Lanjut ke konten

14 – Tanda Tanya

Bagian satu

Beberapa bulan berlalu. Kakak ipar tertua, Ni Hoe, yang sebelumnya telah menjabat sebagai anggota dari boedoelmaster[1], kini mengemban jabatan sebagai letnan, menggantikan posisi mendiang mertua.

Sebenarnya, dia itu lucu juga. Naluri bisnisnya kuat. Tapi naluri musiknya jauh lebih kuat. Setiap ada kesempatan, digunakannya untuk bermain musik. Dari siter, kecapi, semua alat musik dari China gue yakin dia bisa. Dan sempat-sempatnya ia mempelajari alat musik lokal seperti pelog dan selendro, sampai beberapa alat musik yang datang dibawa oleh orang Timur Tengah.

Ahnia,” panggilnya.

Kami memang aneh. Berdasarkan senioritas di keluarga ini—karena gue suami dari adiknya—maka gue panggil dia dengan sebutan cihu. Namun usia gue jauh lebih tua darinya jadi dia memanggil dengan sebutan Ahnia.

“Bagaimana menurut lu?” dimainkannya siter.

Alunan melodinya segera menyapa telinga gue. “Bagus.” Tak mungkin gue pungkiri. Sekalipun gue tak begitu mengerti tentang selera musik di masa ini, namun petikannya pada senar siter sungguh memanjakan telinga.

Dia tersenyum senang. “Ahnia tahu cerita tentang kaisar dinasti Tong[2] yang suka musik?”

Gue menggelengkan kepala. Dengan nada menyesal gue berkata, “Sayang sekali, pelajaran sejarah saya tak baik.”

“Ya, dia begitu suka dengan musik hingga pernah dalam pertemuan dengan pejabatnya pun ia tetap mengingat-ingat sebuah lagu.”

Dia benar-benar pantas gue pertemukan dengan gadis-unik. Obrolan mereka pasti menyambung. Sejarah.

“Dia menciptakan sebuah lagu orkes yang megah,” lanjutnya lagi. Jelas terlihat bahwa Ni Hoe mengidolakan kaisar tersebut.

“Semua orang menganggap gua tak becus bekerja karena kegemaran bermusik. Apakah orang-orang juga menganggap kaisar itu tak becus?”

“Tergantung. Jika rakyat makmur, keadaan tentram dan damai, orang-orang pasti menganggapnya sebagai kaisar yang baik.”

“Lalu bagaimana dengan gua?”

“Itu tergantung dari bagaimana Cihu memotivasi diri sendiri. Apakah tugas-tugas yang seharusnya dikerjakan seorang letnan telah diselesaikan? Masalah itu, Cihu sendiri yang bisa menilai.”

Terus terang, telinga gue tidak tuli sampai tak mendengar keluhan orang-orang tentang kakak ipar gue ini. Tidak ada yang buruk dari hobinya, hanya saja gue berharap dia lebih mengutamakan tanggung jawab di balik jabatan tersebut.

“Dari kecil, Apeh selalu memaksa belajar ini dan itu. Tak pernah membiarkan gua larut dalam benda-benda ini,” ditunjukkan alat musik koleksinya yang tergolong lengkap itu.

“Lalu kegilaan Cihu pada musik akhir-akhir ini apakah sebagai pembalasan dendam karena kebebasan yang terkungkung selama Taknua hidup?”

Pertanyaan gue sukses membuatnya berpikir.

“Papa… oh.. maksudku Apeh juga pernah mengukung kegilaan saya pada menggambar. Kata beliau, bisa menghasilkan apa dengan menggambar. Lebih baik saya baik-baik belajar bahasa Belanda atau Jerman lalu melanjutkan sekolah ke luar negeri,” ucap gue sembari mengenang papa. “waktu itu Apeh punya sebuah toko. Tidak terlalu besar, namun cukup untuk menghidupi kami dan membayar uang sekolah jika saya dan Cece sekolah ke luar negeri.”

“Lalu bagaimana? Apakah Ahnia melupakan kesenangan menggambar?”

Gue gelengkan kepala. “Saya tetap menggambar. Mengurangi jam tidur untuk hal itu. Di saat yang sama, saya juga mematuhi kemauannya.”

Memejamkan mata karena ingatan akan Papa membuat mata berkaca-kaca, gue meneruskan, “Kemudian toko dirampok. Semua habis dan beliau meninggal. Saya tidak jadi sekolah ke luar negeri karena uang tak cukup. Saat itulah, saya buktikan padanya bahwa dengan menggambar, bisa menghasilkan uang. Saya lanjutkan sekolah dari hasil keringat sendiri. Sampai lulus.”

Ketika gue membuka mata, terlihat ia begitu serius mendengarkan setiap perkataan. Masa-masa yang dialaminya saat ini adalah pengalaman gue di masa lalu.

Cihu, pandai musik itu baik. Dapat mendalami musik jauh lebih baik. Tapi Cihu saat ini adalah kepala keluarga. Ada istri, anak, dan puluhan anggota keluarga Ni yang berlindung pada Cihu.”

Dia terdiam. Gue tak peduli apakah ia akan sakit hati atau tidak. Kini Ni Hoe tak lagi terlihat bagai seorang pebisnis muda berdaya juang tinggi seperti saat pertama kami bertemu. Gue tidak suka melihatnya pun tak ingin sosok seorang kakak yang diidolakan Hien Nio luntur. “Saya pamit, Cihu.”

Dia menganggukkan kepala lalu gue pergi. Mudah-mudahan dia akan sadar dan kembali menjadi Ni Hoe yang pernah gue kenal.

 

Bagian dua

Membawa konsep pengumuman lelang kapal, gue pergi ke rumah seorang meneer. Letaknya tak jauh dari rumah Yo Sinshe, di sebelah timur Grootegracht. Dia pejabat VOC kelas menengah yang belum lama ini ditugaskan di Batavia. Sebelumnya gue dengar orang itu pernah menjabat di daerah koloni di Asia Barat.

“Kudengar Anda tukang bikin pengumuman,” kata dia beberapa hari yang lalu berdasar hasil gue translate.

Tukang? Tak adakah kata yang lebih bagus dari tukang?

“Saya konsultan strategi penjualan,” ucap gue dengan nada menekan tepat pada kata konsultan. Gue tak peduli dia mengerti dengan yang gue bicarakan atau tidak.

Dalam jangka waktu hampir tiga abad, seharusnya sebuah bahasa mengalami perubahan dan perkembangan, demikian pula dengan bahasa Belanda. Apa yang gue pelajari di masa SMA, tidak semuanya sama dengan yang mereka pahami.

Sedikit sakit hati juga dikatakan tukang. Menurut analisa gue, tukang itu bekerja lebih banyak dengan otot. Misalnya saja tukang batu, tukang semen, tukang air. Sedangkan gue bekerja dengan otak. Merangkai satu demi satu kata agar menarik perhatian konsumen bukan hal yang mudah. Demikian pula menentukan ilustrasi yang tepat agar isi pengumuman sampai ke target audience.

Entah hari ini ia akan berkata apa lagi. Mengatai gue tukang lagi?

“Tuan Cui,” tegur pembantu—gue tak peduli dia sebenarnya dibeli atau digaji—yang menyambut gue di luar rumah. “Tuan meneer sedang sakit. Tak ingin diganggu.”

“Sakit? Sakit apa?”

“Beberapa hari ini Tuan terus diare.”

“Baiklah. Berikan konsep ini padanya agar dibaca,” gue berikan gulungan kertas lalu pergi meninggalkan rumah itu.

Hari ini gue masih banyak acara jadi tak baik membuang waktu. Setelah semua urusan hari ini beres, ada baiknya gue jenguk dia.

Meninggalkan rumah itu, Stadhuiz menjadi tempat berikut dalam daftar kunjungan.

Balai kota yang biasanya penuh dengan hiruk pikuk meneer mondar-mandir, hari ini tampak lebih lengang. Orang yang akhir-akhir ini gue temui juga tidak terlihat. Apakah dia juga tidak masuk? Atau lagi menerima suapan dari seseorang di luar kantor?

“Mister, Mister ini pergi kemana?” tanya gue pada orang pertama yang berlalu di hadapan. Orang-orang Belanda akan marah jika orang Timur Asing atau Pribumi tidak memanggil mereka dengan panggilan ‘mister’.

“Sakit,” jawabnya cepat-cepat. Sepertinya karena merasa terganggu.

“Sakit? Sakit apa?”

“Entah.”

Kemarin, dua orang meneer kenalan baru gue juga mengeluh tidak enak badan. Hari ini ada lagi. Apakah sakit sedang trend?

Yang harus gue temui tak bisa ditemui. Semua itu membuat rencana hari ini berantakan. Karena gue tidak bisa melanjutkan pekerjaan dari mereka jika belum ada persetujuan atas konsep tadi, artinya… akhirnya hari ini menjadi pengangguran.

Mengingat kata pengangguran, hati gue berdesir senang. Waktunya bermain dengan Gwat Nio!

 

Bagian tiga

Dengan menggendong Gwat Nio, gue pergi ke tepian Ciliwung. Umurnya hampir tiga tahun saat ini dan selalu berhasil membuat ibunya kelelahan. Dia lincah pun cerdas. Namun yang paling membuat lelah adalah pertanyaannya yang bertubi-tubi.

Apeh, itu apa? Kalau itu? Itu? Itu?” dia selalu begitu. Bertanya yang lain sebelum gue sempat menjawab pertanyaan pertama. Semua hal ditanyakannya. Satupun tak terlewat.

Setelah semua itu terjawab, bertanya lagi dirinya, “Kenapa kuda punya empat kaki?”

Gue perhatikan kuda yang menjadi obyek pertanyaan anak ini. Sang Penunggang sedang memacu agar kuda itu berlari cepat.

“Agar dia bisa lari cepat,” jawab gue tak tahu jawaban apa yang lebih tepat. Rasanya dulu gue tidak secerewet anak ini. Setidaknya Mama dan Cece tak pernah mengeluh kalau gue waktu kecil cerewet seperti Gwat Nio.

“Lalu kenapa kaki kita dua? Tidak empat seperti kuda? Kalau empat kita bisa lari secepat kuda, jadi tak perlu naik kuda lagi kan, Apeh?”

Apeh, kenapa diam? Kenapa kaki kita cuma dua?”

Kualat! Kualat! Karena gue yang memaksakan cara didik abad ke-21, akhirnya anak ini bertanya macam-macam. Kalau saja gue biarkan Hien Nio mendidik dengan cara mereka, Gwat Nio pastinya tak sampai kepikiran bertanya hal seperti ini.

Harus jawab apa sekarang? Karena kita termasuk primata? Karena Tuhan menganugrahi tangan sebagai gantinya? Karena… Karena…

Apeh… kenapa diam?”

“Eh…, karena… Tuhan memberikan seperti itu agar bisa berdoa.”

Gue terlihat agamais? Hanya ini jawaban termudah yang terpikir. Bisa bayangkan jika jawaban gue adalah primata, maka dia akan—.

“Memangnya kuda tidak berdoa?”

Gue gelengkan kepala. Dalam hati berharap ia segera menemukan obyek lain yang menarik perhatian. Tak apalah kalau obyek berikutnya membuat kami harus berlarian menyusuri tepian kanal. Lebih baik bagi gue meladeninya berlarian daripada harus menjawab pertanyaan seperti itu.

“Mengapa cara Apeh berdoa beda dengan Abuh?”

“Karena Apeh Katolik, sedangkan Abuh Buddhis.”

“Apa itu Katolik? Buddhis itu apa? Kenapa bisa beda?”

Menjawab pertanyaan seperti ini ternyata lebih sulit dari membuat konsep penjualan. Bagaimana harus menjawabnya? Setelah menikah Cece tinggal di luar negeri. Gue baru beberapa kali bertemu anaknya—yang tidak suka bertanya seperti ini. Gue tidak punya pengalaman sedikitpun menghadapi anak macam begini!

Handphone! Email! Harusnya ada handphone jadi gue bisa bertanya pada teman-teman! Yuni si psikolog anak itu pasti bisa membantu.

Apeh…, apa itu Katolik? Buddha? Kenapa bisa beda?” mukanya sudah mengkerut minta pertanyaannya segera dijawab.

Gue paksa otak berpikir. Lebih keras dari biasanya. “Karena… em… karena kami ada perbedaan keyakinan,” jawab gue, akhirnya, karena tak punya kata-kata lain.

“Kenapa beda—”

Toahnia!” seruan itu terdengar dari arah belakang kami.

“Ketika gue tolehkan kepala, terlihat Asiu berdiri dengan terengah-engah.

Toaso… mencari… kalian… kemana-mana,” keluhnya. Nafasnya terengah-engah. Keringat membanjiri sekujur tubuh hingga bajunya basah kuyup.

Ya, memang gue membawa Gwat Nio pergi jalan-jalan tanpa pamit pada seorang pun. Jadi tak heran kalau Hien Nio mencari. Yang membuat gue heran, Asiu tetap bisa menemukan kami di sini. Kelihatannya di mana pun gue berada, dia bisa menemukan gue. Radarnya sungguh hebat. Tapi tidak masalah, setidaknya perhatian anak ini tak lagi pada masalah kaki kuda dan Tuhan.

“Kita pulang.”

Apeh…, kenapa beda keyakinan?” dari nada suaranya, gue tahu dia mulai merengek.

“Nanti tanya Abuh saja, ya.”

 

Bagian empat

“Bagaimana perkenalan kalian?”

Toahnia… menolong membalaskan dendam pada pencopet….”

“Di sana Nona Ni bertemu pencopet, lalu Enru yang meng—”

“Yo Sinshe, mengapa datang tanpa memberi kabar terlebih dahulu?”

Gue masuk dan langsung menembaknya dengan sapaan. Hien Nio bukan gadis yang pantas menjadi lawan bicara Yo Sinshe. Dia polos, tak punya prasangka apapun.

“Bawakan makanan kecil buatan lu,” pinta gue agar Hien Nio menyingkir dari ruangan ini. Pembicaraan kami tak pantas didengar karena hanya membuatnya lelah memikirkan semua masalah.

Tak ubahnya dengan pembicaraan para elit politik, semua kata dikeluarkan dalam bentuk jalinan kalimat yang memiliki makna konotatif. Hal ini sangat jauh dari awal pertemuan kami—setidaknya itu menurut gue.

Dulu, mana pernah gue bicara padanya dengan penuh kehati-hatian seperti ini? Bicara gue selalu lepas, mengatakan apa adanya.

“Semua ini tak sebanding dengan milik Anda, Yo Sinshe,” jawab gue ketika ia memuji rumah ini.

“Mana mungkin. Mana mungkin,” dia tertawa terbahak-bahak dan gue tak tahu apa yang ditertawakannya. “Kekayaan keluarga Ni di Pa Shnia ini, siapa yang bisa menandingi?”

Berlebihan! Buktinya masih ada keluarga Tuan Ma. Lalu yang penting untuk disebut adalah keluarga Kwee yang kepala keluarganya saat ini menjabat sebagai kapiten.

Jujur, perasaan miris dan sedih merasuki hati lalu membuat lidah kelu. Gue tak pernah menyangka orang yang dulu begitu baik malah menghancurkan hidup gue. Dan semua itu hanya karena urusan yang sepele—menurut gue.

Dia tidak lagi menggunakan kata dan nada yang dipakainya ketika gue masih tinggal di rumahnya dulu. Kini baginya, gue seorang musuh. Mungkin gue terjangkit paranoid hingga merasa seperti itu. Tak tahu kenapa, tapi perasaan itu selalu muncul ketika berhadapan dengannya dan membuat sifat asli gue lenyap.

Mertua gue salah menyebutnya sebagai serigala. Dia adalah musang. Ya, musang adalah perumpamaan lebih tepat untuknya. Gue merasa musang lebih licik karena dia bisa meniti kabel listrik, seperti yang gue lihat waktu masih kecil dulu. Lalu, gue harus memikirkan bagaimana caranya menjerat musang. Apa yang harus gue lakukan agar musang masuk ke dalam perangkap gue?

“Gua punya sebidang tanah. Gua kira cocok untuk kita kerja sama kelola,” katanya.

“Yo Sinshe tentunya tahu. Enru ini hanya orang kecil. Statusnya di keluarga Ni ini hanya seorang menantu, tak punya hak atas keputusan apapun.”

Lagi-lagi dia tertawa. “Enru, Enru. Mana mungkin gua tak tahu diri lu?” terdiam sebentar kemudian dilanjutkannya, “Mulut lu sangat manis. Lu sangat pandai membuat orang mengikuti kemauan. Jadi, membujuk kakak ipar lu pastinya bukan hal yang sangat sulit. Lagipula, gua dengar hubungan kalian cukup dekat.”

Kali ini ganti gue yang tertawa. “Pujian Anda terlalu berlebihan. Tak mungkin mulut seorang Enru ini semanis itu.”

Yo Sinshe masih bicara panjang lebar membicarakan tanah tersebut. Dan gue juga masih saja mengelak dari pujian pula berkelit. Dia baru pamit pulang ketika matahari di Barat. Menghantar dia ke luar rumah sampai naik ke dalam tandunya, lalu gue baru masuk ke dalam.

Toahnia, lu bicara apa saja dengan Gwat Nio?” gue tolehkan kepala pada Hien Nio yang terlihat sangat stres menatap gue. “Waktu itu dia tanya tentang Katolik dan Buddha. Sekarang dia tanya ‘kenapa babi hidungnya seperti itu’, ‘kenapa Tuhan memberikan hidung beda’. Gua tak tahu lagi harus bagaimana menjawab.”

Kembali gue pamerkan cengiran lalu pergi mencari Gwat Nio. Sore seperti ini harusnya dia sedang main ayunan di belakang.

 

Bagian lima

Apeh!” teriak Gwat Nio semangat.

Ia turun dari ayunan lalu berlari dan langsung lompat ke dada gue. Tindakan nekat itu membuat gue cepat-cepat menangkap dan menggendong dia. Tak tahukah dia bahwa bobotnya selalu bertambah seiring waktu? Berat!

Apeh tidak kerja?”

Gue gelengkan kepala.

“Kalau begitu, Apeh temani Gwat Nio main ayunan, ya… Ya, Apeh, ya?”

Kali ini gue anggukkan kepala lalu tersenyum padanya.

Dia anak gue? Seharusnya secara genetik bukan. Tapi rasanya dia sungguh-sungguh anak gue. Mudah-mudahan rahasia ini hanya jadi milik kami, orangtuanya.

Toahnia,” panggil Made mendekati dengan membawa selembar kertas besar. Melirik pada Gwat Nio, dia berkata, “Anak manis, Apeh saya pinjam dulu, ya.”

Anak itu merengut tapi tak merajuk ketika gue meninggalkannya. Berdiri di koridor, tak jauh dari ayunan Gwat Nio, gue dengarkan Made yang bicara dengan sangat serius.

Jadi intinya adalah tuan meneer bernama Barend merasa strategi penjualan yang kami canangkan tidak mendatangkan keuntungan dan dia tidak mau membayar sesuai janji.

“Panggil Asiu,” kata gue.

“Perhatikan pasar apakah dia menipu atau benar. Kalau memang seperti itu, periksa apakah kesalahan di konsep kita atau kesalahan produknya.”

Asiu menganggukkan kepala tanda mengerti. Gue baru saja hendak pergi pada Gwat Nio tapi Made mencegah. “Ada yang lebih penting. Ni Hoe Kong[3] mencari Toahnia.”

Matahari kini sudah nyaris tenggelam. Tak ada waktu untuk mengejar waktu penutupan pintu gerbang kota. “Besok gue baru menemuinya.”

Rumah gue di luar tembok kota, kira-kira berjarak satu jam lamanya dengan berkuda santai. Ketika mertua gue menawarkan beberapa tanah untuk tempat tinggal kami setelah menikah, gue sengaja memilih tempat ini dengan perhitungan lebih jauh dari rumah orangtua Hien Nio. Gue tak suka urusan rumah tangga dicampuri oleh keluarga mertua atau orang lain.

Lagipula, tinggal di tempat ini membuat gue seperti tinggal di sebuah villa. Tempat yang nyaman untuk tinggal dan mendidik anak. Walaupun membuat gue jauh dari para klien.

Apeh, cepat! Dorong ayunannya… Dorong…,” Gwat Nio mulai merajuk.

Tahu tak ada lagi yang akan dikatakan Made, gue kembali pada anak itu. Dia selalu sangat senang ketika terayun tinggi. Anak-anak tak pernah tahu bahaya.

Apeh, kenapa Gwat Nio tidak punya adik? Teman-teman punya adik.”

Tanyakan itu pada ibu lu kenapa traumanya belum sembuh juga.

“Tanya ke Abuh saja, ya. Apeh tidak tahu masalah ini.”

“Kata Abuh, tanya ke Apeh. Semua tanya ke Apeh. Kata Abuh, Apeh pintar, pasti bisa jawab.”

“Tapi ada beberapa hal, Abuh lebih pintar. Contohnya masalah kenapa lu belum punya adik, Abuh pasti tahu jawabannya.”

Ia mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. Badannya saat itu terayun tinggi yang kadang membuat gue cemas akan membuatnya terlempar. Tapi dia tidak takut. Ia berteriak girang dengan seluruh otot wajah tertarik karena senyum lebarnya.

Tanpa sepengetahuan Gwat Nio, gue menyeringai. Meminjam mulut anak adalah cara terbaik mendapatkan yang kita inginkan. Mengapa gue tidak sadar dari dulu? Bukankah iklan-iklan snack dibuat demikian ceria untuk menarik perhatian anak? Anak tertarik lalu akan meminta bahkan kalau perlu merengek pada orang tua mereka. Kemana perginya pengetahuan gue itu?

 

Bagian enam

Setelah malam dilalui dengan sangat hati-hati, pagi ini gue bisa menemui Ni Hoe tanpa takut dijadikan bahan tontonan. Yah, dulu di pagi pertama setelah pernikahan, gue keluar kamar dengan badan penuh luka. Sepanjang hari semua orang menatap seolah-olah gue adalah penjahat baru lepas dari penjara Stadhuiz.

Rajukan Gwat Nio rupanya berhasil sedikit meredam ketakutan Hien Nio. Setidaknya membuat dia tidak membabi buta menggigit dan menendangi gue lagi. Akan gue beri hadiah apa anak itu? Pulang dari menemui Ni Hoe,  akan gue belikan peri tersayang itu sebuah mainan baru.

Ahnia,” panggil Ni Hoe padahal baru saja gue masuk ke dalam pekarangan rumah.

Dia mengajak gue masuk ke ruang baca. Kelihatannya memang ada suatu hal penting, bukan hanya mendengarkan permainan musiknya.

“Apa pendapat Ahnia terhadap masalah ini?” ditunjukkannya setumpuk kertas dokumen. “Tak perlu buru-buru. Ahnia baca saja.”

Selesai mengatakan itu, dia meninggalkan gue sendiri di ruangan ini.

Dokumen itu tentang sengketa masalah hak waris antara seorang bermarga Lie dengan perempuan bermarga Tan. Cukup tebal. Setebal buku tentang periklanan, salah satu buku wajib di masa kuliah dulu. Sial. Kenapa pula dia minta gue baca ini? Mengapa dia tidak cerita saja? Toh dia bertanya, minta pendapat gue. Merepotkan!

“Bagaimana, Ahnia?”

Gue lirik dia sesaat lalu kembali pada kertas itu lagi. “Sebentar,” jawab gue.

Masih ada seperempat lagi yang belum terbaca namun secara garis besar kasus ini gue sudah cukup paham. Masalahnya, bidang hukum bukan wilayah gue. Dasar pengetahuan yang gue miliki tak cukup untuk membicarakan masalah seperti ini. Bagaimana harus mengatakannya pada Ni Hoe?

“Menurut Cihu sendiri bagaimana?”

“Saya… –”

Ya[4], surat dari Yo Sinshe.”

Bersamaan dengan pemberitaan itu, seorang pelayan masuk. Dalam bungkuk hormat ia menyodorkan surat ke gue. Memang, di atas amplop tertuliskan kalo surat itu untuk gue. Kalau surat itu untuk gue, mengapa dikirimkan ke rumah ini? Penasaran, gue buka surat bersegel itu.

Darah gue mendidih membaca surat tersebut. Dia benar-benar keterlaluan. “Capcheng[5]!” teriak gue tanpa kendali. “Kauwcheng[6]!” seru gue sekali lagi dengan suara tertahan karena marah dan darah yang mendidih.

“Ada masalah apa, Ahnia?”

“Entah dari mana keparat itu tahu tragedi yang menimpa Hien Nio. Katanya tiga bajingan sudah ada di tangannya.”

Ni Hoe menggebrak meja keras. Gue tak sempat kaget karena otak terus bekerja memikirkan bagaimana cara membalaskan perlakuan ini. Berarti, dia datang ke rumah gue beberapa hari lalu hanya sebagai tanda kalau ada yang diinginkan.

Tanah di Tanjung Oost. Hal itu dibenarkan oleh Ni Hoe dalam geramannya. Sudah cukup lama Yo Sinshe mengincar tanah milik keluarga Ni yang berada cukup jauh dari selatan Batavia.

“Berarti ada budak yang membocorkan masalah hilangnya Hien Nio waktu itu. Budak keparat! Begitu tahu, akan gua cincang dia!” tiga kalimat penuh kebencian diucapkan Ni Hoe tanpa ada tanda dia sedang bercanda. Artinya, tindakan pencincangan itu akan benar-benar dilakukan olehnya.

Setelah ditinggal ayahnya, Ni Hoe tampak mengacuhkan diri dengan semua urusan dan tenggelam pada musik. Dia benar-benar terlihat seperti kucing rumah yang manis. Siapa nyana, kucing manis pun bisa segalak macan.

“Pantas anak-anak tidak dapat menemukan keempat keparat itu. Yo Sinshe… si Keparat itu rupanya….”

Jadi tanpa memberitahu gue, keluarga Ni tetap mencari keempat bajingan itu. Mengapa? Apakah gue juga dicurigai? Tapi mereka terlihat baik pada gue. Demikian pula mertua. Semasa hidup, ia tidak pernah memperlihatkan sikap bermusuhan pun mencurigai.

Ataukah mereka hanya ingin gue hidup tenang dan urusan lain diserahkan pada mereka? Mudah-mudahan dugaan terakhir yang benar. Tak bisa gue bayangkan jika setelah keluar dari kandang harimau kini berada di kandang singa.

Namun kejadian hari ini dan kedatangan Yo Sinshe waktu itu membuat gue tak bisa tidak berimajinasi. Dalam bayangan gue, keempat keparat itu sebenarnya anak buah Yo Sinshe. Mereka memperkosa Hien Nio atas perintah majikan untuk digunakan sebagai ancaman pada keluarga Ni.

Jantung gue berdenyut seperti talu yang ditabuh kencang dan berulang kali.

*#*#*

Catatan kaki:

  1. Boedoelmaster: bagian inventaris
  2. Tong: dialek Hokkian untuk Tang. Dinasti yang berdiri tahun 618 didirikan oleh jenderal dinasti Sui bermarga Li
  3. Kong: panggilan hormat untuk orang berpangkat/berkedudukan tinggi
  4. Ya/shaoya: panggilan dari bawahan kepada tuan mudanya (dalam hal ini kedudukan Enru di bawah Ni Hoe yang berperan sebagai kepala rumah tangga)
  5. Capcheng: makian dalam dialek Hokkian yang dapat disamakan dengan bastard dalam bahasa Inggris
  6. Kauwcheng: turunan anjing. Sama dengan sebelumnya, juga merupakan makian dalam dialek Hokkian.
%d blogger menyukai ini: