Lanjut ke konten

Sebuah Prolog

Aku bingung mau diterbitkan sendiri atau bagaimana toh ini karya iseng (yang dikerjakan seserius mungkin) untuk kesenangan dan hobi semata. Daripada terus bingung, kulempar di blog saja untuk segera dinikmati.

____ Prolog____

“Hei, Gila! Kau tidak tahu siapa aku, hah?” laki-laki itu berteriak seorang diri dengan menundukkan kepala dan bertolak pinggang. Di hadapannya memang tak ada siapapun. Matanya pun tak menatap ke arah sesuatu selain hamparan kerikil yang memenuhi jalan. Kiranya, sebongkah kerikil yang besarnya tak lebih dari jempol di tangan dia, sang Penyulut Emosi.

Bau harum Vodka terendus dari badan dan bajunya. Pastilah dia mabuk. Mabuk berat mungkin. Tapi wajah yang selalu menyeringai senyum itu pastinya membuat semua orang yakin ia tak mungkin mabuk karena putus cinta.

“Heuh… petantang-petenteng macam bos besar! Aku, Enru bukan orang yang pantas kau remehkan, tahu?!” berdiri ia dengan mata melotot. Kedua tangannya ditekuk di pinggang seperti preman dalam sinetron.

“Lihat buktinya! Kontrak itu aku yang dapatkan! Enru dari biro iklan yang kau remehkan! … Sekarang… kutendang kau! Tendang!”

Tubuh dia berputar dengan kaki membuat gerakan tendangan berputar. Sekilas seperti seorang mafia tengah menendang musuh dalam film laga Hongkong. Kira-kira semacam Jackie Chan, Chow Yun Fat, Tony Leung ataupun Andy Lau, yah seperti mereka itu.

“Sial!” serunya lagi. “Kebun tebu!”

“Mana ada kebon tebu di Jakarta, Tolol!” makinya. “Sawah saja tidak ada. Gila saja ada kebon tebu seluas ini!” tambahnya lagi dengan merentang tangan selebar-lebarnya lalu terdiam seketika. Matanya berkejap lalu berputarlah  ia melihat ke sekeliling.

“Pasti mimpi. Pasti mimpi. Sekarang gue di kamar. Di atas ranjang pegas yang nyaman dan lebar. Mana mungkin gue berada di antara kebon tebu? Tak ada kebon tebu di Jakarta. Ini pasti karena mabuk dan mimpi. Gue di kamar. Ya… di kamar….”

Dipejamkan matanya perlahan selama beberapa detik untuk terbuka dengan cepat.

“Masih kebon tebu?”

Dia mengerjapkan mata dengan cepat, secepat yang dimungkinkan.

“Tetap kebon tebu?”

Setengah heran, dicubitlah tangannya sendiri lantas menahan jerit sakit. Lalu sibuklah ia kembali memandangi sekelilingnya. “Rumput, bintang, bulan, tebu dan tebu lagi? Eh, bintangnya cerah sekali!?”

Masih tak puas, ditamparnyalah pipi sendiri. Plak! Suara membahana diikuti suara rintihan. Kemudian dielusnya pipi sembari memaki pelan. Matanya menyorotkan rasa kecewa teramat sangat ketika yang ditemukannya tetap kebon tebu. Tak ada ranjang. Tak ada kamarnya. Hanya kebon tebu dan bayangan pohon-pohon besar di kejauhan.

“Mana ada kebon tebu di Jakarta?” ulangnya lagi. “jadi gue di mana? Mana mobil gue? Tak mungkin gue ke tempat aneh ini jalan kaki? Atau… diculik alien … atau … lewat gerbang waktu Doraemon?” lanjutnya masih tak percaya.

Dirogohnya semua saku celana dengan tergesa-gesa. “Kunci mobil tidak ada! Jadi gue pergi dengan apa? Jalan? Terbang?”

Ketika tangannya selesai merogoh, sebuah ponsel buluk keluar bersama sebuah cincin emas. Ia masukkan kembali ponsel ke saku lalu memandangi cincin di bawah sinar bulan. “Lala, maukah jadi istriku? Argh.. sial! Gue harus pulang menyiapkan lamaran! Kenapa bisa ada di sini? Di mana tempat ini? Gue harus segera pulang ke jakarta!”

Menghela nafas bingung, kini ia kembali mengamati sekitarnya. “Tak adakah rumah? Tak adakah orang di dekat sini? Apa dia bisa pinjamkan motor atau mobil? Atau mungkin memberi tahu jalur pesawat? Kereta? Sesialnya bis, bajaj?”

Dengan lemas, dia kembali melangkahkan kaki. Kali ini ia begitu guntai. Mungkin terlampau lelah. Terlebih setelah mendadak tersadar dari mabuk. Pastinya banyak sekali hal tak enak di benak laki-laki itu.

Setelah berjalan tak tentu arah dan tujuan, bermenit-menit atau berjam-jam, akhirnya ia temukan sebuah rumah. Entah rumah siapa yang bentuknya aneh. Rumah itu berbentuk serupa dengan rumah-rumah tua di Glodok, Kota Tua. Tapi rumah ini tidak terlihat tua. Juga tidak lapuk. Bangunannya sangat kokoh dan baik.

“Kenapa harus peduli?” katanya cepat. “Berjalan dari ladang tebu sampai depan rumah ini rasanya menghabiskan energi dan… hoahhhem….”

Perlahan ia senderkan punggung pada dinding rumah dan tak butuh waktu lama untuk terlelap….

*#*#*

 

%d blogger menyukai ini: