng Ming. Aura kematian memang meliputi seluruh desa. Bau mayat dan penyakit menyeruak dimana-mana. Peti mati nampaknya sudah barang lazim nampak di mana-mana. Siapapun yang menjual peti mati bisa menjadi juragan kaya mendadak di desa ini kalau beruntung sehingga tidak ikut dimasukkan ke peti mati.

“Gunakan penutup hidup dan kurangi bersentuhan dengan mereka, Baiyu.”

Baiyu menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Dalam sesaat ia telah mengeluarkan kain. Selembar diberikannya pada Chu Langzhong dan selembar lainnya ia gunakan sendiri untuk menutup hidungnya.

Sebenarnya dengan melihat saja Chu Langzhong sudah dapat mengira-ngira wabah penyakit apa yang tengah menjangkiti penduduk desa Tu. Tapi ia ingin Baiyu yang mengemukakan pendapatnya. Karena itu, ia tetap diam menunggu.

Jika Baiyu masih terus diam tak berkata apapun, Chu Langzhong tentu maklum. Usia Baiyu masih muda, pengalamannya dalam menangani penyakit masih sangat dangkal. Bahkan pasien pertama dan keduanya pun bukan orang yang sakit karena penyakit biasa melainkan para pekungfu kalah tarung. Mungkin hal tersebut yang membuat Baiyu belum dapat membuat kesimpulan hingga saat ini.

Baiyu diam berhenti di depan seorang laki-laki yang tubuhnya sudah teramat kurus. Ia begitu lemas tanpa tenaga dan terus menerus batuk tak ada habisnya. Di dahak yang keluar ketika batuk itu terdapat linangan darah. Penyakitnya tentu sudah cukup parah. Selain itu, dari nafasnya terdengar bunyi ‘ngi’, ‘ngi’ yang aneh.

Tak jauh dari laki-laki itu juga ada seorang pemuda yang usianya tak jauh dari Baiyu. Sekalipun ada beberapa gejala yang sama dengan orang sebelumnya, pemuda ini tidak bernafas dengan mengeluarkan suara aneh. Ia justru lebih sering memegangi dadanya dengan wajah menahan nyeri teramat sangat.

Chu Langzhong terus mengikuti langkah Baiyu dari belakang dalam diam. Tak memberi komentar, nasihat pun dorongan. Ia ingin membiarkan Baiyu terbiasa membuat analisanya sendiri, membuat keputusannya sendiri: penyakit apa yang menimpa penduduk desa ini, bagaimana mencegah penyakit ini menulari penduduk yang masih sehat dan menyembuhkan mereka yang sudah telanjur sakit.

Dengan menghela nafas miris dan kasihan, Baiyu mendekati orang tersebut lalu memeriksa denyut nadinya. Tak jauh dari mereka lagi-lagi ia menemukan orang sakit lagi. Sekali lagi Baiyu memeriksa.

Ia begitu hati-hati. Setelah bersentuhan, selalu dicucinya tangan hingga bersih baru memeriksa pasien yang lain. Terus berulang seperti itu.

Penyakit ini lucunya meskipun disebabkan oleh penyebab yang sama, tapi setiap orang gejalanya tidak selalu sama. Seperti kedua orang tadi dan pasien-pasien lainnya yang dijumpai mereka kemudian. Nampaknya semua keluhan yang muncul tergantung dimanakah kuman penyakit itu bersarang.

*

Singkat cerita, Baiyu dan Chu Langzhong kemudian bekerja sama menolong penderita wabah di desa tersebut. Chu Langzhong tidak mungkin membiarkan Baiyu bekerja seorang diri sedangkan ia ongkang-ongkang kaki. Penduduk desa ini jumlah orang dewasanya sekitar ratusan orang. Yang terkena penyakit tak hanya orang dewasa, ada anak dan perempuan juga. Mungkin ratusan orang juga jumlahnya. Baiyu akan mati kelelahan jika dibiarkan kerja seorang diri.

Untung, pemerintah sebenarnya telah menurunkan tenaga medis untuk desa yang terserang wabah penyakit. Meskipun kala Baiyu dan Chu Langzhong datang, serangan wabah belum berhasil diatasi.

Siapa yang berani melawan anjuran seorang dewa tabib? Bahkan ego mereka sebagai tenaga ahli yang digaji cukup tinggi pemerintah harus ditundukkan dan menurut pada seorang tabib yang sehari-hari berpakaian dengan bahan kualitas buruk. Bukan yang terburuk, tapi juga bukan kualitas baik.

Pada kesempatan kali ini pula, nama Baiyu dikenal oleh orang-orang termasuk kalangan pemerintah. Sebagai penerus ilmu pengobatan Shen yi, pemuda pendiam juga tertutup dan selalu serius ketika bekerja.

*

Memasuki bulan ke delapan, wabah penyakit berangsur-angsur pergi. Penduduk sehat mulai memenuhi jalanan desa. Di bulan itu, desa Tu dan desa sekitarnya yang juga terkena wabah kini menjadi desa yang bersih. Sangat jauh berbeda dari penampilannya di masa lalu. Itu semua akibat perintah Baiyu dan Chu Langzhong untuk membersihkan desa agar wabah penyakit itu tak lagi datang menghampiri mereka.

Kemudian pada bulan ke sembilan sejak kedatangan mereka, Baiyu dan Chu Langzhong meninggalkan desa. Padahal kala itu rencananya perwakilan pejabat tinggi pemerintah hendak  menyampaikan terima kasih untuk bantuan mereka. Namun belum sempat rencana itu dijalankan, kedua orang ini telah pergi tanpa ada yang tahu pasti kapan Baiyu dan Chu Langzhong meninggalkan desa.

***

Datangnya musim semi sejak dahulu kala menjadi saat yang tepat untuk melangsungkan upacara pernikahan. Ketika bunga-bunga mekar dan memamerkan bunga sari dan putiknya untuk disemaikan oleh serangga. Ketika binatang-binatang yang tinggal di hutan sedang dalam masa birahi, para manusia pun tak ingin melewatkan kesempatan ini.

Demikian juga di Baiyu Jiao.

Di kala Baiyu tengah berjuang menyembuhkan penduduk desa Tu dari wabah penyakit, Zhu Bu di markas besar Baiyu Jiao tak lama lagi akan melangsungkan pernikahannya dengan Hou Nulang.

Pita-pita merah menyelimuti ruangan utama Baiyu Jiao. Tempat dimana upacara pernikahan akan dilangsungkan. Ini adalah pernikahan pertama zhuyaozhu generasi Zhu Bu. Pastinya hal tersebut disambut meriah oleh pengikut Baiyu Jiao lainnya.

Di hari terakhir masa lajangnya, Zhu Bu memasuki ruang altar. Ruangan ini adalah sebuah ruangan yang hanya dihuni seperangkat meja, mangkuk kuningan berisi debu dupa dan beberapa dupa yang masih menyala juga puluhan papan arwah bertuliskan nama-nama para pendahulu Baiyu Jiao yang telah meninggal.

Papan nama itu berturut-turut disusun berdasarkan senioritas dan kedudukannya ketika meninggal. Dari atas ke bawah adalah tingkat kedudukannya. Dan dari kiri ke kanan adalah tingkat senioritasnya.

Karena Bai Lengyu diberitakan meninggal dalam kedudukannya sebagai zhuyaozhu, maka papan arwah betuliskan namanya berada di tingkat ketiga teratas pada deretan tersebut. Dan dilihat dari senioritasnya, ia berada di sisi paling kanan.

Mata Zhu Bu tak pernah luput dari papan arwah Bai Lengyu sejak awal ia masuk ke dalam ruangan tersebut hingga ketika ia kemudian duduk bersandar pada salah satu pilar tak jauh dari altar. Ia memang tak bermaksud membakar dupa. Tak juga berniat memberikan penghormatan pada leluhur Baiyu Jiao. Sepertinya ia merindukan masa-masa ketika mereka masih sering pergi berdua, bercanda berdua.

“Besok pagi aku akan menikahi Hou Nulang, gadis yang kamu selamatkan itu, Lengyu. Kamu pasti ingat dia, ‘kan?” Zhu Bu bercerita seolah-olah Bai Lengyu sedang duduk di samping, mendengarkannya. “Aku benar-benar tidak paham mengapa kamu terus berusaha menolak cintanya. Padahal aku tahu kamu juga memperhatikannya. Tapi… sekarang semuanya adalah masa lalu. Walau aku dan Nulang tak bisa menerimanya, kematianmu tetap adalah kenyataan…”

Kemudian Zhu Bu terdiam berjam-jam lamanya di sana. Benar-benar tak memperhatikan bahwa tengah malam telah berlalu.

Ia tak peduli Bai Lengyu bukan saudara kandungnya dan mengurangi jatah susunya. Yang ia tahu, sejak ia dapat mengenali dunia, Bai Lengyu adalah saudara dan temannya dan kematian orang itu adalah hal terpahit yang pernah dialaminya sampai saat ini.

*

Ketika akhirnya matahari terbit, semua orang mencarinya. Mencari mempelai laki-laki yang hilang dari kamar. Tentu semua orang sangat panik. Mempelai perempuan tak lama lagi tiba. Namun pengantin laki-lakinya entah kemana mereka tak tahu.

Mungkin hanya Yi Meixin seorang yang tahu kemungkinan keberadaan Zhu Bu. Ia yang memerintahkan para bawahan mencari Zhu Bu di paviliun tengah kolam atau di hutan. Kedua tempat itu adalah tempat umum yang dipastikan menyimpan kenangan Zhu Bu besar bersama Bai Lengyu.

Ketika di kedua tempat tersebut orang yang dicari tak ada, Yi Meixin pergi ke ruang altar. Hanya tempat itulah tempat terakhir dalam terkaannya.

“A Bu,” panggil Yi Meixin setelah menghembuskan nafas lega. “Semua orang kau buat panik mencari kemana perginya pengantin laki-laki dan kau malah duduk diam di sini? Cepatlah bersiap-siap! Pengantinmu tak lama lagi datang.”

Zhu Bu menolengkan wajah memandangi Yi Meixin kemudian ia mengangguk pada Yi Meixin.

Sebelum pergi, Zhu Bu kembali memandangi papan arwah Bai Lengyu sesaat wajahnya menunjukkan ia tak tega membiarkan Bai Lengyu berdiam di sana sedangkan ia menikmati masa bahagianya. Ingin rasanya ia membagikan arak kebahagiannya pada Bai Lengyu walaupun ia tahu seorang Bai Lengyu tak tahan minum arak. Tapi ini hari bahagianya. Hari yang ingin dibagi dengan sahabat dan saudara yang telah dikenalnya sejak ia masih bayi.

***

Kembali ke rumah Chu Langzhong, kembali ke seharian. Chu Langzhong pergi ke hutan mencari obat untuk menetralkan racun Baiyu sedangkan Baiyu ditinggal seorang diri di rumah bersama dengan buku-buku ilmu pengobatan.

Kesempatan ini tak mungkin disia-siakan oleh Baiyu. Setelah rencananya tertunda berbulan-bulan karena kepergian mereka turun gunung, ia tak boleh melewatkan kesempatan emas. Rapalan ilmu ‘satu tangan menjemput satu nyawa’ tentu masih terpatri jelas dalam ingatannya. Ada tujuan khusus ia meminta rapalan ilmu tersebut. Tujuan yang tak mungkin disampaikan kepada pemilik ilmu sebenarnya.

Baiyu masuk ke dalam kamarnya sendiri. Dalam kamarnya itu terdapat ember kayu besar tempatnya mandi dan berendam obat yang disiapkan oleh Chu Langzhong. Tentu saja peletakan ember kayu di sana agar pasien yang datang tak tahu obat apa saja yang dicampurkan ke dalam air mandi Baiyu.

Dalam ember itu ia sudah menyiapkan air panas. Ke dalam ember itulah ia beranjak. Ilmu dari perguruan Xiangshen bersifat ‘yang’. Air panas itu akan membantunya menyerap yang dan diharapkan bisa mengusir racun ‘yin’ dalam tubuhnya. Itulah keyakinan yang diyakininya sejak kedatangan Lie Jinjia.

Keyakinan yang kemudian ternyata membawa musibah baginya. Ia yang sejak kecil dilatih dalam suhu beku tak mungkin mudah menyesuaikan diri dengan kedatangan tenaga ‘yang’ dalam waktu mendadak. Akibatnya ia muntah darah dan pingsan dalam ember kayu tersebut.

Ketika sore telah tiba, Chu Langzhong baru pulang selesai memetik obat. Melihat rumah sepi tanpa ada tanda-tanda kehadiran Baiyu yang biasa berjalan mondar-mandir membaca buku atau melakukan uji coba di dekat rak obat tentu saja membuat Chu Langzhong cemas.

Panik segera melandanya. Ia takut terjadi suatu musibah pada Baiyu. Mungkin seseorang mengetahui identitas aslinya lalu membunuhnya atau Fan Ku kembali datang lalu membawa pergi Baiyu darinya. Kepanikannya itu membuat ia melempar keranjang kayu yang digendong di pundak. Larilah ia menghambur masuk ke dalam rumah, memeriksa setiap ruangan yang ada. “Baiyu! Baiyu!” teriaknya berulang kali memanggil.

Tak ada jawaban yang didapat membuatnya bertambah panik. Hingga kemudian ia masuk ke dalam kamar Baiyu dan mendapati Baiyu terbaring pingsan dalam ember kayunya.

Ada perasaan lega bercampur cemas menghantui hatinya. Ia lega ketakutannya tadi tak menjadi kenyataan dan cemas dengan apa yang telah dilakukan Baiyu ketika ia pergi sampai pingsan seperti itu.

Dibaringkannya Baiyu ke dipan juga dalam kamar itu lalu ia memeriksa denyut nadi Baiyu. Hatinya begitu sedih hingga tetes air mata mengalir turun dari matanya, tanpa dapat dicegah.

Ia terus diam disana. Duduk menanti dengan hati gelisah, cemas dan sedih.

Ketika matahari hendak terbenam keesokkan harinya, akhirnya keadaan Baiyu berangsur membaik. Suhu tubuhnya telah stabil. Kembali ke taraf biasanya. Dan Baiyu juga mulai sadar.

Sekalipun kekuatirannya mereda, Chu Langzhong tak dapat menyembunyikan kepedihan dan kekecewaannya. Begitu melihat Baiyu mulai sadar, ia meninggalkannya, berdiri memandangi jendela yang ada di kamar tersebut membelakangi pemuda tersebut. Lalu katanya dalam suara lirih penuh kecewa, “Aku tak tahu harus bagaimana lagi agar racun dalam tubuhmu bisa keluar semua, Baiyu.”

Baiyu memandangi punggung Chu Langzhong. Perasaan merasa bersalah benar-benar nampak dalam sorot mata dan sinar wajahnya.

“Tadinya kukira aku bisa menghilangkan racun itu perlahan tanpa kau perlu memusnahkan ilmu kungfumu. Tapi sekarang… karena kau merasa pintar sendiri… semua usahaku sia-sia, kau mengerti?”

Serta-merta Baiyu berlutut menghampiri Chu Langzhong. “Gan Yeye… maafkan Baiyu…”

“Maaf? Kau tak berbuat salah apapun padaku. Kau hanya membuat dirimu sendiri celaka! Mulai sekarang, siksaan yang kau terima jika mengeluarkan tenaga dalammu akan lebih berat dari sebelumnya. Aku juga tidak tahu sampai kapan. Aku tak mampu lagi melakukan apapun. Racun itu kini menjadi satu dengan tenaga dalammu. Ia telah menyebar ke penjuru tubuhmu. Mudah-mudahan kelak dengan kepandaianmu itu sendiri kau sanggup mengatasi racun itu.”

Gan Yeye…,” kali ini dengan nada merajuk.

“Aku benar-benar tak tahu lagi, Baiyu. Seharusnya kamu diskusikan dulu denganku. Kamu sejak kecil ditempa dalam udara beku lalu memaksa dirimu menerima energi ‘yang’. Kamu mendadak bodoh atau benar-benar tidak mengerti bahaya, hah?!?”

GanYeye…,” yang ini diucapkan Baiyu dengan nada begitu menderita. Namun Chu Langzhong hanya menghela nafas dan diam tak menjawab. Tiba-tiba, Baiyu kembali ambruk tersungkur di lantai menggigil kedinginan.

Tentu saja suara berdegum tubuh Baiyu yang menabrak permukaan dipan seolah batu terdengar oleh Chu Langzhong. Buru-buru ia melirik ke belakang. Kondisi Baiyu saat ini membuat Chu Langzhong kembali panik. Buru-buru diambilnya seperangkat jarum perak untuk akupuntur. Setelah memberikan terapi akupuntur, ia pergi memasak obat.

Secara perlahan keadaan Baiyu segera membaik setelah menerima terapi akupuntur dan obat yang dimasak Chu Langzhong.

Namun hari berikutnya, kejadian itu terulang lagi juga pada waktu-waktu yang sama. Ketika matahari mulai terbenam di barat. Baiyu kembali ambruk menggigil. Untungnya Chu Langzhong ada di rumah sehingga dengan segera dapat memberikan pertolongan.

Hari berikutnya juga, lagi dan lagi. Kejadian yang sama terus berulang setiap hari. Setiap hari pula Chu Langzhong harus memberikannya obat itu ditambah terapi akupuntur ketika Baiyu mulai kumat.

Padahal musim semi telah berakhir. Kini sudah masuk musim panas. Artinya udara di sekitar mereka tidak dalam titik terdingin. Bagi kebanyakan orang, ini adalah saat yang tepat untuk pergi bertamasya. Jika ada orang yang tiba-tiba menggigil kedinginan di hari seperti ini tentu anehnya bukan main. Tapi itulah yang terjadi pada Baiyu.

Hari berikutnya, dengan sengaja Chu Langzhong memberikan obat itu pagi begitu Baiyu bangun tidur. Lucunya hari itu gejala itu tak timbul. Hari berikutnya dicobanya lagi tanpa terapi akupuntur, gejala itu juga tak muncul. Artinya asal obat itu diminum setiap hari, racun itu tidak kumat.

Ia menggelengkan kepalanya karena kuatir. Dipandangnya berlembar-lembar daun dan batang kering yang terhampar di meja di hadapannya.

Obat itu sekarang tidak berfungsi menghilangkan racun. Tapi hanya menetralkan kambuhnya racun. Lalu bagaimana caranya agar racun itu bisa keluar? Mana mungkin aku tega membiarkan dia minum obat itu terus menerus setiap hari? Obat yang untuk orang lain adalah racun ganas.

Tapi apa daya, sampai saat ini, hanya itulah cara terbaik yang dapat dipikirkan oleh Chu Langzhong. Entah sampai kapan. Mungkin harus menunggu Baiyu sendiri yang menemukan jalan keluarnya.

Tahu ada kemungkinan tidak kambuhnya racun Baiyu membuat Chu Langzhong berpikir lain. Tak mungkin ia menyiapkan obat rebusan setiap hari. Terlebih jika Baiyu telah dikembalikan ke orangtuanya, tak mungkin Baiyu harus merebus obat itu setiap hari. Mencium bau rebusan obat itu saja, orang lain pasti akan curiga.

Ia harus menyiapkan cara lain agar Baiyu dapat makan obat tanpa perlu susah payah merebus obat setiap hari. Jalan itu adalah menjadikan obat itu sebagai butiran ektrak obat padat yang dapat langsung ditelan.

Hari-hari berikutnya, membuat obat itu khusus untuk Baiyu menjadikannya sangat sibuk. Begitu sibuk hingga berhari-hari tidak pergi ke hutan memetik tanaman obat.

Tahu kalau yang dilakukan Chu Langzhong adalah demi dirinya membuat Baiyu benar-benar tak enak hati. Ia yang membuat kesalahan tapi yang repot adalah Chu Langzhong. Satu-satunya yang dapat dilakukan untuk membalas budi itu adalah mempelajari ilmu pengobatan sebaik mungkin dan menggantikan Chu Langzhong pergi ke hutan memetik tanaman obat.

Kebetulan musim semi dan musim panas banyak hujan. Tentu saja tumbuhan di hutan sedang dalam masa suburnya. Ia juga harus mempersiapkan musim gugur yang tak lama lagi tiba. Persiapan obat-obatan tak boleh kurang selama musim gugur dan musim dingin nanti. Celaka jika persedian obat kurang namun mereka kedatangan pasien.

*

Di pihak lain, dalam dunia luas sana, keberadaan Baiyu sebagai ahli waris ilmu pengobatan Chu Langzhong telah diketahui banyak orang. Tentu saja tak hanya ada orang yang senang karena berita itu tapi juga ada orang yang sirik.

Semua orang, terutama orang dunia persilatan, tentu tahu bahwa Chu Langzhong telah bersumpah tidak menerima murid lagi setelah muridnya meninggal dibunuh perampok bertahun-tahun silam. Karena sumpahnya itu, banyak pemuda yang terpaksa menelan pil kecewa karena ditolak ketika ingin berguru dengan Chu Langzhong.

Salah satunya bermarga Lu. Kira-kira lima belas tahun yang lalu orang ini pernah mendatangi Chu Langzhong memohon agar Chu Langzhong menerimanya sebagai murid. Sebenarnya, ia sendiri dari keluarga cukup berpendidikan dan ilmu silatnya cukup mahir. Mungkin ia merasa kurang puas dengan ilmu yang dikuasainya hingga berminat pada ilmu pengobatan yang dikuasai Chu Langzhong.

Ketika ia tiba bersama dua bawahannya, Baiyu tak ada di rumah karena tengah pergi mencari bahan obat ke dalam hutan. Di dalam rumah hanya ada Chu Langzhong seorang yang sedang menyelesaikan pembuatan pil ekstrak obat untuk Baiyu. Tentu saja ia tak tahu apa yang sebenarnya sedang dikerjakan Chu Langzhong. Yang ia lihat jelasnya Chu Langzhong sedang sibuk semaunya sendiri hingga tak mengindahkan kedatangannya. Seperti kedatangannya pertama kali, dahulu.

Masuk ke dalam rumah digebraknya meja membuat guci kecil yang dipegang Chu Langzhong jatuh dan pecah berantakan di meja karena terkejut.

Chu Langzhong memandangi tamunya kali ini. Jelas yang datang bukan pasien. Lebih tepatnya hanya seorang pencari masalah. Karena itu, ia tak mempedulikannya dan kembali menyibukkan diri dengan ekstrak obat yang sedang dibuatnya. Memang sudah nyaris jadi. Ia tinggal membuatnya menjadi bulatan-bulatan agar mudah ditelan saja lalu memasukkannya ke dalam wadah yang praktis dibawa-bawa.

*

Ketika Baiyu pulang, ia mendapati pintu gerbang rumah dalam keadaan rusak. Demikian juga dengan pintu masuk ke dalam rumah. Dan lewat telinganya, ia mendengar suara gaduh meja yang dibanting dan teriakan Chu Langzhong menahan sakit.

Panik, dilemparkannya keranjang kayu dari punggung ke sembarang tempat. Isi keranjang jatuh berhamburan tak dipedulikan. Baiyu berlarian masuk berteriak memanggil, “Gan Yeye! Gan Yeye!”

Tiba di pintu masuk rumah. Perbatasan antara teras dengan ruangan dalam rumah, dilihatnya rumah dalam keadaan berantakan. Wajahnya mendadak pucat pasi. Terlebih kemudian menemukan Chu Langzhong tersungkur dengan kepala berdarah berusaha mempertahankan nyawa tuanya.

Ia berlari masuk menjumpai Chu Langzhong. Tak memperhatikan siapa ketiga orang lainnya yang ada di dalam rumah tersebut.

Bawahan Si Marga Lu atas perintah majikannya memasang kaki hendak menjegal langkah Baiyu. Namun Baiyu tak mungkin mudah dijatuhkan. Baiyu justru menendang kedua kaki itu keras-keras hingga pemiliknya loncat-loncat dengan kakinya yang lain berteriak menahan sakit karena tendangan itu.

Di bawah pelototan mata majikannya kedua bawahan itu tak mungkin berani berlama-lama memasang seringai menahan sakit. Ketika majikannya memberi perintah untuk menyerang Baiyu mereka langsung bergerak melupakan rasa sakit di kaki mereka.

Baiyu yang tengah berlari guna menjumpai Chu Langzhong terpaksa meladeni. Melawan mereka bagi seorang Bai Lengyu sama seperti bermain dengan bocah. Mereka bukan lawan yang seimbang. Genggaman pedang dan golok di tangan mereka tak erat. Hingga dengan mudahnya Baiyu merebut kedua benda tersebut dari tangan mereka lalu menukar dan menancapkannya ke perut kedua orang tersebut.

Yang digunakannya untuk menancapkan ke perut kedua bawahan itu adalah jurus yang sama dengan yang digunakan Zhu Bu ketika melawan Pan Xiao, ‘jarum dingin menembus sukma’.  Melihat Chu Langzhong yang tak berdaya membuatnya tak berpikir lebih lanjut dan segera memanfaatkan gerakan lawan yang berusaha menghunusnya sembarangan dengan jurus yang telah dikenal dengan baik, mudah dan praktis.

Ketika dua senjata tajam tadi telah bersarang di perut kedua bawahan marga Lu, ia terus berlari menjumpai Chu Langzhong. Diacuhkannya wajah terkejut tak percaya yang dipasang oleh Si Marga Lu.

“Kenapa membunuh mereka, Baiyu? Bukankah aku pernah bilang jangan lagi membunuh?”

Baiyu menggelengkan kepala menangis. Ia benar-benar tak peduli apapun lagi. Semua sikap misterius dan tak pedulian lenyap begitu saja karena melihat kondisi parah Chu Langzhong. Semua ajaran Fan Ku yang diarahkan untuk mengendalikan dan melenyapkan emosi telah dilupakannya begitu saja.

Tidak tahu siapa yang salah, karena Chu Langzhong sebenarnya lebih suka melihat Baiyu yang bisa tertawa, Baiyu yang bisa menangis. Namun melihat Baiyu lepas kontrol hari ini membuat Chu Langzhong juga merasa bersalah.

Seandainya ia tidak membuat Baiyu melupakan ajaran Fan Ku dalam mengontrol emosinya, mungkin kedua bawahan marga Lu itu tak perlu menemui ajalnya dengan cara seperti itu.

“Kau juga tahu kungfu rupanya,” tegur Si Marga Lu tak menyadari nama jurus yang digunakan Baiyu. Jika saja ia sadar, tentunya tahu sedang berhadapan dengan siapa dan tak mungkin bertindak gegabah. Jurus yang digunakan Baiyu tadi jelas-jelas adalah jurus yang hanya diajarkan pada orang-orang penting pengikut Baiyu Jiao. Artinya, ilmu kungfu yang dikuasai Baiyu sangat besar kemungkinan jauh lebih tinggi darinya. Namun semuanya terlambat.

Ia menyerang Baiyu dengan kekuatan penuh berniat memanfaatkan pecahnya perhatian Baiyu yang bersedih karena Chu Langzhong.

Ketika Si Marga Lu telah demikian dekat, Baiyu mengumpulkan tenaga dalam ke tangannya lalu menyerang Si Marga Lu dengan tenaga dalamnya itu. Hanya sekali pengerahan tenaga.

Besarnya tenaga dalam yang telah dilatih belasan tahun menerjang Si Marga Lu tak kenal ampun membuatnya terluka luar dalam. Tentu setelah merasakan energi tenaga dalam Baiyu, ia langsung mengenali darimanakah Baiyu berasal.

Ia tertawa terbahak-bahak. Tawa miris dan menghina. Lalu katanya, “Chu Langzhong mengangkat pengikut Baiyu Jiao sebagai muridnya… Siapa yang melanggar sumpah? Siapa? Siapa?” setelah itu ia tertawa sekali lagi lalu menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Air mata Chu Langzhong jatuh berlinang. “Satu-satunya perintahku adalah jangan lagi kamu membunuh. Mengerti?”

Baiyu menganggukkan kepala dengan menangis sesenggukkan. “Aku mengerti. Aku mengerti, Gan Yeye.”

Chu langzhong sadar karena baru saja Baiyu menggunakan tenaga dalamnya untuk menyerang Si Marga Lu, maka tak lama lagi efek racun itu pasti merajai tubuh Baiyu. Karenanya, dengan sisa tenaga yang ada, ia mengambil butiran pil ekstrak obat yang telah berhasil dibuatnya dari dalam guci di antara celah bajunya. Diserahkan guci tersebut pada Baiyu. “Cepat minum obat ini! Cepat!” tangan Chu Langzhong gemetaran ketika menyerahkan obat tersebut pada Baiyu. “Berikutnya kamu harus buat obatmu ini sendiri, Baiyu…”

Mendadak, Chu Langzhong teringat sesuatu. Ia meraih liontin giok yang tergantung di leher Baiyu dan merabanya. Kala itu, Baiyu duduk bersimpuh dan menjadikan pahanya sebagai bantal untuk kepala Chu Langzhong. Air mata Baiyu terus turun sampai menetes membasahi wajah Chu Langzhong.

“Orang itu… seorang prajurit… aku bertemu dengannya dua puluh tahun yang lalu… Ia… bilang jika aku menemukan kalian harus katakan agar mencarinya di Jingcheng. Kukira ibumu pasti mengerti apa yang dia maksud…. Sayang sekali… kamu tak sempat bertemu untuk bertanya pada ibumu lagi…,”

Baiyu tak menjawab sepatah katapun. Toh Chu Langzhong mengeluarkan pernyataan bukan sebuah pertanyaan padanya. Isak tangisnya justru semakin deras.

“Pergilah, Baiyu! Carilah ayah kandungmu.”

Baiyu menggelengkan kepala. “Aku mau di sini. Di sini belajar ilmu pengobatan dengan Gan Yeye. Gan Yeye jangan usir aku.”

Perlahan, Chu Langzhong menggelengkan kepalanya tanda tak setuju.

“Baiyu tahu salah. Baiyu janji tak akan membunuh siapapun lagi. Tapi Gan Yeye jangan usir Baiyu,” suara tangis kembali menyerebak di rumah tersebut.

Gan Yeye sudah akan pergi… Baiyu, tinggallah dengan ayah kandungmu. Bantu Gan Yeye memenuhi janjiku padanya. Tolong, Baiyu…”

“Setelah aku bertemu dengannya aku akan pulang ke sini. Kita kembali tinggal berdua di sini, ya?”

Menggelengkan kepalanya pelan kemudian Chu Langzhong menjawab, “Jodoh kita hanya sampai di sini… Jangan menangis lagi, Baiyu. Gan Yeye sudah sangat beruntung bisa bertemu denganmu dan menghabiskan akhir hidupku mengajarkanmu semua ilmu yang kukuasai. Pergilah… dunia luas membutuhkan kehadiranmu. Ayahmu juga merindukanmu.”

Baiyu merengut.

“Baiyu, Fan Ku pernah datang membawa barang-barangmu. Termasuk uang tabunganmu juga dibawanya. Uang itu tetap milikmu. Gali tanah… dekat… pohon bambu… belakang rumah….”

Selesai mengucapkan itu, Chu Langzhong menghembuskan nafas terakhirnya. Entah karena ia tak kuat lagi mempertahankan nyawanya atau agar Baiyu segera pergi mencari ayah kandungnya.

***

Ketika Baiyu selesai menguburkan jenazah Chu Langzhong, air matanya masih tak berhenti mengalir. Bahkan ketika ia menguburkan ketiga mayat yang dibunuhnya, air mata itu masih menggenangi pelupuk matanya.

Inilah kehilangan pertama yang dialami sejak ia mengenal dunia, tanpa menghitung kematian Nvlei yang meninggal ketika masih bayi belum satu tahun usianya.

Selesai penguburan—tentu saja mayat ketiga orang yang dibunuhnya dimakamkan tanpa nama—ia mengikuti apa yang dikatakan Chu Langzhong padanya. Menggali tanah dekat pohon bambu di belakang rumah itu. Di dalam galian, ia menemukan beberapa lembar baju, zheng kesayangan, juga puluhan liang perak dan emas dalam satu buntalan kain. Ia hanya mengambil uang-uang itu, mengembalikan lainnya ke dalam tanah lalu kembali masuk ke dalam rumah.

Bai Lengyu telah mati. Seperti kata Fan Ku dan Chu Langzhong, karena itu pakaian dan zheng itu tak mungkin lagi digunakannya. Kini ia adalah Baiyu, seorang tabib. Dan seorang tabib hanya akan membawa perangkat alat pengobatan dan beberapa uang untuk modal perjalanan. Bukan zheng, bukan pedang, pun bukan dengan pakaian ala dunia persilatan.

Seluruh ruangan menyimpan kenangannya bersama Chu Langzhong. Di sana ketika Chu Langzhong pertama kali memuji tawa yang katanya membuat ia terlihat sangat tampan. Di sudut sebelah itu adalah ketika Chu Langzhong menyuruhnya menangis ketika ingin menangis. Tertawa ketika ingin tertawa. Dan marah ketika ingin marah.

Di halaman sana Chu Langzhong pernah mengajarinya menanam pohon yang semua bagiannya bisa dijadikan obat. Pohon itu masih tumbuh subur menjadi saksi bisu. Di halaman itu juga ketika Chu Langzhong membuat dia tidak diakui lagi oleh Fan Ku sebagai Bai Lengyu.

Di dipan itu tempat Chu Langzhong memberikan nama baru untuknya dan berkata ia bukan anak yatim piatu. Di dekat meja bambu pendek itu ketika ia pertama kali memanggil Chu Langzhong sebagai gan yeye.

Bahkan kamarnya sekalipun. Teringat olehnya ketika Chu Langzhong marah karena ia mempelajari ilmu perguruan Xiangshen tanpa diskusi terlebih dahulu. Dari pintu itu Chu Langzhong datang membawakan air panas dan obat untuknya berendam. Di dipannya itu ketika racunnya kumat sehingga ia terkapar menderita menahan dingin lalu Chu Langzhong terburu-buru mengobati.

Tak terasa, air mata kembali menetes.

Perintah terakhir Chu Langzhong adalah mencari keberadaan ayah kandungnya. Perintah yang tak mungkin diabaikan. Namun, di tempat itu masih banyak buku yang belum sempat dibaca habis. Karena itu, ia merangsuk pergi menghampiri rak buku mengumpulkan buku yang belum terbaca dan menyiapkannya bersama alat-alat pengobatan lainnya. Ia akan membawa mereka dalam perjalanannya esok.

Sementara itu, buku-buku lain akan disembunyikannya ke sebuah tempat yang hanya ia sendiri tahu. Hal ini harus dilakukan karena ilmu pengobatan jika jatuh ke tangan orang yang salah dapat menimbulkan bencana besar. Bagi orang itu sendiri dan bagi orang lain. Itulah yang harus dihindari.

Selesai merapikan semuanya, Baiyu duduk di dipannya meringkuk tak menyalakan lentera pun sebatang lilin. Membiarkan rumah itu dalam keadaan gelap gulita walau malam datang dan bertambah larut.

Tampaknya, kesedihan dan derita yang diterima hari ini adalah sesuatu yang lebih berat daripada ketika ia tidak diakui lagi oleh Fan Ku.

Pagi menjelang, berat hati ia pergi, keluar dari rumah Chu Langzhong. Rumah yang memberinya sebuah kehangatan dan kebebasan. Sekalipun hanya dua tahun ia tinggal di sana, tapi kenangan yang diberikan terlampau amat banyak.

Seperti kata Chu Langzhong, dunia luas membutuhkannya. Terlebih Chu Langzhong kini telah tiada dan hanya dia satu-satunya penerus ilmu pengobatan Chu Langzhong. Pastinya kesempatan mengembangkan diri terbuka demikian lebar. Namun bukan itu yang dipikirkannya.

Ia hanya memikirkan mencari keberadaan ayah kandungnya. Lalu tinggal di dekatnya sementara waktu untuk kemudian kembali mengasingkan diri seperti yang dilakukan oleh Chu Langzhong.

***

Sementara itu di Jingcheng terjadi keributan. Bagaimana tidak jika Qhing Gongzhu tiba-tiba pingsan berhari-hari lamanya tanpa ada satupun tabib yang tahu apa penyakitnya terlebih bagaimana mengobati.

Mungkin begitu parah penyakit yang dideritanya sampai-sampai tabib istana yang harusnya lebih pandai dari tabib di luar istana pun menyerah. Tak satupun dari mereka sepakat dengan penyakit yang diderita Qhing Gongzhu. Masing-masing memiliki pendapat dan obat sendiri membuat Zhang Shahai dan putra-putrinya ikut pusing mendengarkan debat mereka.

Berselang tak lama kemudian, istri Huo Yinqian yang memiliki nama gadis Fu Xiangniang dan kini lebih dikenal sebagai Huo Furen[2], mengeluhkan kepalanya pusing, teramat pusing. Namun kejadian yang ini sebenarnya masuk akal. Mengingat beberapa hari sebelumnya, anak bungsu mereka—satu-satunya anak perempuan keluarga itu—menolak untuk menikah dengan Wen Gongzi. Putra tunggal keluarga saudagar kain bermarga Wen yang juga tinggal di Jingcheng. Sebelumnya tak kurang dari tiga kali Huo Mei’er, nama anak gadis itu, telah menolak lamaran yang diajukan padanya.

Dan kali ini yang terparah. Barang-barang antaran sudah dikirim sedangkan Huo Mei’er bersikeras tak mau menikah. Semua bujukan dan rayuan orangtuanya benar-benar tak dianggap. Bahkan ia nekat mengancam akan kabur dari rumah jika pernikahan itu tetap dilaksanakan.

Berlandaskan pengalaman Huo Yinqian—dimana adik bungsunya kabur dari rumah karena ingin menikah dengan orang dunia persilatan—dan rasa sayangnya pada putrinya itu, akhirnya ia mengembalikan barang-barang lamaran pada keluarga Wen.

Hal pernikahan itu yang membuat Huo Furen begitu frustasi. Putrinya sudah berusia enam belas tahun. Anak gadis dari keluarga terhormat lainnya di usia itu rata-rata sudah punya tunangan—bahkan menikah—tapi tidak demikian dengan anak gadisnya ini. Untung saja mereka adalah keluarga berkecukupan yang mungkin kekayaannya menyamai raja-raja bawahan kaisar hingga orang lain segan untuk menggunjingkan nama putrinya itu. Jika tidak? Apa yang akan terjadi, tak sanggup dibayangkan. Sungguh ia benar-benar ngeri.

Huo Yinqian sendiri trauma dengan para tabib ibukota yang tidak dapat menyembuhkan penyakit istri kawan baiknya. Ia juga tidak mungkin mendapatkan izin meminta pengobatan dari tabib istana yang ternyata sama tak berguna itu. Karena itulah, begitu mendengar keluhan itu, segera ia memboyong istrinya pergi mencari Chu Langzhong. Ataupun Baiyu, yang ia dengar-dengar dari orang-orang berhasil meredakan wabah penyakit di desa Tu beberapa bulan yang lalu.

Nama Chu Langzhong tentu sudah sering didengarnya. Seorang tabib aneh yang kadang semaunya sendiri. Kadang ada uang banyak tak ditolong. Namun kadang tak punya uang justru ditolong. Tidak ada yang tahu apa syarat pasti agar mendapat pertolongan Chu Langzhong selain pastinya bukan pengikut Baiyu Jiao.

Namun nama Baiyu dari yang didengarnya, ia mendapat kesan baik. Tampaknya satu-satunya penerus ilmu pengobatan Chu Langzhong ini tidak akan sesulit gurunya. Huo Yinqian benar-benar menyimpan harapan pemuda itu. Akan lebih baik lagi jika ia dapat memboyong Baiyu pergi ke Jingcheng guna mengobati penyakit istri kawan karibnya.

*

Menghabiskan waktu dua malam perjalanan kereta kuda yang membawa Huo Yinqian dan istrinya masih juga belum sampai di kaki Gunung Nan. Padahal kuda itu telah dipaksa berlari secepat mungkin.

Kota yang mereka lewati kali ini disebut Baishicheng. Kota ini terletak di tepi sebuah sungai. Kota yang ramai dengan perdagangan. Tentu saja, ia juga membuka cabang usahanya di kota ini. Sebuah penginapan sekaligus rumah makan bertajuk ‘Fuke Jiulou’. Kesanalah ia akan beristirahat malam ini sebelum berangkat esok hari.

Tanpa disadari olehnya, orang yang dicarinya justru sejak beberapa waktu lalu tengah bertamu di rumah makannya itu. Siapa pula yang menyangka seorang Baiyu akan duduk makan menikmati mie daging di sudut rumah makan itu dengan mulut bungkam tanpa ada sepatah kata keluar dari bibir.

Dan ia sendiri juga tak sempat memeriksa buku tamu lalu menanyakan satu demi satu siapa saja yang menginap di penginapan yang dikelolanya. Yang dipikirkan Huo Laoban saat ini hanya keluhan istrinya yang hilang dan muncul tanpa dapat ditebak.

Ketika Baiyu sedang makan itulah, beberapa orang dari dunia persilatan masuk ke dalam rumah makan dan langsung memesan beberapa guci arak dan makanan terbaik di sana. Mereka tampaknya begitu bersemangat. Masing-masing berkata dengan suara keras seolah kawan-kawannya tuli.

“Dua tahun sudah sejak berita meninggalnya Bai Lengyu. Kau lihat?  Betapa leganya semua orang mendengar berita itu.”

Memang Baiyu Jiao tidak segera mengumumkan kematian Bai Lengyu begitu Fan Ku membawa pulang abu yang dikatakan jenazah Bai Lengyu. Berita itu baru diumumkan berbulan-bulan sesudahnya. Sehingga dua tahun tepat sejak berita itu sama dengan dua tahun lewat beberapa bulan dihitung sejak Bai Lengyu tiba di rumah Chu Langzhong.

Orang lainnya mendadak berpikir keras. “Ah… entah mengapa aku tak seberapa yakin dengan berita itu. Coba bayangkan… ilmu kungfu Bai Lengyu demikian hebatnya. Hanya satu tusukan pedang seperti itu apakah mungkin sanggup mencabut nyawanya?”

Kalimatnya itu disambut tawa oleh lainnya. “Kalau tak mati ya bunuh saja lagi.” Kemudian mereka kembali tertawa. Seperti nyawa Bai Lengyu tak lebih berharga dari nyawa seekor semut di mata mereka.

Mendengar obrolan macam itu tentu membuat jantung Baiyu berdebar tak karuan. Buru-buru ia menghabiskan mie dalam mangkuknya lalu masuk kamar. Pokoknya ia tak mau mendengar obrolan itu lagi. Hanya itu yang terpikir olehnya. Ia hanya ingin segera tidur agar besok bisa kembali melanjutkan perjalanan.

Ketika malam tiba dan semakin larut, lagi-lagi Huo Furen berteriak mengeluhkan kepalanya yang sakit. Kali ini sakit kepala yang diderita Huo Furen demikian ganas hingga suara teriakannya terdengar oleh para tamu penginapan.

Berbondong-bondong para tamu penginapan keluar dari kamar mereka mendatangi taman belakang, tempat yang diyakini mereka sebagai tempat asal muasal suara teriakan. Berita yang tersebar kemudian di kalangan tamu penginapan adalah taman belakang penginapan tersebut dihuni oleh hantu perempuan.

Tak percaya dengan berita aneh tersebut, Baiyu makin mendekati pintu bulan yang dari arah kamar para tamu penginapan tertutup oleh dinding air terjun buatan. Pintu tersebut memang mengarah ke taman dan ruangan pribadi pemilik penginapan. Bukan tempat yang bisa dimasuki sembarang oleh para tamu sehingga aksesnya pun cukup tersembunyi.

Mendekati pintu, sekali lagi rintihan Huo Furen terdengar membuat Baiyu mengetuk keras-keras agar segera dibukakan.

Tak lama kemudian pintu dibukakan oleh Huo Fuming, putra pertama Huo Yinqian yang menjadi bos di cabang tersebut. “Maaf, ibuku sedang sakit hingga suaranya mengganggu istirahat Anda. Silahkan kembali istirahat.”

“Aku ingin melihatnya.”

“Istriku bukan untuk dilihat!” gertak Huo Yinqian dari dalam. Suaranya yang tegas dan galak cukup untuk membuat anjing lari terbirit-birit.

“Aku tahu sedikit ilmu pengobatan. Mungkin bisa mengurangi derita beliau.”

Akhirnya Baiyu diizinkan masuk ke dalam. Menyeberangi taman kemudian ia dibawa masuk ke dalam ruangan besar.

Ruangan itu sebenarnya kamar tidur namun begitu besar hingga punya tempat menerima tamu sendiri, untuk merias di sudut lain dan juga khusus untuk tidur di sisi lain lagi. Ia di bawa ke tempat terakhir itu.

Di sana, Huo Furen berbaring memegangi kepalanya dan Huo Yinqian bersusah-payah menghibur istrinya.

Melihat sesaat dengan bantuan nyala lilin yang sengaja diangkat mendekati wajah Huo Furen, Baiyu berkata, “Di kamarku ada seperangkat jarum perak untuk akupuntur. Tolong panggilkan seseorang untuk mengambilkannya bagiku.”

Huo Fuming keluar dari kamar dan sesaat kemudian kembali. Tak sampai berapa lama, seorang pelayan datang membawa bungkusan milik Baiyu.

Setelah memberikan terapi akupuntur di beberapa titik meridian Huo Furen, Baiyu duduk di depan meja menuliskan sebuah resep obat. “Segera tebus resep ini dan berikan padanya.”

“Sebenarnya Furen tidak mengidap suatu penyakit serius apapun. Hanya penyakit kuatir akan suatu hal saja. Jika Furen dapat menenangkan diri dan mengurangi rasa kuatir itu, niscaya sakit kepala itu tak akan lagi datang.”

Huo Furen menganggukkan kepala membenarkan. “Beberapa hari ini aku memang terus-menerus memikirkan anak gadisku.”

“Ini masalah keluarga Anda, saya tak dapat ikut campur. Mudah-mudahan Furen segera menemukan jalan keluar agar penyakit itu atau lainnya tak lagi mendatangi. Saya permisi.”

Kembali dari kamar Huo Furen, Baiyu kembali melanjutkan tidurnya yang terpotong. Sebenarnya tak benar-benar tidur. Banyak hal yang menganggu pikirannya termasuk obrolan yang didengarnya ketika matahari belum terbenam tadi menghantui kepalanya membuatnya tak nyenyak tidur.

Ketika ia lelah memikirkan semuanya, matahari telah terbit. Memamerkan sinarnya yang kekuningan di ufuk timur. Tak ada waktu lagi untuk tidur. Ia harus segera tiba di Jingcheng, diam-diam menyelidiki keberadaan ayah kandungnya lalu… ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Saling mengaku atau menghilang saja dari Jingcheng.

Memikirkan apa yang harus dilakukannya kelak sembari mencuci wajahnya membuat orang yang mengetuk pintu kamar berdiri menunggu tak sebentar. Orang tersebut menunggu cukup lama. Setelah penghuninya tersadar sekurangnya selama seseorang menghabiskan sepoci teh, barulah pintu kamar dibukakan untuknya.

Seorang pelayan yang berdiri di sana membawa pesan dari majikannya bahwa Baiyu ditunggu di ruang Meigui, ruang makan privat di rumah makan tersebut yang biasanya disewa oleh kalangan orang berduit.

Menganggukkan kepala, Baiyu langsung merapikan barang-barangnya terlebih dahulu baru mengikuti langkah kaki pelayan tadi.

Penamaan Meigui untuk ruangan tersebut memang tepat. Karena ruangan itu dihiasi oleh bunga-bunga bermekaran. Wangi sekaligus indah dipandang mata. Tak perlu ditanya barang yang mengisi ruangan tersebut. Semuanya tentu barang-barang berkualitas tinggi yang mahal harganya. Mungkin uang bulanan yang diterimanya ketika masih menjabat sebagai zhuyaozhu pun tak mampu membeli semua barang tersebut kalau mereka dilelang beramai-ramai.

Kiranya adalah Huo Yinqian, Huo Furen bersama Huo Fuming yang duduk menunggunya.Tak heran lagi mengapa ia diundang ke ruangan tersebut. Mereka tentu saja dapat menggunakan ruangan seenak hati sekaligus menunjukkan betapa kayanya mereka dengan menunjukkan perabotan yang tertata di sana.

“Silahkan duduk,” kalimat ajakan ini disampaikan oleh Huo Yinqian. Nampaknya ia begitu menghargai Baiyu yang berhasil meredakan penyakit istrinya hingga menggunakan kata-kata yang terbilang halus. Padahal pakaian yang dikenakan Baiyu pastinya bukan kualitas terbaik dan bahkan cenderung kasar.

Begitu Baiyu duduk, satu demi satu pelayan hilir mudik masuk ke dalam ruangan membawa aneka ragam makanan. Dihitung-hitung kiranya ada dua belas macam masakan yang terhidang di meja. Jumlah yang menurut Baiyu sangat fantastis.

Betapapun tinggi kedudukannya di Baiyu Jiao maksimal delapan jenis masakan yang dikeluarkan. Terlebih ketika ia tinggal bersama Chu Langzhong. Chu Langzhong hanya memasak satu sampai dua jenis lauk setiap mereka makan juga memesan hanya satu dua jenis lauk ketika mereka makan di luar rumah. Kali ini, hidangannya memang bukan main dari segi jumlah dan macam.

Ketika semua pelayan sudah keluar ruangan, Huo Yinqian mengeluarkan sebuah kantung kain bersulam benang halus. Cantik dan nampak berat. Kantung kain itu disodorkannya pada Baiyu. Di saat yang sama, Huo Furen bertanya pada Baiyu, “Siapakah nama Xiao[3] Langzhong ini?”

Furen tak perlu memanggil xiao langzhong. Saya bernama Baiyu dan hanya seseorang yang belum lama mulai belajar ilmu pengobatan.”

“Baiyu… Ah, apakah kamu adalah Baiyu yang menyembuhkan penduduk Desa Tu dari wabah penyakit itu?” tebak Huo Fuming.

“Semuanya berkat kerjasama orang banyak. Baiyu tak berani menyebutnya sebagai jasa Baiyu seorang.”

Huo Yinqian tertawa senang. “Untung sekali kita bertemu dengannya di sini. Coba jika kita telanjur pergi ke Gunung Nan, bukankah kita akan pulang sia-sia?”

“Kali ini mengapa Baiyu turun gunung? Apakah ada wabah penyakit lagi? Mengapa tidak bersama Chu Langzhong?” Huo Furen kembali bertanya.

“Baiyu pergi bukan karena ada atau tidak wabah. Kepergian Baiyu dalam rangka mencari sanak saudara Baiyu di Jingcheng. Sedangkan Chu Langzhong, kakek angkatku telah meninggal.”

Terperanjat mereka bertiga mendengar penuturan tersebut. “Bagaimana Chu langzhong meningggal?” selidik Huo Yinqian.

Laoban, Gan Yeye juga manusia. Bisa sakit juga bisa meninggal,” Baiyu memang tak ingin memberitahukan bahwa Chu Langzhong meninggal karena dibunuh seseorang.

Pembicaraan kemudian beralih ke rencana Baiyu di Jingcheng hingga kemudian tawaran menumpang kereta mereka yang juga akan kembali ke kota tersebut. Tentu saja tawaran itu disambut Baiyu dengan senang hati. Setidaknya, akan mengurangi biaya perjalanan dan juga akan tiba segera mungkin tanpa ada kemungkinan bertemu perampok.

Kemudian Huo Yinqian bercerita tentang penyakit yang diderita istri kawannya, tak lain adalah Qhing Gongzhu. Ia berharap Baiyu bersedia melihat karena tabib di ibukota bahkan tabib istana tak ada yang mampu mengenali nama penyakitnya dengan benar. Tentu saja Baiyu tak mungkin mengabaikan orang sakit seperti itu. Sekalipun ia belum tahu apa penyakitnya, tetap ia harus melihatnya siapa tahu bisa menyembuhkan.

Kala itu Baiyu mana mungkin menyangka bahwa maksud Huo Furen bertanya jawab hampir setengah hari dengannya adalah untuk menjodohkan dia dengan putrinya. Namun sebenarnya inilah yang membuat penyakit pusing Huo Furen hilang total. Karena ia berharap pada Baiyu kelak akan menjadi menantunya.

Nampaknya, bagi Huo Furen dan Huo Yinqian status Baiyu yang keluarganya tak jelas bukan masalah berarti. Yang terpenting Baiyu berbakat di bidangnya dan berwatak baik. Masalah rumah, uang dan tetek bengek lainnya, keuangan Huo Yinqian tak mungkin berkurang hanya untuk membiayai seorang menantu laki-laki.

Memang pada umumnya seorang laki-laki akan merasa terhina jika masuk ke dalam keluarga mempelai perempuan. Sebuah aturan tak tertulis menyebutkan bahwa perempuanlah yang masuk ke keluarga laki-laki setelah menikah. Tapi mereka yang dari keluarga biasa atau bahkan tak berpunya, bisa diterima masuk keluarga mempelai perempuannya yang kaya raya tetap menjadi rejeki. Itulah yang dipercaya Huo Yinqian pun Huo Furen dalam menghadapi Baiyu. Mereka yakin Baiyu sama dengan laki-laki dari keluarga seperti itu.

Rencana mereka pertama-tama adalah memperkenalkan putrinya dengan Baiyu. Jika putrinya memberikan respon positif pada kehadiran Baiyu di rumah mereka, barulah Baiyu akan ditanyai apakah ia bersedia menikah masuk ke dalam keluarga Huo. Baik itu ia berhasil menemukan kerabatnya atau tidak maupun baik ia berhasil menyembuhkan penyakit Qhing Gongzhu pun tidak.

Namun jika Baiyu berhasil menyembuhkan penyakit Qhing Gongzhu pasti akan lebih baik. Setidaknya pihak istana akan memberikan jabatan baik untuknya bekerja di istana. Hal itu mengurangi cemooh yang mungkin akan keluar dari mulut-mulut orang sirik.

Memikirkan semua itu, membuat Huo Yinqian tak ingin menghabiskan banyak waktu. Begitu tiba di Jingcheng, segera dibawanya Baiyu ke kediaman Zhang Shahai.

Diterima di ruang tamu seperti biasa, Huo Yinqian benar-benar tak sabar. Kalau perlu sekarang juga Baiyu memeriksa penyakit Qhing Gongzhu agar hasil akhir dapat jelas ditebaknya.

Tak lama, Zhang Shahai keluar dengan muka masam karena lama bergadang menjaga istrinya. Beramah-tamah sesaat dengan Huo Yinqian kemudian pandangan Zhang Shahai terus tertuju pada sosok Baiyu. Bahkan Lao Zhen, abdi Zhang Shahai pun demikian.

“Siapa pemuda yang kamu bawa, Yinqian? Apakah calon suami Mei’er, putri kecilmu?” tebak Zhang Shahai asal. Namun sudah cukup membuat mata Baiyu berpaling menatap pasangan Huo Yinqian.

Huo Yinqian tertawa terbahak-bahak, tak mengerti apa yang sebenarnya ditertawakan. Butuh waktu beberapa saat hingga tawa itu berangsur mereda. Lalu ia berkata dengan nada serius pada Zhang Shahai, “Dialah Baiyu yang menyembuhkan penduduk Desa Tu dari wabah penyakit beberapa bulan lalu. Kamu tentu tahu akhir-akhir ini istriku sering mengeluh kepalanya sakit?” tanpa menunggu jawaban, Huo Yinqian kembali melanjutkan, “Untung saja aku bertemu dengannya di Baishicheng. Lalu dengan satu kali terapi akuputur, sakit kepala yang mendera istriku lenyap tanpa bekas.”

Mendengar promosi yang menggebu-gebu membuat Zhang Shahai mendapatkan harapan baru. Dipandanginya kembali sosok Baiyu. Pemuda yang dipandanginya ini terus diam tak berkata sepatah kata apapun. Seolah-olah ia gagu atau bisu. Bahkan orang bisu pun akan berusaha berkata lewat gerakan tubuh namun pemuda di hadapannya ini benar-benar mematung.

Mendadak dari arah pintu yang digunakan Zhang Shahai yang mengarah ke dalam rumah, keluar seorang bocah, anak bungsu Zhang Shahai yang umurnya belum sepuluh tahun. Bocah bernama Zhang Yu’er tersebut berlarian membawa pedang-pedangan dari kayu berlagak sedang bertarung sungguhan dengan seseorang.

Kehadiran Huo Yinqian dan Huo Furen tak digubrisnya. Namun ketika matanya bersimbaku dengan Baiyu mendadak ia punya ide gila. Ditariknya Baiyu yang berdiri mematung di bawah tatapan Zhang Shahai dan Lao Zhen untuk main bersamanya.

Baiyu sendiri juga membiarkan dirinya ditarik. Mungkin ini suatu berkah agar dapat menghindari diri dari tatapan mata Zhang Shahai yang seperti hendak menguliti dirinya itu.

Tentu saja keempat orang dewasa lainnya terkejut dengan tindakan nakal bocah cilik itu. Beberapa saat mereka terdiam memandangi Zhang Yu’er yang dengan semangat menarik Baiyu ke halaman belakang mereka.

“Lao Zhen, panggil Baiyu agar mengobati Furen. Bawa Yu’er ke hadapanku. Anak ini benar-benar tak tahu sopan santun.”

Lao Zhen segera mematuhi perintah majikannya, pergi menyusul Zhang Yu’er.

“Shahai, sekaligus aku minta bantuanmu. Tujuan awal Baiyu ke ibukota adalah mencari sanak saudaranya. Mungkin kamu bisa membantunya untuk itu.”

“Oh… begitukah?”

“Lengkapnya aku sendiri tak tahu pasti. Mungkin kamu saja yang menanyakannya. Agaknya ia sangat tertutup.”

Zhang Shahai menganggukkan kepala tanda mengerti sekaligus setuju. Ia tak ingin buang waktu lebih lama lagi sehingga segera pamit untuk melihat Baiyu memeriksa kondisi istrinya.

Baiyu masuk ke dalam kamar Qhing Gongzhu. Di sana sudah menunggu Ku Ayi[4] dan Zhang Shahai. Pasien berada di ujung ruangan di atas dipan yang tertutup kelambu Pergelangan tangan Qhing Gongzhu diikat dengan benang dan ujung benang lainnya dipegang oleh Ku Ayi hendak diserahkan pada Baiyu.

Baiyu tak bergerak menerimanya. Ia berdiri diam menggelengkan kepala. “Aku tak bisa bermain sihir. Aku memeriksanya dengan memeriksa langsung denyut nadi atau aku pergi dari sini.”

Jawaban angkuh versi Baiyu tentu tak dapat diterima oleh Zhang Shahai. Namun mengingat pemuda inilah yang menyembuhkan penduduk desa Tu, membuatnya berpikir mungkin harus lebih bersabar mendengarkan apa alasan penolakan itu.

Daren[5] dapat mengawasi langsung apa yang kulakukan saat memeriksa istri Anda.”

Akhirnya Zhang Shahai menganggukkan kepala menyetujui. Ia menyuruh Ku Ayi memberikan jalan pada Baiyu mendekati dipan tempat Qhing Gongzhu berbaring sekaligus menyiapkan kursi untuk duduk selama memeriksa.

“Pengobatannya sudah cukup terlambat. Aku akan siapkan tiga resep obat berbeda. Yang pertama diminumkan pagi hari, kedua siang dan yang ketiga malam. Tidak boleh tercampur dan tertukar. Kalau boleh sementara waktu aku menumpang tinggal di sini agar dapat mengawasi perkembangan kesehatan istri Anda secara langsung.”

“Tentu saja. Kamarmu akan disiapkan. Apalagi yang kamu minta?”

“Tak ada. Aku pamit dahulu hendak menemui Huo Shushu[6] dan istrinya.”

“Kau memanggilnya dengan cara demikian?” pekik Zhang Shahai tak percaya.

“Apa daya jika mereka terus memaksaku sepanjang perjalanan.”

Jawaban terakhir yang diterima Zhang Shahai membuatnya terperangah tak percaya. Orang lain, seseorang yang kelas ekonominya berada setingkat dengan pemuda ini, seseorang yang secara ekonomi dapat dikatakan kurang daripada dia dan Huo Yinqian jika diminta memanggil Huo Yinqian dengan sebutan shushu tentu akan bangga setengah mati. Orang itu harusnya merasa bangga karena dianggap sederajat, bukan merasa terpaksa seperti yang dikatakan Baiyu padanya.

***

“Kudengar dari Yinqian tujuanmu ke ibukota adalah mencari sanak saudaramu. Adakah yang bisa kubantu?” Zhang Shahai berusaha menawarkan bantuan. Terlebih kondisi istrinya kini jauh lebih baik. Denyut nadinya kembali menguat meskipun belum sadar. Berusaha membantu Sang Penyelamat istrinya tentu suatu hal yang wajar.

Selagi itu, denting sumpit gading yang beradu dengan mangkuk terkadang terdengar pecah di udara. Mereka memang sedang makan malam.

“Tidak ada. Terima kasih.”

“Jingcheng demikian luas, penduduknya pun sangat banyak. Bagaimana kamu akan mencarinya?”

“Jika ada jodoh, pasti akan bertemu.”

Mendengarnya, tiba-tiba Zhang Shahai membungkam. Tak menduga ia bertemu dengan pemuda yang demikian tertutupnya seperti Baiyu ini.

Lucunya, ketika Zhang Yu’er mendekatinya, sikap tertutup dan pendiamnya mendadak lumer. Sore tadi Zhang Shahai melihat dengan kepalanya sendiri Baiyu menggendong Zhang Yu’er di pundaknya berlarian mengelilingi taman. Mereka berdua tertawa riang dan lepas. Entah saat itu sudah berapa putaran.

Kala lain, ia juga melihat Baiyu tertawa santai dengan anak bontotnya. Entah mengapa ketika mereka kembali bertatapan sambil makan malam ini, pemuda ini kembali menjadi orang yang kaku dan tertutup.

Zhang Yilang berkata ia rasanya pernah mendengar jawaban dingin seperti yang diberikan Baiyu. Tapi ia tak ingat kapan dan di mana.

Sebenarnya kejadian yang tak diingat Zhang Yilang ini terjadi tepat pada saat Duanwu Jie beberapa tahun lalu. Saat hari sebelumnya Bai Lengyu yang menyamar sebagai An Bei membunuh Yuan Feng di luar kota Jingcheng. Namun Zhang Yilang mana mungkin mengingat kejadian itu? Pengaruh hipnotis dalam musik yang dimainkan Bai Lengyu kala itu rupanya masih melekat kuat.

Karena kebekuan Baiyu, akhirnya kebisuan mewarnai hari-hari mereka selama ada Baiyu di sekitar mereka. Tentu saja kecuali Baiyu berada di sisi Zhang Yu’er, hanya berdua.

***

Hari ketiga malam hari, Qhing Gongzhu mulai sadar. Sekalipun tubuhnya masih lemas karena puluhan hari tak sadarkan diri, bagi Zhang Shahai sekeluarga adalah berkah luar biasa. Mereka tentunya demikian berterima kasih pada Baiyu. Maka dengan alasan itulah, Zhang Shahai mencoba kembali memancing Baiyu mengatakan siapa orang yang dicari. Untuk itu, dengan sengaja ia mengundang Baiyu datang ke ruang buku. Ia berharap jika hanya mereka berdua di sana, Baiyu bisa lebih terbuka padanya.

“Keluargamu itu siapa saja? Kedua orangtuamu, ayahmu, ibumu, kakak perempuanmu, kakak laki-lakimu, adik laki-lakimu, adikperempuanmu atau paman-bibimu atau sepupumu?”

Baiyu diam tak menjawab.

“Menurutku yang kamu cari adalah orangtuamu. Kalau kau diam berarti benar, bagaimana menurutmu?”

Baiyu hanya melirik Zhang Shahai terkejut. Zhang Shahai sendiri tersenyum merayakan kemenangan pertamanya.

“Kalau yang dicari adalah orangtuamu pastinya kalian telah terpisah lamaaaa…. sekali. Dan agar kalian bisa bertemu pastinya ada suatu benda yang digunakan untuk membuktikan hubungan kalian.” Tentunya ini berdasarkan pengalamannya sendiri. Kemudian melihat Baiyu yang melirik singkat ke arah bajunya ia dapat menduga tebakan itu memang benar.

Kemudian ia bertanya lagi, lagi dan lagi. Bertanya terus menerus seperti seorang hakim yang menginterogasi tersangka kejahatan. Hanya bedanya tak ada siksaan badan yang dkenakan Zhang Shahai pada Baiyu. Lalu kemudian Zhang Shahai berkata, “Benda itu sebuah benda berharga. Mungkin emas, perak, atau… mungkin sebuah liontin giok?”

Kaget mendengar tebakan tersebut tanpa sadar Baiyu meraih liontin dan mengeluarkannya. Benda itu terus menerus digenggamnya tak mau dilepas.

Zhang Shahai tahu jika ia terlalu memaksa maka berikutnya akan berbalik tak menyenangkan. Namun jika diundur sampai esok hari, maka ia harus mengulang permainan dari awal. Itupun pasti lebih susah karena pemuda ini pasti lebih waspada. Karenanya, ia tak peduli malam terus beranjak.

Seperti orang yang sedang memancing ikan, ia akan memasang umpan cacing lalu menggoyang-goyangkan kailnya agar cacing itu terlihat masih hidup dengan harapan ikan akan tergoda masuk ke dalam perangkapnya.

Termakan oleh perangkap Zhang Shahai, perlahan Baiyu mengendorkan genggaman tangannya. Begitu terbuka, dengan cepat Zhang Shahai merebut benda tersebut.

Tak ada yang bisa disalahkan Baiyu selain dirinya sendiri mengapa begitu mudah terperangkap. Apakah waktu bersama Chu Langzhong selama dua tahun ini membuat instingnya menurun drastis? Atau memang ia telah terlena dengan kedudukan barunya sebagai seorang tabib? Ia hanya bisa menghela nafas kecewa memandangi liontinnya telah berada di tangan Zhang Shahai

Dilihatnya Zhang Shahai berdiri mengamati hasil rampasan. Tiba-tiba laki-laki yang kini umurnya sudah empat puluhan tahun itu tertawa bahagia. Ia berteriak-teriak memanggil abdinya, Lao Zhen, tak peduli kala itu malam sudah beranjak menjelang pagi.

Ketika Lao Zhen tiba dengan terpogoh-pogoh dan mata masih mengantuk, Zhang Shahai memberikan liontin giok Baiyu pada Lao Zhen. Sementara itu ia sendiri merogoh balik bajunya mengeluarkan liontin serupa dengan milik Baiyu.

Lao Zhen serta merta terbahak-bahak senang memberi selamat pada majikannya. Zhang Shahai bersuka ria seolah anak kecil yang mendapatkan mainannya yang lama hilang. Namun Baiyu berdiri mematung memandangi kedua orang itu.

Artinya adalah Zhang Shahai adalah ayah yang dicarinya. Prajurit yang bertemu dan menyelamatkan Chu Langzhong dua puluhan tahun yang lalu. Bukankah wajar jika prajurit di kala itu kini berubah menjadi jenderal besar? Kecuali Baiyu begitu meragukan kemampuan ayah kandungnya sehingga tak sadar prajurit kecil pun bisa menjadi jenderal. Seandainya saja Baiyu menyadari hal ini sejak awal pertemuan mereka.

“Selamat, Laoye[7]. Tak hanya Furen kembali sehat tapi putra Anda dengan Nvlei Guniang[8] ditemukan. Ini namanya kebahagian ganda.”

“Benar! Benar! Inilah yang namanya kebahagiaan ganda,” balas Zhang Shahai membenarkan. Ia masih bersuka ria dan amat bersuka cita.

Demikian juga Lao Zhen, abdi yang telah ikut Zhang Shahai sejak tuannya itu bocah berusia sepuluh tahun. Ia tentu tahu bagaimana kisah cinta Zhang Shahai dengan Nvlei. tahu betapa dalamnya cinta Zhang Shahai kepada Nvlei yang tidak dapat tergantikan dengan kelembutan khas seorang putri berpendidikan, Qhing Gongzhu. Karena kebahagiaan itu, tak satupun dari mereka yang menyadari wajah Baiyu yang tercengang di hadapan mereka. Tercengang antara menyesal dan senang. Antara suka dan duka.

Tapi… masih ada satu harapan Baiyu. Menyadari status Zhang Shahai sebagai fuma ye karena beristrikan putri kaisar, belum tentu seorang putri bisa menerima kehadiran anak ‘tambahan’ seperti dirinya. Lagipula seorang putri tidak mungkin mengusirnya secara kasar pun terang-terangan. Ia pasti akan menggunakan cara lain agar Baiyu enyah dari keluarga mereka. Itulah harapan Baiyu agar seandainya orang-orang dunia persilatan mengetahui asal-usulnya, hal tersebut tidak perlu mempengaruhi keluarga baru ayah kandungnya.

***

[1]Laorenjia : bapak tua.
[2]Furen : nyonya
[3]Xiao langzhong : tabib muda
[4]Ayi : bibi disini berarti bibi pelayan rumah tangga
[5]Daren : orang besar, sebutan yang digunakan orang biasa ketika memanggil seorang pejabat.
[6]Shushu : paman
[7]Laoye : tuan besar
[8]Guniang : nona

Tinggalkan sebuah Komentar

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: