Lanjut ke konten

Bab 1

Bau darah masih membayangi seluruh penjuru negeri. Dalam setiap perebutan kekuasaan, sepertinya pertumpahan darah adalah hal yang wajar.

Jingcheng, kota yang sudah ratusan tahun menyandang gelar sebagai kota raja, saat ini juga tak luput mandi darah. Bau anyir dari cairan berwarna merah menyeruak di seluruh penjuru kota yang dikosongkan.

Ratusan prajurit yang bisa dibedakan menjadi dua berdasarkan warna pakaiannya tergeletak. Sebagian tak bernyawa sisanya terluka parah. Ada yang sampai tak sadarkan diri, mungkin menunggu mati. Ada pula yang meraung-raung menahan sakit, berdiri pun tak sangggup.

*

Di antara rimbun pepohonan, beberapa rumah kayu berdiri tegak. Orang-orang dengan pakaian sederhana dari bahan rami kasar mengobrol santai di luar rumah-rumah kayu tersebut. Di sekeliling mereka, anak-anak berlarian bermain di antara bangunan rumah, tak mengerti apa yang sebenarnya tengah terjadi di luar sana.

Di salah satu rumah itu, tinggal seorang perempuan bersama anaknya yang masih merah. Perempuan itu sangat cantik, di antara semua penghuni rumah-rumah kayu tersebut, dialah yang paling cantik. Kulitnya putih cerah, wajahnya lembut dan dari gerak-geriknya terlihat jelas ia berpendidikan.

Pada salah satu sudut rumahnya, nampak sebuah zheng[1] tergeletak dengan manis di atas meja kayu sederhana, menanti untuk dipetik. Namun perempuan itu tak bermaksud untuk memetiknya. Ia menghampiri ranjang tempatnya tidur bersama sang bayi mungil.

Rengekan bayi yang kelaparan merongrong perempuan tersebut untuk segera memberikan air susunya.

 Digendong dan dibelainya anak tersebut dengan lembut, cinta seorang ibu. “Perang sudah usai, anakku. Mudah-mudahan ayahmu bisa menemukan kita di sini.”

Ia menggendong dan menimang-nimang bayinya sambil bicara. Seringkali diliriknya arah pintu gerbang masuk ke perkampungan tersebut. Seringai wajahnya menampakkan kecemasan dan kerinduan.

Tak tampak yang ditunggu, ia menghela nafas lalu masuk ke dalam kamar.

Dibaringkannya sang anak yang telah pulas tertidur pada ranjangnya lalu mendekati meja riasnya. Memungut sebuah liontin giok berwarna putih dan mengangkatnya sampai batas mata, tersenyum memandanginya.

Shahai, apa yang sedang kau lakukan sekarang? Ayahmu menahanmu ‘kah? Apakah ia tetap bersikeras melarang hubungan kita? Perang telah usai, Shahai. Cepatlah pulang! Anak kita sudah waktunya memiliki nama.

Ia memejamkan mata dan menghirup nafas dengan mulut tersungging senyum tipis.

 

~~~

 

“Aku janji pasti akan pulang padamu dan anak kita. Tunggulah aku, Nvlei. Setelah perang ini selesai, aku pasti kembali.”

“Aku mengerti. … Shahai, kembalilah dengan selamat. Kami selalu menantimu.”

Zhang Shahai menganggukkan kepalanya mantap. “Liontin giok ini… pakaikan pada anak kita kelak. Aku pegang pasangannya. Ketika liontin giok ini bertemu, satu keluarga akan berkumpul dan tak akan terpisahkan lagi.”

 

~~~

 

Ketika membuka mata, yang dilihat perempuan itu hanya ruangan berisi perabotan, ia dan anaknya. Laki-laki yang ditunggu masih belum pulang.

Dia kembali mendesah. Cemas dan rindu menenggelamkan hatinya.

 

***

Kembali ke Jingcheng di bagian utara, sebuah wilayah dengan tembok tinggi dan tebal menjulang mengelilingi keempat sudutnya. Alun-alun luas terhampar tepat di hadapan tembok tersebut. Wilayah itu merupakan tempat di mana penjagaan dilangsungkan teramat ketat.

Di bagian dalam tembok, sebarisan orang dengan pakaian dinas pejabat tinggi berbaris dengan muka menghadap altar yang ditinggikan. Para prajurit berbaris di belakang jenderal mereka juga mengarah pada altar yang sama. Di sisi lain, para penjaga berjaga-jaga di segala arah, mengawasi setiap orang dan setiap sudut.

Di antara para prajurit tersebut, nampak Zhang Shahai berdiri di belakang Zhang Ruoyan. Ayah dan anak, keduanya nampak gagah dan perkasa.

Sebagai jenderal besar, Zhang Ruoyan membawahi beberapa jenderal muda. Salah satunya adalah putra tunggalnya sendiri, Zhang Shahai. Dan di antara jenderal muda tersebut, usia Zhang Shahai-lah yang paling muda.

Semua orang berdiri kaku seperti patung seolah menanti kedatangan seseorang yang sangat penting.

*

Kepala kasim dengan serombongan bawahannya masuk. Kepala kasimnya terus menaiki tangga hingga ujung tangga tertinggi sebelum altar dan berdiri menunggu di sana. Sedangkan lainnya berbaris di tepi karpet merah yang digelar tepat di tengah lapangan sampai ujung tangga menuju altar.

Huangshang[2] tiba!” seruan keras dari arah belakang membuyarkan lamunan penantian semua orang.

Seolah diberi aba-aba, semua orang yang hadir di sana berlutut menyembah serempak. Lutut menempel ke tanah, demikian juga dengan dahi mereka beralaskan telapak tangan menempel erat pada lantai. Khidmat dan hormat.

Kemudian terdengar sebuah pujian dan harapan secara harmonis bagai paduan suara, “Semoga Yang Mulia berumur puluhan ribu tahun.”

Sang Kaisar mengenakan pakaian kebesaran berwarna kuning berhiaskan bordir halus nan memikat seekor naga meliuk-liuk tepat di bagian dada. Setiap kaki naga tersebut memiliki lima jari dengan kuku runcingnya seolah hendak mencengkram siapapun.

Dia melangkahkan kakinya dengan tenang, anggun, dan memancarkan karisma seorang pemimpin sejati. Tujuannya adalah altar tinggi yang didirikan di lapangan tersebut.

Di belakang dia, seorang laki-laki yang usianya terpaut dua puluhan tahun lebih muda berjalan terus mengikutinya kemanapun dia melangkah. Dialah sang Putra Mahkota.

Sampai di atas altar, Kaisar dan Putra Mahkota berdiri menghadap para pejabat di belakang meja altar. Meja altar ini terbuat dari kayu berukir sulur-sulur tanaman rambat. Setiap ulirnya diwarnai dengan emas.

Dua orang kasim senior masing-masing membakar sebatang dupa besar dan panjang. Setelah asap wangi keluar dari pembakaran dupa tersebut, mereka menyerahkannya pada Kaisar dan Putra Mahkota.

Dalam tebalnya asap dupa yang memancarkan harum, Kaisar mengucapkan doa kepada Langit dan Bumi agar pemerintahannya selalu diberkati sehingga berjalan dengan baik dan stabil juga agar rakyat mereka selalu makmur, sejahtera.

 

***

Ketika akhirnya upacara permohonan berkat berakhir, Kaisar memanggil setiap nama orang yang telah berjasa padanya. Baik dalam masa sulitnya maupun dalam usahanya menggulingkan dinasti pendahulu. Masing-masing dari mereka diberikannya hadiah besar seperti rumah dan tanah, uang, juga kenaikan pangkat. Semua orang tak terkecuali. Bahkan bagi yang telah almarhum pun hadiah diwakilkan pada ahli warisnya.

“Zhang Ruoyan, Zhang Shahai,” panggil Kaisar dengan suaranya yang berwibawa. Ketika ia melihat ayah dan anak itu telah maju ke depan menghadapnya, ia kembali melanjutkan. “Jasamu sangat besar kali ini. Kau memang jenderal yang luar biasa. Zhen[3] benar-benar beruntung mendapatkan kepercayaan dari kalian.”

Belum sempat Zhang Ruoyan berbasa-basi mengelak dari pujian tersebut, Kaisar sudah melanjutkan “Zhang Ruoyan, kau zhen angkat sebagai menteri pertahanan. Dan kau, Zhang Shahai, zhen anugrahi kamu putri keempat zhen,”

Zhang Shahai terbelalak karena sangat terkejut. Mulutnya hendak membuka menyatakan keberatan namun sayang ia kalah cepat dengan ketangkasan Zhang Ruoyan dalam membalas anugrah Kaisar. Kala itu, Zhang Ruoyan telah menjawab Kaisar, “Terima kasih atas perhatian Huangshang.”

 

***

 

Lima hari setelah penerimaan anugrah tak diinginkan.

Dengan semangat menggebu-gebu, Zhang Shahai berlarian menuju sebuah kampung. Angin membuat rambutnya yang dikuncir di puncak kepala melambai-lambai. Tak sabar ia untuk segera bertemu dengan Nvlei dan anak yang harusnya sudah lahir. Dalam pakaian tentaranya, ia ingin memamerkan kemenangannya pada Nvlei dan merayakannya bersama.

Apakah perempuan atau laki? Mungkinkah kembar? Apakah ibu dan anak semuanya selamat? Apa yang sedang mereka lakukan? Apa yang harus dikatakan pada Nvlei tentang perjodohan paksanya dengan seorang Putri Kaisar? Apakah Nulei bisa menerima kenyataan hanya menjadi istri kedua seperti yang dikatakan ayahnya?

Semua pertanyaan tersebut membuatnya kuatir, cemas bercampur tak sabar dan akhirnya menuntun Zhang Shahai untuk berlari makin cepat.

Tiba di muka kampung dimana ia berpamitan dengan Nvlei beberapa bulan lalu. Sebuah gapura kayu sebagai gerbang masuk kampung telah rusak. Papan nama kampung tergeletak di tanah nyaris tak terlihat karena tertutup lumpur oleh hujan pada malam-malam sebelumnya.

Cemas melanda Zhang Shahai. Ia menerjang masuk ke dalam kampung yang kini telah kosong mencari rumah tempat meninggalkan Nvlei yang tengah hamil besar.

Beberapa rumah di kampung tersebut tampak habis terbakar. Sebagian lagi masih utuh dan lainnya tinggal tembok batunya saja. Bekas darah nampak di beberapa tempat. Tak terlihat satupun mayat.

Cemas dan panik, Zhang Shahai menghambur ke luar kampung. Mencari orang yang mungkin tahu keberadaan Nvlei dan anaknya. Satu demi satu ditanyai. Tak kenal lelah dan tak ingin menyerah. Ia harus mendapatkan kepastian apakah Nvlei dan anaknya selamat juga di manakah mereka saat ini.

Ke mana pun ia pergi, tak seorang pun berkata pernah melihat orang yang dicari-carinya. Ditanyanya orang satu demi satu, tetap tak ada yang menjawab telah bertemu apalagi tahu keberadaan mereka.

Pada saat itulah, dari kejauhan, seorang laki-laki seumuran Zhang Ruoyan dan seorang laki seumuran dengan Zhang Shahai berlari terburu-buru dan ketakutan ke arahnya. Belum sempat mereka menabrak Zhang Shahai. Segerombolan orang di belakang mereka telah mencapai laki-laki yang muda dan langsung menusuknya.

Laki-laki yang lebih tua berteriak panik melihat kondisi si Muda. Ia mendekati dan menangis tersedu-sedu tak percaya dengan yang mereka hadapi.

Shifu[4], cepat pergi! Shifu…,” suaranya sudah sangat lemah.

Di sisi lain, gerombolan itu mendekati laki-laki yang tua dan merebut kantung kain yang dibawanya.

Melihat sesuatu buruk terjadi di hadapannya, Zhang Shahai melompat ke arah mereka sembari membuka sarung pedang.

“Jangan ikut campur!” teriak salah seorang gerombolan itu.

“Berani-beraninya kalian melakukan perbuatan hina ini di hadapanku,” sambil berkata Zhang Shahai mengacungkan pedang ke arah mereka. Pandangannya yang tajam menyapu ke gerombolan itu.

Perkelahian pun terjadi. Sekalipun diserang dari berbagai arah, Zhang Shahai dapat mengatasinya. Diserang dari kiri dan kanan maka ia menggunakan serangan dari kiri untuk menangani yang kanan. Diserang kakinya, ia melompat sambil menyerang orang lainnya. Semua tak ada yang lolos dari tangannya.

Akhirnya, merasa tak mungkin menang, gerombolan orang itu melarikan diri membawa teman mereka yang telah terluka.

Setelah mereka pergi, Zhang Shahai mengangkat laki-laki yang seumurannya membawa dia ke penginapan.

“Panggilkan langzhong[5], cepat!” perintah Zhang Shahai pada pelayan restoran sambil membawa orang yang terluka itu masuk ke kamar.

“Tidak perlu. Aku mengerti ilmu pengobatan,” jawab laki-laki seumuran Zhang Ruoyan. Nada kesedihan nampak dalam setiap kata-katanya.

Zhang Shahai memandanginya bingung setelah menidurkan yang terluka di ranjang.

Laki-laki yang lebih tua itu memandangi Zhang Shahai cermat. “Anda ini…. prajuritnya yang baru naik tahta ‘kan? Kenapa berkeliaran sejauh ini dari Jingcheng?” tanya laki-laki yang lebih tua memandangi pakaian yang dikenakan Zhang Shahai.

Zhang Shahai melihat pakaian yang dikenakannya. Pakaian tentara yang melekat di tubuhnya. Pakaian para tentara Kaisar saat ini. “Benar. Oh, Laobo[6], bagaimana aku bisa memanggilmu?”

Dengan tersenyum miris pertanyaan tersebut dijawab “Margaku Chu.”

“Chu Langzhong, kenapa ada gerombolan orang jahat itu mengejarmu? Yang terluka ini siapamu?”

“Pertanyaanku tadi belum semua kau jawab dan kau sudah memberi banyak pertanyaan padaku.”

“Oh, maaf, Chu Langzhong. Margaku Zhang, aku sampai kemari karena mencari istriku. Oh ya, apa Chu Langzhong melihat seorang perempuan membawa bayi yang memiliki liontin giok seperti ini?” buru-buru Zhang Shahai mengeluarkan liontin giok putih miliknya.

“Sayang sekali, aku tidak melihatnya. Tapi kelak, jika bertemu, akan kuberitahu kalau kau mencari mereka.”

“…. Terima kasih, Chu Langzhong. Mohon katakan padanya bahwa aku menunggunya di Jingcheng. Ia pasti mengerti maksudku.”

“Pasti kusampaikan.”

Jawaban Chu Langzhong membuat Zhang Shahai sedikit lega.

Melirik laki-laki yang dibaringkan di ranjang, Chu Langzhong menghembuskan nafas berat. Wajahnya sudah menampakkan kesedihannya. Nada katanya semakin mempertegas kesedihan mendalam di hatinya. “Aku tak akan menerima murid lagi. Tak akan. Dia,” menunjuk pada laki-laki seumuran Zhang Shahai yang tampaknya kini tak lagi bernyawa, “adalah murid terakhirku….” tak dirasa, tetesan air mata mengalir dari mata Chu Langzhong.

Zhang Shahai menatapnya terheran-heran. Dengan suara perlahan ia memberanikan diri bertanya “Kenapa…?”

“Buat apa… toh… nantinya akan dibunuh juga…” selesai mengatakannya, Chu Langzhong membopong jenazah muridnya pergi meninggalkan Zhang Shahai yang terdiam kebingungan.

“Chu Langzhong! Chu Langzhong!” ditinggal pergi begitu saja membuat Zhang Shahai terperangah bingung. Ia sempat mengira ada yang salah dari tuturan katanya hingga membuat Chu Langzhong tersinggung.

 

***

 

Di hari yang sama, setelah matahari tenggelam.

Seorang laki-laki yang usianya hampir sama dengan Zhang Shahai menyusuri jalan setapak menuju tembok tinggi dengan penjagaan puluhan orang di luar temboknya.

Laki-laki ini rupanya bernama Zhu Xu. Berpakaian ala kadarnya seolah menampakkan sifatnya yang santai dan tak ingin dikekang oleh aturan baku. Rambutnya dikuncir di puncak kepala dan berhias pita kain sewarna baju. Pada tengah kain disematkan giok putih yang tercengkram kuat oleh perak. Sisa rambut yang dikuncir itu terurai ke bawah melewati lehernya bersama sisa rambut bagian bawah yang tidak ikut dikuncir.

Dengan percaya diri, ia melompati tembok dan masuk ke dalam kediaman yang disebut orang-orang sebagai ‘Puri Keluarga Shi’.

“Penyusup!!!” seru seorang penjaga puri yang tak beruntung melihat Zhu Xu. Mendengarnya, Zhu Xu segera menghampiri dan memuntir leher penjaga tersebut. Penjaga tersebut mati seketika. Akan tetapi teriakan penjaga tadi sukses mengundang penjaga lain. Segera Zhu Xu diserbu oleh puluhan penjaga puri. Bahkan, sang pemilik puri pun tak luput menyambutnya.

“Tengah malam seperti ini guwen[7] baru Baiyu Jiao bertandang ke gubukku, salut! Sungguh salut!” seru Shi Buiyi, laki-laki yang umurnya lebih tua dari Zhu Xu beberapa tahun. Pakaiannya terbuat dari sutra halus berwarna gelap. Hiasan pada kuncir di atas kepalanya terbuat dari emas. Ikat pinggangnya juga disulam emas. Semua menunjukkan hartanya yang berlimpah.

Zhu Xu tersenyum sinis melirik ke arah Shi Buiyi. “Salut. Salut. Tengah malam seperti ini masih sempat-sempatnya memamerkan kekayaan.”

“Memamerkan kekayaan di rumah sendiri bukan hal yang salah ‘kan? Daripada seorang guwen Baiyu Jiao yang tengah malam menyusup ke rumah orang.”

“Basa-basi murahan,” gerutu Zhu Xu malas. Dalam sekejap ia sudah memancang ancang-ancang lalu dengan ilmu meringankan tubuhnya meninggalkan Shi Buiyi. “Kunjungan batal! Kunjungan batal!” seru Zhu Xu sambil berlalu pergi.

“Kejar! Siapa yang berhasil menangkapnya pasti kuberi hadiah besar!” seruan itu terdengar di telinga Zhu Xu yang telah menjauh. Betapa keras musuhnya berteriak dengan kebencian setinggi dan seangkuh pegunungan kunlun

Serentak para penjaga berhamburan mengejar Zhu Xu yang telah melompati tembok keluar puri.

Tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh Zhu Xu sebagai penasihat Baiyu Jiao tentu saja lebih tinggi daripada penjaga-penjaga tingkat bawah puri. Cukup mudah bagi Zhu Xu pergi meninggalkan pengejar. Namun tekad mereka yang telah diiming-imingi hadiah oleh majikannya tak bisa dianggap remeh.

Sungguh hebat! Sekalipun terpaut cukup jauh, mereka terus saja bisa mendapatkan jejak Zhu Xu yang melarikan diri melalui rumah-rumah kayu dimana Nulei tinggal.

Masih senyap kala itu. Malam belum pergi dan binatang malam masih merongrong lapar. Tentu saja, kala seperti itu semua penduduk sedang tidur kecuali mereka yang sedang bertugas malam ataupun yang menderita gangguan tidur.

Menduga penduduk rumah kayu menyembunyikan buruan, para penjaga masuk dengan paksa ke setiap rumah kayu. Tak luput pula rumah Nvlei. Diobrak-abriknya setiap rumah. Memaksa mereka mengeluarkan orang yang tak pernah dikenal dan diketahui. Bahkan rupanya saja para penduduk itu pasti tak tahu.

Kemudian, karena kesalan memuncak, para suruhan kalap. Dibunuhnya setiap orang yang ditemui di rumah itu.

Teriakan takut, cemas dan sakit berkumandang bagaikan anjing hutan yang melolong mencari pasangan. Pilu tak tertahankan.

Ketika para penjaga puri itu pergi, rumah-rumah kayu yang mulanya hangat kini dingin tanpa hawa kehidupan.

*

Dage[8]!” Zhu Xu masuk ke dalam kuil tua bobrok di tengah hutan dengan hati-hati. Namun suaranya yang hanya sebuah bisikan sudah mampu membuat seseorang seusia Shi Buiyi di dalam kuil menyadari kehadirannya.

“Bagaimana? Berhasil?” tanya orang tersebut cemas menyambut kehadiran Zhu Xu. Namun setelah ia melihat kondisi Zhu Xu, ia terdiam seolah tidak lagi butuh jawaban.

“Maaf, Dage,” Zhu Xu tertunduk kecewa. “Shi Buiyi tampaknya sudah menerka kita telah mengetahui keberadaan giok yang dirampasnya saat penyerangan ke markas lalu.”

Laki-laki yang dipanggil ‘dage’ ini mengatur nafas menenangkan emosinya. “Sudahlah… tak perlu menyesal. Salah kita baru menyadari telah kehilangan benda penting tersebut beberapa tahun setelahnya. Nanti malam, aku sendiri yang turun tangan.”

“Mereka pasti akan meningkatkan kewaspadaan, Dage. Ini terlalu bahaya untuk Dage.”

“Tak perlu terlalu kuatir. Setelah kamu ke sana kemarin, kecil kemungkinan mereka menduga akan ada yang datang lagi malam setelahnya. Terlalu lama diundur takutnya lokasinya telah diubah, kita sendiri yang rugi.”

Menganggukkan kepalanya setuju, Zhu Xu berkata, “Baiklah. Lagipula kungfu Dage lebih tinggi dariku.”

“Kamu kembali saja ke markas.”

“Baik,” setelah menjawab, Zhu Xu meninggalkan kuil bobrok dengan hati-hati; menjaga kemungkinan ada penjaga yang berhasil mengejarnya.

Di dalam, laki-laki bernama Fan Ku menghadap jendela yang daun jendelanya sudah menggantung kehilangan salah satu engsel. Berbeda dengan Zhu Xu, Fan Ku lebih terkesan seseorang yang menjunjung tinggi norma masyarakat. Pakaiannya rapi, menunjukkan identitasnya sebagai seorang ketua aliran juga perhatiannya pada norma.

*

Malam berikutnya telah tiba. Berpakaian serba hitam, Fan Ku melompati tembok tinggi seperti yang dilakukan Zhu Xu sehari sebelumnya.

Penjagaan memang lebih ketat daripada saat ia menyelidiki dulu. Karena itu, ia harus ekstra hati-hati. Satu gerakan salah akan berakibat fatal bagi misinya.

Dengan perasaan was-was, diawasinya segala sudut. Merambat di kisi-kisi atas bangunan sampai akhirnya tiba di ruang baca.

Ruang baca gelap gulita. Sepertinya tak terlihat seorangpun di sana. Namun Fan Ku tetap harus hati-hati. Perlahan, ia turun dan masuk ke dalam ruangan tersebut. Dengan penerangan sangat minim dari lampion yang menyala di luar ruangan, ia menggerayangi rak buku hingga akhirnya menemukan sebuah guci yang tak bergerak sekalipun disenggol tangannya.

Dengan bibir tersungging senyum, diputarnya guci tersebut. Sebuah bunyi halus terdengar di sudut lain.

Ketika ia memalingkan muka, tempat yang tadinya hanya tembok kini menjadi pintu masuk ke dalam sebuah ruangan yang gelap pekat. Ke dalam ruangan itulah ia melangkah. Lilin yang selalu dibawanya dalam balik baju, kali ini sungguh sangat membantu. Dengan bantuannya, ia dapat melihat kondisi ruangan tersebut.

Di tengah ruangan terdapat sebuah batu kokoh yang atasnya dipapras sampai rata. Di atas batu tersebut tergeletak sebuah giok putih. Benda yang dicari-carinya selama ini. Dengan senyum puas, diraihnya giok tersebut. Namun dalam saat yang sama, panah-panah berhamburan dari segala arah menyerangnya.

Dengan tangan kiri menggenggam giok putih rebutan dan tangan kanan menggenggam pedang bertahta giok, ia terus berusaha menghindar dan menangkis setiap anak panah yang berusaha menembus dagingnya sambil keluar dari ruangan rahasia.

*

Di luar ruang baca, ternyata sepasukan penjaga puri telah menunggunya. Termasuk Shi Buiyi sendiri.

Jiaozhu[9] baru Baiyu Jiao ternyata tidak tahu malu mencuri batu berharga milik orang lain.”

“Giok ini sebenarnya milik kami. Kaulah yang tak tahu malu merampasnya dari tangan kami.”

“Apakah semua giok putih di dunia ini milik Baiyu Jiao, hah?”

Fan Ku tersenyum sinis menjawab, “Tergantung. Yang jelas, benda yang sekarang di tanganku ini bisa dipastikan milik kami. Permisi.” Selesai menjawab, Fan Ku segera berlalu.

Ia sama sekali tak menduga bahwa Shi Buiyi akan turun tangan ketika semua anak buah Shi Buiyi menyerangnya. Menangani para begundal kecil tentu bukan masalah sulit. Tapi serangan tak terduga yang diterimanya dari Shi Buiyi adalah hal berbeda.

Sukses sudah, Shi Buiyi melukai tangan kanannya dengan pedang. Darah mengalir dari luka di tangan Fan Ku.

Menyadari tangan yang biasa digunakan untuk memegang pedang terluka parah, ia tahu tak mungkin baginya memaksakan diri bertarung dengan Shi Buiyi. Luput-luput, nyawanyalah yang melayang dan giok putih itu entah siapa yang bisa merebut kembali.

 

***

 

Kabur dari kejaran penjaga puri nyaris semalaman, Fan Ku memasuki perkampungan yang penduduknya telah dibantai anak buah Shi Buiyi hari sebelumnya. Saat itulah, tangisan seorang bayi berkumandang keras seolah mengundangnya. Susah payah ia mencari hingga akhirnya menemukan bayi tersebut terlindung oleh jasad seorang perempuan, yaitu Nvlei.

Begitu menemukan, paras bayi laki-laki itu segera mengundang perhatiann Fan Ku. Seorang bayi yang lapar dan haus. Tanpa pedulikan sakit oleh luka di tangannya, ia mengangkat dan membawanya pergi mencari air.

“Siapa yang membunuh ibumu? Siapa yang membunuh semua orang di sini?” memandangi paras bayi dengan cermat, Fan Ku baru melanjutkan “Kelak nanti, kau harus balaskan dendam mereka.”

Selesai memberikan air, tiba-tiba muncul inisiatif untuk mengecek rumah dimana ia menemukan bayi tersebut.

Ia menemukan zheng di atas meja, peralatan makan di meja lain, dan alat rias di meja dalam kamar. Di antara alat rias tersebut, sebuah sisir perak berukir menarik perhatiannya. Masih ada beberapa lembar rambut di antara ruas sisir tersebut.

Mungkin sisir dengan rambut ibumu ini bisa membuatmu ingat siapa dirimu sebenarnya dan membalaskan dendam mereka.

Selesai bicara, ia menyerahkan sisir ke tangan bayi yang nampak tertarik dengan hiasan pada baju bagian dada Fan Ku. Kemudian ia mengambil kain di laci bawah meja. Dengan kain tersebut, ia mengikat bayi itu untuk digendong di pundaknya.

Belum sempat keluar pintu, diliriknya kembali zheng di atas meja. Kemudian tanpa pikir panjang lagi zheng tersebut diambilnya dan barulah ia keluar memakamkan semua jasad penduduk.

Nyonya, tenanglah. Anak ini akan kuasuh baik-baik. Setelah besar nanti, akan kukatakan yang sebenarnya agar ia membalaskan dendam kalian.

Selesai bicara, dan memastikan makam sederhana itu selesai, ia beranjak pergi dari sana. Tanpa disadari Fan Ku, sisir di tangan bayi yang digendong di pundaknya jatuh tepat di atas gundukan tanah makam yang baru selesai diuruk, tersembunyi di ujung bagian dalam nisan kayu dengan gundukan tanah.

 

***

 

Tiba di markas Baiyu Jiao, Fan Ku langsung masuk ruang utama. Tempat dimana pertemuan dengan para pemimpin Baiyu Jiao lainnya berkumpul. Dengan senang, dipamerkannya giok putih yang berhasil direbutnya pada semua orang. Dengan adanya giok tersebut, kedudukannya sebagai jiaozhu tak dapat lagi diganggu gugat oleh siapapun.

Giok putih tersebut bentuknya semacam stemple. Di badannya terukir dengan detail sebuah syair yang ditulis pendiri aliran sekian puluh tahun silam. Orang luar tidak akan tahu bahwa syair tersebut berhubungan erat dengan ilmu rahasia Baiyu Jiao yang hanya akan diturunkan dari ketua ke calon ketua generasi berikutnya.  

Setelah itu, barulah ia pamerkan anak temuannya pada sang Penasihat, adik angkat sekaligus orang yang paling dipercaya. “A Xu, di perjalanan pulang aku menemukan anak ini kelaparan. Orangtuanya sudah meninggal. Demikian juga tetangganya, semua sudah meninggal. Hanya ia sendiri yang masih hidup. Istrimu belum lama melahirkan. Apa kau bisa mengasuhnya juga?” sembari bicara, dilepasnya anak dalam gendongannya dan ditunjukkan pada Zhu Xu.

Melihat anak tersebut, Zhu Xu tersenyum. Jelas tampak ia tidak keberatan ditambah seorang bayi lagi. “Istriku pasti suka dengannya. Kau tahu dia, ‘kan?”

Fan Ku tersenyum mengangguk.

“Eh, dia juga punya giok putih. Apakah jodohnya masuk ke Baiyu Jiao?” seru Zhu Xu bersemangat. Nampak riang melihat anak yang kini berada di gendongannya. “Oh ya, Dage, apa kau sudah menamai anak ini?”

“Aku baru mau minta pendapatmu. Bagaimana jika kita namai dia Bai Lengyu?”

“Giok putih yang dingin. Nama yang sesuai untuknya, Dage. Lihat! Kulitnya pun putih. Seperti giok. Dan tampangnya yang dingin seolah tak butuh perhatian ini… benar-benar sesuai.”

“Kalau begitu kita putuskan namanya Bai Lengyu.”

“Aku serahkan dia pada Meixin sekarang.”

“Pergilah. Oh ya, kubawakan juga zheng yang kutemukan di rumahnya. Mudah-mudahan anak itu berbakat dalam musik seperti orangtuanya dan bisa menjadi penerus Yin Shennv[10], Yi Meixin.”

 

***

 

Jingcheng berangsur-angsur ramai kembali. Semua penduduknya telah pulang ke rumah masing-masing. Para pedagang mulai berdatangan. Apalagi tak lama lagi adalah hari pernikahan Zhang Shahai, putra jenderal kebanggaan penduduk kota tersebut dengan Qhing gongzhu.

*

Di kamarnya Zhang Shahai berdiri melamun memandangi liontin giok putih miliknya.

Mengapa tak ada kabar? Kalian sebenarnya masih hidup, ‘kan? … Aku tak pernah bermimpi tentang kalian, apakah artinya kalian masih hidup?

“Cepat keluar, Shahai! Pengantin perempuan sudah hampir sampai,” terdengar suara teriakan seorang perempuan tengah baya.

Dengan malas-malasan Zhang Shahai beranjak ke arah pintu dan memaksakan diri untuk tersenyum.

 

***

 

Masih di Jingcheng, di sebuah rumah dengan gerbang bertulis ‘Wisma Keluarga Huo’, beberapa orang duduk menghadap meja makan yang telah dipenuhi beberapa piring berisi lauk.

Orang-orang itu adalah Huo Da Laoye[11], Huo Lao Furen[12], Huo Yinqian yang lebih dikenal orang sebagai Huo Laoban[13] bersama istri, Huo Fukai—adik pertama Huo Yinqian yang juga duduk di samping istrinya dan si bungsu, Huo Tianmei, anak gadis satu-satunya keluarga Huo.

Berbeda dari suasana makan malam di rumah lain yang hangat, di rumah ini kebekuan terasa pekat. Semua orang diam tak bersuara. Bahkan bunyi sumpit yang teradu ke mangkuk pun tak terdengar.

Die[14]…,” akhirnya sebuah suara terdengar. Suara Huo Tianmei. “Aku tetap ingin menikah dengan Fan Weiqhi.”

Mendadak, meja digebrak oleh Huo Da Laoye yang marah. “Hentikan mimpimu! Aku tidak akan restui hubungan kalian. Mengerti?!?”

Die…,” Huo Tianmei memasang wajah cemberutnya dengan nada merajuk.

“Sekali tidak tetap tidak!” nada Huo Da Laoye tetap tinggi dan tegas.

“Mei’er, dengar kata Die. Ucapan Die beralasan. Dunia persilatan tidak perlu kau masuki. Mereka selalu berkelahi satu sama lain,” bujuk Huo Lao Furen cemas.

Huo Tianmei tetap tidak setuju. Wajahnya merengut kesal. Dibantingnya sumpit ke meja makan lalu bangkit berdiri meninggalkan ruang makan.

Dari ruang makan terdengar Huo Da Laoye berteriak marah “Kalau kau tetap menikah dengannya, jangan pernah akui aku adalah ayahmu. Jangan pernah pulang ke rumah ini. Mengerti?!?” nafas Huo Da Laoye tersengal-sengal karena marah.

“Sudah! Sudah! Jangan marah-marah lagi! Biar aku nasihati dia. Kalian teruskan makan saja,” selesai bicara, Huo Lao Furen meninggalkan ruang makan.

 

Ketika pagi telah tiba, kamar Huo Tianmei sangat sepi. Tidak ada tanda  keberadaan dirinya. Di atas meja bundar tepat di tengah ruangan hanya ada selembar kertas penuh coretan tinta diduduki oleh teko air.

Huo Lao Furen yang masuk ke dalam hanya bisa menggelengkan kepalanya kecewa dan sedih. Demikian juga Huo Da Laoye, terduduk lemas di kursi yang mengitari meja tempat surat berada sambil membaca isi surat tersebut

Die, Niang[15]. Maaf. Nu’er[16] tidak bisa hidup tanpa Weiqhi. Nu’er sangat mencintai dia. Nu’er harap Die dan Niang selalu sehat.

Tianmei.

“Kubesarkan dia susah payah. Kumanjakan dia lebih dari anak gadis keluarga lain. Tapi… setelah besar dia melawanku. Padahal… yang kulakukan demi kebahagiannya sendiri….” tak ada yang bersuara setelahnya. Semua terkejut mendapati surat tersebut.

*

Fan Weiqhi berdiri di bawah pohon menanti dengan hati berdebar. Ia terus menerus menatap kaki gunung yang tertutup oleh pohon, berharap gadis yang dinanti memenuhi janji pertemuan mereka.

Umur Fan Weiqhi saat ini baru delapan belas tahun. Berdiri dengan menyandang sebuah pedang layaknya pendekar muda lainnya, menikmati pemandangan sembari cemas menantikan seseorang dan juga membayangkan jika yang dinantinya datang ataupun tidak datang.

Dia adalah murid pertama sekaligus murid kesayangan Lie Jinjia, ketua perguruan Xiangshen. Dengan status seperti itu, tentu saja, Fan Weiqhi memiliki ilmu kungfu yang cukup memadai.

“Weiqhi!”

Dengan cepat Fan Weiqhi menoleh ke arah sumber suara. Nampak olehnya gadis cantik dibalut pakaian dari kualitas terbaik berdiri memandangnya dengan tersenyum. Ia pun membalasnya dengan senyum dan berlari menjemput.

“Kukira ayahmu tidak mengizinkanmu datang.”

“Memang. Aku kabur dari rumah,” jawab Huo Tianmei tersenyum. Sama sekali tidak menyesali keputusannya.

“Maaf, membuat keluargamu susah.”

Huo Tianmei menggelengkan kepala tak setuju.

“Karena orangtuamu tidak setuju, maka aku akan minta shifu merestui pernikahan kita. Bagaimana?”

Tersenyum malu Huo Tianmei menjawab dengan sebuah anggukan. Cinta yang bergelora dalam hatinya saat ini membuatnya lupa tentang apapun bahkan orangtua yang telah memanjakannya bertahun-tahun.

 

***

 

Rumah makan yang terletak di muka jalan Yu dalam Jingcheng ini selalu ramai. Sangat ramai hingga semua meja terisi penuh bahkan sampai ruang khusus di atas pun telah dipesan. Di antara keramaian tamu rumah makan, terlihat seorang pengemis bernama An Bei jalan terpincang-pincang meminta sedekah.

Kulitnya hitam dan kotor. Bajunya yang hasil tambalan pun tak kalah kotor. Selain itu, tercium pula bau tak sedap dari tubuhnya. Dengan telanjang kaki, ia mengitari rumah makan yang kursi dan mejanya menjalar sampai ke halaman, berharap mendapatkan beberapa keping perak. Namun sialnya, tak ada yang memberi. Satupun tak ada yang memberi keping, yang diterimanya justru hanya tendangan dan makian.

Terakhir, pelayan rumah makan tersebut melemparnya ke jalanan sambil marah-marah “Pengemis sialan! Awas kalau berani menganggu lagi. Kucincang kau biar tahu rasa!”

Dilempar ke jalanan yang telah diperkeras juga ditendang dan dipukuli membuat sekujur badan An Bei terasa sakit. Dengan perlahan sambil meringis menahan sakit, ia berdiri. Memandangi rumah makan dengan pandangan aneh yang dingin lalu tertatih-tatih berjalan menuju pasar.

*

Pasar sangat ramai di siang hari ini sekalipun sinar terik matahari musim panas tak henti-hentinya meneror. Segala pedagang dan pembeli tumpah ruah di sana. Dari toko-toko di kanan kiri jalan sampai pedagang kaki lima yang menggelar lapaknya mengurangi badan jalan.

Di antara kerumunan orang-orang tersebut, An Bei terus mengemis. Namun matanya terus awas mengawasi sekitarnya seolah-olah ia sedang menunggu kemunculan seseorang.

Dari arah berlawanan, Yuan Feng dikawal kedua anak buahnya melewati An Bei. Gaya Yuan Feng yang pongah segera menarik perhatian semua orang. Terlebih, ia sering tidak sopan pada gadis-gadis yang kebetulan dilewatinya.

Tanpa sepengetahuan Yuan Feng dan anak buahnya, An Bei mengikuti beberapa puluh langkah di belakang. Gaya pongah Yuan Feng membuat dia mudah dikenali. Jadi, sekalipun pasar tengah ramai, An Bei tak perlu takut kehilangan mangsanya.

Sayangnya, karena terlalu konsentrasi menguntit buronannya, An Bei sendiri tak menyadari seseorang mengawasinya sejak ia dilempar dari rumah makan. Seseorang yang berpenampilan biasa—sedikit semaunya sendiri dengan wajah cengengesan dan sorot mata yang usil.

An Bei menguntit Yuan Feng sampai mereka tiba di luar perbatasan kota. Di hadapan mereka tak lama lagi adalah hutan. Bila menyadarinya sekarang pun, terlambat bagi Yuan Feng. Luar perbatasan kota adalah tempat dengan minim penjagaan. Pepohonan begitu rindang sehingga menyerupai kanopi yang membuat penjaga di perbatasan kesulitan mengawasi setiap gerak-gerik orang biasa di sana. Apalagi, mereka pergi dengan berjalan kaki yang pastinya tidak membuat begitu banyak keramaian.

Waktunya tiba.

Sesaat setelah memikirkannya, An Bei berlari menjumpai Yuan Feng. Dengan wajah memelas ia memohon “Gongzi[17], berikan aku uang.”

“Uang! Uang! Jangan harap! Kau pikir uangku untuk dibagikan ke orang sepertimu? Huh!” terakhir ia menendang An Bei hingga terjatuh ke tanah. Aneh, seseorang seperti Yuan Feng tak menyadari anehnya seorang pengemis meminta uang pada dirinya sampai menguntit sejauh itu. Mungkin karena ia memang tidak sadar telah dikuntit. Mungkin karena pesona dan harumnya gadis-gadis Bunga Raya yang sangat ramah padanya telah membuatnya mabuk sedemikian rupa dan sepanjang waktu.

Berbalik membelakangi An Bei dengan angkuh, Yuan Feng memberi perintah pada kedua anak buahnya “Usir dia dari hadapanku! Melihatnya saja membuatku mual.”

“Siap, Shaoye[18]!” kedua anak buahnya menjawab dengan serempak dan langsung mendekati An Bei hendak menendang.

Sebelum sempat kedua anak buah itu mendekat, An Bei diam-diam mengambil beberapa buah jarum yang langsung dilemparkannya ke arah Yuan Feng dan anak buahnya.

Ilmu kungfu Yuan Feng yang cukup tinggi membuatnya bisa menghindar dari jarum beracun tersebut. Namun tidak bagi kedua anak buahnya. Mereka berdua ambruk dengan bibir membiru.

“Siapa kau?” tanya Yuan Feng penasaran dan mulai memasang sikap waspada.

Tersenyum dingin An Bei menjawab “Tebaklah!” dan ia langsung mengeluarkan jurusnya. Jurus pertama yang dikeluarkan adalah jurus tangan kosong dari perguruan Xiangshen.

Cukup mudah bagi Yuan Feng mematahkan jurus tersebut. “Kau orang perguruan Xiangshen?” sejenak kemudian Yuan Feng mematahkan argumentasinya sendiri dalam batin. Ilmu perguruan Xiangshen yang dikuasai orang tersebut hanya tampak di luar namun dalamnya kosong, ilmu tenaga dalam yang dikuasai orang tersebut bukanlah dari Xiansheng. Sementara itu, An Bei kembali menyerang dengan menggunakan jurus tangan kosong dari perguruan Taijia. Kali ini, Yuan Feng tetap bisa mematahkan jurus tersebut.

Nampak An Bei sangat menikmati permainan dan sengaja terus membuat Yuan Feng berada di atas angin. Ia berulang kali menggunakan berbagai jurus tangan kosong dari berbagai perguruan membuat Yuan Feng tak bisa mengenali darimana asalnya dan sekaligus membiarkan seolah-olah Yuan Feng-lah yang menang.

Ketika hari mulai sore, akhirnya An Bei mengeluarkan pedang tipis yang dililitkan pada pinggang lalu memasang kuda-kuda jurus ‘air dingin menembus hati’ yang dapat dipastikan milik Baiyu Jiao. Sesuai namanya, jurus ini mengincar hati lawan. Gerakannya tajam dan lurus ke arah daerah dada hingga perut bagian atas.

Sesungguhnya pedang tipis yang digunakan An Bei sesungguhnya tidaklah tepat digunakan untuk jurus tersebut. Benda itu membuat penggunanya mengeluarkan tenaga lebih untuk dapat membuat pedang yang seperti layu itu dapat menembus daging manusia. Tapi itu bila orang lain, An Bei tampaknya bukanlah orang sembarangan di Baiyu Jiao karena tenaganya luar biasa memukau. Ia sama sekali tak merasakan kesulitan atas lemasnya pedang di tangan dia. Pedang itu seperti membeku hingga dapat terjurus dengan tegak.

Setiap anggota Baiyu Jiao dilatih dalam suhu yang teramat dingin agar dapat merasapi dinginnya es. Karena itulah, tenaga dalam anggota Baiyu Jiao bersifat dingin. Seperti milik An Bei yang digunakannya ketika menyerang dengan jurus ‘air dingin menembus hati’ ataupun jurus setelahnya, ‘giok penghancur sukma’.

Jurus yang terakhir ini sebenarnya ilmu dasar pokok untuk mempelajari ilmu ‘pedang giok es’, ilmu tingkat tertinggi di Baiyu Jiao yang hanya diturunkan dari dan ke ketua aliran generasi selanjutnya.

 “Baiyu Jiao? Kali ini aku tidak mungkin salah. Kau pasti anggota Baiyu Jiao!” seru Yuan Feng terkejut. “Melihat tenaga dalammu, pasti kedudukanmu sudah cukup tinggi. Aku jadi ingin tahu seperti apa mukamu. Jangan-jangan begitu jeleknya sampai harus menutupi muka dengan arang.”

Pertarungan semakin sengit. Setelah Yuan Feng tahu asal An Bei, serangan yang dilakukannya semua ditujukan untuk membuka kedok An Bei.

An Bei pun tak mau kalah. Jurusnya semakin mematikan. Selalu ditujukan untuk mendesak Yuan Feng ke jurang kematian. Perkelahian kali ini bukan lagi melibatkan sebatas kekuatan luar, tapi juga kekuatan dalam yang biasa disebut qi.

Menyadari kondisinya mulai terdesak, Yuan Feng mengeluarkan guci berisi serbuk obat bius. Dengan cepat ia menghamburkannya ke arah An Bei. Tapi ternyata serbuk obat tidur yang tersisa pada gucinya hanya sedikit. Rasa takut akan kematian menghantui dia membuat jantungnya berdegub lebih cepat. Di saat sama, keringat dingin membasahi sekujur tubuh.

Sementara itu, An Bei nampak terhuyung-huyung terkena pengaruh obat bius. Sekalipun serbuk itu hanya sedikit, untuknya sejumlah itupun sudah cukup membuat dia tidak sadar selama satu malam.

Melihat keadaan An Bei, Yuan Feng kembali merasa di atas angin. Didekatinya An Bei secara hati-hati. Gerakannya itu menampakan ia masih punya ada rasa takut jikalau An Bei tidak benar-benar sudah mulai terkena efek obat bius. Kini, ia sudah siap menyingkap penyamaran An Bei.

An Bei sendiri perlahan terjatuh di tanah memperjuangkan kesadaran yang tinggal setipis kulit ari-ari kacang.

Di saat itulah, pisau dengan batang perak berhias giok putih kecil dengan tepat menancap menembus punggung kiri Yuan Feng. Tanpa sempat tahu siapa yang melakukan, ia telah jatuh tak bernyawa.

Di antara pepohonan, orang yang tadi mengikuti An Bei tadi telah turun dan berdiri dengan berkacak pinggang puas. Kepalanya digelengkan berulang kali tak percaya.

Ia menghampiri An Bei, berjongkok hendak membopongnya namun kemudian dilepaskan mendadak dan mundur sambil mual-mual.

“Ah, kali ini apa yang dilakukan sampai badannya jadi bau seperti pengemis sungguhan? Sial! Kenapa tidak menyamar jadi pelajar atau musikus seperti yang lalu saja? Merepotkan!”

Ia merobek bajunya sendiri lalu dipakai untuk menutupi hidung. Baru kemudian membopong An Bei ke rumah tua yang sudah lama ditinggalkan pemiliknya tak jauh dari tempat tersebut.

*

Malam datang dan berlalu. Pagi telah menghampiri dan matahari kembali bersinar terik.

Baju kumal ala pengemis An Bei telah tanggal. Hanya pakaian dalam berwarna keputihan yang dipakai. Wajahnya pun tak lagi hitam dan kotor, melainkan putih bersih dan terlihat sangat tampan. Namun, orangnya belum menampakkan gejala kehidupan, ia masih lelap tertidur di dipan reyot dalam rumah tua.

Orang yang membawanya ke sana berdiri bersandar pada dinding memandangi An Bei sambil terkikik-kikik menahan tawa. Dia terus seperti itu sampai akhirnya mata An Bei terbuka sedikit demi sedikit.

“Akhirnya kau sadar juga, Lengyu.” Sapa orang yang membawa An Bei ke tempat itu.

An Bei memang penyamaran Bai Lengyu. Bayi yang ditemukan Fan Ku kemudian diasuh oleh suami istri Zhu Xu dan Yi Meixin.

“Hanya sedikit obat bius saja sudah membuatmu tidur satu malam ditambah setengah hari. Kukira kau mati.”

“Sialan kau. Mana bajuku?”

Orang yang membawa An Bei atau Bai Lengyu adalah A Bu, atau Zhu Bu. Putra tunggal Zhu Xu sekaligus saudara sesusu Bai Lengyu.

“Tenang saja! A Bu tak mungkin lupa membawa bajumu, juga sepatu, ikat pinggang, dan… hiasan untuk kuncirmu. Lengkap, ‘kan?” jawab Zhu Bu sambil mengeluarkan isi bungkusan kain di atas meja reyot di dekat dipan.

“Pedangku? Zheng-ku?”

Cemberut, Zhu Bu menjawab, “Kenapa kamu minta begitu banyak? Sudah kubawakan baju sampai sepatumu lengkap, sekarang minta pedang lalu zheng. Kau gila, zheng sangat berat. Bagaimana mungkin aku bawa benda itu untuk urusan seperti ini.”

“Lalu bagaimana? Kau tanpa pedang tak masalah, tapi senjata utamaku adalah pedang dan zheng. Kau suruh aku tidak membawa keduanya, lalu bagaimana aku berkelahi? Bagaimana aku sembunyikan pedangku? Apa kau suruh aku memakai ikat pinggang dari mata pedang terus?”

“Ya sudah! Ya sudah! Tunggu di sini. Kuambilkan pedang dan zheng-mu dari tempat penginapan. Sial! Sudah membantu masih kena masalah pula.”

Memamerkan senyum, Bai Lengyu mendekati Zhu Bu sambil memakai pakaian. “Terima kasih atas bantuannya. Kukira aku pasti akan mati kemarin. Kita ambil berdua. Mereka bisa mencurigaiku kalau tidak segera bayar sewa penginapan.”

“Toh kau masuk ke penginapan itu pakai muka palsu. Pelayan ingat wajahmu juga tak masalah.”

“Bikin muka palsu seperti itu sangat sulit. Apa kau tak sayang menghamburkan uang dan tenaga?”

“Aku tahu. Aku tahu. Tapi setelah itu kita jangan langsung pulang.”

“Mau kemana?”

Duanwu jie[19], Lengyu. Masa kamu mau melewatkannya di rumah yang rasanya selalu musim dingin itu? Setelah itu kita mengunjungi Hou Nulang. Ia pasti rindu setengah mati padamu.”

Bai Lengyu menghela nafas membuat Zhu Bu bertanya-tanya, “Kenapa?”

“Entahlah…,” beberapa saat Bai Lengyu terdiam. Tak hanya sedang berpikir tapi juga sibuk memasang muka palsunya.

“Kau hutang padaku satu nyawa,” seru Zhu Bu tak mau mengalah.

Bai Lengyu memandangi Zhu Bu dengan pandangan tak percaya. Ia menghela nafas baru menjawab dengan nada terpaksa. “Baiklah…” Diseretnya kaki keluar rumah tua mengikuti langkah kaki Zhu Bu.

Dengan bersemangat Zhu Bu menjauhi rumah tua. Matanya memancarkan keriangannya. “Ayo berangkat!”

*

Menyambut duanwu jie yang selalu hadir di musim panas, Jingcheng ramai dikunjungi banyak orang. Semua ini disebabkan oleh adanya perlombaan perahu yang diadakan di danau sebelah barat kota. Tentu saja karena hadiah utamanya berupa uang sebesar seribu liang.

Para laki-laki dari beragam usia menjajal fisik dan kemampuan mendayung perahu untuk menjadi yang tercepat. Sebuah keramaian yang pastinya dengan mudah memancing Zhu Bu untuk turut meramaikan.

“Ayo, Lengyu. Kau ikut. Denganmu kita pasti bisa memenangkan lomba,” bujuk Zhu Bu menarik-narik tangan Bai Lengyu seperti anak kecil yang memohon pintanghulu.

Bai Lengyu tetap bersikeras tidak ikut. Jika ia ikut serta, tentunya penyamaran dia sebagai pemusik yang tak tahu kungfu akan terbongkar. Ia tidak mau menanggung resiko itu meskipun tidak sedang melaksanakan tugas.

Tidak juga berhasil membujuk Bai Lengyu, lama-lama Zhu Bu menyerah. Ia ikut duduk di tepi danau bersama Bai Lengyu menyaksikan pertandingan.

Di tempat yang sama, berjarak hanya puluhan langkah, Zhang Yilang yang umurnya baru enam belas tahun—sekitar dua tahun lebih muda dari Bai Lengyu bersiap-siap naik ke perahu. Pemuda itu bersama Zhang Er Bao, adiknya ikut serta dalam pertandingan.

“Lihat! Putra Zhang Da Jiangjun pun ikut pertandingan,” seru seorang gadis pada temannya. Bersorak-sorai menyemangati Zhang Yilang dan Zhang Erbao mereka berdiri di sisi Zhu Bu. Memekikkan semangat dan tawa mereka yang berderai.

 “Untung kamu tidak ikut pertandingan. Kalau sampai kalah dari putra Zhang Da Jiangjun, mukamu mau taruh di mana? Kita tak terbiasa mendayung perahu, mengerti?” tanpa menunggu jawaban dari Zhu Bu, Bai Lengyu bangkit berdiri, tangannya menunjuk sebuah pohon. “Aku ke sana.”

Sambil mencibir dan tanpa melihat ke arah yang ditunjuk, Zhu Bu menjawab “Aku tahu, pasti berteduh di bawah yangliu[20] ‘kan? Pergilah, jangan ganggu dulu!” Matanya terus awas mengawasi arena karena sebentar lagi pertandingan akan berakhir. Sepertinya jantung Zhu Bu turut memompa darah lebih cepat, merasakan ketegangan para peserta lomba yang sedang berlaga.

Beberapa perahu dikayuh sekuat tenaga di danau tersebut. Setiap peserta nampak berjuang menyelesaikan tantangan pertama kali. Dan di salah satu perahu, Zhang Yilang dan Zhang Erbao mendayung dengan penuh semangat. Garis batas akhir telah tampak di depan mereka.

 

Zhang Shahai duduk di podium mengawasi arena. Posisinya kini sebagai jenderal besar membuatnya mendapat tempat kehormatan duduk bersama penyelenggara acara. Namun anehnya ia nampak tidak menikmati pertandingan sekalipun anaknya sendiri ikut maju berlaga.

Kalau anak itu hidup, usianya pasti sudah delapan belas tahun sekarang. Apakah dia akan ikut perlombaan seperti ini? Atau justru duduk menunggu di tepian seperti yang dilakukan Nvlei?

Wajahnya muram begitu tersiksa. Matanya dipejamkan tapi tidak tidur.

 

~~~

 

“Liontin giok milik siapa itu, Fuma[21]?”

Terkejut, Zhang Shahai menoleh pada Qhing Gongzhu[22] yang ternyata sudah berdiri di sisinya. Ia diam tak menjawab karena tak tahu bagaimana harus menjawabnya.

“Kelihatannya Fuma ‘menanam bunga’ di luar rumah. Apa dugaanku benar?” Qhing Gongzhu menatap Zhang Shahai mendeteksi wajah  Zhang Shahai. Menerka apakah Zhang Shahai akan menjawab jujur atau justru membohonginya.

Menghela nafas dulu, baru Zhang Shahai menjawab, “Sebelum Fuhuang[23] menjodohkan kita, aku pernah menikah tanpa persetujuan Fuqin[24]. Karena itu, fuqin langsung menyetujui kala Huangshang menjodohkanku denganmu.”

Jawaban itu bagaikan petir yang menyambar di siang bolong. Namun demikian, Qhing Gongzhu berusaha menjaga wibawanya sebagai seorang putri Kaisar. Dengan nada tertahan, ia bertanya, “Lalu, di mana dia?”

“Setelah perang perebutan kekuasan lalu, aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Kucari di pondok kami juga tak ada. Seharusnya… ia sudah melahirkan anakku…”

Tak dapat menyembunyikan kekecewaannya, Qhing Gongzhu meninggalkan Zhang Shahai, keluar dari kamar mereka.

*

“Aku tak ingin ada isu di luar. Kau boleh membawa mereka pulang.”

Pernyataan yang keluar dari mulut Qhing Gongzhu beberapa hari sesudahnya menyudahi salah satu kekuatiran Zhang Shahai selama bertahun-tahun. Namun sayangnya, Zhang Shahai tidak menyadari kalimat setelah itu, yang hanya dikatakan dalam hati Qhing Gongzhu, ‘Jika memang masih hidup dan kau bertemu dengan mereka’.

 

~~~

 

Keramaian orang-orang yang menyambut kemenangan Zhang Yilang dan Zhang Er Bao membuat Zhang Shahai sadar di mana ia berada saat ini. Ia menatap kedua anaknya dengan senyum tulus sebagai orangtua.

Terlihat Zhang Yilang dan Zhang Er Bao melambai-lambaikan tangan padanya dengan penuh semangat.

 Di saat yang sama, seorang pejabat kota datang padanya. Ia berbisik di telinga Zhang Shahai tak ingin pembicaraannya didengar orang banyak. “Da Jiangjun, pembunuh royal beraksi lagi. Kali ini korbannya Yuan Feng, putra Yuan Baisi.”

Mendengarnya, membuat Zhang Shahai menolehkan kepala menghadap pejabat tersebut menunggu keterangan lebih lanjut.

“Pihak pengadilan tidak juga mendapatkan saksi. Satu-satunya bukti yang ada hanya pisau pendek dengan hiasan giok pada batangnya.”

Zhang Shahai terkesima mendengarnya. Diliriknya pejabat bernama Li Jia sesaat lalu mengangguk pelan.

“Isu yang beredar di masyarakat Yuan Feng dibunuh oleh Baiyu Jiao karena menyinggung seorang gadis pengikut Baiyu Jiao.”

“Bisa saja terjadi. Polah Yuan Feng siapa yang tidak tahu. Tapi… di mana hukum jika masyarakat main hakim sendiri?”

Ketika itulah terdengar dari kejauhan suara petikan zheng yang mengalun lembut dan merdu. Tertarik dengan merdunya suara zheng, Zhang Shahai bangkit dari duduknya mengamati segala penjuru dari podium dimana ia berada.

Dari tempatnya berdiri, Zhang Shahai melihat seorang pemuda duduk di bawah yangliu. Pemuda ini terlihat sangat larut dalam petikan zheng-nya. Tak merasa risih meskipun mulai dikelilingi banyak orang yang tertarik dengan alunan melodi zheng yang dimainkannya.

 

~~~

 

Di sebuah rumah makan, Nvlei membawakan sebuah lagu. Tangannya dengan lincah memetik senar zheng yang terbuat dari buntut kuda kualitas tinggi. Di tengah alunan melodi, kata demi kata sebuah syair dilantunkan mengikuti irama petikan zheng-nya.

Kampung kutinggalkan

Demi pertiwi yang tengah berduka

Prajurit terluka tak lagi bernyawa

Derap kuda membahana membawa luka

 

~~~

 

Kali ini, sekalipun yang dimainkan melodi yang sama, tapi pemuda itu membawakannya tanpa syair. Meski demikian, ia masih mampu membuat Zhang Shahai merasakan rasa putus asa sang pencipta lagu.

Ketika lagu tersebut selesai, Bai Lengyu terperangah melihat banyak orang-orang kini berdiri mengelilinginya. “Maaf, saya mengganggu Anda semua,” selesai bicara, ia membungkukan badan pamit pada semua penontonnya mencari Zhu Bu.

“Kita pulang,” ucap Bai Lengyu setelah Zhu Bu ditemukannya. Melihat wajah Zhu Bu yang cemberut menyatakan ketidaksetujuan, ia berbisik pelan dekat telinga Zhu Bu. “Pemerintah bermaksud menyelidiki kematian Yuan Feng. Sebaiknya kita pulang sebelum keamanan diperketat.” Selesai berkata, dengan raut wajahnya tegas ia meminta Zhu Bu menuruti perintahnya.

“Ya sudah! Ya sudah! Kita pulang!”

“Tunggu! Xiongdi[25], setelah main begitu bagus, mengapa langsung pergi?” tegur Zhang Yilang yang mengejar di belakang Bai Lengyu.

Ketika Bai Lengyu membalikan badan, Zhang Yilang meneruskan “Ini Jingcheng, dengan keahlianmu apa yang tidak bisa kau dapatkan? Pendaftaran ujian negara juga sudah dibuka.”

Zhu Bu tertawa terkikik-kikik baru menjawab “Sudahlah! Dia ini–”

Dengan tersenyum misterius, Bai Lengyu memotong kalimat Zhu Bu tangkas. “Aku ini burung liar. Lebih suka terbang bersusah payah kesana kemari mencari makananku sendiri. Terima kasih atas nasihatnya. Permisi.”

Bai Lengyu menarik Zhu Bu pergi meninggalkan Zhang Yilang yang terdiam mendengar jawaban tersebut.

“Kamu ini juga aneh-aneh. Di tempat seperti itu memamerkan kemahiranmu. Untung saja orang-orang tidak langsung menebak kau ini penerus ilmunya Yin Shennu.”

“Justru aku melakukannya untuk mengalihkan perhatian semua orang. Apa kau tidak tahu? Berita kematian Yuan Feng telah tersebar luas. Mereka terus membincangkan masalah itu.”

“Jangan-jangan dalam alunan lagumu tadi kau selipkan mantra untuk menghipnotis mereka agar lupa pada kasus Yuan Feng.”

“Menurutmu?”

“Menurutku…. kalau kau tidak melakukannya, percuma Niang menurunkan semua ilmunya padamu.”

Tersenyum misterius, Bai Lengyu meneruskan perjalanan.

 

***

 

“Memiliki bakat kungfu juga musik. Sebenarnya siapa orangtua kandung Bai Lengyu?” memandangi jendela, Fan Ku mengajukan pertanyaan yang tidak mungkin dijawab sepasang suami istri Zhu Xu dan Yi Meixin. “Bagaimana jika ternyata orangtuanya adalah… aku tak sanggup mengatakannya. Tak sanggup.”

“Fan Dage, mengapa kau tanyakan masalah ini sekarang?” selagi Yi Meixin bertanya, Zhu Xu mengangguk menyetujui pertanyaan itu tampak sehati dengan pertanyaan istrinya.

“Kita sudah memutuskan Bai Lengyu adalah calon penggantimu, lalu kau bicarakan masalah ini?” tanya Zhu Xu heran.

“Kejadian sudah lama berlalu… Aku lupa pernah berjanji di depan makam ibunya bagaimana dia ditemukan. Lupa kalau aku janji membiarkan dia balas dendam untuk mereka…”

“Lalu… kalau kemudian Bai Lengyu memutuskan tidak kembali bagaimana?”

“Tapi bagaimanapun ini harus dikatakan. Dan sudah waktunya dia tahu semua itu.”

“Aku takut, Fan Dage. Takut kehilangan anak itu… bisakah masalah ini rahasia kita bertiga saja?”

“Apa kamu tidak lelah harus menipunya terus menerus? Bahwa kakek luarmu bermarga Bai dan dia yang meminta agar satu dari anak kita meneruskan keturunannya? Bahwa wajahnya yang beda dari kita itu sebenarnya mirip dengan ayahmu? Meixin, lebih baik ia tahu yang sebenarnya langsung dari mulut kita, sebelum ada orang memanfaatkannya. Mengerti?”

Fan Ku menatap Zhu Xu menunggu ketegasannya. Sebenarnya dengan jawabannya pada Yi Meixin, ia sudah tahu Zhu Xu akan mendukungnya. Namun bagaimanapun, ia butuh dukungan yang sesungguhnya.

“Baiklah, Dage… yang seharusnya dia tahu, beritahukanlah,” jawaban yang ditunggu Fan Ku akhirnya keluar juga.

Die, Niang!” teriakan Zhu Bu membuat Yi Meixin cepat-cepat menghapus air matanya. “Mereka pulang. Aku siapkan makan untuk mereka.” Yi Meixin telah berdiri bersiap keluar dari ruangan.

Fan Ku menggelengkan kepala melarang Yi Meixin pergi.

Shifu, Die, Niang? Mengapa kalian semua kumpul di sini?” Bai Lengyu yang baru masuk ruangan bingung melihat Fan Ku, Zhu Xu dan Yi Meixin ada di ruangan itu menatapnya dengan pandangan aneh.

“Ada yang harus kami katakan padamu,” kali ini Zhu Xu yang buka suara.

Shifu, Die. Kalian ini kenapa? Malam ini rasanya kalian aneh sekali,” Zhu Bu yang mengekor di belakang Bai Lengyu menggaruk-garuk keningnya bingung.

“Kamu ingat beberapa tahun yang lalu pernah bertanya pada kami mengapa margamu Bai bukan Zhu?” nada suara Fan Ku menunjukkan ia benar-benar berusaha hati-hati agar tak salah bicara.

Bai Lengyu menganggukkan kepala. “Die bilang karena kakek luarnya Niang yang minta.”

Fan Ku menghela nafasnya berusaha menenangkan diri baru kembali bicara. “Delapan belas tahun lalu aku menemukan seorang bayi yang sedang menangis lapar. Ibunya meninggal. Juga semua tetangga rumahnya. Melihat ia begitu lucu dan menyenangkan, kubawanya pulang ke markas. Kebetulan istri adik angkatku tak lama sebelumnya melahirkan anak mereka.”

Tak perlu diberitahu siapa anak yang dimaksud, Bai Lengyu juga sudah dapat menerka bahwa yang dimaksud adalah dirinya. Ia demikian terkejut setelah mendengar hingga butuh meja untuk menopang tubuhnya agar tak ambruk.

Tak tega pada seseorang yang selama ini dikira saudara kembarnya, Zhu Bu buru-buru membantunya duduk di kursi. Terlebih ia juga melihat tangan Bai Lengyu yang biasanya kokoh itu sampai gemetar.

“Maksud Shifu… Aku dan Lengyu bukan saudara kembar? Benarkah begitu? Shifu, Die? Niang?” bergantian ia memandangi tiga orang yang ia hormati selama ini.

Yi Meixin dan Zhu Xu menganggukkan kepala membenarkan. Gerakan mereka demikian pelan.

“Mengapa kalian katakan ini padaku?” Bai Lengyu terlihat sangat terkejut hingga suaranya seperti tercekik “Die, Niang, apa Lengyu melakukan kesalahan hingga kalian tak inginkan Lengyu lagi?”

“Bukan begitu Lengyu. Mana mungkin kami tidak menginginkanmu. Aku justru ingin kau benar-benar anak kandungku.” Air mata Yi Meixin telah membanjiri pelupuknya, mengalir keluar melewati kedua pipi. “Aku ingin… kebenaran ini tak terungkap selamanya. Tapi ternyata… gurumu telah berjanji di depan makam ibumu untuk memberi tahu asalmu agar kau bisa membalaskan dendam mereka…”

“Lengyu, walau bagaimanapun, bagi kami kau tetap putra kami. Kami menyayangimu sama seperti menyayangi A Bu. Kau harus ingat itu. Besok pergilah bersama gurumu turun gunung. Berikan hormatmu pada ibu kandungmu. Kamu kembali atau tidak, semua keputusanmu.”

Bai Lengyu memandangi Fan Ku, Zhu Xu dan Yi Meixin terus menerus. Berharap setidaknya salah satu dari mereka mengatakan yang dikatakan mereka tadi hanyalah gurauan. Tapi mereka semua terdiam. Semuanya larut dalam pemikirannya masing-masing.

“Aku ikut,” ujar Zhu Bu yakin.

“Tidak boleh!”  jawab Yi Meixin cepat. “Kau temani kami di rumah.”

Niang?” Zhu Bu mulai mengeluarkan jurus rajukannya.

“Tolong A Bu. Temani Niang di rumah. Niang tak sanggup lagi kalau harus kehilangan kamu juga.”

 

***

 

“Di tempat inilah aku menemukanmu dulu,” memandangi kampung yang kini seperti tempat hantu karena begitu sepinya tanpa hawa kehidupan, Fan Ku menghela nafas lalu perlahan maju masuk ke dalam kampung.

Mendekati rumah yang dulu ditinggali Nulei, Fan Ku melanjutkan ceritanya “Zheng yang selalu kamu bawa itu sebenarnya aku dapat dari atas meja di dalam rumah itu. Di rumah itu pula, aku mendapatkanmu tengah menangis.”

Yang dirasakan Bai Lengyu adalah suatu rasa yang sulit diungkapkan dengan sebuah kata. Ingin rasanya ia menangis mendapati kenyataan tersebut.

“Waktu itu ibumu meninggal tak jauh dari ranjang itu. Tapi dari bekas darah di lantai, kemungkinan ibumu dibunuh di depan pintu. Dengan tenaga terakhirnya ia berusaha menyelamatkanmu.”

“Aku menguburkan ibumu dan semua penduduk kampung ini di sana,” Fan Ku menunjuk gundukan tanah di sudut selatan kampung.

Bai Lengyu berjalan amat sangat lambat mendekati gundukan tanah tersebut. Ia berharap ada seseorang yang menariknya dari mimpinya kali ini.

Shifu, apa ini? Kenapa ada sisir perak di sini?” diambilnya sisir perak yang kini telah menghitam dimakan usia. Entah apakah orang-orang yang pernah melalui tempat itu buta atau tempatnya saja yang cukup tersembunyi–sedang mata Bai Lengyu awas mengawasi gundukan makam–sampai masih ada di sana belasan tahun kemudian.

“Aku mendapatkannya di meja rias ibumu. Dulu aku memberikannya padamu untuk kau mainkan. Rupanya kau jatuhkan di sini. Simpanlah, Lengyu…”

Bai Lengyu mengamati sisir tersebut sekian lamanya. Dirabanya sisir tersebut. Ia merasakan ada ukiran pada batang sisir itu.

Nv… Lei? Apakah ini nama ibu kandungku? Ataukah hanya sebuah puisi hadiah dari seseorang untuknya?

 “Shifu, bolehkah aku tinggal di sini?”

Fan Ku menatap Bai Lengyu hati-hati.

“Aku ingin merapikan kuburan ini.”

“Apa kamu tidak ingin membalaskan dendam kematian mereka, Lengyu?”

Bai Lengyu menggelengkan kepala tenang. “Aku merasa mereka tidak akan mengizinkan aku melakukannya.

Orang yang sudah beberapa kali membunuh tiba-tiba merasa tidak ingin balas dendam demi orangtua kandungnya apakah orang ini benar-benar ada? Terpana Fan Ku begitu mendengar. “Mengapa?” Fan Ku berharap pertanyaan itu dijawab secepatnya.

“Menurut Shifu, apakah tempat ini tidak damai? Nyanyian burung dan binatan lain jelas terdengar. Tak ada jerit tangis lagi. Jika aku balaskan kematian mereka, tempat ini mungkin tidak akan sedamai ini lagi.”

Fan Ku memandangi Bai Lengyu simpatik. Kemudian ia menganggukkan kepala sebagai tanda setuju membiarkan Bai Lengyu tinggal di tempat itu sementara waktu.

 

***

 

Para tukang batu membereskan peralatannya. Sebagian lagi melemaskan badan setelah lelah bekerja. Dan ada pula yang memandangi nisan pada makam dengan pandangan aneh.

Bagaimana tidak, sang pemesan tidak meminta mereka mengukir huruf satupun pada nisan itu. Hanya sebuah sisir perak yang harus mereka tanam sebagian badannya persis di depan nisan.

Salah satu dari mereka melirik ke arah Bai Lengyu yang duduk di bawah pohon rindang tak jauh dari mereka. Orang itulah yang memesan nisan tanpa nama ini.  Sejak mereka mulai mengerjakan makam, sampai makam selesai dikerjakan, Sang Pemesan terus duduk di bawah pohon tersebut. Disebut mengawasi juga tidak bisa karena mata dan tangannya terus terpaku pada zheng di hadapannya. Disebut tidak mengawasi juga tidak bisa karena keberadaannya membuat mereka merasa diawasi.

Merasa sudah waktunya pulang, seorang yang dituakan oleh para tukang batu menghampiri Bai Lengyu. “Pekerjaan kami telah selesai, Gongzi. Apakah Anda mau melihatnya dulu sebelum kami pulang?”

Bai Lengyu menganggukkan kepala dan segera menghampiri makam. Melihat sebentar ia menganggukkan kepala lalu merogoh lengan bajunya. Masing-masing tukang batu diberikannya perak.

Para tukang batu memandangi perak di tangannya memandangi Bai Lengyu yang tetap berdiri mematung. Mau tak mau merekapun pergi. Sekalipun mata mereka tak ingin melepaskan diri memandangi sang pemesan aneh.

Ketika para tukang batu telah pergi dan cukup jauh darinya, Bai Lengyu mengeluarkan pedang berdiri di depan makam. Dengan tenaga dalam dibantu ketajaman pedang yang selalu dirawatnya, ia mengukir nisan tersebut dengan serangkai puisi:

Langit bumi dipisahkan oleh Pan Gu[26],

Ibu anak terceraikan oleh pembunuh.

Kaligrafinya berkesan tegas dan rapi. Itu menandakan pengelolaan tenaga dalamnya yang baik sehingga goresan pedang pada batu tersebut tampak teratur, baik kedalaman dan ketebalannya.

Ketika kata-kata tersebut selesai dituliskan pada nisan, ia mengambil teko teh, cangkir, beberapa kue dan buah. Diletakkan semuanya pada muka nisan. Ia sendiri berlutut di hadapannya mengangkat teko teh, menuang isinya pada cangkir.

“Teh ini pengganti arak untuk Niang yang mati-matian melindungiku dari pembunuh,” selesai berkata demikian, isi cangkir dituang ke tanah pelan-pelan.

“Untuk semuanya yang meninggal di sini. Semoga kalian semua menyeberangi Huangquan dengan selamat,” dituangnya sekali lagi isi cangkir yang baru diisinya.

“Semoga Lengyu tidak mengambil keputusan yang salah,” kali ini isi cangkir tersebut direguknya. “Sudah waktunya Lengyu kembali. Lengyu berjanji pada kalian akan sering melihat kalian.”

Dengan berat hati tak ingin pergi, Bai Lengyu menyembah tiga kali lalu bangkit berdiri meninggalkan makam yang kini telah rapi.

 

***

 

Dengan satu tangan memegang erat pedang yang diselipkan pada ikat pinggangnya, Zhang Shahai berdiri tegak menatap seluruh prajurit.

“Kita semua sebenarnya tidak suka perang. Lebih suka tinggal di rumah yang damai bersama anak dan istri kita. Huangshang juga begitu bijak dan mencintai rakyatnya. Sayangnya negara kini terancam bahaya. Pemberontak tak tahu diuntung hendak merebut kedamaian dan kesejahteraan negara kita. Oleh karena itu, kita tidak boleh tinggal diam! Kita harus membela negara kita! Mempertahankan rumah kita!” suaranya yang tegas berhasil membangkitkan semangat para prajurit.

Di mata prajurit yang hendak maju perang bergelora rasa benci. Benci kepada pemberontak yang mengganggu kedamaian dan ketenangan hidup mereka.

 

***

 

Dage, bagaimana ini? Lengyu masih belum juga kembali. Sedangkan Wang Yin Huo keparat itu kini bahkan berani punya niat menjadi Kaisar. Bagaimana jika Lengyu tidak kembali?”

“Saat ini, hanya Lengyu di antara keempat zhuyaouzhu[27] yang penguasaan jurus ‘giok penghancur sukma’-nya sudah sangat kuat. Aku yakin, ia tidak membutuhkan waktu lama dalam mempelajari ilmu ‘pedang giok es’.”

“Bagaimana jika niat buluk Wang keparat itu terlaksana? Ia sebagai Kaisar, kita akan kesusahan menyentuhnya.”

“Masa kamu tidak percaya pada Zhang Shahai, Da Jiangjun itu? Kukira ia adalah jenderal yang bisa diandalkan. Setidaknya untuk menghadang Wang Yin Huo sementara waktu,” Fan Ku menghentikan obrolan dengan tarikan nafas yang dalam lalu meninggalkan Zhu Xu yang masih mengawasi kejauhan dari tempatnya berdiri.

“Lihat! Orang yang kau nanti-nanti telah kembali,”  lanjut Fan Ku melihat Bai Lengyu di kejauhan berjalan ke arah mereka.

Memalingkan muka ke arah pandangan Fan Ku, Zhu Xu akhirnya bisa bernafas lega.

Shifu, Die, Lengyu pulang.”

Fan Ku menganggukkan kepala puas. “Lengyu, kami ada tugas untukmu. Tapi sebelumnya ada yang harus kamu pelajari lebih dulu.”

“Apa itu, Shifu? Lengyu akan berusaha dengan baik.”

Tersenyum, Fan Ku mengajak Bai Lengyu masuk ke dalam ruangan rahasia.

“Pedang giok ini sebenarnya memiliki rahasia,” Fan Ku langsung masuk pada inti masalah. “Jika kamu lepas mata pedang dari gagangnya, maka kamu akan menemukan rapalan ilmu ‘pedang giok es’.”

Fan Ku benar-benar melepas mata pedang miliknya. Karena harus bersentuhan dengan bagian pedang yang tajam, darah mengucur dari tangannya.

Bai Lengyu meringis tak tega melihat tangan gurunya berdarah. Tapi Fan Ku menggelengkan kepala melarang Bai Lengyu membalut luka tersebut.

Kemudian, Fan Ku meneteskan darah itu pada kain yang didapat dari dalam gagang pedangnya. Setelah itu kain yang tadinya polos menjadi dipenuhi bercak yang jika diperhatikan adalah salinan ilmu ‘pedang giok es’.

Shifu, bukankah ilmu ‘pedang giok es’ hanya diteruskan dari jiaozhu ke penerusnya?”

“Benar. Dan pertemuan para petinggi Baiyu Jiao yang lalu telah memutuskan kamulah yang akan menggantikanku kelak.”

“Lengyu masih teramat muda, tak ada pengalaman. Tidakkah lebih baik Xiao Chuang Shige[28]atao Bao’er Shige?”

Fan Ku menggelengkan kepalanya tak setuju. “Hanya kamu yang menguasai jurus ‘giok penghancur sukma’ dengan sempurna. Jurus itu sebenarnya hanya dasar untuk mempelajari ilmu ‘pedang giok es’ ini. Pelajarilah Lengyu, kemudian lakukan tugasmu dengan baik.” Fan Ku telah menyatukan pedang tersebut dan diberinya pada Bai Lengyu.

Mau tak mau Bai Lengyu menganggukkan kepala. Ia adalah anak yang tak ingin mengecewakan hati orang yang mencintainya. Karena itu, kain berisi rapalan ilmu ‘pedang giok es’ diambil lalu dibacanya dengan seksama.

“Pedang dan jiwa adalah satu. Semua berpusat pada keinginan. Tenaga yang timbul dari keinginan mengalir memenuhi jiwa raga dan merasuk ke dalam pedang.”

Perlahan, tangan Bai Lengyu bergerak menyalurkan tenaga dalam yang terkumpul dalam tubuhnya ke pedang giok yang dipegangnya.

 

***

 

Die! Die! Aku dengar Lengyu telah pulang? Mana Lengyu, Die?” Zhu Bu berlarian menghampiri Zhu Xu yang menunggu di depan pintu masuk ke ruang rahasia di dalam kamar Fan Ku.

“Ya, Lengyu memang telah pulang. Guru kalian sedang mengajarkan ilmu kungfunya pada dia. Kamu juga harus belajar. Sini, ikut Die!” Zhu Xu mengakhiri jawaban dengan menarik tangan Zhu Bu menjauh dari kamar Fan Ku menuju ruang latihan bawah tanah.

Ruang latihan bawah tanah sebenarnya adalah goa, sama dengan ruang rahasia yang pintu masuknya dari kamar Fan Ku. Perbedaannya hanya ruang rahasia bersuhu lebih rendah dari ruang latihan bawah tanah. Ruang rahasia dikhususkan untuk ketua dan penerusnya memperdalam ilmu ‘pedang giok es’. Sedangkan ruang latihan bawah tanah semua anggota dalam Baiyu Jiao boleh menggunakan.

“Latihan lagi? Tidak, Die. Jangan suruh aku latihan lagi, kumohon, Die…,” Zhu Bu berjalan terseret-seret begitu malasnya ia latihan.

“Kamu harus bisa jurus ini. Setelah itu bantu Lengyu menumpas pengkhianat. Die yakin, dengan kemampuan kalian nanti, orang itu tidak akan berkutik.”

“Bukankah Lengyu saja sudah cukup? Hampir semua tugas dilakukan Lengyu sendiri, kecuali kalau ada yang memberikan obat bius.”

“Karena Lengyu ada kelemahan itulah kau harus mendukungnya. Jangan bangga dengan ilmu kungfumu yang hanya segitu. Masih banyak musuh hebat, A Bu. Mengapa kamu tidak bisa mengambil saja sikap ‘selalu ingin menjadi lebih baik’-nya Lengyu untuk dirimu sendiri?”

“Em… tapi setelah tugas nanti aku boleh jalan-jalan berdua dengan Lengyu, ya?”

Zhu Xu mengeryitkan alis tak percaya pada syarat yang diajukan Zhu Bu

 

***

 

“Tempat ini sepertinya pernah menjadi tempat pembantaian…,” komentar Zhang Shahai memasuki bekas rumah-rumah kayu. Masuk dari barat, ia harus berbelok ke arah selatan untuk mendekati lokasi pemberontak.

Da Jiangjun, lihat! Di sana ada makam besar,” seru Ting Jiangjun dengan tangan menunjuk makam yang didirikan Bai Lengyu sebelumnya.

Dengan rasa penasaran, Zhang Shahai mendekati makam. Dibacanya sajak pada nisan dengan perlahan berusaha meresapi kesedihan sang penulisnya. Sajak itu adalah satu-satunya tulisan yang terbaca jelas di makam tersebut. Tampak bahwa ukiran sajak tersebut masih baru. Berlawanan dengan bekas darah yang ia lihat di rumah-rumah kayu lapuk dekatnya. Perhatiannya kemudian teralih pada sisir perak yang sebagian badan sisir tertanam di bangunan makam.

Aku juga pernah memberikan sisir seperti itu pada Nvlei

Tersenyum miris, sisir yang sudah dibersihkan Bai Lengyu itu dirabanya.

Nv… Nv… Lei… tidak mungkin! Nvlei, tidak mungkin ‘kan? Tidak benarkan kamu yang terkubur di sini, Nvlei? Kenapa kamu bisa di sini? Lalu siapa yang membunuh kalian? Siapa yang menulis puisi seperti ini? Anak kita ‘kah, Nvlei? Kumohon Laotian Ye[29], beritahu aku, jawab pertanyaanku. Siapa yang bisa menjawabnya?

Zhang Shahai menatap nisan berganti sisir, kembali pada nisan lalu sisir. Berulang kali. Matanya mulai tergenangi air. Tapi ia tidak boleh melakukannya. Tidak dengan pakaian tentara yang dikenakan. Tidak di hadapan para prajurit bawahannya.

“Langit… bumi… dipisahkan oleh… Pan Gu. … Ibu… anak… terceraikan oleh… pembunuh… Siapapun yang menulis ini, tenaga dalamnya pasti sangat hebat,” tutur Ting Jiangjun sembari meraba sajak pada nisan.

Zhang Shahai menahan nafas dan menghembuskannya dengan cepat lalu berlalu dari tempat itu. Dalam hati ia berjanji, akan segera ke tempat itu setelah pemberontak yang dikenal bernama Wang Yinhuo tertangkap, hidup atau mati.

Mengikuti langkah Zhang Shahai, serombongan prajurit meninggalkan makam tersebut. Mereka sudah semakin mendekati pusat kekuatan lawan. Karena itulah mata mereka menyalang menatap awas ke segala penjuru. Mengawasi setiap sudut, mendengarkan setiap gerakan rumput dan berusaha membedakan antara gesekan rumput dengan kaki manusia atau gesekan rumput karena angin.

***

[1] Zheng: alat musik petik China kuno berbentuk seperti kecapi
[2] Huangshang: salah satu sebutan untuk kaisar
[3] Zhen: kata ganti orang pertama, sama dengan saya atau wo (china) yang khusus digunakan oleh Kaisar.
[4] Shifu: panggilan untuk guru
[5] Langzhong: sebutan untuk tabib jalanan/tabib desa atau panggilan diri seorang tabib.
[6] Laobo: paman tua
[7]Guwen: penasihat
[8]Dage: kakak tertua
[9]Jiaozhu: ketua aliran
[10]Yin Shennu:  dewi musik (yin dari yinyue berarti musik. Shennu = dewi)
[11]Da Laoye: Tuan besar
[12]Lao Furen: nyonya besar
[13]Laoban: bos (pemilik usaha)
[14]Die: ayah
[15]Niang: ibu
[16]Nu’er: anak (perempuan)
[17]Gongzi: : tuan muda
[18]Shaoye: tuan muda (biasa diucapkan bawahan pada putra atasannya)
[19]Duanwu jie: festival perahu naga
[20]Yangliu: pohon willow
[21]Fuma: sebutan untuk suami dari tuan putri
[22]Gongzhu: sebutan untuk putri dari Kaisar
[23] Fuhuang: sebutan untuk ayah yang adalah kaisar.
[24] Fuqin: sebutan formal untuk die/ayah
[25] Xiongdi: saudara
[26] Pan Gu: Dalam mitologi China, disebut bahwa Pan Gu yang berdiri menompang langit dan memisahkannya dari bumi sehingga makluk hidup bisa hidup di antaranya.
[27] Zhuyaozhu: pilar utama Baiyu Jiao
[28] Shige: kakak seperguruan laki-laki
[29] Laotian Ye: dapat diartikan dewa

 

Tinggalkan sebuah Komentar

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: