Lanjut ke konten

28 – Lelaki: Prajurit, Jenderal?

Bagian satu

Pagi buta.

Begitu gerbang kota dibuka, serombongan perempuan Tionghoa keluar membawa anak-anak. Wajah mereka kuyu, lelah dan takut. Rupanya seperti tidak tidur berhari-hari didera ketakutan tak tampak.

Entah darimana mereka mendapat ketakutan seperti itu. Mungkin mereka tahu apa yang sedang terjadi di kota ini sesungguhnya. Atau bisa jadi mendapat ilham atas sesuatu yang tengah diupayakan bangsanya sendiri. Tapi mereka takut. Takut perjuangan itu gagal dan kemudian terkena akibat. Mungkin pengecut. Tapi sepertinya harus ada pengecut agar tetap ada sisa-sisa manusia di muka bumi ini. Karena hari ini juga, pada jarak beberapa mil dari gerbang itu sebuah kekacauan telah terjadi.

Darah.

Mayat.

Pedang beradu. Tombak terayun. Bilah bambu runcing menusuk. Di depan mereka, yang berdiri di hadapan bukan manusia, mungkin. Karena mata mereka bersinar penuh amarah dan dendam. Seolah kebencian mendalam yang teramat sangat pada setan-setan penghancur kehidupan.

Flintlock berayun-ayun mencari mangsa. Bahkan besi as roda delman pun tak luput terkait pada tali tambang rami kuat terombang-ambing di udara mengincar musuh pemiliknya.

Teriakan histeris!

Kepiluan orang yang meregang nyawa.

Semua tak ada yang mendengar! Tak pula ada yang peduli!

Maka pada akhirnya adalah mati. Jiwa-jiwa berhamburan dari raganya. Mungkin penasaran atau bisa jadi tidak. Barangkali orang-orang itu tahu akan ada kejadian hari ini. Mereka bisa jadi tahu kemampuan persenjataan yang tak seberapa.

Kemarahan selalu menjadi pemicu dalam munculnya rasa berani yang cenderung berlebihan. Kecewa juga menjadi alasan untuk berontak. Dan penindasan menjadi kekuatan untuk bergerak.

Dalam setiap pertempuran memang selalu ada yang mati. Para pelaku gerakan pastinya menyadari hal tersebut. Karenanya, kematian kawan atau mungkin saudara kandung pun sepupu sama sekali tidak menyurutkan keinginan untuk memperjuangkan cita-cita mereka. Ambruknya kawan dan saudara justru memancing rasa marah yang semakin mendalam dan menguatkan keinginan.

Usir meneermeneer kompeni itu! Dirikan negara sendiri! Bahkan, kata-kata yang didengungkan oleh seseorang yang disebut oleh mereka sebagai iparnya-anjing-penjilat itu pun tak dihiraukan. Tujuanku adalah tujuanku. Tujuanmu adalah tujuanmu. Tidak sama walau serupa.

 

Bagian dua

Di daerah lain, tempat yang lebih jauh dari tembok kota, kekacauan juga terjadi. Sekitar 500 orang bergerak mendekati benteng yang didirikan tak terlalu jauh dari Cisadane. Musket, belati, dan besi as roda seperti yang dipakai penyerang tempat lain juga tersandang di tangan mengincar setiap musuh yang berani menantang mereka.

Penjaga benteng melihat hal itu dari tempatnya berjaga di bastion. Terhentak dan tersentak. Buru-buru ia bunyikan terompet dan drum berusaha mengabari kawan-kawannya untuk bersama mempertahankan diri.

Di bawah, pintu benteng digedor berulang kali. Sangat bising. Sama bisingnya dengan alunan suara berirama yang keluar dari mulut terompet pun pukulan drum. Irama yang membuat pendengarnya merasa tercekat.

Kira-kira ada dua puluhan orang baik berambut pirang maupun hitam. Mereka sama-sama berpihak pada kompeni meminta dibukakan pintu. Merekalah yang menimbulkan kegaduhan di bawah.

Semuanya tergesa-gesa pun panik. Kepala mereka terus berbalik toleh ke belakang. Dalam bahasa yang berbeda-beda dengan maksud serupa, berteriaklah orang-orang itu, “Bukakan pintu! Mereka terlalu beringas!”

Maka, mereka yang sedari tadi di dalam benteng bertambah cemas. Mungkinkah nasib yang dialami penjaga benteng di timur Batavia akan mereka alami? Mati. Mati kalah karena persenjataan yang tak memadai?

Jantung mereka berdegub kencang.

Bunyi genderang yang ditabuh semakin memekakkan telinga dan membuat perut mual. Sama halnya dengan rasa gentar yang diam-diam merayapi diri menanggalkan keberanian seorang prajurit. Sesuatu yang harusnya diusir jauh-jauh. Tapi kebanggaan dan ketenangan atas situasi aman selama puluhan tahun membuat mereka lupa akan kewajiban itu.

Akhinya kelima ratus orang itu datang dengan segenap kekuatan dan kepercayaan. Mereka menghantam, menembak dan mengayunkan senjata yang dimiliki termasuk menggempur pintu benteng.

Pintu itu hancur. Meninggalkan lubang besar yang menganga, engsel yang lepas dan beragam kehancuran lain.

Akan tetapi semua belum usai. Tekanan yang dialami bersama dengan kebencian-kebencian lain menuntun ratusan orang tersebut memuaskan napsu pembunuhan. Mungkin mereka lupa tujuan yang dikemukakan pencetus gerakan. Atau barangkali ingat namun tak peduli. Dan sepertinya, dengan bertambah banyak lawan yang mati, tujuan mereka semakin mudah tercapai.

Sekitar sepuluh orang penjaga melarikan diri. Berusaha menyelamatkan nyawa mereka. Serangan itu sepertinya di luar kemampuan perlawanan para penjaga benteng. Terlalu menakutkan, mungkin. Atau dasar mereka yang terlalu pengecut.

 

Bagian tiga

Menanti adalah pekerjaan paling membosankan juga meresahkan. Senyap bangunan kayu yang menjadi markas gerombolan Ong membuat resah semakin memuncak. Kelam rumah tanpa penerangan cukup membuat pengap merasuki hidung, merongrong.

Ribuan kali sudah mata Enru dilayangkan pada gerak rumput di pekarangan. Ia sungguh berharap tarian rumput itu membawa Made atau Ketut atau siapapun anak-anak mereka yang mendapat jatah sebagai pengawas gerakan.

Tapi yang dibawanya hanyalah musik alam yang mampir ke telinga serupa bisikan setan yang menakutkan. Katanya, kala cemas melanda kicau burung gereja akan terdengar seperti teriakan gagak. Lonceng gereja akan terdengar seperti dentang di atas menara Stadhuiz. Semua yang indah tak lagi nampak keindahannya. Hanya ada hawa kematian.

“Asiu, mungkinkah mereka gagal?” pertanyaan yang serupa desah kekuatiran keluar dari mulut Enru. Bersamaan dengan itu, langkah kaki yang disebutnya terdengar berupa seretan telapak kaki di atas tanah diperkeras.

“Apakah Made dan Ketut dicurigai dan ditahan meneer kompeni itu?”

Asiu hanya terdiam. Ia sendiri punya ketakutan namun tak berani mengatakan.

“Atau jangan-jangan perhitungan gue salah?”

Yang terdengar sebagai jawaban hanyalah desahan panjang dari hidung Asiu.

“Selama ini perhitungan Toahnia dengan kondisi yang Toahnia katakan sebagai… ‘ekonomi’ tak pernah melenceng.”

“Beda. Itu masalah marketing. Gue belajar dari pengalaman dan bimbingan dosen-dosen gue beberapa tahun lamanya dan setelah kuliah itu, gue juga sudah berkecimpung dalam bidang ini bertahun-tahun. Sedang ini masalah politik, sesuatu yang tak begitu gue pedulikan.”

Bagi Asiu, istilah-istilah asing dari Enru adalah sesuatu yang tak mungkin dilepaskan. Dalam setiap ucapan yang keluar dari mulut laki-laki itu, pasti ada minimal satu istilah tak umum.

Apalah itu dosen? Apakah kuliah? Apakah politik? Ia hanya seseorang dengan pola pikir sederhana, tak ingin memikirkan apapun selain kebahagiaan Toahnia-nya.

“Bukankah Toahnia pernah mengatakan Made itu kreatif? Pasti kali ini juga bisa menangani masalah. Meneermeneer itu tak mungkin menangkap Made. Toh kulitnya yang legam itu tak mirip dengan kulit kita.”

Tanpa menjawab, Enru hanya mendesah dan kembali terdiam.

 

Bagian empat

Menanggapi penyerangan, kompeni mengirimkan detasemen untuk memperkuat benteng di daerah Bekasi. Tak sampai lima puluh orang. Sepertinya meneermeneer kompeni masih menganggap remeh gerakan yang terjadi akhir-akhir ini. Kesalahpahaman kuat akan pepatah Tionghoa menjadi dasar peremehan itu.

Besi yang baik tidak mungkin dijadikan paku, ia akan dijadikan pedang. Bukankah begitu? Dan laki-laki yang baik tak mungkin hanya berakhir sebagai prajurit. Ia akan maju sebagai jenderal atau bahkan panglima besar. Sayang, sampai masa penyerangan, mereka tak memahami makna lain di balik pepatah itu.

Di balik semak, Ong dan kawan-kawan menanti dan mengintai. Mata mereka mengawasi pergerakan detasemen tersebut sejak rawi mulai menerangi tanah basah pagi tadi.

Sedangkan di kejauhan, tersamar oleh rimbunnya dedaunan, Made mengintai dari atas dahan pohon beringin yang menaungi jalan. Ia harus siaga. Melaporkan kepada Ong jikalau orang yang diincar telah mendekat termasuk melaporkan pada Enru apapun yang terjadi pada kelompok mereka.

Matanya yang hitam dan tajam terus siaga memandang arah kota Batavia. Daun telinganya tegak kaku. Bahkan ketika angin menderanya, ia tak juga melindungi. Mungkin angin adalah kawan yang membawakan pesan.

Jantungnya bertalu.

Mereka mendekat.

Cepat-cepat Made mengambil keping kecil kuningan dari sakunya. Ia membawa itu atas perintah Enru untuk digunakannya sebagai tanda pada Ong dan kawan-kawan.

Letak Made yang berada di antara Ong dengan incaran mereka, menjadikan posisinya strategis sebagai penengah informasi.

Sang Pencipta berpihak pada mereka hari ini. Rawi memperlihatkan sedikit sinarnya di balik selimut awan kelabu. Cukup untuk dipantulkan pada langit kelabu sisi lain di atas Ong berada.

Ong pasti menyadari pantulan sinar itu.

Letak Made saat itu juga membuat prajurit bala bantuan tak menyadari ada orang di pepohonan sekalipun tengah memberikan tanda pada orang lain tentang kedatangan mereka.

Selebihnya sunyi. Bahkan burung pun takut untuk bersuara. Kekecaman mewarnai udara dan sinar rawi kembali menghilang, berselimut mega.

 

Bagian lima

Di rumah-rumah kayu pada suatu sudut Ommelanden, belum terlalu jauh dari tembok kota. Suatu tempat yang cukup kumuh tempat budak-budak perkebunan bermukim. Fajar telah berlalu dan harusnya mentari berada tepat di atas kepala. Namun panasnya tak terasa karena awan mendung menaungi bumi.

Di sana cukup ramai. Banyak orang yang duduk santai di depan rumah, khususnya para perempuan. Mengobrol dengan perempuan lain di samping rumah dengan berteriak. Pada saat itulah, tiga orang Tionghoa datang dengan langkah terburu dan mengendap.

Sepertinya mereka takut seseorang tengah mengintai di belakang sehingga kepala berulang kali ditolehkan ke arah itu. Tapi mereka juga tidak menarik perhatian para perempuan kelas budak itu untuk bergunjing ria. Artinya laki-laki sudah cukup sering bertandang ke sana dan mereka sudah cukup mengenal.

Tiba di pintu suatu rumah, salah satu dari orang-orang Tionghoa itu mengetuk pintu. Cukup sopan ditilik dari ketergesaan mereka yang akan dikira orang lain sedang dikejar musuh berbahaya.

Ketika pintu dibuka, mereka masuk.

Sang Tuan Rumah berkata, “Dia di atas.”

Kemudian, laki-laki yang mengetuk pintu masuk dan menaiki tangga kayu yang berderak setiap kaki menapaki.

“Ayo ikut!” katanya.

Diraihnya kotak lemari tempat pakaian perempuan penghuni kamar disimpan. Kemudian diambillah oleh laki-laki itu beberapa helai pakaian dari dalam kotak tersebut.

Sang tuan rumah terpekur memandangi mereka dan bertanya, “Kenapa ini?”

“Kalian juga ikutlah dengan gua,” katanya. “Di sana akan aman.”

“Apa yang sedang terjadi?”

“Hari ini dan besok kami akan menyerang kompeni. Akan terlalu bahaya bagi kalian tinggal di tempat ini.”

Tuan rumah berdiri termenung. “Tidak…,” katanya lirih

“Mengapa tidak?” sahut laki-laki Tionghoa lainnya terkejut.

“Kami umat kristen, tidak mungkin melakukan hal seperti itu.”

“Apa yang lu takutkan dari mereka? Sebentar lagi mereka akan musnah!” kata yang menjemput perempuannya itu.

“Tu–.”

Cercaan yang hendak dilancarkan laki-laki Tionghoa dihentikan oleh kawannya yang menjemput. Mungkin ia merasa hutang budi karena tuan rumah telah berbaik hati menampung perempuan peliharaannya.

“Cepat kalian pikirkan lagi! Karena begitu lampion menyala, semua akan terlambat.”

“Benar! Lagipula mengapa harus takut pada mereka? Mereka hanya lintah busuk yang menghisap darah kita semua. Bangsa lu dan bangsa gua.”

“Apakah lu tak merasakan hal yang sama? Mereka itu tamu yang kurang ajar terhadap tuan rumahnya.”

“Ikutlah dengan kami. Jika perjuangan kami berhasil, akan gua katakan hal-hal baik tentang kalian. Dan kalian tak perlu takutkan apapun lagi.”

Tapi sang Tuan Rumah tetap menggelengkan kepala.

Dengan raut campuran antara kecewa, heran dan kesal, para laki-laki Tionghoa meninggalkan rumah dengan membawa perempuan yang mereka jemput.

 

Bagian enam

Matahari beranjak naik untuk akhirnya tenggelam di arah barat.

Ketika ia masih menjalankan tugasnya, di tempat Ong puluhan mayat sudah tergeletak di rerumputan. Ong sendiri masih tegap perkasa.

Sekalipun terengah-engah dan nampak lelah, tak henti-hentinya ditebaskan parang pada lawan. Dia tak terbiasa menggunakan flintlock dan nyatanya setelah latihan tak jua bisa menggunakan. Jadilah Ong satu-satunya yang menggunakan parang dalam kelompok itu.

Musuh sudah banyak yang gugur. Namun bukan berarti perjuangan telah usai. Di hadapannya, sang letnan masih berdiri dengan tubuh mulai berlumuran darah. Semua harus mati agar usaha mereka tak sia-sia.

“Jangan sisakan satu orang pun sehingga kastil tahu pergerakan ini!” pesan itu tentu diingatnya selalu. Demikian pula dengan anak buahnya. Keberhasilan pergerakan ditentukan oleh kerja mereka hari ini.

Kaki Ong bergerak. Ia melangkah maju mendekati letnan itu. Parangnya yang berlumur darah tak perlu dilap. Karena pemimpin perampok itu yakin tak lama lagi parangnya akan kembali berlumur darah.

Matanya tajam menatap musuh dengan lekat. Mukanya tak disembunyikan di balik masker. Karena ia percaya musuhnya tak lama lagi mati di tangannya. Orang mati tak akan bisa memberitahukan bagaimana wajah pembunuhnya. Jadi Ong yakin, identitasnya akan tetap menjadi misteri, demikian pula dengan otak di balik gerakannya itu.

Baru saat ini, sang letnan yang berambut pirang menyadari bahwa Tionghoa bukanlah bangsa pengecut. Mereka hanya berusaha damai karena di masa itulah kehidupan mereka tentram. Namun di sisi lain, mereka dapat berontak dan menyuarakan ketidakadilan yang mereka terima. Sayang, semua sudah terlambat.

Parang Ong bergerak menebas dengan cepat mengincar tubuhnya. Ia tak sempat mengelak. Lelah dan putus asa telah menderanya sejak satu demi satu anak buah yang dibawa gugur di tangan lawan yang beringas dan tak kenal ampun.

 

Bagian tujuh

Kastil gempar.

Persenjataan minim. Mesiu tak ada. Bahkan prajurit berkurang sangat banyak. Ekonomi kota mati total. Jika hal ini dibiarkan berlarut, kota ini akan mati dan mereka mengalami kebangkrutan.

Menanggapi hal tersebut, dewan terbagi menjadi dua kubu. Kubu Valkenier dengan kubu van Imhof yang perang mulut dan tulisan berdasarkan argumen masing-masing. Perang ludah dan silat kata terjadi dalam setiap kesempatan. Memang tidak hanya kali ini. Mereka berdua selalu bersilat kata di setiap kesempatan. Dan kali ini kedua hal tersebut lagi-lagi terjadi.

Menit demi menit, mereka mengadakan pertemuan tertutup.

Puluhan kali Ni Hoe dipanggil dimintai keterangan. Pergi ke sana dan ke mari dalam rangka melihat keadaan.

Akhirnya, keputusan mereka dapat.

Pengumuman atas keputusan itu disebarkan ke seluruh kota. Isinya adalah larangan gangguan terhadap orang Tionghoa dengan hukuman akan dirantai. Selain itu dikeluarkan pula jaminan bahwa semua orang Tionghoa dapat mencari nafkah dengan damai.

Entah apakah perintah itu keluar atas sebuah ketakutan atau murni keinginan hidup dalam damai. Hari itu, mana ada yang tahu selain para pembuat keputusan.

*#*#*

%d blogger menyukai ini: