Lanjut ke konten

29 – Kaligrafi ‘bersabar’

Bagian satu

Peraturan yang baru dilahirkan hari ini benar-benar membuat kami susah bergerak. Gue  dibuat pusing karena banyaknya laporan yang datang terkait dengan pergerakan yang tampaknya menemui kegagalan.

Padahal… puncak penyerangan dijadwalkan pada hari ini. Tapi pesan yang disampaikan Asiu benar-benar membuat gue tak bisa bergerak. Katanya, Ni Hoe akan mendatangi semua rumah Tionghoa untuk inspeksi bersama meneermeneer. Hal tersebut dikarenakan kerusuhan besar-besaran yang terjadi beberapa hari sebelumnya sampai kemarin.

Gue cemas. Begitu cemas hingga keringat dingin keluar dari setiap lubang kecil di kulit membasahi pakaian yang gue kenakan. Saat ini tak ada AC pun tak ada kipas angin. Kalaupun ada, mereka tak akan membantu banyak hanya membantu mengeringkan namun masalah utama tetap bercokol di tempatnya.

Berdiam diri sekian lama, akhirnya gue putuskan untuk melakukan sesuatu yang disuka. Melukis misalnya. Atau mungkin kembali belajar kaligrafi huruf Han. Kata guru kaligrafi gue dulu, kegiatan tersebut berefek menenangkan. Maka, gue beranjak dari kursi batu yang ada di taman belakang.

Kursi ini yang dulu dinaiki oleh Gwat Nio. Mengingat masa-masa itu, hati gue dicekam rasa rindu. Bagaimana kabar mereka? Mengapa gue belum menerima kabar dari putri manis dan istri gue itu? Baik-baik sajakah mereka? Atau kedua perempuan yang paling dekat dengan gue saat ini menghadapi suatu masalah? Kepergian mereka ke tanah itu tidak mungkin diliputi masalah, bukan?

Jantung gue berdenyut lebih cepat. Takut membuatnya begitu bernafsu memompa darah. Lalu gue rasakan rasa sakit. Mungkin hanya secara psikis karena rasa rindu yang menyesaki tubuh gue.

Gue melirik kursi itu sekali lagi, membayangkan Gwat Nio yang kala itu baru berusia enam tahun. Ia menaiki kursi dan berusaha menggapai pundak gue, minta digendong. “Apeh, gendong.” Gue desahkan nafas lalu mengajak pergi kaki yang enggan melangkah. “Digendong Apeh, Gwat Nio sangat senang.” Rasa dingin mendadak menyerang gue. Air mata meleleh, rindu celoteh Gwat Nio.

 

Bagian dua

Derit pintu yang terbuka terdengar hingga di tempat gue berada. Mungkin karena engsel yang kurang minyak. Atau mungkin karena rumah ini terlampau sunyi tanpa kehadiran pembantu, istri pun anak gue. Beberapa saat kemudian, ketika kuas baru saja gue angkat setelah menorehkan huruf 忍yang artinya ‘bersabar’, Made menghampiri.

“Mereka datang,” katanya.

Gue anggukkan kepala sembari menempatkan kuas di wadahnya kemudian pergi ke ruang depan.

Maka, peran gue sebagai pebisnis gagal yang hendak menyingkir ke luar belantara Batavia kembali gue kenakan.

Cihu,” sapa gue kuyu. Menatapnya sesaat, kemudian mata gue awas mengawasi sekeliling.

Para Schuterij berkeliaran di ruangan itu mengawasi segala penjuru, membolak-balik guci dan ukiran giok seolah-olah barang itu adalah tuas menuju ruang rahasia tempat gue menyimpan senjata.

Sapaan gue pada Ni Hoe membuat mereka menoleh dan menghentikan kegiatannya. Salah seorang—setahu gue pangkatnya tertinggi di antara yang datang—menghampiri dengan sebuah senyum formal, penuh kepalsuan.

“Mereka ingin memastikan bahwa Ahnia tidak terlibat gerakan kemarin,” Ni Hoe bicara sebelum ia sempat berkata apapun.

“Tapi…,” kata gue ragu-ragu. Gue awasi mereka dengan lirikan tajam. Sepanjang hidup di Batavia, gue tak pernah menemukan kecocokan dengan petugas-petugas itu. Rumah gue dibobol perampok dan tak ada satupun dari mereka yang membantu menangkap perampok. Lalu Asiu ditangkap oleh mereka. Kemudian Ong si seniman itu. Bisa dikatakan semua masalah gue selalu ada campur tangan mereka.

“Tak ada yang perlu ditakutkan, Ahnia. Mereka hanya ingin bukti Ahnia bersih.”

Gue tak punya pilihan lain. Melarang mereka menggeledah rumah hanya akan menimbulkan kecurigaan. Mau tak mau, gue menyingkir dari tempat berdiri saat ini yang menutupi akses mereka untuk masuk ke pintu dalam.

Rasa waswas menghantui gue.

Mereka membagi diri menjadi beberapa kelompok dengan anggota sekitar dua sampai tiga orang. Masing-masing berhamburan memasuki segala ruangan yang ada di rumah gue, menyisir setiap rerimbunan tanaman perdu penghias rumah.

Tak akan ada. Mereka tak mungkin menemukan satupun senjata di rumah gue. gue tidak menyimpan benda seperti itu satupun kecuali pisau dapur untuk masak.

Sekelompok Schuterij terus menyusuri seluruh isi rumah dan kemudian mendekati kamar Gwat Nio.

“Itu kamar putri gue. Tidak boleh masuk!” seru gue dengan raut tegang tepat ketika tangan mereka terulur hendak membuka kamar Gwat Nio yang tertutup rapat. Gue yakin gue begitu tegang saat ini.

“Tak akan gue biarkan satu pun laki-laki memasuki kamar anak gadis gue!” ujar gue lantang dan ketus sembari mengejar lalu menghalangi mereka untuk masuk ke kamar.

“Bukankah Gwat Nio tidak ada, Cihu?”

“Tapi barang-barangnya belum selesai saya rapikan semua. Siapa yang bisa menjamin mereka tidak menggerayangi pakaian dalam Gwat Nio lalu berpikiran kotor?” sahut gue ketus dengan tatapan mengancam.

Jawaban gue membuat Ni Hoe bersusah payah negosiasi agar para Schuterij tidak perlu masuk ke kamar Gwat Nio. Pastilah kakak ipar gue juga tak ingin para laki-laki itu berfantasi seksual dengan kemenakannya. Dan tak seorang pun yang akan berani menjamin mereka tidak melakukan perbuatan macam itu.

Usahanya bisa dikatakan berhasil. Mereka hanya masuk ke dalam untuk melihat sementara laci dan segala sesuatunya hanya gue yang berhak membuka. Hasil dari upayanya ini adalah ketenangan gue kembali mengalahkan waswas yang tadi merongrong.

Gue buka daun pintu lemari pakaian Gwat Nio sebelah kiri menunggu selama beberapa detik lalu gue tutup kembali. Demikian juga yang sebelah kanan. Gue sengaja membukanya bergantian dengan tubuh sedikit menghalangi sinar matahari menerangi isi lemari. Demikian pula di meja rias tempat perhiasan putri gue biasa digeletakkan. Kini meja telah kosong. Demikian pula dengan laci-lacinya tapi mereka tetap ingin melihat.

Dipan telah kosong. Tak ada selimut, bantal atau alas tidur yang menutupi. Demikian pula kaki dipan yang tinggi membuat kolongnya mudah terlihat sehingga mereka tak punya hak meminta gue menjungkirbalikkan dipan kayu jati yang berat itu.

Akhirnya, mereka meninggalkan kamar Gwat Nio. Ni Hoe mendahului gue yang berjalan di urutan terakhir untuk menutup pintu.

Kembali sang pimpinan Schuterij mengucapkan beberapa patah kata yang di telinga gue kepalsuannya begitu kentara. Tepat pada detik itu juga, gue menyadari mereka menaruh kecurigaan ke gue.

“Kawanan itu hanya pengacau ketentraman orang-orang baik,” ujarnya sebagai pendahuluan. “Hukuman untuk orang-orang seperti itu hanya satu. Mati. Mati seperti Pieter Erberveld. Bukankah begitu, Cui Sinshe?” di kala mengucapkan ini, matanya lurus tajam menatap gue. “Sebagai orang baik-baik yang tinggal di luar tembok kota, sebaiknya berhati-hati agar bisa meninggalkan rumah ini seperti rencana Cui Sinshe.”

Sinshe memiliki arti orang yang ahli di bidangnya. Bahkan Made pun pantas disebut sinshe. Ia ahli dalam mengukir bukan? Namun ketika meneer Schuterij tersebut memaksa diri untuk menyebut kata sinshe dengan logat anehnya, gue merasa dia sedang menaruh curiga bahwa selain ahli merancang pola marketing, gue juga yang merancang pola penyerangan. Garis besarnya, dia seperti mengejek. Dan untuk semacam ini, gue tidak tanggapi.

“Beberapa hari ini lebih baik Cui Sinshe tak perlu keluar rumah. Senjata tak kenal lawan. Apalagi di kala malam.”

Sebenarnya ia hanya hendak menegaskan padaku peraturan terbaru yang dikeluarkan oleh pembesar-pembesar di kastil Batavia. Larangan untuk semua orang Tionghoa keluar rumah setelah jam setengah tujuh, mulai malam ini. Pelanggarnya langsung dijatuhi hukuman mati dengan ditembak.

Selain itu ada juga larangan tak boleh menyalakan lentera pun lilin. Meneermeneer itu memang gila! Bagaimana bisa melakukan sesuatu dalam keadaan rumah gelap gulita. Membuang hajat yang kebutuhan setiap makluk hidup pun makan tak bisa dilakukan di kala gelap. Salah-salah bukan nasi yang masuk melainkan kecoa. Atau tikus! Lagipula, cahaya pun asap gue butuhkan untuk berkomunikasi dengan segenap orang-orang gue, tak hanya kawanan Ong.

Bagaimana mereka bisa melarang kami menyalakan api? Apakah ada yang membocorkan? Pasti begitu. Tapi gue tidak tahu siapa yang membocorkan. Tak jelas. Jelas bukan Ong. Juga bukan Made, Ketut maupun Asiu. Kesetiaan mereka tak perlu diragukan dan hubungan kami sudah seperti saudara kandung. Ataukah…

Entahlah. Kepala gue selalu pusing jika masalah itu teringat kembali.

 

Bagian tiga

Setelah Ni Hoe membawa pergi sekompi schuterij, Ketut bicara dengan suara ditahan serupa bisikan angin dekat telinga gue, “Ong di kebun belakang.”

Mendengarnya gue terperanjat. Entah sudah berapa lama ia di sana. Untung saja tak satupun dari petugas ataupun ipar gue melihat keberadaan Ong. Drama yang diciptakan akan terlalu dasyat jika hal itu terjadi. Tak perlu gue bayangkan karena yang akan terjadi pasti chaos tingkat parah.

Menelusuri koridor yang sepi untuk menjumpai Ong, hati gue terus dicekam rasa ketidakpastian. Suatu perasaan yang sukar dijelaskan dan sekaligus membuat gue merasa cemas pun kuatir. Kelihatannya usaha kami akan menemui kegagalan.

Gue tidak yakin seberapa besar kegagalan di hadapan kami. Pergerakan waktu yang akan menjawabnya, hal itu sangat gue yakini.

Akhir-akhir ini gue sering mendesah. Itu keluhan Asiu ke gue. Katanya mirip dengan desahan putus asa ketika gue dijodohkan dengan Kim Nio, berat oleh beban. Dan kali ini, kembali gue desahkan nafas.

“Cui Sinshe,” panggil Ong keluar dari persembunyiannya.

“Celaka!” bisiknya. “Kami tak dapat mengontrol pergerakan orang-orang dari arah Barat sesuai permintaan Anda.”

“Lanjutkan,” kata gue singkat.

“Apa yang dilanjutkan, Cui Sinshe?” matanya menatap gue bingung sekaligus ragu-ragu.

“Lanjutkan ceritamu, tentu saja.”

Kepala si Ong mengangguk sekali. Matanya awas mengamati sekeliling gue, nampak takut masih tertinggal sekompi Schuterij di rumah ini. Setelah yakin aman, ia mulai menceritakan pertemuannya dengan kelompok barat.

“Mereka bersikeras agar pergerakan tetap dilangsungkan hari ini juga. Apapun keputusan Cui Sinshe, orang-orang itu akan tetap bergerak.”

Gue hela nafas sembari memikirkan bagaimana caranya mengatur pergerakan tanpa adanya cahaya dan asap.

“… Masalahnya adalah, Sinshe diawasi. Rumah ini diawasi!”

Mata gue menatap tajam Ong. Dia mengangguk sebagai balasan. “Banyak pasukan Schuterij menyamar di luar. Jadi awalnya bukan gua yang datang melaporkan hal ini. Gua suruh sepupu gua yang baret di sini itu,” katanya dengan menunjuk di pipi. Ia bicara dengan sangat pelan dan berbisik, begitu berhati-hati. Juga telah lupa biasanya ia menggunakan bahasa yang cukup sopan. Kelupaannya menyiratkan kekuatiran yang disembunyikan. “Tapi dia melihat orang asing berkeliaran di sekitar rumah dan tanah Cui Sinshe. Dia takut melakukan kesalahan sehingga pulang ke tempat gua. Jadinya gua sendiri yang datang melaporkan.”

Mata gue terpejam. Gue mencoba mengingat apakah ada perkataan yang salah sehingga mereka mencurigai keterlibatan gue. Ataukah mereka menemukan kertas-kertas berisi rancangan strategi yang telah gue samarkan sedemikian rupa menjadi strategi penjualan pada umumnya.

Tapi tak satupun ada kejadian yang mengarah pada kedua hal tersebut, sepanjang ingatan gue.

“Oh iya, Sinshe. Holana melarang orang-orang kita masuk ke dalam kota. … Dari luar tak boleh masuk, dari dalam tak boleh keluar.”

“Masalah itu gue sudah tahu.”

“Bahkan mengungsikan perempuan dan anak-anak pun tak boleh!”

“Mereka, bagi kompeni adalah sandera jitu. Tapi istri lu sudah diungsikan kan?”

Ia mengangguk sekali. Matanya tetap jalang, tegang. Mungkin bagi si Ong, tumbuhan di sekitar kami pun dipasangi alat penyadap suara. Tapi, di sini alat semacam itu belum dikenal.

“Lalu apa keputusan Tuan, apakah kita juga akan tetap bergerak?”

Tak serta merta gue menjawab. Otak gue terus berputar mencari akal dan jalan keluar. Dalam film spionase ataupun film-film tentang pemberontakan, bagaimana cara sang tokoh menghubungi pihaknya tanpa ketahuan musuh? Alat apa yang mudah digunakan dan dikenali?

Api dan segala keturunannya termasuk kembang api, mercon, petasan tak lagi memungkinkan. Harus ada alat lain yang bisa terlihat sampai jarak jauh dan langsung bisa dipahami.

Kami terdiam. Ong terus menunggu gue berkata. Gue sendiri tak punya kata yang bisa disampaikan. Sebelum gue menjawab, pastinya harus dipikirkan terlebih dahulu bagaimana cara kami berhubungan.

“Ikut gue!” kata gue sambil beralih pergi menuju kamar Gwat Nio. Ya, strategi gue sembunyikan di sana. Tepatnya di antara pakaian dalam putri Gwat Nio.

Membiarkan Ong berdiri melangu di depan pintu, gue langsung membuka lemari pakaian di sana dan mengeluarkan lembaran kertas yang gue sembunyikan. Kertas itu dibentangkan di meja dengan poci teh sebagai penahan di kedua sisi.

“Tempat kita terpaut jarak sejauh ini,” ujar gue menunjuk kedua tanda bintang di atas kertas. Itu adalah peta buatan gue. “Bantu gue pikirkan agar bisa menghubungi kalian. Sekali dan langsung jelas semua.”

Sinshe bisa bersiul?”

“Siulan gue tak cukup keras.”

Dia melirik ke semua arah. Demikian juga dengan gue. Tapi ini bukan karena curiga di sekitar kami ada yang menguping. Hanya sedang mencari suatu alat. Lalu perhatian gue tertuju pada sebuah suling bambu pemberian Ni Hoe untuk Gwat Nio.

Gue menghampiri barang yang tergeletak di atas lemari. Tempat yang sulit direngkuh oleh Gwat Nio. Sebenarnya itu karena Hien Nio yang mengeluhkan bisingnya alat musik itu di tangan Gwat Nio. Darah seniman tak mengalir dalam diri Gwat Nio. Hal tersebut membuat suling yang harusnya mengeluarkan musik yang mengalun merdu menjadi sekedar sempritan dengan suara melengking.

Gue tak beda jauh dengan Gwat Nio. Pelajaran seni musik gue di kala SD selalu dihias angka merah menyala di saat ujian praktek. Baik dengan suling ataupun alat musik apapun. Seulas senyum menghiasi bibir gue. Puas.

Sinshe bisa main suling?” tanya Ong berdecak kagum.

Gue gelengkan kepala dengan tertawa.

“Tak perlu bagus. Yang penting keras,” ujarnya

“Kalau begitu, kita?”

“Terus maju,” sekali lagi bibir gue tersenyum. Puas dengan apa yang didapat. Gue tak peduli lagi masalah yang menghadang kami. Rasa kuatir akan kegagalan pun tidak gue hiraukan. Sudah telanjur basah. Keterlibatan gue tak mungkin disangkal, mengapa tidak terjun langsung sekalian?

Ong menganggukkan kepalanya puas. “Kami tunggu kabar Sinshe. Gua pulang?”

“Hati-hati.”

 

Bagian empat

Tadi adalah terakhir kalinya gue bertemu dengan Ong. Sekarang, di masa matahari telah mendekati ufuk barat dan setelah berulang kali gue bunyikan suling, Ong tak muncul di hadapan gue. Bahkan anak buahnya pun tidak.

Cemas kembali meliputi hati gue.

Toahnia, gua pergi melihat si Ong, ya?” Asiu yang bicara.

“Jangan!” seru Made. “Toahnia dan kamu, tak satupun yang boleh keluar. Bisa berbahaya untuk kalian.”

“Tapi bagaimana sekarang?!?” Asiu terlihat panik dan cemas. Matanya terus terarah pada gue seolah mengawasi.

“Biar tiyang yang pergi,” kata Made mantap menatap gue minta persetujuan.

Dengan berat hati gue balas tatapannya dengan sebuah anggukan tanda setuju. “Jika mereka mencurigai gue, artinya kalian juga turut dicurigai. Hati-hatilah! Pulang dengan selamat, mengerti?”

“Mata tiyang tidak sipit, Toahnia. Dan kulit kulit lebih legam dari kalian. Tiyang bisa menyamar dalam kegelapan dengan mudah. Mengaku-aku sebagai budak juga semua orang tak akan meragukan dan mempertanyakan.”

“Yang terpenting adalah keselamatan lu, mengerti?”

Setelah melihatnya mengangguk, barulah gue melepaskannya pergi.

Dan kemudian, malam telah datang.

Gue tetap nekat menyalakan lilin kecil di kamar tidur Gwat Nio. Semalaman ini kami akan menunggu di sana untuk mengatur pergerakan.

Rumah gue yang besar dan sebagian berdinding batu membuat gue tak ragu sedikit melanggar aturan kompeni. Terang lilin tak mungkin terlihat sampai ke luar rumah sekalipun ada mata-mata mengintai. Tapi nyalanya cukup untuk membantu memastikan nasi yang gue sumpit masuk ke dalam mulut demikian juga lauk sederhana buatan Ketut. Dan, kertas berisi strategi rancangan juga peta masih bisa gue lihat. Hanya itu sudah cukup.

 

Bagian lima

Di luar sepertinya ramai. Tapi gue tak berani keluar. Gue tak mau mati tanpa alasan sebelum tujuan kami tercapai sehingga Ketut memberanikan diri melihat luar sekaligus menunggu suaminya pulang.

Gue menunggu sekian lama dalam cahaya temaram lilin. Di sisi ada Asiu. Ia memang tak pernah jauh dari gue, selalu mendukung kapanpun gue butuh.

Gua buatkan teh, Toahnia.”

“Bahaya, Asiu. Tidak perlu.”

“Tapi teh Toahnia sudah habis.”

“Tak apa. Gue juga sedang tak ingin minum.”

Tak sadar gue hembuskan nafas lagi.

“Sial! Gelap sekali. Bagaimana gue bisa mengubah strategi?”

“Gelap seperti ini juga bagus, Toahnia,” ujar Asiu lagi. “Lihat di taman. Banyak kunang-kunang datang.”

“Tangkap mereka dan kurung dalam lampion. Kita akan cukup penerangan malam ini. Cepat!”

Menggunakan kunang-kunang sama sekali tidak melanggar aturan kompeni dan sedikit memudahkan gue melihat kertas rancangan strategi. Untung saja Asiu mengingatkan gue.

Selagi gue dan Asiu bersusah payah menangkap kunang-kunang di taman, Made datang dengan muka pucat. Gue terhenti. Kaki gue melangkah menghampirinya dengan suara tercekat bertanya, “Ada apa?”

“Ong tak kembali ke markas sejak bertemu Toahnia tadi siang.”

Gue mematung mendengar hal itu. Bukan karena curiga dia mengkhianati, tapi tak berani membayangkan nasib apa yang telah ditemuinya.

“Di sana berantakan karena kehilangan pemimpin. Tak bisa bergerak.”

“Lalu bagaimana?”

“Ada yang ikut kelompok lain sejak sore. Dan… tiyang menemukan banyak yang mati tak jauh dari markas.

“Tak adakah kabar sedikitpun tentang Ong?”

Made menggelengkan kepalanya.

“Tapi tiyang sudah mengutus Rai untuk mencari tahu keberadaannya.” Rai adalah nama kecil putra pertama Made.

Toahnia! Toahnia!” seru Ketut berlarian menghampiri kami. Di belakang dia, Rai dan adik keduanya berlarian mengejar.

“Mereka menemukan mayat tak jauh dari rumah kita. Mayat yang berciri seperti si Ong.”

Kaki gue langsung lemas. Sekarang juga, gue yakin pergerakan di bawah komando gue sembilan puluh sembilan persen gagal.

*#*#*

%d blogger menyukai ini: