27 – Harinya Tiba
Bagian satu
Kaki tiyang mulai menapaki batang pohon besar tak jauh dari benteng di Angke. Menaiki pohon bukan hal yang sulit karena sudah terbiasa memanjat pohon sejak kecil. Sejujurnya, pohon adalah tempat tiyang bisa bersenang-senang, terutama dalam masa terburuk sepanjang hidup saat terjual sebagai budak.
Sekarang, di atas dahan pohon seperti ini akan membuat tiyang tidak mudah terlihat oleh musuh. Yang terpenting juga bisa leluasa mengawasi gerakan apapun di benteng.
“Made, awasi Benteng Angke dan benteng lain di wilayah Barat. Lihat apakah ada pergerakan kelompok lain di sana dan… atau meneer menambah pasukan pun mesiu,” itu yang dikatakan Toahnia ketika matahari belum terbit tadi pagi.
Seingat tiyang, dulu Toahnia tak pernah bangun sepagi itu. Ia adalah laki-laki yang kerja sampai ayam berkokok dan baru mulai tidur ketika penganut Muslim sedang sholat subuh. Tapi akhir-akhir ini dia berubah.
Tiyang kira Toahnia hanya tidur selama beberapa saat untuk kembali bangun mengatur strategi. Siasat memang bisa berubah setiap waktu, tergantung dengan pergerakan kelompok lain maupun sikap balasan dari mener–meneer kompeni. Hal itu tiyang sadari. Namun melihatnya terus seperti itu, rasanya tak tega.
Ia sudah banyak berubah. Awalnya Toahnia adalah seorang figur kakak yang menyenangkan. Suka bercanda pun ramah. Hari-hari kami di rumah lama selalu dipenuhi canda tawa. Terlebih Toahnia suka menggoda Ketut yang mudah panik dan gagap. Melihat kepanikan Ketut akan membuatnya tertawa lebar.
Tapi sekarang ini, tak pernah ada lagi gurauan keluar dari mulut Toahnia. Matanya selalu menatap tajam coret-coretan kertas yang tak dapat tiyang pahami. Dia menulis dalam huruf warisan leluhurnya dan dipenuhi coretan dan gambar-gambar aneh yang tak dapat tiyang mengerti.
Tak hanya itu, rambut pendek ‘ajaib’ ala Toahnia yang dulu hitam dan lebat kini berhias uban. Lingkaran di bawah mata pun menebal di atas kulit cerahnya. Namun kurasa ia sama sekali tidak mempedulikan. Perhatian Toahnia saat ini hanya tercurah pada mimpinya. Mimpi kami.
Pagi tadi, tiyang kembali melihat dia masih sibuk di belakang meja. Tepatnya di meja yang tiyang tinggalkan tadi malam karena disuruhnya untuk tidur. Satu hal yang tak berubah dari Toahnia adalah perintah selalu sudah siap setiap pagi. Melihat tiyang sudah terbangun dan menghampiri, serangkai petunjuk terdengar tak perlu menunggu sesaatpun.
Tapi, dulu perintah ditinggalkan pada secarik kertas dan beberapa hari ini disampaikannya secara langsung. Dengan nada suara pelan yang asing mungkin karena pikirannya dibebani tekanan sangat berat.
Hal ini tiyang juga tahu sebabnya, yang kami lakukan di mata meneer adalah bentuk pemberontakan. Dengan statusnya sebagai ipar kapiten Tionghoa, pasti akan menuai banyak masalah jika kertas-kertas perintah diketahui orang luar. Dan karena masalah ini pula, ia lepaskan semua budak peliharaan Toaso.
Perlahan tiyang turuni pohon. Di bawah, pikulan menanti. Dalam setiap tugas, tiyang selalu siap dengan keranjang berisi patung kayu ukiran. Kata Toahnia, sebagai penyamaran sekaligus sumber penghasilan tiyang karena ia sudah tak bisa menggaji. Uangnya nyaris habis.
Bagian dua
Jika suami mendapat tugas menjelajahi Ommelanden, tugas yang tiyang dapat menjelajahi kota. Dan kali ini tujuan tiyang pusat keramaian seperti pasar.
Di panggulan tiyang terdapat keranjang bambu berisi ukiran-ukiran kayu buatan suami. Awalnya ia buat hanya untuk hiburan di kala senggang, sampai Toahnia melihat dan memanfaatkan sebagai hiasan pada konsep yang dipresentasikan.
Kemudian ketika usaha Toahnia gulung tikar dan kami menikah, ukiran itu sempat menghidupi kami sementara waktu. Hingga beberapa tahun sampai kami bertemu lagi dengan Toahnia yang telah menikahi seorang perempuan dari keluarga kaya.
Tanpa berpikir panjang, suami tiyang langsung memutuskan untuk bekerja lagi untuknya. Katanya kerja dengan Toahnia tak ada yang perlu dikuatirkan. Memang benar tapi hanya berlaku sebelum Toahnia bimbang antara melakukan pergerakan atau diam.
Sekarang, usaha Toahnia telah berhenti total. Semua konsep penjualan yang pernah ia buat rasanya tak bisa diterapkan dalam keadaan kacau seperti ini. Penghasilannya nol. Karena itulah, ukiran ini harus terjual demi menghidupi kami termasuk Toahnia dan Asiu. Tiyang rela menghidupi mereka, terlebih Toahnia. Orang itu sangat baik pada kami selama bertahun-tahun. Meski usil juga pada tiyang.
Sebenarnya di samping untuk dijual, ukiran ini punya fungsi lain. Dengan membawanya, tiyang bisa menyamar sebagai penjual keliling dan leluasa menjelajahi kota. Ide ini dari Toahnia, ia memang selalu memikirkan semuanya. Tak satupun yang terlewat.
Tak terasa, gerbang sudah di hadapan.
Penjagaan terlihat lebih ketat dari biasanya. Mereka bahkan membongkar isi keranjang tiyang, tak tahu apa maksudnya. Tiyang kira hanya iseng. Karena mereka memang tak pernah bisa diam kalau yang melewati gerbang seorang perempuan pribumi atau Tionghoa ataupun Moor. Tepatnya pada semua perempuan selain berdarah Belanda.
Toahnia memang benar, mereka sudah seharusnya diusir. Bahkan orang-orang yang menjadi anjing mereka pun harusnya tak diberi ampun. Juga… orang yang tega menjual rekan sebangsa sendiri sebagai budak.
Pemikiran itu, membuat tiyang semakin ingin cepat menyelesaikan semua tugas. Tiyang ingin Toahnia mendapatkan semua yang ingin dia tahu. Tiyang ingin dia bisa membuat—yang Toahnia sebut sebagai—taktik yang hebat sehingga usaha kami tidak sia-sia.
Tiyang lirik sekitar. Sepi. Hanya ada beberapa orang yang berlalu dengan lesu. Keranjang mereka kosong tak terisi apapun. Sembari berusaha menawarkan dagangan, tiyang berlalu dari satu orang ke orang lain.
“Nyonya, ukiran untuk hiasan di rumah.”
“Tuan? Beli ukiran untuk hiasan?”
Tak satupun mempedulikan. Mereka hanya menggelengkan kepala dan menjauhi tiyang.
Bagian tiga
Untuk pulang ke rumah Toahnia, gua harus menyusuri kali yang berada di sisi Gereja Portugis luar. Gereja itu sama sekali tidak menakutkan. Tapi batu peringatan di tanah terbuka daerah belakang gereja cukup membuat bulu kuduk merinding.
Batu itu tegak berdiri dengan tengkorak manusia ditikam pisau di atasnya. Pada batu terdapat serangkaian tulisan yang tak terlalu jelas dilihat dari tempat gua berdiri. Tak peduli dengan yang tertera di sana, gua sudah tahu tempat apa ini. Apalagi kalau bukan lokasi seorang Indo dibantai dengan sadis oleh meneer karena dituduh melakukan pemberontakan.
Keringat dingin sepertinya hendak keluar karena mengingat hal itu. Bukankah apa yang kami lakukan saat ini di mata Holana juga salah satu bentuk pemberontakan? Tapi… tidak. Kami tidak berontak. Seharusnya Holana-holana itu pergi dari tanah ini. Mereka lintah. Lintah rakus yang ingin menghabisi kekayaan tanah ini!
Kata Toahnia, tanah ini nantinya akan berdiri sebuah negara. Atas kepentingan negara itulah Toahnia bertindak. Kata-katanya memang sering tak bisa gua mengerti. Bahkan kadang gua merasa Toahnia seperti seorang peramal. Tapi dia tak pernah bisa meramal nasib kami. Apakah perjuangan kami berhasil atau gagal. Atau sebenarnya Toahnia tahu namun tidak mau bicara?
Suara riak air di kali membuat kepala gua lekas menoleh ingin tahu.
Mungkin penduduk dalam kota sudah tahu rencana kami hingga memilih melarikan diri pada hari ini. Tak hanya satu perahu yang berlayar. Ada lebih dari lima dan masing-masing berisi keluarga lengkap membawa beras dan aneka rupa peralatan rumah tangga.
Gua harus segera laporkan pada Toahnia. Semua yang gua temukan hari ini. Beberapa hal aneh dan membuat bulu gua meremang aneh. Sungguh gua takut jika kepergian mereka akan membawa dampak buruk bagi. Atau sepinya benteng. Juga markas-markas kelompok lain yang sunyi.
Kaki gua semakin cepat melangkah untuk pulang. Toahnia pasti menanti kabar dari gua. Ia harus mendapat berita sebelum memutuskan apakah rencana bisa dijalankan esok atau harus diundur.
Saat jalan pulang, gua mendadak teringat ketika pertama kali bertemu dengan Toahnia, usia gua waktu itu sekitar enam belas tahun. Hal itu sudah terjadi sekitar dua puluh tahun lalu, saat Toahnia hanyalah seorang tamu di rumah Yo Sinshe.
Waktu itu, gua mulai merasakan ada yang berbeda pada laki-laki berambut pendek aneh itu. Tawa orang itu keras. Tak kalah dari tawa majikan gua. Matanya menyudut membuat kesan ia nakal sekaligus jahil.
Melihat perawakan dan semua yang ditampilkan oleh Toahnia di awal pertemuan kami, pasti setiap orang akan mengamini setidaknya dia berasal dari golongan mampu. Dengar tidak ceritanya? Ia dirampok saat mabuk! Itulah sebab dia bisa sampai ke Batavia dalam kondisi yang menurut Peng Hnia[1] kumal dan bau minuman keras.
Walau dirampok, nasibnya sungguh sangat beruntung. Atas dasar dia orang baru di Batavia, tak seorang pun yang menjerumuskan pada kubang perbudakan dan bahkan mendapat perhatian begitu besar dari majikan gua. Padahal Yo Sinshe adalah orang berbahaya. Sudah banyak orang jatuh menjadi budak di tangannya. Tapi dia tidak. Bahkan majikan gua justru menjodohkan dia dengan putrinya.
Tapi di balik semua itu, ia orang terbaik yang pernah gua temui. Ketika gua melakukan kesalahan padanya, membuat bajunya terkena teh yang gua tumpahkan—Toahnia tidak marah. Bahkan justru memintakan pengampunan pada Yo Sinshe. Padahal awalnya gua sudah begitu takut majikan gua akan memerintahkan orang mencambuk.
Dia yang membuat gua tak perlu merasakan perihnya hukuman tersebut. Sejak saat itu pula, dia jadi pujaan gua. Begitu memuja hingga tanpa sadar pola bicara gua terpengaruh oleh gayanya. Made yang mengatakan cara gua bicara serupa dengan Toahnia. Waktu itu, rasanya muka gua panas dan pipi bersemu seperti kepiting rebus. Masalah ini, harusnya tak boleh seorang pun tahu.
Gua ingat ketika Toahnia mabuk. Ia begitu lucu. Namun satu nama yang terus disebutnya ketika itu membuat gua benar-benar penasaran. Seperti apa rupa pemilik nama itu? Apakah ia begitu cantik hingga membuat Toahnia tak bisa melupakannya? Sehebat itukah dia?
Kalau gua tanyakan, Toahnia hanya menjawab singkat, pacar yang hendak dilamar. Mendengarnya entah mengapa gua tidak suka. Dan lebih tak suka ketika dengan mendadak dan tanpa pikir panjang ia berkata akan menikahi gadis korban pemerkosaan yang ditolongnya. Gua kira ia sedang sinting sesaat. Namun ternyata hal itu sungguh terjadi.
Walau gua akui, gadis itu terlihat serasi bersanding dengan Toahnia. Tapi, gua tak rela Toahnia mendapat seorang perempuan yang tak suci lagi. Harusnya ia mendapatkan yang lebih baik dari itu. Jauh lebih baik.
Namun, semua telah terjadi. Dia menikah dan mendapat anak—yang gua curigai bukan anak kandung Toahnia—tapi Toahnia sangat menyayangi anak itu.
Bunyi berdeham membuyarkan lamunan.
Tak jauh dari tempat gua duduk, Toahnia menatap tajam. Matanya memandang gua penuh tanda tanya, mungkin atas apa yang gua lamunkan.
Gua tak berani menatap sepasang mata itu hingga memutuskan mengalihkan pada poci tehnya. “Gua isikan lagi,” kata gua bergegas pergi membawa poci teh yang sebenarnya masih setengah penuh.
Bagian lima
Sampai sekarang sejujurnya gua masih tak bisa percaya menikah dengan seseorang seperti Ahnia. Gua juga tak percaya ada laki-laki yang bisa bertahan tanpa memelihara gundik. Tapi nyatanya, itulah Ahnia, suami gua. Laki-laki yang dulu menolong dan menghajar ‘bandit pemetik bunga’ brengsek serta kurang ajar itu. Laki-laki yang serta merta melamar pada Toahnia demi membantu menutup aib.
Gua terpana. Terenyuh.
Sekalipun pernikahan kami tidak didasarkan atas kata cinta, tapi ia memperlakukan gua dengan sangat baik. Perlakuan yang semakin lama membuat gua tak dapat melepasnya. Tak rela kehilangan. Dan tak rela membagi perhatian Ahnia dengan siapapun jua, sekalipun dia adalah adik angkat Ahnia. Orang itu harus segera gua nikahkan keluar.
“Abuh, kenapa Apeh tidak segera menyusul kita?” Gwat Nio bertanya dengan wajah teramat cemas. Seolah-olah suami gua adalah sesuatu yang tak boleh dipisahkan darinya.
Anak gua memang sangat dekat dengan Ahnia. Kedekatan yang sering membuatku dirudung cemburu. Gua takut, ketika besar nanti dan mengetahui rahasia kami, ia merasa berhak merebut Ahnia dari gua. Tak ada seorang ibu yang cemburu pada putrinya sendiri kecuali gua, mungkin. Namun, apa boleh buat, Gwat Nio bukan putri kandung Ahnia. Memikirkannya saja, hati berdesir oleh cemburu.
“Abuh… Gwat Nio pernah menguping pembicaraan Apeh.”
“Tak baik mendengarkan orang dewasa sedang bicara, Nak.”
“Dengarkan Gwat Nio dulu, Abuh,” anak ini langsung cemberut meminta perhatian gua. “Gwat Nio tahu Apeh sedang merencanakan apa sehingga tidak pergi bersama kita.”
Gua terdiam dengan hati diliputi sejuta penasaran. “Katakan apapun yang lu tahu, Gwat Nio.”
Ia menganggukkan kepalanya baru bicara, “Apeh sering bertemu dengan orang brewokan yang pernah mau merampok Abuh waktu kita piknik dulu.”
Gua terhenyak. Tak mungkinkan Ahnia ganti pekerjaan menjadi perampok? Sekalipun usahanya tak lagi berjalan akhir-akhir ini, tapi ia masih bisa mengurus kebun kami.
“Apeh sering bicara ‘pergerakan’, ‘kompeni’ dan ‘anjing penjilat’ dengan orang brewok menyebalkan itu.”
Apakah artinya di balik kerusuhan yang sering terjadi di Batavia akhir-akhir didalangi oleh Ahnia? Tapi ia selalu terlihat tak tahu apapun saat bicara dengan Toahnia. Apakah yang dimaksud dengan ‘anjing penjilat’ adalah Toahnia?
“Ka… Kauwnio…,” kali ini Ketip yang bicara. Wajahnya begitu takut. Ia terlihat sangat ragu-ragu. Kelihatannya ada rahasia penting yang mengganjal hati hendak disampaikan. “Sebenarnya Shauya menitipkan sebuah surat pada Ketip ketika kita hendak berangkat. Katanya… Ketip baru boleh memberikan pada Kauwnio jika sampai pada waktu perjanjian, Ya tidak menyusul.”
“Berikan pada gua sekarang.”
Tangan itu dengan gemetar merogoh kantung bawaaan pribadinya. Lirikan matanya terus tertuju pada gua. Dan kemudian, dengan tangan yang masih gemetar, surat dalam amplop bersegel berpindah tangan.
Perlahan gua buka amplop dengan hati berdebar ingin tahu isi surat. Sangat aneh Ahnia menitipkan surat dengan pesan semacam itu.
“Abuh, Gwat Nio rindu Apeh. Kita pulang saja, ya? Jemput Apeh?”
“Ya, Nak. Kita pulang.”
Tanpa menghiraukan ucapan putri gua berikutnya, mata gua nanar menatap pohon yang berbaris di luar kereta kuda. Dada gua sesak dipenuhi beragam pertanyaan. Mengapa Ahnia melakukan hal ini?
Bagian enam
Semua sudah berkumpul ketika tiyang sampai rumah. Toahnia memandang tajam. Sepertinya berita yang tiyang bawa benar-benar dinantikan. Maka, tanpa banyak kata tiyang sampaikan semua yang ditemui.
Toahnia menganggukkan kepalanya sekali tanda mengerti.
“Ketut mengatakan di kota tak ada toko bahan pangan yang buka. Besok kita bergerak. Ong, temani gue untuk melobi pemimpin kelompok lain.”
Toahnia sering menggunakan kata-kata asing dalam setiap pembicaraan. Mungkin kata-kata itu sudah biasa digunakan Toahnia di kampung dia. Bagi kami—tiyang, Ketut, dan Asiu—hal itu tak ubahnya dengan pola makan tiga kali sehari, sudah sangat terbiasa. Tapi Ong berbeda. Orang itu mengeryitkan alis dan melirik pada kami bertiga, tak paham.
Asiu yang membuka mulut mengkodekan arti perkataan Toahnia sebelum tiyang sempat melakukan. Dia selalu begitu. Sangat paham pada arti perkataan Toahnia. Ia paham apapun juga tentang Toahnia.
Mengingat aksi kami akan dilakukan besok, entah mengapa jantung tiyang berdegub aneh. Mungkin ini yang disebut Toahnia sebagai antusias berlebihan. Apakah juga arti kata antusias itu? Entahlah. Tapi tiyang yakin, semua orang di ruangan ini juga merasakan hal yang sama.
Tiba-tiba saja adik Ong, yang biasa dipanggil Toahnia dengan sebutan Ong Muda datang dengan raut cemas. Katanya, “Orang-orang menyembunyikan bambunya. Kami tak bisa membeli bambu lagi.”
“Pakai senjata yang kita punya.”
“Tapi orang-orang dari kelompok yang berhasil tiyang bujuk belum punya senjata.”
Tiba-tiba Toahnia seperti mendapat penglihatan. Dengan suara berat ia berkata, “Ada kemungkinan mereka melaporkan pembelian bambu berlebih pada meneer kompeni.”
Tiyang bertambah tegang. Dan ternyata semua orang selain Toahnia menegang karena ucapan itu.
“Kondisi benteng sebenarnya tidak baik. Dan garnisium juga tak pernah diperhatikan. Terlebih kelompok-kelompok lain mulai menyerang mereka seminggu ini. Gue yakin, kondisi itu tetap berlaku sampai besok. Kita harus yakin, mengerti?”
Kami berlima saling pandang. Keraguan nampak jelas di mata Asiu dan istri tiyang. Berbeda dengan Ong yang begitu bersemangat. Masa lalunya sebagai perampok mungkin membuat ketakutan akan kematian turun sampai titik terendah.
Bagian tujuh
Malam ini dilalui dalam kesunyian.
Gua begitu, Toahnia juga seperti itu. Bahkan Ketut dan suaminya pun tak bersuara. Hanya ada suara parang yang diasah Made dengan penuh kehati-hatian.
“Urusan besok kalian tak perlu datang,” cetus Toahnia memecah keheningan di antara kami.
Kami bertiga langsung menoleh padanya, bingung.
“Kaki lu tidak dalam kondisi baik, Asiu.” Selesai mengatakan itu pada gua, mata Toahnia berbalik pada Ketut dan Made. “Gue butuh kalian di balik layar.”
“Maksud Toahnia.., besok Toahnia juga tidak maju ke depan?”
Ia menggelengkan kepalanya dengan tegas.
Gua kecewa. Sosok Toahnia yang pemberani dan pahlawan mulai luntur di mata gua.
“Ong minta gue tetap diam di belakang. Jika terjadi sesuatu pada mereka, gue masih bisa bernegosiasi dengan kompeni.”
Gua egois. Gua terlampau egois. Mengapa gua tidak bisa mendahulukan kepentingaan bersama? Kemampuan bicara Toahnia jelas kami butuhkan jikalau usaha ini gagal. Andaikata Toahnia meninggal dalam petempuran besok dan banyak di antara kami tertawan, siapa yang mampu melakukan perundingan dengan kompeni? Mulut mereka berbisa dan penuh taktik. Hanya Toahnia yang mampu. Bukan gua, Made, Ketut terlebih semua Ong itu.
Gua anggukkan kepala tanda mengerti. Mata gua terus lekat menatapnya.
Mentak Toahnia tahu apa yang gua lakukan. Ia beralih pergi meninggalkan kami. Selanjutnya, dalam sekejap, bisu kembali hadir.
*#*#*
Catatan kaki:
[1] Hnia: sama dengan Ahnia berarti kakak laki-laki